Fly with your imajination

Showing posts with label Our Promise. Show all posts
Showing posts with label Our Promise. Show all posts

Friday, February 5, 2021

Our Promise : Alland

CH LENGKAP SEBELUMNYA

Tap ... Tap ... Tap ... 

Anne tetap bergeming di tempatnya, merenung dan meratapi apa yang sudah terjadi. Ia yang terlaru larut dalam pikirannya tidak menyadari jika seseorang sedang berjalan mendekati. Bahkan ketika langkah kaki itu kian mendekat, Anne tetap bergeming. Sampai pada saat orang itu duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya barulah ia sadar jika di sana ia tak lagi sendiri. 

“Anne, kau tidak apa-apa?” tanya seseorang dengan nada khawatir yang kentara. Suara seorang laki-laki. Anne tahu suara itu milik siapa, namun enggan untuk berbalik. Ia takut. Barangkali laki-laki itu bukan orang yang ia kenal dan mungkin saja laki-laki itu juga hanya ingin mengerjainya, lagi. 

"Anne?" 

Anne masih kekeh tak berbalik. Ada rasa penasaran yang kian menelusuk namun perasaan takut lebih mendominasi. Hingga orang itu duduk di sampingnya, barulah Anne mau berbalik. 

“Al...Aland?!” Anne terpekik kala mengucapkan satu nama yang dirasanya terlalu mustahil untuk disapa. Dia adalah Aland Ackerley, salah satu murid yang mendapatkan titel sebagai pangeran sekolah sekaligus sahabat dari dalang siksanya. 

“Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau juga ingin mengerjaiku?” Anne tak menyembunyikan rasa sakit kala mengucapkan kalimat bernada pedas dengan sarkas kepada lelaki di sampingnya itu. Ia tahu, tak sekali pun Aland pernah bersikap kasar padanya, bahkan laki-laki itu sendiri pun justru selalu ingin menolong Anne, meski tak ada seorang pun yang tahu, kecuali dirinya sendiri. 

“Tidak.” Aland terlihat menghela. Tanpa menghiraukan perkataan Anne, Aland kembali bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” meski Aland tahu, Anne pasti akan ketakutan, mengingat ia siapa. Tapi, Aland tetap bersih kukuh ingin menyapa sekaligus ingin tahu kondisi gadis itu. 

Aland tahu bahkan seluruh murid sekolah mereka juga tahu kalau dalang dari semua kekacauan yang dialami oleh Anne adalah sahabatnya sendiri. Jadi, wajar saja kalau Anne ketakutan setelah melihatnya berada begitu dekat dengan gadis itu. 

Namun, diluar dugaan Anne malah mengangguk sebagai jawabannya. Meski lemah, tapi, Aland tetap lega, setidaknya Anne tidak lagi berpikir buruk. "Aku baik-baik saja." Anne menyahut sambil menunduk, gadis itu belum mau menatap mata Aland. Bukan karena ia takut karena sujujurnya, perasaan takut yang ia rasa tak pernah mau berlama-lama kala Aland berada dekat dengannya. Aland seolah memberinya kekuatan, entah bagaimana caranya. Anne hanya tak bisa menatap mata lelaki itu. 

"Kau yakin?" 

Anne mengangguk. "Terima kasih untuk kekhawatiranmu." 

"Mmm ...." 

Lalu hening. Tak ada lagi suara yang keluar dari bibir mereka. Hanya desau angin berhembus menghilangkan senyap yang terbentuk di antara mereka. Hening yang tampak menenangkan dan menyenangkan. 

Aland menunggu Anne untuk berbicara. Biasanya orang yang sedih ingin menumpahkan sesaknya dan butuh orang lain untuk mendengarkan.
Namu Anne justru tetap pada diamnya. Gadis itu malah sedang bergelung dalam pikirannya sendiri. Menarka-nerka sebenarnya kesalahan apa yang sudah ia lakukan hingga ia bisa bernasib seperti sekarang. 

“Aland boleh aku bertanya?” suara Anne lirih dan bergetar. Rasa sesaknya tiba-tiba ingin tersalurkan. Ia ingin menumpahkan seluruh emosi yang sedari tadi bergelung dalam benak. Air matanya sudah menggenang di pelupuk dan saling mendesak untuk mengalir, tapi Anne tidak bisa. Gadis itu tetap bertahan pada ketegarannya. Tak ingin orang yang dia suka melihatnya dalam keadaan lemah. 

“Hm. Silahkan.” Aland menyandar di batang pohon yang digunakan Anne untuk menangis, tak memedulikan jika baju putih bersih yang ia kenakan bakal kotor terkena sisa kotoran yang sudah menempel karena Anne. 

“Sebetulnya apa salahku? Kenapa Chaiden memperlakukanku seperti ini?” ujarnya lirih seraya terus menenggelamkan kepala di lekukan lutut dan pahanya─ berupaya menyembunyikan perasaan sedih yang terus menggelayut hati. 

Aland bergeming. Ia terdiam beberapa saat─ tampak menyesal. “Maaf Anne. Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa Aidan melakukan itu padamu.” Dan Aland merutuki diri sendiri karena merasa sudah gagal menjadi seorang sahabat. Seharusnya ia bisa menyadarkan atau setidaknya mencegah sahabatnya untuk berbuat jahat. Sayangnya, ia tak bisa. Ego seorang Aidan terlalu tinggi dan apa pun yang mereka lakukan adalah benar. 

Dan satu hal yang paling disesali oleh Aland adalah, ia pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Anne. Anne bukan siapa-siapanya dan ia pun tak mau dianggap sebagai pahlawan kesiangan dan menjadi musuh bagi sahabatnya. 

"Jadi begitu." 

"Maaf... Aku─" 

"Ini bukan salahmu." cepat-cepat Anne memotong ucapan Aland. Ia tak ingin ada satu kalimat penyesalan yang meluncur dari bibir pemuda itu dan membuat hatinya tersengat rasa bersalah. 

"Tapi, Anne..." 

Anne menggeleng sebagai jawaban. "Tidak apa-apa." 

Lalu hening. Aland dan Anne tak lagi berbicara. Mereka sibuk dengan apa yang ada di benak mereka. 

“Aland..." Anne memulai obrolan kembali setelah beberapa lama mereka terdiam. 

"Ada apa?" Aland menangapi, pandangannya sudah berpaling pada Anne. 

Anne tampak ragu, ia berusaha memantapkan hati kemudian menatap Aland dengan mata almetishnya yang berkaca, "Boleh aku meminta sesuatu?” lalu kembali menundukkan kepala. 

Sejujurnya, Anne takut. Takut dengan kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin ia akan mendapatkan tolakan atau kata-kata kasar. Tapi, tak apa. Entah kenapa ia ingin bertindak egois untuk saat ini. 

“Apa itu Anne?” Aland bertanya sedikit antusias. Apapun yang diinginkan Anne, ia akan berusaha untuk mewujudkan. Asal gadis itu bisa merasa sedikit nyaman dan mengurangi sedikit rasa sedih yang ia rasa. 

Anne melirik Aland sekilas, ada kejut yang terpantul dari binar matanya. Ada lega yang tersalurkan lewat desah nafasnya. Ia tak menyangka Aland mau mengindahkan permintaannya, tidak memarahi atau memakinya karena sudah serakah. 

Anne memejamkan mata, lalu menghembuskan nafas sebelum menatap coklat bening di hadapannya. “Bolehkah aku memelukmu? Hanya untuk sekali ini saja. Mungkin ini permintaanku yang egois, Namun bolehkah aku?” pintanya lirih. Terdengar keraguan saat Anne mengucapkan kalimat itu. Entahlah, Ia sendiri pun tak tahu kenapa tiba-tiba bibirnya menggumamkan kalimat itu pada Aland. Padahal bukan itu yang ingin diucapkannya, ia hanya ingin sendiri dan tak ingin diganggu oleh siapapun, termaksud Aland. Ia ingin menangis di sini, tanpa ada orang yang melihat kelemahannya dan membuat Chaiden bertambah senang. 

Aland bungkam. Tak ada kata-kata yang ia lontarkan sebagai jawaban. Namun, tubuhnya langsung mengindahkan permintaan Anne. Ia meraih kedua pundak Anne, merengkuhnya lalu membawanya dalam dekapan laki-laki itu. Yah, Aland dengan kesadaran penuh memeluk Anne. Laki-laki itu bahkan tak peduli dengan pakaian Anne yang kotor dan bau. Dalam pikirannya hanya satu, yaitu agar Anne bisa merasa nyaman, tak lagi merasa sesak─ meski itu hanya beberapa menit. 

Aland benar-benar merasa kasihan pada Anne. Ia sangat yakin kalau Anne tak pernah melakukan satu kesalahan pun pada Aiden, menyapa saja tak pernah apalagi berbicara. Lalu bagaimana bisa Anne melakukan kesalahan fatal sampai sahabatnya itu berbuat demikan? 

