Fly with your imajination

Showing posts with label Novel. Show all posts
Showing posts with label Novel. Show all posts

Friday, February 5, 2021

Our Promise - Bully

CH LENGKAP SELANJUTNYA


Byur....
 
Gadis itu terkejut bukan main ketika mendapatkan serangan tiba-tiba dari murid-murid SMA-nya padahal ia masih punya mata pelajaran setelah jam istirahat ini. Ia memejamkan mata, bau dari tubuhnya benar-benar menyengat. Ia jadi ragu baunya akan hilang dalam waktu sehari meskipun dengan sabun yang banyak. Sepertinya air bekas pel yang mereka pakai sudah dicampur dengan air got atau mungkin kotoran binatang hingga memiliki bau menjijikkan yang menyakiti hidung.
 
Seragam sekolahnya yang tadi masih putih bersih jadi kotor. Kepangan rambut indigonya jadi basah dan lepek dipenuhi oleh bekas kotoran dari air pel. Kaca mata bulatnya juga memburam dan membuatnya sulit melihat. Mereka benar-benar tidak punya hati. Bisakah ia menyebut mereka sebagai setan atau mungkin iblis, karena seburuknya manusia, mereka masih bisa mengontrol perilaku, tidak seperti mereka.
 
Gadis yang menjadi korban itu adalah Anne. Adrienne Alexandra, gadis biasa dengan tampilan tidak biasa. Sebut saja ia sebagai seorang kutu buku atau seorang nerd karena gaya berpakaiannya yang sangat eksentris dibanding dengan murid-murid lain di London International High School.
Dengan seragam putih yang terlihat kebesaran, serta cardigan berwarna hitam sebagai luaran juga rok warna senada dengan cardigan menjuntai hingga di bawah lutut juga sepatu putihnya yang sudah terlihat kusam menutupi kaki-kakinya, benar-benar membuat penampilannya berbeda dari pada murid lain.
 
“Ck, dasar sampah.”
 
Anne hanya bisa menunduk di tempatnya. Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. 

Sungguh, ia tidak mengerti dan tidak tahu sebenarnya apa yang sudah ia lakukan hingga dirinya bisa berada dalam situasi mengerikan seperti itu. Menjadi salah satu korban bully dari murid di sekolahnya tak pernah sekalipun terbayang di kepalanya.
 
Anne ingat, awal masuk sekolah semuanya baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun ia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya berada dalam situasi seperti ini. Ia sudah berusaha menjadi murid baik di sekolahnya, bahkan terkadang ia pun membantu teman sekelasnya untuk mengerjakan tugas jika mereka meminta bantuannya.
 
Lagipula, dia juga hanya gadis biasa yang tidak akan pernah dilirik dua kali oleh siapapun, bahkan dia ragu kalau dirinya terlihat oleh yang lain. Lalu kenapa? Mereka juga tidak memberi penjelasan tentang apa salahnya. Tidak ada seorang pun yang memberitahunya.
 
Semua ini berawal ketika ia menginjak kelas dua, entah kenapa tiba-tiba ia menjadi salah satu target bully dan lebih parahnya lagi yang menjadi dalang dari semua itu adalah teman sekelasnya sendiri- salah satu dari− bisa disebut sebagai pangeran sekolahnya. Laki-laki paling diincar dan diinginkan oleh kebanyakan gadis di sekolahnya─ Chaiden Radbert. Laki-laki yang sudah dianugrahi wajah rupawan yang setara dengan Eros sang penakhluk hawa, dengan mata onix kelam yang selalu mengintimidasi, juga kecerdasan yang melebihi anak seusianya, ia juga berasal dari keluarga terhormat yang menjadi salah satu donator sekolahnya.
 
Anne benar-benar tak tahu apa yang sudah ia lakukan pada Aiden, hingga laki-laki itu menyuruh murid-murid di sekolahnya untuk mem-bully-nya. Ia bahkan tak pernah sekali pun merasa pernah mengobrol laki-laki itu. Anne selalu menghindari berinteraksi dengan orang seperti dia. Lalu apa alasannya? 

Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.
 
