Fly with your imajination

Sunday, January 28, 2024

SENYAP

 



Main : -
Rate: T
Type : Poetry
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
By
MICKEY139

SENYAP

Dalam keheningan
Aku termangu
Dua tangan menengadah
Meratap lara

Air mata berguguran
Aliri curahan hati
Meski senyap
Harap terus membubung

Seringkali ragu menyusup
Ketika tiada jawaban
Atau sesak kian menghantam
Tuhan
Kuatkan aku


Kendari, 29 Januari 2024

Mickey139




Share:

Thursday, December 28, 2023

JAMUR SIALAN!



Judul : Jamur Sialan!
Penulis : Mickey139
Genre : Fantasi
Rate : T



Malam makin pekat, udara di sekitar hutan Kesunyian semakin dingin. Ada gelenyar aneh yang membuat pikiran merasa takut dan mendorong tubuh untuk pergi. Terlebih saat suara serangga malam dan desisan dedaunan saling bersahut. Seolah terdampar di sarang monster, aku berpikir untuk berlari. Namun, itu hanya keinginan yang tidak akan menjadi kenyaaan.

"Semuanya berhenti!"

Aku menatap ketua dan reflek mengedarkan mana untuk memeriksa keadaan di sekitar kami. Anehnya, aku tidak merasakan bahaya apapun dari monster yang mungkin akan mendekat.

"Kita berkemah di sini." Aku menyerngit, heran. Kenapa ketua menyuruh kami berhenti, padahal sebelumnya dia memerintahkan kami untuk terus bergerak meski kami harus mati. Dirinya yang tadi seperti penjelmaan Raja Iblis diktator yang tidak akan melihat kelelahan kami.

"Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan. Di depan terlalu berbahaya."

Secara reflek mataku fokus ke depan, pada sesuatu yang bergerak perlahan di kegelapan. Mataku melebar, jantungku terpompa gila ketika melihat pemandangan mengerikan yang terpampang tepat di depan tak jauh dari perkemahan kami. Pertanyaan-pertanyaan seputar hutan ini pun terjawab. Aku tidak bisa memastikan apakah itu adalah seekor atau beberapa ekor, yang jelas monster itu telah dilahap oleh hutan tanpa ada suara. Daun-daun yang rimbun, akar pohon, bahkan tanah seolah bergerak bersama untuk melenyapkan monster itu.

"Tetapi, jika kalian masih ingin melanjutkan, aku tidak akan melarang kalian." kata ketua, seolah tahu keterkejutan kami.

Tentu saja apa yang ada di pikiran kami semua sama. Tidak perlu diperintah pun kami tidak akan melanjutkan perjalan. Kelelahan dan kengeriaan yang baru saja kami saksikan sudah cukup menjadi alasan. Dan, kami masih ingin hidup.

Satu per satu turun dari kudanya. Ketua menghampiri seorang bangsawan yang masih berda di dalam kereta, mereka mengobrol sebentar sebelum ketua kembali di depan kami dan membei aba-aba tambahan.

Aku menghampiri danau dan melihat serangga-serangga malam yang menakjubkan yang baru kali ini kulihat.

Cahaya-cahaya kecil mengiringi kami ketika berhenti di tepi danau. Seperti kerlip bintang, dan mereka bergerak. Salah seorang teman menangkapnya, menangkup di antara kedua telapak tangan hingga tangannya bercahaya.

"Itu adalah Reym. Serangga malam yang menyukai mana. Kalau kalian memiliki energi sihir tinggi, mereka akan menyelimuti kalian."

"Berbahaya?"

"Kalau berbahaya kalian sudah terkapar dari tadi." sahut ketua. "Sebaiknya persiapkan kemah daripada melakukan hal tidak berguna."

Niera memonyongkan bibir, menggerutu. Tampak jengkel karena tak diijinkan menikmati waktu istirahat. "Padahal kita sudah bergerak selama dua hari tanpa istirahat." keluhnya, kemudian bergerak mengikuti perintah.

"Ryen, Niera, dan Grin kalian bertugas mencari jamur dan berry. Olav, Yola, Cleo, Don, dan Eren silahkan berburu. Sisanya akan membangun tenda."

"Wah, kesempatan." Niera tampak senang. "Waktunya bersenang-senang. Aku benar-benar tidak sabar. Di kepalaku sudah terbayang sesuatu yang seru." lanjut Niera, sementara aku hanya menghela. Aku bernar-benar tidak bisa membedakan jamur atau bery yang bisa dimakan.