Aland sering memperhatikan Anne. Bagaimana Anne berinteraksi di dalam kelas, bagaimana Anne menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan atau bagaimana saat Anne mengerjakan tugas jika diminta oleh teman kelasnya. Itu seperti kebiasaan yang tanpa sadar dia lakukan. Lalu di antara semua kebiasaan yang gadis itu lakukan, tak satu pun yang bisa membuat seseorang tersinggung. Jadi, kenapa seorang Chaiden Radbert yang terkenal tak peduli pada sesuatu menaruh dendam pada gadis itu dan melampiaskannya dengan cara mem-bully-nya─ meski bukan dengan tangannya sendiri? 

Hati Aland meringis, tat kala serpihan-serpihan kenangan buruk Anne satu-per satu menampakkan diri di dalam kepalanya. Ketika Anne dimaki, ketika Anne dibuangkan sampah, ketika Anne dibuangkan air kotor dan sederet siksa yang gadis itu terima karena perbuatan sahabatnya. 

Dan Aland benar-benar muak dengan keadaan sekolahnya, ia benar-benar muak dengan kelakuan murid-murid sekolahnya, dan ia benar-benar muak dengan sahabatnya sendiri yang mencetuskan pem-bully-an itu. Sayangnya, meski muak, Aland tak memiliki rencana apa-apa untuk menghentikan itu.
Aland menghela nafas, tanpa sadar malah mengeratkan pelukannya. Nanti, ia berjanji dalam hati. Akan tiba saatnya penderitaan Anne akan hilang, dan untuk sekarang ia harus memikirkan rencananya. 

Tapi, omong-omong, kenapa memeluk Anne malah memunculkan satu perasaan nyaman? Terasa menyenangkan meski gadis itu bau. Dan terasa hangat meski baju mereka sudah basah. Niat awal ingin membantu Anne agar sedikit lebih tenang, malah dirinyalah yang merasakan sebuah kenyamanan. 

Sementara, Anne yang di peluk seperti itu oleh orang yang sudah lama ia sukai merasakan sebuah kehangatan. Semua kesedihannya menguap entah kemana. Tak pernah ia duga sebelumnya, jika Aland akan menerima permintaannya. Padahal ia sudah mempersiapkan batinnya kalau-kalau ia di tolak ataupun di maki. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Aland malah memeluknya erat. 

Aland, terima kasih untuk menjadi tempat sandaran, meski ini hanya sementara tapi kau sudah cukup menenangkanku dengan hangat dirimu. Kau bukan matahari pun cahaya, tapi kau bisa memberikan terang pada pikiranku. 

Terima kasih karena sudah menjadi sosok laki-laki yang hadir dalam dinginnya duniaku, terima kasih karena sudah membantuku berlindung dari rinai hujan kepedihan. Kau membantuku tanpa peduli jika aku adalah orang yang dibenci oleh sahabatmu sendiri. Terima kasih... 

Dan maaf, jika aku sudah lancang menyukaimu. Tapi, aku tidak bisa menahan diriku. Kau adalah lelaki yang sudah lama kutunggu, lelaki yang sudah lama kuinginkan. Dan hari ini kau datang padaku dan menawarkan setitik cahaya mentari di balik gelapnya duniakui. Terima kasih. 

Mulai dari sekarang aku tidak akan lagi mengasihani diriku, aku akan berusaha.’ batinnya. 

Anne merasa nyaman dalam dekapan Aland, kesedihan yang dia alami perlahan menguap menyisakan rasa bahagia yang menyeruak hingga ke relung hatinya. Perlahan kedua kelopak matanya tertutup, meresapi kebahagiaan singkat bersama pemuda yang ia cintai. Hingga tanpa sadar dirinya sudah terlelap dalam dekapan pemuda itu. 

“Anne!” Aland memanggil Anne dengan nada yang lembut. Ia tak bisa terus berada dalam posisi seperti ini. Terlalu berbahaya untuk Anne. 

Tapi, tak ada jawaban yang didapatkan Aland, Anne tetap terdiam dalam posisinya seolah sedang meresapi kehangatan yang menguar dari tubuh Aland. 

Lalu perlahan Aland melepaskan dekapannya untuk melihat keadaan Anne. Ternyata, gadis itu rupanya sudah terlelap. Mungkin karena lelah. Lelah dengan semua siksaan yang diterima fisik maupun batinnya.
 
...
Mickey139

CH LENGKAP SEBELUMNYA
Share:

Our Promise - Bully

CH LENGKAP SELANJUTNYA


Byur....
 
Gadis itu terkejut bukan main ketika mendapatkan serangan tiba-tiba dari murid-murid SMA-nya padahal ia masih punya mata pelajaran setelah jam istirahat ini. Ia memejamkan mata, bau dari tubuhnya benar-benar menyengat. Ia jadi ragu baunya akan hilang dalam waktu sehari meskipun dengan sabun yang banyak. Sepertinya air bekas pel yang mereka pakai sudah dicampur dengan air got atau mungkin kotoran binatang hingga memiliki bau menjijikkan yang menyakiti hidung.
 
Seragam sekolahnya yang tadi masih putih bersih jadi kotor. Kepangan rambut indigonya jadi basah dan lepek dipenuhi oleh bekas kotoran dari air pel. Kaca mata bulatnya juga memburam dan membuatnya sulit melihat. Mereka benar-benar tidak punya hati. Bisakah ia menyebut mereka sebagai setan atau mungkin iblis, karena seburuknya manusia, mereka masih bisa mengontrol perilaku, tidak seperti mereka.
 
Gadis yang menjadi korban itu adalah Anne. Adrienne Alexandra, gadis biasa dengan tampilan tidak biasa. Sebut saja ia sebagai seorang kutu buku atau seorang nerd karena gaya berpakaiannya yang sangat eksentris dibanding dengan murid-murid lain di London International High School.
Dengan seragam putih yang terlihat kebesaran, serta cardigan berwarna hitam sebagai luaran juga rok warna senada dengan cardigan menjuntai hingga di bawah lutut juga sepatu putihnya yang sudah terlihat kusam menutupi kaki-kakinya, benar-benar membuat penampilannya berbeda dari pada murid lain.
 
“Ck, dasar sampah.”
 
Anne hanya bisa menunduk di tempatnya. Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. 

Sungguh, ia tidak mengerti dan tidak tahu sebenarnya apa yang sudah ia lakukan hingga dirinya bisa berada dalam situasi mengerikan seperti itu. Menjadi salah satu korban bully dari murid di sekolahnya tak pernah sekalipun terbayang di kepalanya.
 
Anne ingat, awal masuk sekolah semuanya baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun ia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya berada dalam situasi seperti ini. Ia sudah berusaha menjadi murid baik di sekolahnya, bahkan terkadang ia pun membantu teman sekelasnya untuk mengerjakan tugas jika mereka meminta bantuannya.
 
Lagipula, dia juga hanya gadis biasa yang tidak akan pernah dilirik dua kali oleh siapapun, bahkan dia ragu kalau dirinya terlihat oleh yang lain. Lalu kenapa? Mereka juga tidak memberi penjelasan tentang apa salahnya. Tidak ada seorang pun yang memberitahunya.
 
Semua ini berawal ketika ia menginjak kelas dua, entah kenapa tiba-tiba ia menjadi salah satu target bully dan lebih parahnya lagi yang menjadi dalang dari semua itu adalah teman sekelasnya sendiri- salah satu dari− bisa disebut sebagai pangeran sekolahnya. Laki-laki paling diincar dan diinginkan oleh kebanyakan gadis di sekolahnya─ Chaiden Radbert. Laki-laki yang sudah dianugrahi wajah rupawan yang setara dengan Eros sang penakhluk hawa, dengan mata onix kelam yang selalu mengintimidasi, juga kecerdasan yang melebihi anak seusianya, ia juga berasal dari keluarga terhormat yang menjadi salah satu donator sekolahnya.
 
Anne benar-benar tak tahu apa yang sudah ia lakukan pada Aiden, hingga laki-laki itu menyuruh murid-murid di sekolahnya untuk mem-bully-nya. Ia bahkan tak pernah sekali pun merasa pernah mengobrol laki-laki itu. Anne selalu menghindari berinteraksi dengan orang seperti dia. Lalu apa alasannya? 

Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.
 
Dan seolah murid-murid itu hanyalah boneka tanpa jiwa yang dibuat Aiden, mereka menuruti apapun yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Terus dan terus menyakitinya, bahkan tidak sedikit dari mereka malah terlihat bahagia saat melihat dirinya tersiksa.
 
"Ayo pergi."
 
Anne tetap diam setelah mereka pergi.
 
OoO
 
Anne berlari menuju belakang sekolah. Jatuh terduduk tepat di bawah pohon (yang selalu disebut pohon keramat oleh murid-murid di sana) kemudian menumpahkan segala sesak yang bergerumul dalam dada yang tak bisa ia keluarkan sebelumnya.
 