Dan seolah murid-murid itu hanyalah boneka tanpa jiwa yang dibuat Aiden, mereka menuruti apapun yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Terus dan terus menyakitinya, bahkan tidak sedikit dari mereka malah terlihat bahagia saat melihat dirinya tersiksa.
 
"Ayo pergi."
 
Anne tetap diam setelah mereka pergi.
 
OoO
 
Anne berlari menuju belakang sekolah. Jatuh terduduk tepat di bawah pohon (yang selalu disebut pohon keramat oleh murid-murid di sana) kemudian menumpahkan segala sesak yang bergerumul dalam dada yang tak bisa ia keluarkan sebelumnya.
 
Beberapa potongan kenangan menyakitkan terlintas dalam benak seperti potongan kaset rusak yang terus berulang. Bagaimana mereka memakinya, mengatainya jalang, melemparinya telur busuk yang hampir mengenai matanya, menjambak rambutnya hingga beberapa helai rambutnya tercabut, bahkan air kotor dengan bau menjijikkan pun disiramkan ke tubuhnya.
 
Mereka semua benar-benar jahat. Namun, semua kejahatan itu dilandasi oleh seseorang. Chaiden Radbert, sang Devil Prince.
 
Anne menghela nafas berat, seraya memejamkan mata. Gadis itu berupaya menghilangkan rasa sesak yang masih terus bergerumul dalam dada.
 
Anne, kau harus kuat, mereka tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah kau alami. Bersabarlah! Kau pasti bisa, titahnya pada diri sendiri.
 
Namun, entah rasa sakit itu sudah terlalu berlebihan ia tampung ataukah kebencian perlahan bangkit dari dalam dirinya, Anne tetap tidak bisa menghilangkan rasa sesak yang ia rasa. Air matanya tetap mengucur dari mata abu-abu indahnya, menetes dan turut membasahi roknya yang sudah kotor.
Dan perasaan muak tiba-tiba muncul. Ia lelah terus menerima perlakuan semacam ini, Anne tak kuat lagi untuk terus berpura-pura tegar, tetapi untuk memberontak pun ia tak punya nyali.
 
Setetes air mata lagi-lagi mengalir dari mata. Air mata yang mewakili perasaan putus asa, namun berusaha menguatkan hatinya yang rapuh.
 
Apa yang lebih buruk dari dibenci oleh orang yang tak pernah kita dekati sendiri?
 
...
Mickey139

CH LENGKAP SELANJUTNYA
Share:

Not A Witch : Prolog


BAB 000 : PROLOG

Gadis itu berlari. Sepatunya yang berwarna hitam menyusup di sela-sela rerumputan basah. Aroma tanah dan rumput masuk ke indra penciuman, tetapi tak membuatnya tenang sama sekali. Sesekali ia berbalik, memastikan sang pengejar. Tidak ada. Meski begitu, tak juga membuatnya tenang. Sampai kakinya tersendat di sepatu miliknya dan ia terjatuh.
 
Cepat-cepat ia bangkit, melihat sekeliling sekali lagi. Hanya ada pohon yang menjulang tinggi seperti ingin menelannya hidup-hidup. Langit mulai meredup. Udara dingin sudah mulai menusuk kulit, gadis itu kembali berlari.
 
Rambut hitamnya yang panjang berkibar, sebagian menempel di wajah. Sesekali ia mengusap matanya ketika rambut itu menempel dan menghalangi penglihatan. Keringatnya sudah menetes dan membasahi seragam sekolah. Nafasnya pun berat karena terus berlari tanpa istirahat.
 
Ia berhenti berlari ketika rasa lelah menghantam tubuhnya. Menyanggah tubuh di salah satu pohon kemudian mengatur nafasnya secara perlahan. Ia kembali mengangkat kepala dan memastikan sekelilingnya. Pengejar itu masih tidak terlihat.
 
Lalu suara tapak sepatu beradu rumput samar-samar terdengar, membuat gadis itu menegang. Jantungnya kembali berpacu. Ia menjulurkan kepalanya untuk melihat ke belakang, tetapi sang pengejar tak terlihat. Akan tetapi, ketika ia kembali berbalik ke depan, jantungnya nyaris berhenti berdetak. Rupanya sang pengejar sudah ada di hadapannya. Menyeringai. Berjalan pelan ke arahnya.
 
