Fly with your imajination

Thursday, September 2, 2021

NOT PERFECT#15

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA


Ada yang bilang retak paling menyedihkan adalah saat dua hati saling mencintai tetapi tak bisa bersama. Yang lain berkata, bahwa sakitnya dihianati setara dengan lelahnya mengejar fatamorgana.

Namun, bagi Yoga ditolak sebelum memulai jauh lebih baik daripada sakitnya diberi harapan palsu. Setidaknya ia tidak akan merasakan berjuang mati-matian tetapi berujung perpisahan menyedihkan.
Sayangnya, Yoga salah memilih.

Harusnya ia sadar perhatian saja tak cukup untuk mendapatkan cinta. Tetapi, Yoga tetap kekeh pada kepercayaan yang ia ciptakan sendiri. Usaha tak akan pernah berhianat.

Yang Yoga tak tahu adalah, cinta tidak akan tumbuh kalau hanya satu saja yang berjuang sementara yang lain cuma memberi harap. Pada akhirnya, Yoga merasakan perihnya ditinggalkan setelah lama merangkai mimpi.

Sekian tahun merajut kasih, namun bukan dirinya yang dijadikan tempat berlabuh.

Miris.

Dulu, Yoga pikir akan mudah melupakan jika sudah mengikhlaskan. Setidaknya meski sulit, ia pasti bisa. Sayang, Yoga lupa jika wanita yang coba ia lupakan justru menikah dengan sepupunya.

"Mas, alamatnya benar, kan?"

Dan seolah semesta tengah mempermainkan dirinya ia kembali bertemu dengan si penyumbang perih.

"Yoga?"

Nayla memandang Yoga dan tuan rumah bergantian. Meski ia penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi mulutnya tak bisa bergerak. Nayla sadar, dirinya hanyalah orang baru di antara mereka.

Namun, satu hal yang pasti, mereka sudah sampai pada alamat yang dituju.

"Silahkan masuk ...."

"Tidak perlu."

Yoga memotong ucapan wanita di depannya lalu memberi tas kertas. Meski tatapan Yoga tampak biasa, tetapi baik Nayla maupun perempuan di hadapan Nayla bisa merasakan keengganan dari laki-laki itu. "Saya cuma mengantar pesanan mas Kenzo. Maaf, saya telat karena berteduh tadi."

Perempuan itu tampak kikuk. Pelan, ia mengambil barang titipan yang diberikan Yoga. "Iya tidak apa-apa. Dan terima kasih."

"Kalau begitu kami permisi."

Yoga bergerak mundur. Ia mengait tangan Nayla untuk menjauh sebelum dihentikan oleh wanita itu.

"Di luar gerimis. Sebaiknya kalian masuk dulu."

"Tidak perlu." Karena Yoga mungkin akan melakukan hal bodoh dengan melepaskan emosinya tanpa sengaja.

"Ta, tapi, kalian bisa sakit."

Saat Yoga ingin menyahut lagi, Nayla sudah mendahuluinya. Gadis itu maju seolah menjadi pelerai.
"Gak apa-apa, Mbak. Kami langsung pulang saja. Setelah ini kami punya tujuan lain. Terima kasih ajakannya."

Nayla tersenyum setelahnya ia menarik tangan Yoga setelah mengubah posisi tangannya. Tanpa dijelaskan pun Nayla bisa merasakan jika antara Yoga dan perempuan itu ada masalah, meski ia tak tahu permasalahan apa itu.

Sayangnya, niat saja tak cukup membuat mereka bisa berlalu dari sana, sebab hujan tiba-tiba turun dengan deras. Mau tak mau mereka terpaksa berteduh di rumah perempuan itu.

Tiga menit berlalu dengan rasa canggung. Nayla melirik Yoga yang tetap bertahan dengan kediamannya sementara Jelita- perempuan yang tadi mempersilahkan mereka masuk menuju dapur untuk membuat minuman.

"Silahkan." kata Jelita sembari menyeduhkan teh hangat. Senyumnya tampak lembut di mata Nayla, tapi entah kenapa Nayla merasa senyum itu menyembunyikan kesedihan ketika menatap Yoga.

"Te, terima kasih."

Hanya Nayla yang menyahut, sementara Yoga tetap diam. Laki-laki itu bahkan tak berniat melihat perempuan itu. Pandangannya justru lebih terarah pada pintu yang memperlihatkan kondisi di luar rumah.