Beberapa potongan kenangan menyakitkan terlintas dalam benak seperti potongan kaset rusak yang terus berulang. Bagaimana mereka memakinya, mengatainya jalang, melemparinya telur busuk yang hampir mengenai matanya, menjambak rambutnya hingga beberapa helai rambutnya tercabut, bahkan air kotor dengan bau menjijikkan pun disiramkan ke tubuhnya.
 
Mereka semua benar-benar jahat. Namun, semua kejahatan itu dilandasi oleh seseorang. Chaiden Radbert, sang Devil Prince.
 
Anne menghela nafas berat, seraya memejamkan mata. Gadis itu berupaya menghilangkan rasa sesak yang masih terus bergerumul dalam dada.
 
Anne, kau harus kuat, mereka tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah kau alami. Bersabarlah! Kau pasti bisa, titahnya pada diri sendiri.
 
Namun, entah rasa sakit itu sudah terlalu berlebihan ia tampung ataukah kebencian perlahan bangkit dari dalam dirinya, Anne tetap tidak bisa menghilangkan rasa sesak yang ia rasa. Air matanya tetap mengucur dari mata abu-abu indahnya, menetes dan turut membasahi roknya yang sudah kotor.
Dan perasaan muak tiba-tiba muncul. Ia lelah terus menerima perlakuan semacam ini, Anne tak kuat lagi untuk terus berpura-pura tegar, tetapi untuk memberontak pun ia tak punya nyali.
 
Setetes air mata lagi-lagi mengalir dari mata. Air mata yang mewakili perasaan putus asa, namun berusaha menguatkan hatinya yang rapuh.
 
Apa yang lebih buruk dari dibenci oleh orang yang tak pernah kita dekati sendiri?
 
...
Mickey139

CH LENGKAP SELANJUTNYA
Share:

Thursday, September 27, 2018

OUR PROMISE 2

Genre: Romance hurt, drama
NARUTO MASASHI KISHIMOTO 

WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
.
.
.
.
.
.

CHAPTER 2 : Setitik Harapan Di Balik Kesedihan


Bel berbunyi, tanda jika pergantian jam tengah berlangsung. Murid-murid yang tadinya berkeliaran, kini satu per satu memasuki kelasnya masing-masing. Terkecuali Hinata dan Naruto yang masih berada di dalam ruang UKS.

Dengan susah payah Hinata bangkit. Meski kepalanya terasa berdenyut, ia tetap berusaha menggapai kacamata yang diletakkan Naruto di tangannya. Ia berpura-pura meraba sesuatu di atas ranjang UKS demi mendapatkan kacamatanya.

Naruto yang melihat kegiatan Hinata dengan cepat mengerti dan tanggap. “Kau mencari kacamatamu, 'kan?" tanyanya. "Kau jangan khawatir. Ada padaku, kok. Tadi aku melepasnya karena kupikir kau tidak nyaman memakainya... tapi sebentar yah, aku membersihkannya dulu." kata Naruto kemudian mengambil kapas yang sudah dia beri air lalu perlahan membersihkan kotoran di kacamata Hinata. Ia kemudian mengeringkannya dengan tissue baru yang lebih kering. "Nah ini lebih baik. Biar kupasangkan." ucapnya kemudian setelahnya langsung memasangkan kacamata tersebut di wajah Hinata.

Hinata yang diperlakukan seperti itu oleh Naruto hanya bisa menunduk. Senang dan bahagia bercampur membuat sesuatu yang hangat mengaliri dadanya. “Te...terima kasih Naruto-kun.” bisiknya lirih disertai gugup. Hinata menyentuh kacamatanya untuk memberikan alasan karena ingatannya tentang ciuman yang diberikan Naruto tiba-tiba terlintas dalam benak. Wajahnya tiba-tiba merona tanpa bisa dia tahan.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"

Hinata tak sempat menikmati lamunannya ketika suara Naruto masuk ke dalam indra pendengarnya. Hinata mengangkat kepalanya guna melihat raut wajah Naruto yang terlihat enggan bertanya namun juga terlihat penasaran untuk mengungkapkan. "Silahkan..."

"Kau merasa nyaman dengan kaca mata itu? Kau tidak mau menggantinya dengan yang lebih kecil? Maksudku, kan banyak kacamata yang lebih kecil dan lebih bagus, kau tidak ingin menggantinya?"

Naruto tak berniat untuk menyinggung Hinata, ia hanya penasaran. Dan kalau Hinata bersedia, Naruto sangat bersedia untuk membelikannya. Asal ia bisa kembali melihat wajah Hinata yang lebih baik. Dan barangkali saja setelah gadis itu mengganti kacamatanya, ia tak akan lagi kena bully dan malah berganti jadi disanjung karena kecantikan yang dia miliki.

“Aku tidak bisa.”

Satu kening Naruto terangkat. Jawaban Hinata mengindikasikan kalau sebenarnya ia bisa, hanya saja karena alasan tertentu ia tak bisa.

"Kenapa?"

Hinata diam, tak menyahut. Gadis itu hanya menunduk dan tak mau menatap Naruto.

"Begitu yah? Padahal akan lebih baik kalau kau memakai kaca mata yang lebih kecil dan tidak menutupi sebagian dari wajahmu. Kan sayang wajahmu sangat cantik, tapi tertutupi oleh kaca mata itu.” tutur Naruto tak memperdulikan reaksi Hinata yang semakin menunduk dalam. Ia ingin memancing reaksi Hinata terutama pada ekspresi gadis itu.

Tapi sayang, Hinata tetap menunduk hingga Naruto tidak bisa menatap ekspresi gadis itu.

"Aku tetap tidak bisa." ungkap Hinata dengan suara yang kecil. Ia berusaha menenangkan degupan jantungnya yang berhasil menggila di dalam sana akibat perkataan Naruto barusan. "Kacamata ini sangat berharga dan aku tidak bisa melepaskannya."

Naruto mengangguk, namun tak menunjukkan ingin menyerah. "Tapi Hinata, mungkin saja mereka tidak akan mem-bully-mu lagi. Aku─"

“Meski begitu, aku tetap tak bisa.” Hinata memotongnya cepat. Ia mendongak hanya untuk memperlihatkan ekspresi kesungguhannya pada Naruto sekaligus ingin membungkam bibir pemuda itu agar tak lagi bersuara atau mengeluarkan pendapatnya yang mungkin saja akan membuatnya tergoda dan mempertimbangkan untuk melakukannya.

Melihat kesungghan Hinata, Naruto tak lagi bertanya. Ia menutup rapat kedua bibirnya untuk tak mengeluarkan sepatah kata yang bisa membuat Hinata tersinggung dan barangkali akan mengusirnya dari sana.

Sumber gambar : Pinterest
.
OoO

Koridor itu sudah sepi, tak ada seorang pun yang berani berlalu lalang di jam pelajaran seperti ini. Peraturan yang dibuat untuk para siswanya sangat ketat. Ada penjaga yang biasanya berkeliling dan jika terlihat satu siswa tanpa alasan sedang berkeliaran di sekitaran sekolah, maka penjaga sekolah tersebut akan memberikan hukuman tegas.

Sumber gambar : Pinterest

Adalah Guy-sensei yang menjadi pengawas. Guru itu tak akan segan-segan menyuruh mereka berlari memutari lapangan sampai seratus putaran tak peduli jika ia adalah perempuan. Hukum adalah muthlak di sekolah itu. Dan hukuman yang paling berat sekaligus yang murid-murid itu takuti adalah datang di saat jam sekolah belum masuk dan membersihkan seluruh sekolah atau memanggil orang tua mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, sepertinya hanya mereka berdua saja yang sangat berani melanggar peraturan tersebut. Naruto dan Hinata berjalan tanpa mau repot-repot peduli dengan guru Guy yang bisa sewaktu-waktu muncul di hadapan mereka. Mereka tidak peduli pada pandangan tiap-tiap murid yang tanpa sengaja melihat mereka dari dalam kelas, atau guru yang sedang mengajar.

Hinata hanya menunduk sementara Naruto malah berjalan dengan percaya diri. Kombinasi buruk, seperti Naruto adalah majikan sementara Hinata ada upik abu yang buruk rupa. Seperti itulah pikiran dari murid-murid yang iri pada Hinata.

Di tengah jalan menuju kelas, Naruto menghentikan langkahnya lalu menatap Hinata dengan alis yang tertaut dalam hingga menghasilkan kerutan di dahinya. Ia mengendus bau mereka. Tubuh bau kotoran yang menusuk. Tidak mungkin mereka mengikuti pelajaran dengan bau seperti itu. Bisa-bisa siswa-siswi kelasnya tidak akan berkonsentrasi. Lalu bukan tidak mungkin jika guru yang mengajar akan mengusir mereka bahkan akan menghukum mereka. Maka dari itu, ia kemudian membawa Hinata ke toilet perempuan di ruang olahraga mereka setelah mengambil pakaian olahraga Hinata di lokernya.