“To … tolong lepaskan aku …” pinta gadis itu ketakutan.
 
Orang berjubah yang ada di hadapan gadis itu tak menyahut. Kaki-kakinya yang jenjang terus melangkah ke depan. Jubah yang ia pakai menutupi hampir sebagian wajahnya, tetapiseringai yang muncul di bibir orang itu tetap terlihat dan menakutkan.
 
Gadis itu melangkah mundur. Pelan mengikuti langkah si pengejar lalu secepat mungkin melangkahkan kakinya menjauh. Ia berlari. Namun ketika ia berbalik untuk melihat sang pengejar, orang itu tak bergeming dan hanya memperhatikan dirinya menjauh. Tanpa membuang waktu, gadis itu semakin mempercepat langkahnya. Melewati semak yang menggores kulit, batu-batu kecil yang membuatnya terantuk dan hampir jatuh, lalu ia melihat cahaya dari ujung jalan. Dan tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai.


sumber gambar : pinterest

 “Pleasepleaseplease ….”
 
“Padahal aku sudah berbaik hati membiarkanmu berlari duluan tadi.”
 
Gadis itu terlonjat, jantungnya seperti mau meledak saat orang berjubah itu tiba-tiba muncul di kegelapan di hadapannya. Berjalan dengan langkah pelan yang pasti.
 
Gadis itu melirik ke segala arah berusaha mencari jalan agar ia sampai ke ujung jalan. Namun, ketika ia melangkah, kakinya tersandung akar yang mencuat di permukaan tanah. Lututnya terbentur batu dan membuatnya kesulitan bangkit.
 
“Tolong biarkan aku pergi.” Sekali lagi gadis itu memohon. Ia menangis ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar. Namun, orang berjubah itu tak menghiraukan, ia hanya mengamati gadis itu dengan kejam dan menikmati tiap detik siksaan ketakutan yang ia berikan.
 
“Sebenarnya kau siapa? Kenapa aku?” Gadis itu menatap orang itu dengan sorot benci juga marah. “Apa salahku?!” teriaknya penuh kebencian. Menggema di sela kesunyian di tempat itu. Orang berjubah itu berhenti melangkah. Kepalanya terlihat miring.
 
“Salahmu?”
 
Suara orang berjubah itu tak jelas karena alat pengubah suara yang ia pakai.
 
“Apa kau sungguh-sunggu tidak tahu apa salahmu?”
 
Gadis itu menggeleng, dengan air mata yang terus mengalir. Ia sangat ketakutan, tetapi bangkit untuk berlari dari sana, kakinya sudah tak sanggup.
 
“Sungguh?”
 
Kembali gadis itu menggeleng. Ia beringsut mundur, berusaha menyeret tubuhnya menjauh sementara orang itu sudah berada tepat di depannya. Berjongkok dan menatap gadis itu dengan sorot mata yang dingin. Ia kemudian mengeluarkan selembar foto lalu menyodorkan pada gadis itu.
 
“Apa sekarang kau masih tidak mengetahui apa salahmu?”
 
Gadis itu semakin terisak ketika melihat gambar dalam foto itu.
 
“Ku, kumohon biarkan aku pergi.” katanya mengiba pada orang berjubah itu. Lalu memohon. “Apapun yang kau inginkan akan kuberi, tolong lepaskan aku.”
 
“Apapun?”
 
Gadis itu mengangguk. “I, iya. Apapun.”
 
Kemudian orang berjubah itu menyeringai lalu mendekatkan bibirnya di telinga gadis itu. “Kalau begitu, aku ingin kau menebus dosamu di neraka.”
 
Lalu mata gadis itu terbelalak saat rasa sakit menghujam pahanya. Darah menetes.
 
“Aaaa ...” Gadis itu berteriak dengan suara penuh derita. Air matanya semakin deras keluar, menetes di atas darah yang ada permukaan tanah.
 
“Apa kau ingat bagaimana dulu ia mengiba pada kalian untuk berhenti?”
 
Gadis itu menggeleng. “Bukan. Bukan aku. Aku tidak melakukan apapun.”
 