Jelita hanya mengangguk kemudian ikut duduk di sofa depan mereka. Beberapa detik berlalu dengan ditemani sunyi. Tidak ada yang mulai membuka suara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Nayla ingin membuka suara sekedar mencairkan suasana, tetapi lidahnya kelu. Begitu juga perempuan di depannya yang beberapa kali membuka mulut tetapi kemudian kembali mengatup tanpa sepata kata.

Jelita kemudian menatap lurus pada Yoga. Agak ragu ia bertanya pada laki-laki itu. "Bagaimana keadaanmu, Yog?"

Yah, meski perempuan cantik itu juga tampak sangat canggung memulai obrolan.

"Saya baik-baik saja."

Sementara Yoga justru merasa sebaliknya. Laki-laki itu tampak enggan menyahut. Terbukti dengan caranya yang menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan sederhana perempuan di hadapan mereka. Juga matanya yang hanya sekali saja beradu pandang pada gadis itu.

"Omong-omong, apa Rara baik-baik saja?" Jelita mulai membuka obrolan. Senyumnya agak canggung dan jelas sekali ia berusaha terlihat menikmati obrolannya. "Aku dengar minggu lalu kalian pergi ke taman bermain, padahal Rara gak bisa dekat dengan orang lain." 

"Rara baik-baik saja. Tapi, kalau kamu mau tahu keadaannya, kamu bisa hubungi Lingga."

"Ah, begitu ya. Nanti aku hubungi deh. Tapi aku penasaran bagaimana bisa Selena dan Rara gampang dekat sama kamu, padahal mereka susah didekati."

"Karena mereka bisa membedakan mana orang licik dan tulus." Nada bicara Yoga terdengar ringan, tetapi tentu saja Jelita tahu ada sindiran di dalam kata-kata itu yang tertuju padanya. Dan meski begitu, ia juga tak mau menampiknya karena gadis itu tahu mau bagaimana pun penjelasan yang ia berikan, Yoga tak akan mengubah pemikirannya. Bagi Yoga, dirinya adalah orang licik yang sudah memanfaatkan laki-laki itu.

"Kamu benar." sahut Jelita dengan senyum dipaksakan. "Anak-anak bisa merasakan ketulusan dari orang-orang dewasa."

Setelah Jelita mengatakan itu, suasana mereka kembali hening. Hanya suara air hujan yang menjadi musik penggiring mereka.

Nayla yang merasakan kesunyian itu benar-benar tak nyaman. Anak yang tak bisa diam seperti dirinya merasa seperti berada di kutub utara tanpa ada orang lain di sisinya.

"Oh ya Mbak ..." Nayla menatap Jelita dengan ringisan kecil, pasalnya perempuan yang dipanggil Nayla itu nampak tersentak.

"Ah, ya kenapa?"

"Anu, aku boleh numpang ke toilet?"

"Oh, iya silahkan." Kemudian Jelita bangkit berniat mengantar Nayla.

Namun, Nayla langsung menolak. "Tidak apa-apa, Mbak. Jelaskan saja jalannya, biar aku ke sana sendiri." Karena itu hanya akal-akalan Nayla untuk terbebas dari kecanggungan menyesakkan itu.

Sebenarnya sih, Nayla ingin meleburkan suasana itu, tapi ia sadar ada masalah yang perlu kedua orang itu selesaikan. Yah, meski Nayla tidak begitu yakin masalah mereka akan selesai. Mana ada sih masalah yang bisa selesai dalam waktu singkat?

"Kamar mandi tamu sementara di perbaiki jadi hanya kamar mandi dapur saja yang bisa terpakai. Nanti kamu tinggal lurus menuju dapur, di sebelah kiri ada kamar mandi, kamu bisa pakai itu."
Nayla mengangguk kemudian bangkit dan berlalu.

Sepeninggal Nayla, udara di sekitar Jelita dan Yoga masih terasa canggung. Jelita ingin sekali membuka suara duluan, tetapi bibirnya hanya bisa membuka lalu mengatup. Padahal banyak sekali yang ingin Jelita jelaskan sekaligus ... meminta maaf.

"Apa kamu bahagia?"