Naruto berdiri bersandar di balik pintu toilet dan menunggui Hinata yang sedang membersihkan tubuhnya. Beberapa menit berlalu, Naruto mendengar suara tapak sepatu dari beberapa orang. Tidak lama, ia melihat beberapa murid perempuan berseragam olahraga berjalan ke arahnya.

Tak ingin ditanya macam-macam, apalagi jika sampai mereka tahu kalau Hinata berada di dalam dan kembali berulah pada Hinata, tanpa berpikir lebih lama, Naruto segera memasuki toilet tempat Hinata membersihkan tubuhnya dan langsung membekap mulut Hinata yang tengah terkesiap bahkan hampir mengeluarkan suara pekikan karena ulahnya.

"Sssssttt... tenanglah, Hinata-chan. Aku tidak akan berbuat aneh-aneh. Di luar ada beberapa siswa yang sering mengganggumu. Jadi, kau harus tenang dan jangan bersuara, yah?!" bisiknya di sisi telinga kiri Hinata.

Hinata mengangguk paham. Tapi, pemahaman itu hanya berasal dari kepalanya saja, karena nyatanya bagian tubuhnya yang lain tidak sepaham sama sekali, terutama pada jantungnya. Sejak Naruto masuk hingga mendekapnya sampai sekarang, tidak sedetik pun jantungnya berdetak dengan normal. Apalagi, ketika deru nafas Naruto berhembus hingga sisi telinga kirinya. Posisi ini benar-benar sangat bahaya untuk kesehatan jantung Hinata.

Kreeek...

Naruto dan Hinata tersentak, jantung keduanya semakin berdebar kencang. Entah pengaruh dari suara gagang pintu yang ingin dibuka oleh siswi yang dimaksud Naruto, atau karena posisi mereka berdua yang terbilang sangat rawan.

"Tidak bisa dibuka." ujar siswi tersebut dari balik pintu.

"Mungkin pintunya rusak." salah satunya menyahut.

"Ck, seharusnya ada keterangannya, kan." dan yang lain tidak terima

"Ingat hanya lima belas menit, kalau tidak sensei akan menghukum kita." kata yang lain lagi.

"Ya sudah, lebih baik toilet yang lain saja. Tunggu mereka sampai keluar." kata suara yang pertama kali Hinata dan Naruto dengar.

"Lagian, tumben-tumbennya pintu toilet ini rusak dan tidak ada yang langsung perbaiki."

"Hello, ingat waktu kita yang sedikit? Kalian tidak mau dihukum, bukan? Jadi, tidak usah mengomel karena pintu ini, oke."

Hinata menghela nafas karena tidak ada lagi yang berusaha membuka pintu. Tetapi kemudian berubah panik beberapa detik setelahnya saat merasakan milik Naruto yang mengeras.

Naruto memberi kode lewat gerakan bibirnya, agar Hinata tetap tenang dan mengabaikan apa yang terjadi di bawah sana. Setelah ia tidak merasakan keberadaan para siswi itu di toilet, Naruto kemudian mundur selangkah dan berbalik lalu memberikan handuk pada Hinata.

“Terima kasih, Naruto-kun.” ujar Hinata dengan suara yang sangat kecil.

Naruto mengangguk singkat, meski ia sangat sulit berkonsentrasi pada keadaannya sekarang, ia tetap memfokuskan indra pendengarnya pada suara tapak kaki siswi-siswi itu.

Setelah dirasa sudah aman, perlahan Naruto membuka pintu toilet dan mengintip di celah-celah pintu untuk melihat suasana di luar toilet.

“Sudah aman Hinata, mereka sudah pergi. Aku akan menunggumu di luar. Cepatlah memakai baju agar kita bisa segera keluar dari sini!” titah naruto. Laki-laki itu tak ingin berlama-lama di dalam sana apalagi dengan kondisi Hinata yang terlalu menggoda. Bisa-bisa mereka akan absen lama dalam mata pelajaran, bahkan tak akan masuk sampai pergantian jam nanti. Waktu di UKS saja dia mencium Hinata yang sedang tertidur, apalagi sekarang yang keadaannya terlalu sayang untuk dilewatkan.

Sumber gambar : Pinterest

OoO

Mereka berdua sekarang tengah berjalan menuju ke kelas bersama. Setelah berada di depan pintu, baik Hinata maupun Naruto merasa ragu untuk masuk pasalnya mereka sudah terlambat lebih dari setengah waktu mata pelajaran itu.

Naruto kemudian memberanikan diri untuk masuk terlebih dahulu.

Naruto mengetuk pintu sebelum masuk. Murid-murid di dalam kelas melihat mereka termasuk dengan guru yang sedang menjelaskan materi.

“Ano... Sensei maaf kami terlambat! Apa boleh kami masuk?” tanya Naruto. Mereka berdua sekarang menjadi objek perhatian di kelas itu.

Sumber gambar : Pinterest

Hinata yang dipandangi oleh teman-teman kelasnya merasa risih. Berbeda dengan Naruto yang tampak tak peduli. Pandangan mereka seakan-akan ingin mengulitinya hidup-hidup. Hinata mengerti kenapa mereka memandanginya seperti itu. Ia yang notabenenya hanya seorang gadis berpenampilan jelek masuk ke kelas bersama dengan salah seorang pangeran mereka.

“Dari mana saja kalian? Kalian tahu, kan dari tadi sudah jam pelajaran berlangsung, kenapa kalian baru muncul? Dan lagi, ada apa dengan pakaianmu Hinata? Di mana seragammu? Kenapa kau memakai pakaian olah raga? Kau juga Naruto?” Tanya sensei mereka yang otomatis membuyarkan pikiran Hinata.

“Gomenasai sensei, tadi saya tidak sengaja menumpahkan minuman saya ke Hinata dan membuat baju Hinata kotor dan berbau, jadi saya menemani Hinata untuk mengganti seragamnya. Sedangkan seragam saya kotor karena tidak sengaja terkena air pel, ketika saya jatuh.” Kilah Naruto. Ia tahu jika ia jujur, maka Hinata akan mendapat masalah dari murid-murid lain yang suka membullynya dan lagi pasti sahabatnya akan mendapatkan masalah.

“Ya sudah, apa boleh buat. Kalian boleh masuk. Tapi ingat! Jangan pernah mengulangnya lagi.” guru itu memperingati dengan nada tegas.

Baik Naruto dan Hinata merasa legah karena sudah diberi kesempatan. Mereka berdua tersenyum dan menyahur bersama, “Haik” setelahnya mereka membungkuk dan kembali ke bangku mereka masing-masing.

Selanjutnya, proses belajar kembali dilakukan dalam keadaan hening. Para murid yang berada di dalam kelas tak satu pun bersuara kecuali guru. Namun, jika diperhatikan secara seksama, sepertinya hanya sebagian saja yang mendengar penjelasan tersebut. Entah mereka masih memikirkan kejadian barusan ataukah karena hal yang lain. Yang jelas, di dalam benak Hinata hanya satu kesimpulan yang bisa ia dapatkan, mereka akan semakin membenci dirinya. Apalagi karena istirahat tadi Naruto menggendongnya seperti putri dalam kisah dongeng. Bagaimana bisa mereka tidak akan membenci Hinata?

OoO

Dalam kesibukan belajar di sekolah, hanya dua hal yang bisa membuat wajah murid-murid menjadi berseri-seri. Yang pertama adalah jam istirarat dan yang kedua adalah saat bel pulang sekolah berbunyi. Hampir semua penghuni sekolah itu bersiap-siap melangkahkan kaki mereka untuk segera meninggalkan sekolah. Termasuk dengan Hinata. Gadis itu dengan senang hati melangkahkan kakinya untuk segera pulang. Rasa penat, lelah, dan sakit di hatinya ingin segera ia hilangkan agar tidak menjadi beban dan membuatnya terkena penyakit hati. Yah, meski tidak dipungkiri, jika ia juga merasa sakit hati dan ingin membalas. Tapi, ia sadar siapa dirinya dan hanya sabar saja yang bisa ia lakukan. Toh, nanti jika mereka sudah lelah memperlakukannya buruk, mereka akan berhenti.

Sayangnya, belum ia melangkahkan kakinya keluar, tangannya sudah ditarik paksa oleh salah satu murid yang menunggunya. Mereka membawanya ke belakang gudang yang tak pernah lagi digunakan. Dan dengan sangat keras mereka membantingnya hingga ia terjerembab dan menghantam tanah yang ia pijaki.

Hinata meringis nyeri saat melihat lutut dan dengkulnya terluka dan mengeluarkan darah. Ia berusaha duduk dan mendongak menatap beberapa pasang mata yang menatapnya sinis, juga benci. Hinata ingin sekali melawan, sayangnya rasa takutnya lebih mendominasi dan yang bisa ia lakukan hanya menunduk dan menunggu sampai mereka puas menyiksanya dan membiarkan dirinya untuk pulang.