Orang berjubah itu sekali lagi menancapkan pisaunya di tubuh gadis itu.
 
“Aaaa ….”
 
“Kau pikir, membiarkan dan menertawakan dia saat teman-temanmu menyiksanya berarti kau tidak melakukan apapun? Kau bahkan menyebarkan foto memalukannya dan kau bilang tidak melakukan apapun?”

Sekali lagi orang berjubah itu menusukkan pisaunya dan kembali membuat gadis itu berteriak.
Tetapi, hanya sampai di situ saja teriakan gadis itu yang berhasil lolos, karena orang berjubah itu kembali menghujamkan pisaunya tepat di tenggorokan gadis itu sampai tembus ke belakang.
 
Orang berjubah itu kemudian menarik belatinya dan berdiri. Gadis itu sudah terkulai tak sadar di atas tanah. “Harusnya dulu kau pikirkan sebelum bertindak.” Lalu ia kembali menyeringai, “Nah sekarang giliran siapa lagi?” Kemudian membuka buku berukuran A5 bersampul panda. Buku diary lusuh yang lembarannya sudah menguning karena terkena air atau dimakan usia.

Bersiul pelan ketika membaca dan mencocokkan di gambar ponsel yang baru saja ia keluarkan dari sakunya. “Jadi, selanjutnya giliran dia,” seringainya sebelum berlalu pergi meninggalkan jasad gadis itu begitu saja di sana.

 

copyright philly077

Mickey139
....


Share:

Thursday, October 29, 2020

THE MERMAID - SATU

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SELANJUTNYA CH LENGKAP




THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)



BAGIAN 1

Daratan, tempat yang berbahaya.

Daratan, sarang makhluk kotor menjijikan.

Daratan, neraka yang diisi bongkahan daging dengan nafsu dan akal rendah.

Tiada kebaikan dari daratan.

Terutama bagi mereka.

Bagi dirinya.

Mereka tidak dianugerahi ekor seperti dirinya.

Mereka tidak bisa melihat betapa indah pemandangan dari bawah laut.

Dan, tentu saja.

Mereka tidak bisa memasuki Amethrine.

Tempat paling indah dari semua tempat.

...



Sumber gambar : pinterest
... 

"Apa yang kau lakukan, Ad?

Adrea mengerjap, menatap cahaya dari permukaan. Tangannya masih terjulur ke atas, merasakan hangat air yang membiaskan cahaya.

"Di sini enak, Coral! Airnya tidak dingin," sahut Adrea. Ekor birunya bergerak perlahan, menjaga tubuhnya tetap melayang pada tempat yang sama.

Kening Coral berkerut hingga menautkan kedua alisnya. Rambut ungunya yang diikat satu melayang pelan. "Tapi, di sini berbahaya. Kau tahu, kan?"

Tanpa memandang Coral, Adrea menjawabnya dengan tenang, "Aku tahu. Aku sudah menyuruh Dolpin untuk berjaga."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke sana?" Coral menunjuk pada bebatuan yang ditumbuhi koral. Tempat yang lebih aman dari tempat mereka sekarang. "Di sana koralnya banyak dan cantik."

Adrea menggeleng, rambut merahnya melayang pelan mengikuti gerak kepalanya. "Buat apa? Amethrine bahkan memiliki ratusan jenis batu koral yang lebih indah."

"Tapi—"

"Kalau kau mau pergi, pergilah." Adrea memotong ucapan temannya cepat, tak mau mendengar rengekan Coral lebih banyak. "Aku masih mau di sini."

Coral diam. Sedikit menghela napas. Tampak udara yang keluar menghasilkan gelembung-gelembung kecil.

Temannya— Adrea— adalah makhluk keras kepala yang tidak akan mendengarkan sebelum keinginannya terpenuhi.

"Baiklah. Aku akan menemanimu." Pada akhirnya Coral mengalah dan menemani Adrea, meski pun ia tak terlalu menikmati tempat itu seperti Adrea. Ia hanya ingin memastikan temannya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya, seperti berenang ke atas dan semakin dekat dengan permukaan.

Sementara, di sisi lain, Adrea hanya melirik Coral lewat ekor matanya tanpa berniat mengusir, meski ia tahu, Coral akan mengganggu ketenangannya sebentar lagi.