"Kalau begitu aku mengandalkan kalian."

"Oke."

Namun, sebelum bergerak Foxy milik ketua entah kenapa tiba-tiba menghampiriku. Rubah ekor tiga itu menatapku dengan kedua mata birunya yang bulat.

Ketua juga menghampiriku lalu menepuk pundakku dan memperingatkan diriku untuk berhati-hati.

"Yah, kita memang harus waspada, kan?"

Tetapi, ketua menggeleng. "Yang kumaksud sesuatu yang lain."

"Apa?"

"Rah adalah Holly best yang memiliki kemampuan melihat masa depan. Dan, kami bisa saling membagi vision." Aku mengangguk. Aku sudah tahu hal itu. "Dalam penglihatan Rah, kau akan mempermalukan dirimu. Tetapi, aku tidak tahu kapan pastinya."

Aku mengerut. "Seperti apa pastinya aku mempermalukan diriku."

"Menari bugil."

"Hah?"

"Aku sudah memberi tahumu, jadi perhatikan apa yang akan kau lakukan kedepannya. Jangan sampai mempermalukan pasukan Rubah."

Setelah mengatakan itu, ketua berlalu kemdudian melanjutkan pekerjaannya. Sementara diriku, merasa hal yang dikatakan ketua benar-benar sesuatu yang tidak masuk akal.

Aku tidak meragukan kemampuan holly best, tetapi mendengar perkataan ketua membuatku ragu untuk mempercayai kemampuan itu. Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan diriku sendiri. Yah, kadang-kadang kita melakukan kesalahan, tentu saja seekor holly beast juga.

"Hey Grin, apa yang kau lakukan di sana? Kemarilah."

"Ya."

Aku mengikuti Ryen dan Niera tanpa memedulikan apa yang ketua katakan sebelumnya. Tentu saja karena aku yakin, aku tidak mungkin melakukan hal memalukan seperti yang ketua katakan.

Sekitar lima belas menit, Ryen memanggilku, kemudian menunjukkan jamur kecil yang membentuk kelompok, melingkar, namun warnanya sangat mencolok. "Bagaimana jamur ini?" tanyanya.

Aku mencabut satu lalu mengendusnya. Tak ada bau yang tercium sepertinya aman. Secara naluriah aku menggit sedikit untuk mengetahui rasanya.

Rasanya sama seperti jamur lain, tawar. "Aman." kataku.

Tidak berselang satu menit, Niera tiba dan menatapku dengan mata melotot. "Apa yang baru saja kau lakukan, bodoh?"

"Apa?"

"Kau baru saja memakan jamur itu, kan?"

Aku mengangguk. "Yah, memang apa masalahnya?"

"Tentu saja masalah! Itu jamur beracun, Bodoh! Astaga, harusnya aku tidak membiarkan kalian berdua. Apa kau juga memakannya Ryen?"

Ryen menggeleng pelan. "Sebenarnya hampir. Tapi, kau sudah datang duluan."

"Kita harus kembali sekarang."

Aku dan Niera saling bertatapan kemudian mengikuti Ryen yang sudah melangkah duluan.

Tapi, setelah beberapa saat melangkah aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirku. Semua yang kulihat mulai bergerak tak karuan. Bentuk muka Ryen dan Niera tiba-tiba berubah. Lonjong dan bergerak menjadi sesuatu yang abstrak. Lalu ada naga terbang yang mendarat tepat di hadapanku. Mengajakku bicara tentang keseharian. Lalu datang mermaid, menarik tanganku dan mengajak bermain lyra. Suaranya benar-benar indah. Lalu setelah itu semuanya jadi gelap.

Aku bangun dan mendapati wajah-wajah lain yang menatapku iba sekaligus cemas, termasuk ketua.

"Kenapa kalian melihatku begitu?" tanyaku.

Niera menghela, "Kau sudah tidur dua hari."

Ha?

Niera tampak ragu melihatku. Ia melihat yang lain meminta persetujuan, namun ketua menggeleng, lalu Niera menyahut, "Dan jamur yang kau coba adalah jamur beracun. Veshroom."