Hinata benar-benar tidak mengerti, mengapa ia harus mendapatkan siksa seperti ini. Dan ia tak tahu sampai kapan ia harus diperlakukan layaknya sampah. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak tahu apa yang sudah ia perbuat. Tidak seorang pun yang memberitahunya alasan itu. Yang ia tahu hanyalah pada bulan ketiga di semester awal kelas dua, mereka mulai menyiksanya dan pelakunya sendiri adalah Sasuke, teman sekelasnya sendiri, teman masa kecilnya, dan sahabat dari orang yang ia sukai.

Hinata tak pernah bertanya, kenapa. Ia juga tidak mau mencari tahunya, karena ia tahu bagaimana sifat laki-laki itu. Ia pasti akan lebih menyiksa Hinata jika laki-laki itu merasa Hinata akan melawan.

"Hei Bitch, angkat kepala busukmu itu!"

Hinata tersentak saat salah seorang dari mereka meyentak rambutnya hingga kepalanya mendongak menatap seorang perempuan yang ia tahu bernama Shion.

"Dengar! Jangan karena Naruto-kun sudah berbaik hati padamu, lalu kau merasa dia menyukaimu."

Hinata menggeleng. Ia sadar diri dengan keadaannya. Tidak mungkin Naruto bisa menyukainya, sementara ia tahu kalau di dalam hati laki-laki itu sudah tertancap kuat nama perempuan lain.

"Seharusnya kau tahu di mana tempatmu. Sampah, selamanya tempatnya adalah di tempat sampah. Dan jangan bermimpi sampah sepertimu akan di lirik oleh seorang pangeran. Sadarilah posisimu!"

"Ti...tidak. A...aku tidak merasa seperti itu. Na-Naruto-kun- ah!"

"Jangan menyebut namanya sok akrab begitu Bitch!"

Hinata semakin meringis ketika perempuan itu semakin menjambak rambutnya. Ia berusaha melepas tangan perempuan itu dari rambutnya. “Go-gomenasai, tolong lepaskan rambutku, i...itu sakit…”

“Ck, ini adalah pelajaran untukmu karena berusaha mendekati Naruto-kun.” Ucapnya sambil mendongakkan wajah Hinata agar melihatnya.

“Ti...tidak. Kau salah paham. A...aku tidak pernah mendekati, Naru-"

Plak

Hinata menyentuh ujung bibirnya yang sobek karena tamparan yang ia terima. Lalu kembali meringis saat wanita itu dengan paksa membuat Hinata mendongak dan menatapnya.

"Sudah kubilang, kan jangan sebut namanya dengan mulut kotormu itu!"

“Ku..mohon, lepaskan. Ini...sakit” suara Hinata semakin lirih. Rasa sakit yang ia rasa sudah terlalu berlebihan untuk ditanggung oleh tubuhnya yang kecil dan lemah. Namun, mereka sepertinya belum puas, dan Hinata tidak tahu sampai kapan kesadarannya bisa menahan sakit itu.

"Ck, baru segitu." lalu Shion melepaskan tangannya dari rambut Hinata dengan keras dan lagi-lagi membuat Hinata tersentak ke depan hingga membuat keseimbangan Hinata hilang, lalu kembali terjerembab di tanah.

"Oke guys, sepertinya hime kita ini tidak ingin berlama-lama dengan kita." kata perempuan itu sambil menyeringai. "Lagipula, aku juga sudah muak melihat muka busuknya itu.” serunya dan tidak lama kemudian beberapa murid yang lain datang dan membawa ember yang diduganya berisi air kotor.

Beberapa detik setelahnya, Hinata kembali merasakan air kotor. Air itu sangat bau. Bahkan jauh lebih parah dari yang tadi pagi. Dan Hinata yakin kalau air itu pasti berasal dari selokan sekolahnya.

“Rasakan sampah… menjijikan, tak tahu diri! Sampah memang seharusnya diperlakukan layaknya sampah. Dibuang, diinjak, dan dimusnahkan.” Mereka kembali memakinya bahkan meludahi puncak kepala Hinata. Gadis itu hanya bisa menelan ludah sakit sambil menahan tangis yang sebentar lagi akan berderai dari mata almetish-nya. Hinata Ingin sekali melawan mereka, tapi apa daya ia hanya gadis biasa yang lemah. Alhasil, yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata dan berusaha menahan rasa sakit di tubuhnya, sambil menunggu sampai mereka bosan dan membiarkannya seperti yang lalu-lalu.

“Kau itu hanya sampah bagi sekolah ini. Tidak pantas untuk mendekati pangeran kami.” lagi. Mereka kembali menghinanya.

"Aku heran, kenapa pihak sekolah masih mempertahankan sampah sepertimu di sekolah? Apa mereka tidak takut nanti banyak murid yang tertular penyakit?"

"Ck, aku rasa ibunya yang pelacur itu sudah memberikan servis kepada pihak sekolah."

"Hahaha, kau benar."

Sakit.

Hinata memeras baju bagian dadanya ketika mereka kembali memberinya sebuah hinaan. Hinaan yang lebih menyakitkan dari sekedar kekerasan fisik yang ia terima.

"Jangan menyebut ibuku pelacur!!!"

Plak.

"Ibumu memang seorang pelacur, Jalang. Apa namanya kalau kalian hidup dari makanan yang kalian dapatkan di tempat prostitusi, ha?"

Tidak.

Mereka salah. Hinata dan ibunya tidak pernah melakukan hal menjijikkan seperti itu. Meski ia bekerja part time di klub dekat kontrakan mereka, ia tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa menurunkan derajat mereka.

"Tidak."

"Diam pelacur."

"Karin lebih baik kita kurung ia di dalam sekarang."

Deg

Jantung Hinata semakin berdebar ketika salah satu di antara mereka memberikan saran itu. Lebih baik mereka menyiksanya secara fisik dari pada ia harus di kurung di tempat yang gelap. Hinata benar-benar takut. Dan ia punya trauma yang sampai sekarang tidak bisa hilang di tempat yang gelap.

"Ku...kumohon jangan lakukan itu."

Hinata memohon, tapi tak seorang pun di antara mereka ada yang mau mendengarkan. Mereka justru menyeretnya masuk ke dalam gudang tua dan menguncinya dari luar.

"Tolong, buka pintunya!!!"

Dan meski ia meronta dengan derai air mata, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin menolongnya. Mereka justru tertawa dan menikmati penderitaan yang mereka perbuat pada Hinata.

"Itu akibatnya jika kau berani mendekati salah satu pangeran kami.” sahut salah satu di antara mereka sebelum meninggalkan Hinata di dalam sana. Sendirian.

Sementara Hinata di dalam gudang terus meronta, mendobrak, dan berteriak, berharap ada seseorang yang memiliki hati mendengarnya dan menolongnya untuk ke luar dari sana. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Di sana tidak ada lampu yang bisa menerangi ruangan itu, tidak juga celah atau kisi-kisi dari dinding agar cahaya bisa menerobos masuk. Hanya ada kegelapan yang pekat dan samar-samar suara desau angin dari luar.

“Tolong!”

Sekali lagi ia berteriak. Dengan frustasi dan harapan yang besar pada tiap suara yang ia keluarkan.

"Siapapun, kumohon tolong aku."

Dan kembali hanya kesunyian dan gelapnya ruangan itu yang menyahutnya.

“Naruto-kun tolong aku!” Lirihnya sebelum jatuh pingsan.

Hinata
Sumber gambar : Pinterest
Share:

Thursday, September 20, 2018

Our Promise


Setiap kali kulihat senyummu. Senyum itu seakan mengikat kuat dadaku, merebut setiap nafasku, dan menghentikan aliran darahku.


Pair : Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, gaje dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by

Mickey139

Chapter 1 : Pertolongan Naruto

Byur....

Gadis itu terkejut bukan main ketika mendapatkan serangan tiba-tiba dari murid-murid SMA-nya padahal ia masih punya mata pelajaran setelah jam istirahat ini. Ia memejamkan mata, bau dari tubuhnya benar-benar menyengat. Ia jadi ragu baunya akan hilang dalam waktu sehari meskipun dengan banyak sabun yang ia pakai. Sepertinya air bekas pel yang mereka pakai sudah dicampur dengan air got atau mungkin kotoran binatang hingga memiliki bau menjijikkan yang menyakiti hidung.

Seragam sekolahnya yang tadi masih putih bersih pun jadi kotor. Kepangan rambut indigonya jadi basah dan lepek dipenuhi oleh bekas kotoran dari air pel. Kaca mata bulatnya juga memburam dan membuatnya sulit melihat. Mereka benar-benar tidak punya hati. Bisakah ia menyebut mereka sebagai setan atau mungkin iblis, karena seburuknya manusia, mereka masih bisa mengontrol perilaku, tidak seperti mereka.