Salah satu tujuan Adrea datang ke tempat itu adalah untuk menenangkan diri. Final penentuan Agrie sebagai kesatria pelindung kerajaan sudah semakin dekat. Dan semakin mendekati hari pertandingan itu, membuat Adrea gugup. Yah, bukan karena ia takut kalah, hanya saja ia tak mau kecewa jika nanti hasilnya tak memenuhi ekspektasinya.

"Ad, apa kau tidak mau pulang? Bukankah ini sudah terlalu lama?" Coral kembali bertanya setelah lama berdiam melihat Adrea yang hanya diam ditempatnya sambil memandang ke atas. Ia melirik di sekitarnya. Cahaya dari atas sudah semakin besar dan membuat tempat mereka lebih terang. Ia takut jika para manusia turun sampai pada mereka.

Adrea melirik temannya itu dan hanya menanggapi, "Ini masih belum seberapa." Karena sebenarnya Adrea menunggu saat benda hangat yang menyinari lautan dari atas semakin terang dan membuat tempat itu terasa lebih hangat. "Sebentar lagi. Tapi, kalau kau mau kembali, duluan saja."

Coral mendengus, gelembung-gelembung kecil tercipta dari napasnya. "Kau tahu aku tidak akan melakukan itu, bukan?" Namun, ia tak juga memaksa Adrea untuk pulang dan hanya mengawasi temannya itu dari tempatnya. Meski, memang ada godaan dari dalam dirinya untuk mengikuti Adrea, tetapi Coral lebih memilih berdiam di tempatnya. Bahaya selalu datang kapan saja.

"Kalau begitu, duduklah dengan tenang di situ." Adrea tetap tenang menyahut. Rasa hangat pada air itu semakin nyaman dan membuat dirinya enggan beranjak dari sana.

Coral semakin cemberut, bibirnya mencebik, "Apa sih bagusnya tempat ini? Selain, hangat dari benda di atas sana, tempat ini tak indah sama sekali. Para ikan saja sedikit sekali yang ke sini." katanya sambil memainkan ikan laternfish kecil yang bergerak di sekitarnya. Cahaya dari tubuh latenfish sedikit membuat pemandangan di sana lebih berwarna. "Lagipula, kita juga sudah sangat jauh dari rumah, bagaimana jika Asterio tahu, dia pasti sangat khawatir."

Adrea menurunkan kepalanya dan menoleh, "Yah..." Memberi jeda sejenak karena ia sedang berpikir, "yang penting dia tidak tahu. Jadi, tidak masalah." Lalu kembali menengadahkan kepala untuk merasakan hangatnya cahaya yang menembus air sampai ke tempatnya. Para ikan perlahan bergerak, melingkar di sekitar Adrea. Terlihat sama seperti Adrea yang menikmati air di sana.

Sekali lagi Coral menghela, namun tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya untuk membalas perkataan Adrea. Temannya itu sangat keras kepala jika menginginkan sesuatu, jadi yang bisa ia lakukan hanya menggerutu sendiri, karena apapun yang Coral katakan, Adrea pasti bisa membalasnya.

"Ya lakukan sesukamu."

Tanpa melirik Coral, Adrea tersenyum. Setidaknya dalam beberapa menit kedepan, Adrea tidak akan mendengar rengekan temannya itu.

Lalu tidak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara. Seperti benda besar yang dijatuhkan ke lautan. Tetapi, bukan cuma satu melainkan banyak. Tiga, lima, tujuh, sampai belasan yang mereka dengar.

Para ikan yang merasakan pergerakan Adrea dan Coral tiba-tiba, segera berenang menjauh. Dan tidak butuh berpikir banyak, Coral langsung menarik tangan Adrea untuk pergi. Menggerakkan ekornya untuk berenang lebih dalam. Melawan arus yang kuat. Tekanan yang bisa membuat organ mereka meledak. Sampai tiba Adrea merasakan jika napasnya sudah semakin memberat. Adrea berhenti diikuti oleh Coral di depannya.

"Kau duluan saja." kata Adrea dengan suara berat. Napasnya masih menderu.