Untuk sedetik Jelita membelalakkan mata karena terkejut dengan penuturan Yoga yang tiba-tiba sebelum ia menunduk dan meremas bagian bawah bajunya. Sejujurnya ia tidak tahu jawaban seperti apa yang harus ia ungkapkan atas pertanyaan itu. Ia takut jika salah menjawab, Yoga akan kembali sakit hati.

Namun, bukankah Yoga memang sudah sakit hati padanya? Jadi, apapun jawaban yang nanti ia berikan dampaknya akan sama saja. Perasaan Yoga pasti sulit berubah meski ia sudah menjelaskan.

Dengan ragu Jelita mengangguk. Kemudian menyahut pertanyaan Yoga, "Maaf ..." Dengan suara yang lirih, tetapi cukup jelas di telinga Yoga.

Yoga belum membuka suara setelahnya, rasa sakit hati akibat masa lalu mereka masih tertinggal, terlebih dengan jawaban singkat itu. Meki ia ingin sekali merelakan, tetapi hatinya tak mampu. Rasanya seperti mencoba menggenggam pantulan bulan dari air.

"Dulu aku terlalu serakah ..." Jelita perlahan menjelaskan. Suaranya mulai parau dan air mata mulai menetes satu per satu lalu mengalir di kedua pipinya. "Aku tidak bisa kehilangan Mas Leon, tapi juga gak mau memutuskan hubungan kita."

Yoga menarik napas dalam. Memejamkan mata untuk menenangkan diri. Meski ia sudah tahu akan seperti itu jawaban Jelita, ia tetap merasa sakit. Keserakahan perempuan itu membuatnya terluka terlalu dalam.

"Dan pada akhirnya akulah yang kamu korbankan?" Yoga tertawa miris. Nasibnya benar-benar malang. Orang tuanya tiada, kemudian keluarga membuangnya, lalu ketika ia menemukan satu harapan menuju titik terang, justru harapan itulah yang membuatnya semakin tenggelam dalam keterpurukan.

"Aku ...."

"Harusnya kamu memutuskan hubungan kita dari awal dan bukan malah memberikan aku harapan palsu." Yoga memotong ucapan Jelita. Suaranya pelan, banyak sekali emosi yang ia luapkan dalam ucapannya itu. "Kenapa kamu melakukan itu? Apa bagimu aku ini seperti lelucon yang cukup bagus untuk menghibur?"

Jelita menggeleng. Ia menatap Yoga sendu, air matanya kemudian merembes perlahan. "Bukan. Aku tidak pernah menganggap kamu seperti itu."

"Tapi kamu justru melakukan yang sebaliknya."

Jelita menunduk, tidak bisa membalas ucapan Yoga selain kata maaf.

Di sudut lain Nayla yang sudah selesai dengan urusannya di kamar mandi menghentikan kakinya ketika tiba di pembelokan menuju ruang tamu. Suara dua orang itu cukup memberitahu dirinya bahwa mereka telah mulai meluruskan permasalahan itu dan jika ia tiba-tiba muncul maka masalah itu tak akan selesai. Yah, meski masalah itu tak akan benar-benar selesai malam ini, tetapi setidaknya jalan lurus menuju akhir permasalahan sudah dibentuk. Ia kemudian bersembunyi di balik dinding menuju ruang tamu. Menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Ia pun menghentikan asisten rumah tangga yang mau ke ruang tamu dan menyuruhnya kembali.

Lalu pandangannya beralih pada pria yangtiba-tiba memasuki rumah. Laki-laki itu memakai baju olahraga, rambutnya basah, tetapi bajunya tetap kering walaupun hujan di luar masih cukup deras. Dan meski ia melihat Jelita yang tengah tersedu, laki-laki itu tetap tenang dan duduk di samping Jelita dan mengelus bahu perempuan itu.

Nayla tidak tahu siapa laki-laki itu dan ia pun tidak bisa memprediksi siapa laki-laki itu karena sikapnya yang tenang melihat Yoga dan Jelita.

"Ini bukan salah Jelita, Yog." kata lelaki itu dengan tenang. Matanya menatap Yoga sementara tangannya masih mengelus bahu Jelita.

"Leon ...." Jelita mendongak menatap Leon, matanya sendu.

Sementara Yoga memberikan tatapan dingin pada Leon dan Jelita.



Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com