Gadis yang menjadi korban itu adalah Hinata. Hyuga Hinata, gadis biasa dengan tampilan tidak biasa. Sebut saja ia sebagai seorang kutu buku atau seorang nerd karena gaya berpakaiannya yang sangat eksentris dibanding dengan murid-murid lain di Konoha Gakuen.

Dengan seragam putih yang terlihat kebesaran, serta kardigan berwarna hitam sebagai luaran dan rok hitam yang menjuntai hingga di bawah lutut juga sepatu putihnya yang sudah terlihat kusam menutupi kaki-kakinya, benar-benar membuat penampilannya berbeda dari pada murid lain.

Hinata terus terdiam, menunduk di tempatnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan perlakuan keji yang mereka lakukan. Ia tidak mengerti dan tidak tahu sebenarnya apa yang sudah ia lakukan hingga membuat dirinya berada dalam situasi mengerikan seperti ini. Menjadi salah satu korban bully dari murid di sekolahnya tak pernah sekalipun terbayang di kepalanya.

Hinata ingat, awal masuk sekolah semuanya baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun ia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya berada dalam situasi seperti ini. Ia sudah berusaha menjadi murid baik di sekolahnya, bahkan terkadang ia pun membantu teman sekelasnya untuk mengerjakan tugas jika mereka meminta bantuannya.

Lagipula dia hanya gadis biasa yang tidak akan pernah dilirik dua kali oleh siapapun, bahkan dia ragu kalau dirinya terlihat oleh yang lain. Lalu kenapa? Mereka juga tidak memberi penjelasan tentang apa salahnya. Tidak ada seorang pun yang memberitahunya.

Semua ini berawal ketika ia menginjak kelas XI, entah kenapa tiba-tiba ia menjadi salah satu target bully dan lebih parahnya lagi yang menjadi dalang dari semua itu adalah teman sekelasnya sendiri- salah satu dari− bisa disebut sebagai pangeran sekolahnya, laki-laki paling diincar dan diinginkan oleh kebanyakan gadis di sekolahnya. Laki-laki itu adalah Uchiha Sasuke. Laki-laki yang sudah dianugrahi wajah rupawan yang setara dengan Eros sang penakhluk hawa, dengan mata onix kelam yang selalu mengintimidasi, juga kecerdasan yang melebihi anak seusianya, ia juga berasal dari keluarga terhormat yang menjadi salah satu donator sekolahnya.

Hinata benar-benar tak tahu apa yang sudah ia lakukan pada Sasuke, hingga laki-laki itu menyuruh murid-murid di sekolahnya untuk mem-bully-nya. Ia bahkan tak pernah sekali pun merasa pernah mengobrol padanya. Hinata selalu menghindari berinteraksi dengan orang seperti dia. Lalu apa alasannya?

Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Dan seakan murid-murid itu hanyalah boneka tanpa jiwa yang dibuat oleh Sasuke, mereka menuruti apapun yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Terus dan terus menyakitinya, bahkan tidak sedikit dari mereka malah terlihat bahagia saat melihat dirinya tersiksa.



OoO

Hinata berlari menuju belakang sekolah. Jatuh terduduk tepat di bawah pohon (yang selalu disebut pohon keramat oleh murid-murid di sana) kemudian menumpahkan segala sesak yang bergerumul dalam dada yang tak bisa ia keluarkan sebelumnya.

Beberapa potongan kenangan menyakitkan terlintas dalam benak seperti potongan kaset rusak yang terus berulang. Bagaimana mereka memakinya, mengatainya jalang, melemparinya telur busuk yang hampir mengenai matanya, menjambak rambutnya hingga beberapa helai rambutnya tercabut, bahkan air kotor dengan bau menjijikkan pun disiramkan ke tubuhnya.

Mereka semua benar-benar jahat. Namun, semua kejahatan itu dilandasi oleh seseorang. Uchiha Sasuke, sang Devil Prince.

Hinata menghela nafas berat, seraya memejamkan mata. Gadis itu berupaya menghilangkan rasa sesak yang masih terus bergerumul dalam dada.

Hinata, kau harus kuat, mereka tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah kau alami. Bersabarlah! Kau pasti bisa. Titahnya pada diri sendiri.

Namun, entah rasa sakit itu sudah terlalu berlebihan ia tampung ataukah kebencian perlahan bangkit dari dalam dirinya, Hinata tetap tidak bisa menghilangkan rasa sesak yang ia rasa. Air matanya tetap mengucur dari mata almetish indahnya, menetes dan turut membasahi roknya yang sudah kotor.

Dan perasaan muak tiba-tiba muncul. Ia lelah terus menerima perlakuan semacam ini, Hinata tak kuat lagi untuk terus berpura-pura tegar, tetapi untuk memberontak pun ia tak punya nyali.

Setetes air mata lagi-lagi mengalir dari mata. Air mata yang mewakili perasaan putus asa, namun berusaha menguatkan hatinya yang rapuh.

Apa yang lebih buruk dari dibenci oleh orang yang tak pernah kita dekati sendiri?



OoO

Tap... Tap... Tap...

Hinata tetap bergeming di tempatnya, merenung dan meratapi apa yang sudah terjadi. Ia yang terlaru larut dalam pikirannya tidak menyadari jika seseorang sedang berjalan mendekatinya. Bahkan ketika langkah kaki itu kian mendekat, Hinata tetap bergeming. Sampai pada saat orang itu duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya barulah ia sadar jika di sana ia tak lagi sendiri.

“Hinata, kau tidak apa-apa?” tanya seseorang dengan nada khawatir yang kentara. Suara seorang laki-laki. Hinata tahu suara itu milik siapa, namun enggan untuk berbalik. Ia takut. Barangkali laki-laki itu bukan orang yang ia kenal dan mungkin saja laki-laki itu juga hanya ingin mengerjainya, lagi.

"Hinata?"

Hinata masih kekeh untuk tak berbalik. Ada rasa penasaran yang kian menelusuk namun perasaan takut lebih mendominasi. Hingga orang itu duduk di sampingnya, barulah Hinata mau berbalik.

“Na...Naruto-kun!” Hinata terpekik kala mengucapkan satu nama yang dirasanya terlalu mustahil untuk disapa. Dia adalah Uzumaki Naruto, salah satu murid yang mendapatkan titel sebagai pangeran sekolah sekaligus sahabat dari dalang siksanya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau juga ingin mengerjaiku?”

Sakit. Itu yang Hinata rasakan kala mengucapkan kalimat bernada pedas dengan sarkas kepada lelaki di sampingnya itu. Ia tahu, tak sekali pun Naruto pernah bersikap kasar padanya, bahkan laki-laki itu sendiri pun justru selalu ingin menolong Hinata, meski tak ada seorang pun yang tahu, kecuali dirinya sendiri.

“Tidak.” Naruto terlihat menghela. Tanpa menghiraukan perkataan Hinata, Naruto kembali bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” meski Naruto tahu, Hinata pasti akan ketakutan, mengingat ia siapa. Tapi, Naruto tetap bersih kukuh ingin menyapa sekaligus ingin tahu kondisi gadis itu.

Naruto tahu bahkan seluruh murid sekolah mereka juga tahu kalau dalang dari semua kekacauan yang dialami oleh Hinata adalah sahabatnya sendiri. Jadi, wajar saja kalau Hinata ketakutan setelah melihatnya berada dekat dengan dirinya.

Namun, diluar dugaan, Hinata malah mengangguk sebagai jawabannya. Meski lemah, tapi, Naruto tetap lega setidaknya Hinata tidak berpikir buruk.

"Aku baik-baik saja." sahut Hinata. Entah kenapa perasaan takut yang ia rasa tak pernah mau berlama-lama kala Naruto berada dekat dengannya. Naruto seolah memberinya kekuatan, entah bagaimana caranya.

"Terima kasih."

"Mmm..."



Lalu hening. Tak ada lagi suara yang keluar dari bibir mereka, hanya desau angin yang berhembus menghilangkan senyap yang terbentuk di antara mereka. Hening yang tampak menenangkan dan menyenangkan.

Naruto menunggu Hinata untuk berbicara. Biasanya orang yang sedih ingin menumpahkan sesaknya dan membutuhkan orang lain yang bisa mendengarkannya.

Sementara Hinata, gadis itu sedang bergelung dalam pikirannya sendiri. Menarka-nerka sebenarnya kesalahan apa yang sudah ia lakukan hingga ia bisa bernasib seperti sekarang.

“Naruto-kun boleh aku bertanya?” suara Hinata lirih dan bergetar. Rasa sesaknya tiba-tiba ingin tersalurkan. Ia ingin menumpahkan seluruh emosi yang sedari tadi bergelung dalam benak. Air matanya bahkan sudah menggenang di pelupuk dan saling mendesak untuk mengalir, tapi Hinata tidak bisa. Gadis itu tetap bertahan pada ketegarannya. Tak ingin orang yang dia sukai melihatnya dalam keadaan lemah.