Adrea jadi sedikit menyesal karena sebelum pergi ke tempat tadi, ia sempat latihan. Latihan yang banyak menguras tenaganya, sampai-sampai berenang pada kedalaman ini saja ia sudah kelelahan.

Coral menggeleng. Rambutnya melayang dengan pelan ke kiri dan kanan. "Tidak bisa!" sahutnya tegas. "Kalau aku meninggalkanmu lalu kau ditangkap, kau pikir aku akan tenang?"

Adrea mendengus, "Aku bukan orang bodoh yang membiarkan dirinya ditangkap begitu saja oleh manusia. Lagipula Dolpin belum melaporkan apa-apa padaku."

"Tetap saja. Bahkan napasmu pun pendek. Berenang seperti ini saja kau sudah kelelahan. Bagaimana jika kau diburu oleh mereka?"

Jika situasi mereka tidak sulit seperti sekarang, Adrea pasti akan menertawakan kepanikan temannya itu. Bagaimana bisa Coral melupakan seberapa hebat dirinya, bahkan di kelas kesatria, Adrea memiliki nilai tertinggi di antara ratusan murid seangkatannya.

"Justru sebaliknya." Pelan, Adrea menjelaskan. "Jika kau bersamaku, aku akan sulit bertarung." Lalu ia menggerakkan tangannya seperti menadah sesuatu. Selanjutnya, pusaran air kecil terbentuk di telapak tangannya, semakin membesar hingga cukup menghasilkan pusaran air yang bisa menyeret seekor paus." Kau mengerti, kan?"

Dan bukannya mengangguk paham, atau takjub dengan kekuatan milik temannya, mata Coral justru membulat sempurna. Ketakutan jelas terbayang di wajahnya sekarang.

Ia memegang pundak Adrea, lalu mengguncang ke arah depan dan belakang. "Kenapa kau lakukan itu, Ad? Astaga, bagaimana jika mereka sampai datang ke sini, lalu mengetahui keberadaan kita?" serunya panik.

Sekali lagi, Adrea menghela. Meyakinkan temannya adalah satu hal yang sulit, mengingat sifat Coral yang penuh pertimbangan juga sulit mempercayai. "Kalau begitu kembalilah. Aku akan menahan mereka sementara kau memperingati yang lain."

"Tidak!" Coral menggeleng keras dengan kedua tangannya mengepal di kedua sisinya. "Aku tidak ingin kau tertangkap."

Mata Adrea terpejam, ia memikirkan kata-kata yang efektif dan bisa membuat temannya itu segera beranjak dari sana. Mengikuti rencana yang ia buat barusan agar mereka berdua, tempat tinggalnya, dan semua yang tinggal di Amethrine aman dan jauh dari jajahan tangan kotor manusia.

"Coral." Ia meraih kedua pundak temannya, memaksa mata mereka agar bisa saling memandang. "Ingat, kau masih punya tanggung jawab.” Sekali lagi, Adrea berusaha menjelaskan dengan tenang, “Ada adikmu yang harus kau lindungi." lalu kembali memposisikan tubuhnya berdiri tegak. Memandang temannya dengan mata sayu yang menenangkan. "Dan Sebagai calon kesatria, aku juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi negeriku. Amethrine adalah rumah kita. Dan orang-orang yang hidup di sana adalah keluargaku. Aku tidak mungkin lari, bukan?"

Untuk beberapa detik berselang, Coral tak membuka mulutnya untuk bersuara. Membiarkan kelembung kecil yang tercipta dari mulutnya melayang ke atas lalu meletus.

"Baiklah."

Dan satu jawaban singkat yang keluar dari bibir Coral sudah cukup membuat Adrea bisa bernapas lega.

"Kalau begitu, aku akan pergi."

Adrea mengangguk, lalu memberikan senyum kecil kepada temannya.

"Jaga dirimu. Dan jangan memaksakan dirimu. Aku akan segera kembali dengan bantuan para kesatria yang lain."

Coral tak menunggu jawaban Adrea, ia langsung berbalik, mengibaskan ekornya lalu menjauh.