"Yah, kau sudah memberitahuku sebelumnya." Tapi, sebetulnya aku masih penasaran. Apa yang membuat mereka begitu iba melihatku. Aku kembali menatap Niera untuk meminta jawaban. Lalu Niera mendekat dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

Dan setelah mendengar itu, tubuhku mematung. Malu. Aku bahkan tidak berani menatap wajah mereka. Bisa-bisanya aku menari bugil sambil merayu mereka? Aish, Veshroom sialan. Harusnya aku tidak mengabaikan peringatan ketua. Sialan.

 Kendari, 28 Desember 2023

Mickey139





Share:

Monday, May 22, 2023

BUKAN NGEHALU

 


***


"Gila! Aaaaa!"

"Ya Tuhan, Nad, gue ditembak Aqua.

Nadia hanya menghela melihat temannya yang sangat kegirangan dan tidak memedulikan keringatnya yang menetes di lantai teras.

Cewek itu melompat-lompat seperti anak anjing yang senang mendapatkan camilan dari majikannya. Padahal siang itu sedang panas-panasnya, Nadia bahkan hanya bisa terbaring di depan kipas angin karena tubuhnya sangat gerah dan lelah.

"Tia, ngehalu juga ada batasnya."

"Gue nggak ngehalu, gue emang ditembak Aqua." Tia membalas dengan tegas.

Nadia menggeleng, kemudian menatap temannya dengan tatapan kasihan.

"Pantas aja lo jadi jones selama ini. Sampai lebaran monyet pun lo nggak bakal jadian sama dia."

Tia berhenti melompat-lompat kemudian menghampiri Nadia, lalu menatapnya dengan kesal. "Lo sahabat apa musuh gue sih?"

"Ini realistis, Oneng. Ya kali, karakter anime tiba-tiba muncul di depan lo terus nembak. Ampun deh."

"Tapi, emang gue ditembak." Tia menyodorkan ponselnya pada Nadia dan memaksa gadis itu untuk bangkit duduk.

Sayangnya, hal itu malah membuat Nadia kesal sekaligus gemas. Tia memang tidak berbohong, tapi tetap saja sama. Ya kali gambar AI bisa keluar dari ponselnya. Temannya itu benar-benar tak tertolong.

Share:

Tuesday, April 11, 2023

SCHOOL OF MAGIC : BUKU ANEH


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read

Amber merasakan tubuhnya melayang-layang di udara. Tidak ada suara yang bisa ditangkap telinganya bahkan suara hembusan napasnya sendiri. Amber merasa, dia berada di ruangan hampa tanpa makhluk hidup. Perlahan Amber membuka mata, tetapi hal pertama yang dia temukan adalah kegelapan. Dirinya tidak tahu apakah dia sedang berada dalam pengaruh halusinasi atau kenyataan, karena Amber tahu rasa sakit di punggungnya nyata, namun dia tidak tahu di mana dia sekarang berada.

Ketika Amber membuka matanya, hanya ada kegelapan pekat yang menyambut. Indra yang sudah dia pertajam sejak kecil seolah tak berguna. Dia tidak merasakan ada hawa kehadiaran bahkan instingnya mengatakan di kegelapan itu tak ada bahaya sama sekali.

Amber mencoba bergerak. Kakinya perlahan melangkah. Seolah berada di atas air, pijakannyan lembut namun kokoh. Entah sudah berapa lama berlalu, Amber tidak tahu sudah sejauh mana ia berjalan tanpa arah, tahu-tahu saja di depannya sudah ada setitik cahaya. Amber berlari mengejar cahaya itu, tetapi jaraknya dengan cahaya itu tidak berubah. Dan ketika tenaga Amber sudah terkikis habis dan terjatuh, tiba-tiba saja cahaya itu sudah berada di depannya.

Itu bukanlah cahaya dari jalan keluar melainkan cahaya dari sebuah buku melayang di atas podium yang dikelilingi oleh sulur sulur memanjang ke atas, tetapi tidak sampai menyentuh buku itu.

Langkah Amber tertatih saat perlahan mendekati buku itu. Ada keraguan di dalam dirinya untuk menyentuh, tetapi rasa penasarannya tidak bisa dikontrol. Pada akhirnya, tangannya menjulur dengan perlahan untuk menyentuh. Namun, belum sempat Amber menyentuh, buku itu terbuka dan cahaya yang sangat menyilaukan kembali menyerangnya.