“Hm. Silahkan.” Naruto menyandar di batang pohon yang digunakan Hinata untuk menangis, tak memedulikan jika bajunya yang putih bersih bakal kotor terkena sisa kotoran yang sudah menempel karena Hinata.

“Sebetulnya apa salahku? Kenapa Uchiha-san memperlakukanku seperti ini?” ujarnya lirih seraya terus menenggelamkan kepala di lekukan lutut da pahanya─ berupaya menyembunyikan perasaan sedih yang terus menggelayut hati.

Naruto bergeming. Ia terdiam beberapa saat─ tampak menyesal. “Maaf Hinata! Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa Teme melakukan itu padamu.” dan Naruto merutuki diri sendiri karena merasa sudah gagal menjadi seorang sahabat. Seharusnya ia bisa menyadarkan atau setidaknya mencegah sahabatnya untuk berbuat jahat. Sayangnya, ia tak bisa. Ego seorang Uchiha terlalu tinggi dan apa pun yang mereka lakukan adalah benar.

Dan satu hal yang paling disesali oleh Naruto adalah, ia pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Hinata. Hinata bukan siapa-siapanya dan ia pun tak mau dianggap sebagai pahlawan kesiangan dan menjadi musuh bagi sahabatnya.

"Jadi begitu."

"Maaf... Aku─"

"Ini bukan salahmu." cepat-cepat Hinata memotong ucapan Naruto. Ia tak ingin ada satu kalimat penyesalan yang meluncur dari bibir pemuda itu dan membuat hatinya tersengat rasa bersalah.

"Tapi, Hinata..."

Hinata menggeleng sebagai jawaban. "Tidak apa-apa."

Lalu hening. Naruto dan Hinata tak lagi berbicara. Mereka sibuk dengan apa yang ada di benak mereka.

“Naruto-kun," Hinata memulai obrolan kembali setelah beberapa lama mereka terdiam.

"Ada apa?" Naruto menangapi, pandangannya sudah berpaling pada Hinata.

Hinata tampak ragu, ia berusaha memantapkan hati kemudian menatap Naruto dengan mata almetishnya yang berkaca, "Boleh aku meminta sesuatu?” lalu kembali menundukkan kepala.

Sejujurnya, Hinata takut. Takut dengan kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin ia akan mendapatkan tolakan atau kata-kata kasar. Tapi, tak apa. Entah kenapa ia ingin bertindak egois untuk saat ini.

“Apa itu Hinata?” Naruto bertanya sedikit antusias. Apapun yang diinginkan Hinata, ia akan berusaha untuk memberinya. Asal gadis itu bisa merasa sedikit nyaman dan mengurangi sedikit rasa sedih yang ia rasa.

Hinata melirik Naruto sekilas, ada kejut yang terpantul dari binar matanya. Ada lega yang tersalurkan lewat desah nafasnya. Ia tak menyangka Naruto mau mengindahkan permintaannya, tidak memarahinya atau memakinya karena sudah serakah.

Hinata memejamkan mata, lalu menghembuskan nafas sebelum menatap safir bening di hadapannya. “Bolehkah aku memelukmu? Hanya untuk sekali ini saja. Mungkin ini permintaanku yang egois, Namun bolehkah aku?” pintanya lirih. Terdengar keraguan saat Hinata mengucapkan kalimat itu. Entahlah, Ia sendiri pun tak tahu kenapa tiba-tiba bibirnya menggumamkan kalimat itu pada Naruto. Padahal bukan itu yang ingin diucapkannya, ia hanya ingin sendiri dan tak ingin diganggu oleh siapapun, termaksud Naruto. Ia ingin menangis di sini, tanpa ada orang yang melihat kelemahannya dan membuat Sasuke Uchiha bertambah senang.

Naruto bungkam. Tak ada kata-kata yang ia lontarkan sebagai jawaban. Namun, tubuhnya malah mengindahkan permintaan Hinata. Ia meraih kedua pundak Hinata, merengkuhnya lalu membawanya dalam dekapan laki-laki itu. Yah, Naruto dengan kesadaran penuh memeluk Hinata. Laki-laki itu bahkan tak peduli dengan pakaian Hinata yang kotor dan bau. Dalam pikirannya hanya satu, yaitu agar Hinata bisa merasa nyaman, tak lagi merasa sesak─ meski itu hanya beberapa menit.

Naruto benar-benar merasa kasihan pada Hinata. Ia sangat yakin kalau Hinata tak pernah melakukan satu kesalahan pun pada Sasuke, menyapa saja tak pernah apalagi berbicara. Lalu bagaimana bisa Hinata melakukan kesalahan fatal sampai sahabatnya itu berbuat demikan?

Naruto sering memperhatikan Hinata. Bagaimana Hinata berinteraksi di dalam kelas, bagaimana Hinata menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan atau bagaimana saat Hinata mengerjakan tugas jika diminta oleh teman kelasnya. Itu seperti kebiasaan yang tanpa sadar dia lakukan. Lalu di antara semua kebiasaan yang gadis itu lakukan, tak satu pun ada yang bisa membuat seseorang tersinggung. Jadi, kenapa seorang Uchiha Sasuke yang terkenal tak peduli pada sesuatu menaruh dendam pada gadis itu dan melampiaskannya dengan cara mem-bully-nya─ meski bukan dengan tangannya sendiri?

Hati Naruto meringis, tat kala serpihan-serpihan kenangan buruk Hinata satu-per satu menampakkan diri di dalam kepalanya. Ketika Hinata dimaki, ketika Hinata dibuangkan sampah, ketika Hinata dibuangkan air kotor dan sederet siksa yang gadis itu terima karena perbuatan sahabatnya.

Dan Naruto benar-benar muak dengan keadaan sekolahnya, ia benar-benar muak dengan kelakuan murid-murid sekolahnya, dan ia benar-benar muak dengan sahabatnya sendiri yang mencetuskan pem-bully-an itu. Sayangnya, meski muak, Naruto tak memiliki rencana apa-apa untuk menghentikan itu.

Naruto menghela nafas, tanpa sadar malah mengeratkan pelukannya. Nanti, ia berjanji dalam hati. Akan tiba saatnya penderitaan Hinata akan hilang, dan untuk sekarang ia harus memikirkan rencananya.

Tapi, omong-omong, kenapa memeluk Hinata malah memunculkan satu perasaan nyaman? Terasa menyenangkan meski gadis itu bau. Dan terasa hangat meski baju mereka sudah basah. Niat awal ingin membantu Hinata agar sedikit lebih tenang, malah dirinyalah yang merasakan sebuah kenyamanan.

Sementara, Hinata yang di peluk seperti itu oleh orang yang sudah lama ia sukai merasakan sebuah kehangatan. Semua kesedihannya menguap entah kemana. Tak pernah ia duga sebelumnya, jika Naruto akan menerima permintaannya. Padahal ia sudah mempersiapkan batinnya kalau-kalau ia di tolak ataupun di maki. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Naruto malah memeluknya erat.

‘Naruto-kun, terima kasih untuk menjadi tempat sandaran, meski ini hanya sementara tapi kau sudah cukup menenangkanku dengan hangat dirimu. Kau bukan matahari pun cahaya, tapi kau bisa memberikan sinar pada langkahku.

‘Terima kasih karena sudah menjadi sosok laki-laki yang hadir dalam dinginnya duniaku, terima kasih karena sudah membantuku berlindung dari rinai hujan kepedihan. Kau membantuku tanpa peduli jika aku adalah orang yang dibenci oleh sahabatmu sendiri. Terima kasih...

‘Dan maaf, jika aku sudah lancang menyukaimu. Tapi, aku tidak bisa menahan diriku. Kau adalah lelaki yang sudah lama kutunggu, lelaki yang sudah lama kuinginkan. Dan hari ini kau datang padaku dan menawarkan setitik cahaya mentari di balik gelapnya duniakui. Terima kasih.

‘Mulai dari sekarang aku tidak akan lagi mengasihani diriku, aku akan berusaha.’ batinnya.

Hinata merasa nyaman dalam dekapan Naruto, kesedihan yang dia alami perlahan menguap menyisakan rasa bahagia yang menyeruak hingga ke relung hatinya. Perlahan kedua kelopak matanya tertutup, meresapi kebahagiaan singkatnya bersama dengan pemuda yang ia cintai. Hingga tanpa sadar dirinya sudah terlelap dalam dekapan pemuda itu.

“Hinata!” Naruto memanggil Hinata dengan nada yang lembut. Ia tak bisa terus berada dalam posisi seperti ini. Terlalu berbahaya untuk Hinata.

Tapi, tak ada jawaban yang didapatkan Naruto, Hinata tetap terdiam dalam posisinya seolah sedang meresapi kehangatan yang menguar dari tubuh Naruto.