Sepeninggal Coral, laut menjadi hening. Tak ada suara aneh yang muncul, kecuali para ikan yang berbisik. Gelapnya dalam lautan, tak mengurangi intensitas penglihatan Adrea. Justru, ia bisa lebih berkonsentrasi dan semakin memfokuskan diri pada indranya yang lain.

Dengan gelombang, ia bisa merasakan pergerakan aneh dari sumber asing. Meski hanya berjarak tak lebih dari satu kilo.

"Drea!"

Suara Dolpin menggema di kepalanya, nada yang cukup menjelaskan bahwa bahaya tengah menghampiri. Tubuh Adrea refleks mengambil kuda-kuda. Bersiaga. Matanya awas menjelajah dengan konsentrasi tinggi pada gelombang di sekitarnya.

“Manusia datang!” sekali lagi Dolpin bersuara di kepalanya.


...

Mickey139


SELANJUTNYA CH LENGKAP


Share:

Sunday, October 18, 2020

FAKE N FATE : PROLOG

SELANJUTNYA CH LENGKAP

...


...
...
...

PROLOG

“Lepas!"

Alena menghentikan langkah kakinya ketika mendengar teriakan seseorang dari arah gang gelap di seberang jalan yang ia lalui.

“Apa yang kalian inginkan? Menjauh dariku brengsek. Tolong...?!”

Lagi, Alena mendengar suara teriakan itu. gadis itu bergegas menghampiri suara yang sepertinya adalah milik seorang perempuan di lorong gang gelap di dekatnya.

Di sana Alena melihat beberapa orang bertopeng tengah menghadang seorang gadis, dua dari mereka mencoba mengambil barang-barang gadis itu sedang dua yang lain hanya tertawa melihat ketakutan gadis itu dan seorang lagi hanya memperhatikan dalam diam. Tidak lama kemudian Alena melihat salah satu dari penjahat bertopeng itu mengeluarkan pisau dan mengancam.

“Serahkan tasmu dan kami akan segera membunuhmu!?”

DEG

Jantung Alena berdetak tak kalah dari gadis di depannya. Bukan rasa takut tapi rasa marah yang perlahan meluap dalam dadanya. Ia tidak tahu, ternyata di dunia nyata ini benar-benar ada orang sejahat mereka yang bisa menghilangkan nyawa orang lain demi harta benda.

Benar-benar sampah masyarakat yang perlu dibasmi.

Perlahan Alena melangkah menuju mereka. Suara langkahnya terdengar bagai ular melata di pasir, bergema di antara dinding lorong dan membuat kelima orang itu serempak menatapnya.

“Cih, apa kau ingin menjadi pahlawan, Bitch?” salah satu di antara mereka bertanya dengan suara serak yang menjengkelkan.

Sedang Alena yang dikatai bitch, emosinya semakin meluap. Kurang ajar, selama dua puluh enam tahun ia hidup, tidak ada seorang pun yang berani memanggilnya dengan sebutan itu, sekali pun hanya bercanda. Dan sekarang manusia busuk seperti mereka malah mengatainya.

“Bereskan dia!”

Salah satu dari keempat orang penjahat itu memerintahkan rekannya yang lain. Sepertinya dialah yang menjadi pimpinan dari para penjahat itu.

Tanpa menyahut, orang yang disuruh untuk membereskan Alena segera maju dan melayangkan pukulan di wajah Alena, namun dengan luwes Alena menghindari pukulan itu lalu membalasnya dengan tendangan telak yang tepat mengenai selangkangan laki-laki malang itu.

“Arrrrgh... brengsek.”

“Satu yang perlu kau pelajari, Brengsek.” Alena memberi tendangan susulan di perut pria malang itu yang masih memegang selangkangannya, hingga terjengkang ke belakang. “Jangan pernah meremehkan orang lain, terutama seorang wanita, Bastard.” maki Alena kembali memberikan tendangan tepat di wajah lalu menatap tiga orang yang masih berdiri di posisinya.

“Kalian, tangani Jalang itu, biar aku yang mengurus gadis itu.”

Pimpinan mereka kembali mengarahkan anak buahnya untuk kembali menyerang Alena.