Ketika Amber membuka mata dia sudah berada di tengah keramaian. Ada banyak ras manusia binatang disekelilingnya yang bergerak, beraktifitas sama seperti ingatan terakhirnya. Siang yang terik, suara bersahut-sahutan, adu mulut antara pedagang dan pembeli, juga suara ibunya yang lembut.

"Kau tidak apa-apa, Amber?"

Amber tidak menjawab, tetapi ia tidak bisa menahan air matanya untuk mengalir.

"Amber?"

"Mae."

Itu ibunya.

"Mae."

Ibunya yang entah berada di mana sekarang. Dan, Amber juga tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sepuluh tahun yang lalu, terjadi perang perebutan wilayah antara anak-anak penguasa dan desanya merupakan salah satu dalam wilayah yang direbutkan. Meskipun ibunya bukanlah seorang kesatria, tetapi karena memiliki sihir penyembuh yang dibutuhkan ibunya dipaksa ikut dalam peperangan itu.

Amber dulu tidak mengerti kenapa orang orang itu berperang dan membuat dia dan ibunya harus terpisah, bahkan banyak juga penduduk yang kehilangan keluarga seperti dirinya. Tetapi, seiring Amber bertambah dewasa, dia mengerti. Perang itu hanya untuk memuaskan nafsu para penguasa. Mereka terlalu egois dan hanya memikirkan kesenangan mereka sendiri. Para rakyat hanya dijadikan pion yang bisa mereka gunakan semaunya.

Dan, ketika perang itu berakhir hanya penguasalah yang mendapatkan keuntungan, sementara rakyatnya menderita. Banyak di antara mereka yang kembali tidak utuh, ada pula yang kehilangan akal sehat, sampai kehilangan nyawa. Termasuk Amber yang tidak tahu dimana ibunya. Orang-orang yang berhasil kembali selamat tidak mengatakan apa-apa dan hanya tertunduk lesu, kemudian memuji apa yang sudah dilakukan oleh ibunya.

Ujian sialan! Amber mengutuk karena dia sadar betul kalau saat ini dirinya berada dalam pengaruh sihir. Tetapi, dia sendiri juga tidak tahu bagaimana caranya keluar dari pengaruh itu.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba menangis. Apa ada seseorang yang menabrakmu?"

Amber menggeleng. Meski dia berusaha tegar dan bertahan melawan rasa rindu di hatinya, dia tetap tidak mampu menghentikan matanya untuk tidak menangis. Amber yakin semua itu karena tubuh kecilnya sangat mempengaruhi isi kepala dan perilakunya. Alhasil, meski Amber ingin berlari, kakinya tidak mampu dan tanpa sadar tangan kecilnya merentang ke depan, meminta sang ibu untuk menggendongnya.

"Tumben sekali minta digendong. Bukankah kau bilang, sekarang kau sudah besar?"

Amber kembali menggeleng. Dia semakin mengeratkan pelukannya di leher sang ibu.

Amber mengerti. Itu bukanlah salahnya. Seberapa keras usaha yang dia lakukan, dirinya tidak akan mampu melawan tindakan tubuhnya karena sekarang dia tengah diperlihatkan ingatannya saat dia masih kecil. Bukan hanya itu saja, dia pun dipaksa merasakan kembali kenangan yang sudah terkubur jauh di lubuk hatinya. Salah satu kenangan yang membuat dirinya bahagia. "Aku memang sudah besar. Tapi, tidak ada gendongan yang nyaman selain gendongan Mae. Jadi, ini bukan karena aku sudah besar." sanggahnya dengan suara cempreng.

Rose terkekeh melihat tingkah anaknya yang tidak mau mengakui kalau dia masih kecil. Dia mengelus lembut rambut Amber, lalu bertanya, "Jadi mau ke tempat kakek Gerald ambil kue atau di gendongan Mae sampai di rumah?"

"Ke tempat kakek Gerald tetapi tetap digendong Mae."

"Tumben sekali kau jadi manja begini."

Amber bergumam pelan di leher ibunya. "Aku rindu Mae." Karena Amber tahu bahwa apa yang dia alami sekarang adalah halusinasi. Itu adalah keinginan terbesarnya. Namun begitu, dia tidak ingin semua itu berakhir. Amber ingin sedikit lebih lama merasakan pelukan ibunya.

