
Aku pernah punya pacar. Seorang pria istimewa—istimewa karena berhasil mengubah kata “hemat” jadi “gaya hidup ekstrem”. Namanya Perta. Tetapi kepanjangannya bukan Pertamina. Kalau iya, mungkin aku bisa dapat gratis isi bensin tiap nge-date.
Kami pertama kali dekat karena sama-sama suka baca buku. Aku pikir dia tipe cowok intelek yang perhatian. Ternyata, dia lebih intelek ngitung pecahan kembalian daripada ngasih perhatian manis.
Contohnya, nge-date pertama kami:
“Sayang, aku ajak kamu dinner mewah ya.”
Aku semangat. Kupakai baju paling cantik. Sampai di tempat... ternyata “mewah” versi Perta adalah warteg yang baru dicat ulang.
“Liat dong, sekarang meja makannya ada taplak, Bi.”
Bi? Dikira babi kali. Aku ingin sekali mengatakan itu. Sayangnya, mulut masih kutahan. Aku lalu mengangguk pelan sambil menatap tumis kangkung di atas meja tanpa minat.
Malam itu kami makan dengan ditemani lagu dangdut yang suara bas-nya bikin gelas di meja getar kayak adegan film Jurassic Park. Untungnya aku cinta, jadi masih bisa kumaklumi.
Meski begitu, bukan berarti Petra tak pernah traktir. Dia pernah ngajak makan sushi. Aku semangat, pikiranku sudah membayangkan salmon melt di lidah. Tapi begitu sampai restoran, Petra keluarkan kupon diskon buy 1 get 1.
“Pesan yang ini aja ya, yang masuk promo. Yang lain kan overprice.”
Dan kami pun makan sushi... satu piring berdua.
Semakin lama, hubunganku terasa seperti program hemat bulanan. Aku bahkan jadi merasa bersalah setiap minta traktir kopi. Petra akan menatapku seolah aku baru saja mengajukan pinjaman KPR.
Tapi puncaknya adalah saat ulang tahunku. Aku berharap ada sesuatu yang spesial. Bukannya berharap pesta kejutan, tapi setidaknya mungkin kue atau makan di tempat yang bukan dekat SPBU.
Tiba-tiba dia bilang, “Aku udah siapin sesuatu buat kamu. Lusa kita ke puncak, yah?”
Wah, aku mulai terharu. Mungkin dia mau ngajak aku ke puncak, lihat matahari terbit, terus ngasih kejutan atau sesuatu yang manis.
Kami muncak dari pagi, capek tapi aku bahagia. Aku benar-benar semangat menantikan hal romantis apa yang akan dia lakukan. Sampai di atas, dia melebar tikar, buka tas carrier-nya... dan mengeluarkan kompor portable.
Aku masih memperhatikan dia dengan jantung berdebar sambil sesekali menikmati pemandangan gunung dan bukit.
Matahari semakin tenggelam dan untungnya aku sudah memasang tenda dan dia juga sudah mengumpulkan kayu bakar. Sisanya hanya menunggu dia menyelesaikan apa yang dia lakukan.
“Tunggu bentar ya, Sayang. Ini spesial ulang tahun kamu.”
Aku mengangguk. Jantungku masih deg-degan. Mungkin dia masak steak? Atau sup jamur ala café? Atau kita makan sambil menikmati matahari terbenam? Aku tidak sabar.
Dan ternyata... Indomie rebus. SATU bungkus. DIBAGI DUA pula.
“Sayang, ulang tahunmu harus hangat. Nih, rasa soto spesial, pakai telur! Tapi telurnya satu juga ya, kita bagi dua biar adil.”
Aku terdiam. Antara mau ketawa atau minta sinyal darurat.
“Kalau kamu ngambek, nanti ku kasih bonus kerupuk. Aku bawa dua, cuma sudah expired kemarin.”
Kukira itu lelucon. Ternyata bukan.
Malam itu, di bawah bintang-bintang dan aroma bumbu instan, aku sadar. Perta bukan hemat. Dia level dewa dalam ilmu pelitologi. Dia bisa bikin liburan romantis terasa kayak acara bertahan hidup.
Tapi anehnya... aku ketawa. Dia memang absurd, tapi tulus. Walau pelit, dia masak sendiri, bawa air naik gunung demi satu mangkuk mie, dan tetap nyanyi lagu “Happy Birthday” dengan suara kayak kucing kesleo.
Beberapa bulan kemudian, kami putus. Bukan karena mie instan, tapi karena dia ngasih aku hadiah Valentine berupa... coklat yang tanggal kadaluarsanya besok.
“Temanku kasi kemarin. Daripada dia buang, mending aku yang ambil. Kan masih bisa dimakan. Ya, kan?”
Dipikir perutku seperti tong sampah yang bisa diisi apa saja.
Tapi sekarang, setiap makan Indomie, aku selalu senyum sendiri. Karena pernah, di puncak gunung yang dingin, aku merayakan ulang tahun dengan mie rebus, kerupuk kedaluwarsa, dan cowok yang lebih cinta saldo e-wallet daripada candlelight dinner.