Lalu perlahan Naruto melepaskan dekapannya untuk melihat keadaan Hinata. Ternyata, gadis itu rupanya sudah terlelap. Mungkin karena lelah. Lelah dengan semua siksaan yang diterima fisik maupun batinnya. Ia kemudian menggendong Hinata dengan gaya bridle style menuju UKS agar Hinata dapat beristirahat.



OoO

Sepanjang jalan banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Iri, kesal, benci, dilayangkan pada Hinata oleh sisiwi-siswi di sepanjang koridor. Bagaimana tidak, Hinata si gadis cupu, jelek, norak, dan orang yang selalu mereka bully digendong oleh salah satu pangeran sekolah, seperti dalam sebuah kisah dongeng. Layaknya kisah putri tidur, di mana sang pangeran menggendong seorang putri cantik yang tengah tertidur dan membawanya ke dalam istana. Namun Hinata bukanlah seorang putri cantik itu, ia lebih tepat disamakan sebagai tokoh beast dalam dongeng si cantik dan si buruk rupa.

Setelah sampai di UKS Naruto membaringkan Hinata di ranjang lalu menyelimutinya. Ia kemudian mengambil sebuah kursi dan duduk samping ranjang Hinata. Menjaga gadis itu kalau-kalau ada murid iseng yang ingin kembali mengerjai Hinata.

Tak ada guru yang biasanya menjaga UKS, hanya hening yang menyelingkupi ruangan itu. Di luar, para murid yang tadi menontonnya sudah kembali di kelas mereka masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi.

Naruto menatap nanar Hinata. Raut penyesalan terpatri di wajahnya. Ia benar-benar ingin menolong gadis itu, tapi ia pun tidak tahu bagaimana menolongnya.

Naruto mengelus pipi Hinata sambil menyingkirkan anak rambut di pipi gadis itu. Entah kenapa ia merasa sudah dekat dengan gadis itu. Apa mungkin ini karena pelukan yang mereka lakukan tadi, batinnya, seraya terus memperhatikan wajah Hinata. Wajah yang selalu ditemani dengan kaca mata bulatnya yang besar sampai menutupi sepertiga wajahnya. Naruto penasaran, bagaimana jika ia melepas kaca mata Hinata, bagaimana rupa asli gadis itu tanpa kacamata?

Perlahan, Naruto mengarahkan tangannya untuk menyentuh kacamata milik Hinata. Jujur selama mereka sekelas, tak pernah sekalipun ia melihat Hinata menanggalkan kaca matanya barang sedetik pun, bahkan saat di-bully pun ia tak juga melepaskan kaca matanya untuk dibersihkan. Jadi, selagi ada kesempatan, ia akan memanfaatkan kesempatan itu.

Seperti baru melihat pemandangan indah di hadapannya, Naruto tertegun melihat wajah asli Hinata tanpa kacamata. Dadanya berdesir, seperti ada hembusan hangat yang menerpa relung hatinya. Hinata benar-benar cantik, sangat cantik bahkan melebihi Sakura atau gadis di sekolahnya yang sudah di beri label cantik.

Andai semua orang melihat wajah Hinata seperti ini, dipastikan mereka akan menyesal sudah memperakukan Hinata seperti itu, bahkan akan berbalik memuja gadis itu.

Naruto terus mengelus pipi Hinata. Mengagumi setiap ukiran yang tercetak di wajah gadis itu. Dari mata hingga bibir gadis itu tak luput dari belaiannya.

Mata Hinata agak bengkak karena keseringan menangis. Walau demikian, mata itu masih terlihat indah. Saat ini mata Hinata masih tertutup, namun jika terbuka dipastikan akan ada suatu keindahan yang akan terpancar keluar dari mata itu. Hinata memiliki hidung yang mancung namun kecil, sangat cocok di wajahnya. Hinata juga memiliki bibir kecil dan berwarna merah muda walau tanpa di poles oleh pemerah bibir dan sangat menggoda untuk dikecup.

Tangan Naruto terus saja membelai bibir Hinata. Teksturnya lembut, sangat pas jika disandangkan dengan bibirnya. Dan tanpa sadar wajah Naruto sudah sangat dekat dengan wajah Hinata.

Naruto tersentak kala kesadaran menghampirinya. Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya, tak ingin meneruskan kegiatannya.

Namun, dasarnya manusia memiliki rasa penasaran, Naruto malah ingin merasakan bagaimana rasa bibir Hinata. Ia kemudian kembali menundukkan kepalanya agar semakin dekat dengan wajah Hinata.

Satu kecupan tepat mendarat di bibir mungil Hinata. Namun, laki-laki itu belum merasa puas. Ia pun mengecupnya lagi namun bukan sekali, tetapi berkali-kali.



OoO

Dalam kisah putri tidur, sang putri yang dikutuk oleh nenek sihir terbangun karena kecupan dari cinta sejatinya, yaitu dari pangeran yang bersusah payah menembus parit dan istana yang dijaga ketat oleh nenek sihir.

Tapi, dalam mimpi Hinata sosok pangeran itu malah terlihat sangat familiar, ia sangat mirip dengan Naruto. Tapi anehnya, kecupan itu tampak nyata ia rasa, seolah itu sungguhan, seolah Naruto memang tengah mengecupnya.

Perlahan kelopak mata Hinata bergerak. Hanya berselang beberapa detik, iris itu menampakkan sinarnya.

Untuk beberapa saat, Hinata masih bergeming, ia masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sampai ketika ia mendapati seorang laki-laki tengah memberikan kecupan-kecupan pada bibirnya, ia pun sadar. Matanya terbelalak kaget. Satu sentakan keras ia layangkan pada laki-laki itu hingga membuat dirinya terjengkang lalu jatuh ke belakang.

“Si... siapa─ Naruto-kun?”

OoO

Berusaha menyembunyikan kegugupannya, Naruto mencari kata yang tepat untuk menyamarkan kesalahannya. “A..Ah... Hime kau... kau sudah bangun. Syukurlah. Ternyata dongeng itu benar yah, jika sang pangeran mencium sang putri yang tengah tertidur, maka putri tersebut akan terbangun.” Kilah Naruto, suaranya agak bergetar.

“Na...Naruto-kun, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menciumku?” Hinata tergugu. Rasa sesak yang ia rasakan tadi entah menguap ke mana. Hanya rasa senang yang perlahan membuncah dari hatinya yang sekarang ia rasakan.

Tidak peduli pada kenyataan yang tersuguhkan di hadapannya. Tidak peduli jika Naruto sudah mencuri ciuman darinya. Tidak peduli jika Naruto sudah melakukan satu bentuk pelecehan, Hinata tetap merasa senang. Yang jelas ciuman pertamanya sudah diambil oleh Naruto, laki-laki yang sudah menempati sebagian dari hatinya.

Naruto diam, menyimak kata-kata Hinata. Kenapa Hinata tahu, kalau ia adalah Naruto? Bukankah Mata Hinata rabun?

“Loh... Hinata kau bisa melihatku? Ku pikir matamu rabun...”

Kening Hinata bertaut, ia bingung dengan pertanyaan Naruto. “A..apa maks─” Hinata tak melanjutkan perkataannya ketika ia meraba wajahnya. Ia tercengang ketika dirasanya kacamata yang selalu bertengger di wajahnya telah tiada. “A...ano... I..itu karena suara Naruto-kun.” Jawabnya asal.

Perasaannya jadi tidak karuan, ia benar-benar gugup mengetahui Naruto telah melihat wajahnya. Dan lagi, sebenarnya Hinata memiliki mata yang normal, ia memakai kacamata itu karena sebuah alasan.

Naruto mengangguk dan menerima begitu saja alasan Hinata tanpa menaruh curiga. Ia tak bisa berfikir karena wajah Hinata. Terlalu mempesona untuk diabaikan. “Oh... Tapi, Hinata kenapa kau memakai kacamata sebesar itu? Padahal banyak kacamata yang lebih kecil kan? Sayang sekali kalau wajah cantikmu itu harus kau sembunyikan.”

“I... itu...” mata Hinata menjelajah, ia tak tahu harus menjawab apa pada Laki-laki itu. “A... aku tak punya uang untuk membeli kacamata.”

“Kau mau aku membelikanmu kacamata?”

“Ti...tidak usah. Terima kasih. Kau sudah baik padaku.”

“Ya sudah.”



OoO

Di sisi lain, tanpa Naruto dan Hinata sadari, sedari tadi seseorang tengah mengintip kegiatan mereka dengan ekspresi wajah yang sulit terbaca. Dia adalah Sasuke Uchiha, orang yang selalu menyiksa Hinata.

Laki-laki itu mengepalkan tangannya karena menahan emosi. Ia kemudian segera menjauh dari tempat itu karena tak ingin ada orang lain yang melihatnya. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang sekarang.



Dan tanpa ia ketahui, seseorang juga tangah melihatnya dengan perasaan sedih. Ia kemudian berlari sambil menitikkan air mata.

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com