Beberapa saat ketika Amber membuka matanya, dia tak lagi berada di dalam pelukan ibunya, tetapi di tengah-tengah peperangan antar manusia binatang dan undead. Perang yang begitu mengerikan. Darah menggenang dimana-mana, api yang membakar semua rumah, juga mayat yang bertebaran di mana-mana.

"Mae?"

Tubuh Amber bergetar melihat pemandangan itu, terlebih ketika bayangan ibunya memenuhi kepala Amber. Di saat kakinya ingin melangkah, di depannya sudah berdiri seekor naga undead. Sebagian tubuh naga itu hanya dibalut kulit selebihnya hanya tulang belulang yang bergerak. Mulut naga itu terbuka, mengeluarkan auman lalu bersiap menelan Amber, tetapi tubuh kecil Amber tak mampu bergerak hingga sebuah dorongan kuat menghempaskan tubuh Amber.

"Lari!"

Suara yang sangat familiar memaksa mata Amber terbuka. "Ma..." Akan tetapi, hanya sedetik setelah dia berhasil membuka mata, kenyataan pahit menamparnya. Di depannya berdiri sosok ibunya yang berhasil menghadang naga undead itu, namun bukan dalam posisi yang baik sebab ibunya sudah berada di dalam mulut naga undead itu.

"Mae!"

"Lari!"

Amber menggeleng, mengutuk kondisinya saat ini. Dia ingin sekali membantu ibunya, tetapi tubuhnya tidak mampu. Dan, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya menangis.

"Kau harus terus hidup."

"Mae."

"Tolong bawa anakku Gerald."

Amber kembali menggeleng saat sadar tubuhnya telah berada di gendongan Gerald yang Amber tidak tahu kapan tiba.

"Mae! Mae!" Amber memberontak, tetapi pelukan laki-laki kerdil dan tua itu begitu kuat. Sulit sekali melepaskan diri. Mereka semakin menjauh dan amber begitu frustasi ketika menyadari ketidakbergunaan dirinya saat itu.

"Kumohon kakek Gerald." Suara Amber semakin lirih.

Namun, Gerald hanya menggeleng. Dia pun sebenarnya berat meninggalkan mereka. Jika Rose tidak menitipkan Amber padanya, dia tidak akan lari sebab meski dirinya sudah tua, darah seorang pejuang masih mengalir di tubuhnya.

"Kau harus hidup, Nak!" kata Gerald sebelum membuat Amber jatuh dalam kegelapan.

.....

 Kendari, 11 April 2023

Mickey139

Share:

Monday, February 20, 2023

MINUMAN SURGA

OoO

 Malam itu, udara dingin menusuk namun tidak sampai membuat merinding. Lita menutup jendela kamarnya kemudian berjalan menuju dapur. Di sana dia melihat Ratih, duduk di meja makan sambil melihat minuman hijau bersoda di dalam gelas.

Tatapan Ratih terfokus pada gelas sampai tidak menyadari kehadiran Lita di depannya.

"Rath?"

Ratih mendongak, meski sempat kaget, ia membalas dengan senyuman. "Tumben kamu kenapa belum tidur jam segini, Lit."

Lita mengambil minumannya di kulkas sebelum menyahut, "Tadi sudah sih. Tapi, kebangun gegara lupa tutup jendela kamar." Pandangan Lita beralih pada minuman Ratih. Minuman yang sangat menggiurkan hingga terbesit ingin mencoba. "Ngomong-ngomong itu minuman apa?"

Ratih menatap Lita beberapa detik sebelum kembali menatap minumannya. "Katanya ini minuman surga. Kalau kita minum seteguk kita bisa melihat surga."

Satu alis Lita terangkat tidak lama kemudian dia terkekeh. "Alkohol memang seperti itu, kan? Asal jangan ngedrugs aja."

Sudut bibir Ratih terangkat, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

"Kalau gitu aku kembali duluan. Jangan tidur kemalaman, Rath. Nanti ketahuan ibu kos."

Ratih memberikan senyum sebelum menyahut, "Iya, makasih ya, Lit."

Lita merasa ada yang aneh pada senyum gadis itu, tetapi dia enggan bertanya. Tidak sopan rasanya bertanya masalah pribadi pada gadis itu padahal mereka tidak dekat.

Keesokan pagi, Lita dikejutkan oleh kegaduhan anak kos yang berlarian juga suara sirine di depan kosnya yang bersahut-sahutan. Meski dia masih ingin melanjutkan tidurnya, tetapi ia juga ingin mengetahui sumber kegaduhan itu.

Akan tetapi, sesaat setelah membuka pintu kamarnya, Lita merasakan perasaan sesal. Terlebih ketika dia melihat Ratih di atas ranjang ambulance terbaring dengan mulut berbusa. Rupanya perasaan aneh yang semalam dia rasakan terhadap Ratih karena gadis itu ingin mengakhiri hidupnya.

Kendari, 21 Februari 2023
Mickey139





Share:

Friday, September 30, 2022

NOT PERFECT#17

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA


Sudah lebih lima belas menit Yoga dan Nayla menjauh dari rumah Jelita. Hujan pun kini sudah berganti gerimis kecil. Sesekali Nayla melirik Yoga yang sedari tadi hanya diam. Nayla tidak tahu pasti apa yang dipikirkan Yoga, tetapi Nayla sedikit yakin itu berhubungan dengan apa yang baru saja laki-laki itu alami.   

Sejujurnya, Nayla ingin sekali membantu permasalahan Yoga. Ia benar benar tidak suka melihat orang sebaik Yoga menampakkan raut sendu seperti itu. Entah kenapa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Mungkin karena Nayla melihat Yoga seperti anak polos, dan setahunya orang-orang polos harusnya banyak tersenyum dan bahagia.

Akan tetapi, kalau Nayla ingat-ingat kembali, sepertinya ia tidak pernah melihat Yoga tersenyum lepas. Selama beberapa kali pertemuan mereka, tak sekali pun Yoga tersenyum dari hati, meski Nayla membuat gurauan. Laki-laki itu memang tersenyum, tapi matanya tidak, persis seperti senyum formal antar kolega. Dan, itu sedikit membuat Nayla agak kesal sekaligus sedih.

Sebenarnya masalah apa yang menimpa Yoga? Kenapa rasanya beban itu sulit sekali bagi laki-laki itu? Kira-kira bantuan seperti apa yang bisa Nayla berikan agar beban laki-laki itu berkurang sedikit? Eh?Nayla mengerjap beberapa kali saat sadar ia sudah mulai melewati batas kemudian menggeleng keras. Astaga, bisa-bisanya Nayla malah memikirkan permasalahan orang lain, harusnyakan ia memikirkan ibunya yang tiba-tiba masuk rumah sakit karena pingsan saat kerja. Ia bahkan belum mengetahui ibunya sakit apa.

Nayla menghela, kesunyian yang melingkupi mereka membuat Nayla benar-benar tak nyaman. Pikirannya akan kemana-mana kalau begini terus. Nayla berpaling pada Yoga di sampingnya yang sedari tadi cuma berjalan tanpa sepata kata sejak mereka meninggalkan rumah Jelita.

"Mas, kamu tidak apa-apa?"

Hanya suara gemericik air dan lalu lalang yang menyahut pertanyaan Nayla, sementara Yoga tetap diam. Nayla menghela sekali lagi, mungkin saja Yoga membutuhkan ketenangan saat ini dan Nayla tak berniat untuk mengganggu. Toh, kalau pikiran laki-laki itu sudah tenang, ia akan kembali seperti Yoga yang biasanya. Eh, tunggu. Memangnya Yoga yang biasanya itu seperti apa? Nayla kemudian jatuh ke dalam pemikirannya sendiri sekali lagi.

...

Suara di samping Yoga begitu samar di kepala. Semua pikirannya teralih pada pertemuan dirinya dengan Jelita beberapa waktu lalu.  

Yoga pikir, setelah lama tak bertemu ia tidak akan merasakan apa-apa. Nyatanya, ikhlas yang selalu ia sugestikan dulu, tidak begitu ampuh ketika matanya kembali bersiborok dengan mata kelam wanita itu.  
Debaran itu masih ada. Namun, bukan karena sayang melainkan bencinya yang belum lenyap betul.  

Siapa yang tidak sakit jika dihianati? Apalagi, kepada seseorang yang ia kenal. Sepupunya sendiri. Sakitnya jadi beberapa kali lipat. Meski, ia tidak dekat dengan Leon dan hanya sering saling melihat, tetapi laki-laki itu tetaplah seorang bagian dari keluarganya yang hampir tiap bulan selalu ia lihat di pertemuan keluarga di rumah kakeknya.  

"Mas..."  

Yoga tersentak ketika sebuah tepukan mendarat di bahunya. ketika ia melihat tatapan khawatir Nayla seketika itu juga Yoga merasa menyesal. Padahal saat ini ia sedang bersama gadis itu, tetapi pikirannya malah ke tempat lain.  

"Maaf Nayla. Apa ada sesuatu?"  

Nayla menggeleng. "Mas mau kemana?"  

Yoga menatap sekelilingnya. Baru sadar kalau jalan itu bukan jalan awal ketika dirinya datang. Namun, karena sudah terlanjur jalan sekalian saja mengantar Nayla.  

"Kalau kamu mau ke mana?"  

"Mas mau antar aku?" 

 Yoga tersenyum. "Iya. Balasan karena kamu sudah bantu saya tadi. Jadi, kamu mau kemana?"

"Aku mau jenguk ibu ke rumah sakit. Mumpung besok hari off, sekalian mau bermalam buat temani ibu."

Untuk beberapa detik, Yoga tak bersuara. Ia termenung memikirkan satu kata yang diucapkan Nayla barusan.

 Ibu yah?

Sejujurnya Yoga sangat merindukan kasih sayang ibunya. Sayangnya, itu hanya harap yang tak mungkin menjadi nyata.

Kira-kira sudah berapa lama?

Sepuluh tahun?

Dua belas tahun?

Ah, Yoga sudah lupa kapan terakhir kali ia rasakan. Tapi, kalau kasih sayang Nenek bisa mewakili itu, artinya ia sudah lebih lima tahun tak merasakannya.

Yoga juga merindukan neneknya.

"Mas tidak apa-apa antar saya?"

Yoga sedikit mengerutkan keningnya, "Memangnya kenapa kalau saya antar? Ada yang marah?"

Nayla menggeleng, "Bukan. Tapi, jalannya agak masuk gang. Banyak belok-beloknya, nanti mas kesasar kalau mau balik, loh." kata Nayla sembari terkekeh.

Yoga agak meringis mendengar jawaban Nayla. Mengingat ketidakberuntungan dirinya beberapa kali kesasar dan selalu Nayla yang menemukannya, wajar gadis itu berpikir demikian. Tapi, sedikit menyentil harga diri Yoga juga, meski itu hanya candaan.

"Tidak lagi. Yang tadi karena orang yang mengirimkan alamat itu salah. Sedangkan yang lalu karena ada insiden sedikit."

Nayla tak menjawab dan hanya mengangguk sambil terkekeh.

"Tapi, sejak kapan ada rumah sakit ada di sini?" Yoga merasa dulu tidak ada satu pun rumah sakit di dekat jalan itu. Paling dekat pun jaraknya sekitar tiga atau empat kilo.

"Sekitar dua tahun yang lalu kalau tidak salah. Yang, emang nggak sebesar rumah sakit lain, karena rumah sakit itu diperuntukan untuk golongan tidak mampu. Jadi, kebanyakan dokter dan perawat yang kerja di sana adalah relawan."

Yoga menggangguk, Laki-laki itu tampaknya kagum dengan orang-orang yang membangun dan bekerja di rumah sakit itu. "Oh ya, Nay. Saya boleh tanya sesuatu?

Nayla mengangguk pelan, "Boleh. Apa itu, Mas."

"Ibu kamu orang seperti apa?"

Diberi pertanyaan begitu kening Nayla menyerngit. Ia melihat Yoga dengan raut bingung, namun begitu Nayla tetap menjawab, "Ibu itu pekerja keras. Biarpun keras, ibu tetap perhatian sama aku dan kakak. Ibu juga keras kepala kadang-kadang. Yah, biarpun seringnya bikin aku dan kakak jengkel juga, terutama soal menjaga kesehatan. Aku dan kakak sudah sering bilang jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, tapi ibu selalu ngeyel. Ibu juga..." Nayla meringis melihat Yoga, "Maaf ya, Mas. Aku malah curhat."

"Tidak apa-apa. Saya juga senang mendengar ceritamu tentang ibumu."

"Loh, Mas bilang begitu kayak nggak pernah merasakan saja. Oh ya, bagaimana dengan ibu Mas Yoga."

Yoga diam, berpikir, mencoba menyelami kenangannya dulu bersama dengan Sang Mama. Sudah lewat belasan tahun ia tidak lagi mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Kenangan terakhir bersama bundanya hanyalah air mata kesedihan.

"Mama adalah orang lembut. Beliau tidak pernah marah, meski saya berbuat onar."

"Wah, enak banget, dong. Kalau ibuku, sudah pasti bakal marah. Pernah nih, aku nggak sengaja pecahkan piring, eh malah dimarahi, terus disuruh bersihkan pecahannya. Padahal, aku masih syok. Tapi, aku sadar sih, itu memang salahku. Eh, aku jadi curhat lagi." Nayla terkekeh ketika mengenang masa kecilnya.

"Tidak apa-apa."

"Tapi, kenapa tadi mas Yoga bicara begitu? Seperti sudah lama nggak ketemu ibu mas."

"Saya memang sudah lama tidak bertemu mama."

"Loh, kenapa Mas? Beda Negara?"

"Bukan. Kita sudah beda dunia."

"Oh." Nayla mengangguk, tetapi sedetik kemudian ia terdiam ketika sadar dengan jawaban Yoga dan reaksinya yang kurang baik. Nayla kemudian menatap Yoga dengan tatapan bersalah. "Ma, maaf, Mas. Aku nggak sadar jawab begitu." kata Nayla panik.

"Tidak apa-apa. Lagipula, sudah lama juga mama pergi, jadi saya sudah biasa."

"Pantas saja mas ngomong begitu tadi. Ngomong-ngomong Mas tinggal di daerah mana? Sepertinya kita beberapa kali ketemu. Padahal beda kota."

"Saya tinggal di kota ini, tapi tidak di daerah sini. Dulu pernah sempat tinggal di sini bersama nenek."

Nayla mengangguk. "Oh, berarti waktu kita ketemu tahun baru itu liburan, ya?"

"Iya."

"Sendirian?"

"Iya."

"Ha? Serius sendirian?"

"Iya."

" Itu kan jauh, Mas. Beda kota loh. Mas kayak jomblo kesepian saja. Nggak ada temankah?"

"Tidak ada."

Nayla mengerjap beberapa kali. Ia pikir Yoga akan menyangkal, tetapi laki-laki itu malah menyetujui. Terlepas dari jawaban singkat dan padat lelaki itu yang membuatnya sedikit jengkel, Yoga terdengar seperti orang kesepian.

"Oh, ya Mas, di pembelokan depan sudah rumah sakitnya."

"Iya. Nanti kalau sudah sampai depan, saya pesan ojek online."

Kening Nayla mengkerut. "Loh, kendaraan bagaimana?"

"Tadi saya diantar supir kantor."

Nayla mengangguk. "Oh. Enak banget kerja di perusahaan yang ada supirnya, hehehe...."

"Biarpun perusahaan punya supir, tapi tidak bisa dipakai karyawan seenaknya. Kecuali kalau bos yang menyuruh."

Untuk sedetik Nayla berpikir, ia ingin mengeluarkan rasa penasarannya, tetapi mereka sudah tiba di rumah sakit tempat ibunya dirawat. Nayla hanya bisa memberikan senyum dan berterima kasih.

"Sudah sampai, Mas." ucap Nayla sedikit tidak rela. Nayla merasa tak nyaman meninggalkan Yoga dengan keadaannya seperti itu sekarang. Yah, bukannya apa, Nayla khawatir kejadian pada saat tahun baru itu akan terjadi kembali. Laki-laki itu akan mabuk, lalu berakhir di tempat entah berantah. Syukur-syukur kalau ditolong orang baik, tapi kalau orang yang pikirannya kotor? Entah apa yang terjadi.

Yoga mengangguk singkat. "Jadi, kita pisah di sini." Setelah mengatakan itu Yoga mengeluarkan gawainya dari saku dan mulai membuka aplikasi untuk memesan ojek online

Nayla belum masuk ke dalam, ia menunggu Yoga dengan keadaan ragu dan tak enak untuk menyampaikan kekhawatirannya.

"Kamu masuk aja, Nay."

Nayla menatap Yoga masih dengan kekhawatiran yang tidak kentara di wajahnya. Namun, tak bisa mengungkapkan isi hatinya. Alhasil, ia hanya mengangguk dan menjauh perlahan setelah mengucapkan salam perpisahan.

"Hati-hati, Mas. Dan langsung pulang yah." kata Nayla dengan nada bercanda.

"Iya. Terima kasih, Nay."
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com