Tiga laki-laki kemudian maju menyerang Alena. Beberapa pukulan dan tendangan mereka berikan pada Alena yang untungnya sebagian banyak bisa dihindari walaupun beberapa berhasil menciptakan lebam dan rasa sakit. Meskipun begitu, Alena tetap bertahan. Ini semua demi keselamatan dirinya dan gadis yang ia tolong.

Keringat sudah mengucur banyak dari pori-pori Alena membuat luka-luka yang ia dapatkan sedikit terasa perih. Namun, itu bukanlah masalah. Lawan Alena belum ada yang tumbang, meskipun mereka juga terlihat kewalahan melawan Alena.

Laki-laki yang tadi berhasil dia tumbangkan kini sudah pulih. Dia menatap Alena dengan penuh kebencian. Tak terima sudah dikalahkan oleh gadis yang lebih kecil darinya.

“Berikan Jalang itu padaku. Aku benar-benar ingin menghabisinya.”

Ketiga laki-laki yang tadi menjadi lawan Alena serempak mundur dan membiarkan laki-laki yang lebih besar dari pada mereka maju untuk melawan gadis itu.

“Aku akan menghabisimu, Bitch.”

Nafas Alena sudah mulai habis lantaran perkelahian yang tadi ia lakukan dan sekarang laki-laki yang tadi ia tumbangkan sudah pulih dan berniat balas dendam padanya.

Alena melihat sekelilingnya termasuk dengan gadis yang berusaha melawan pria yang menjadi pimpinan kelompok itu. Gadis itu tengah melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya hingga membuat pria itu sedikit kewalahan dan semakin emosi.

Alena bisa melihat kesempatan mereka agar bisa melepaskan diri dari keadaan sulit. Ketika laki-laki yang dendam padanya melayangkan pukulan Alena hanya menghindar sambil mengarahkan pria itu pada pria yang menjadi pimpinannya agar ia bisa menarik gadis yang berusaha ia tolong lalu segera kabur dari sana.

Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya Alena berhasil mendekatkan dirinya pada gadis itu. Tidak mau buang waktu, Alena berlari menghampiri gadis itu dan menarik tangannya agar mereka bisa berlari bersama. Beberapa benda yang mereka temukan di dekat mereka dilemparkan pada para penjahat yang sedang mengejar mereka termasuk tong sampah yang beratnya melebihi berat mereka.

Kurang dari dua puluh meter, jalan keluar gang bisa mereka lihat, namun para penjahat itu semakin dekat dengan mereka.

Jantung Alena semakin berdetak cepat. Selain karena kelelahan berlari dan berkelahi juga karena para penjahat itu semakin mendekat.

“Aku akan memperlambat mereka, kau cari bantuan!” kata Alena dengan nafas ringkih.

“Tidak. Itu sangat berbahaya. Lebih baik kita terus berlari dan mencari pertolongan. Jalan keluar gang hanya beberapa meter lagi.” tolak gadis itu. Dia sadar jika dia membiarkan Alena dengan rencananya itu, bukan tidak mungkin ia akan dilukai, bahkan dibunuh. Bagaimanapun juga Alena sudah menolongnya, tidak mungkin ia bertindak egois dengan meninggalkannya sendiri dengan para penjahat itu.

“Tidak bisa. Mereka sudah semakin dekat. Jika kita terus berlari seperti ini, mereka akan menangkap kita berdua. Jika aku memperlambat mereka, kau bisa mencari pertolongan. Dan kemungkinan besar, kita berdua akan selamat.”

“Tapi─”

“Tidak pakai tapi. Lakukan sekarang. Cepat cari bantuan.”

Dengan terpaksa gadis itu mengangguk, walau hati kecilnya tidak rela. Ia kemudian berlari secepat mungkin agar bisa mendapatkan bantuan, “Berhati-hatilah dan jangan sampai mati sebelum aku kembali.”

“Aku tahu.”

Alena memperlambat larinya dan meraih balok yang berada di dinding dan mengarahkan pada mereka. “Berhenti, atau balok ini akan melubangi kepala kalian!” ancamnya sambil menatap awas keempat pria itu.

“Kau pikir bisa menang melawan kami semua, hah?” balas salah seorang dari mereka mencela.

“Jangan banyak bicara dan habisi Jalang itu!” kata pemimpin mereka.

Sekali lagi perkelahian terjadi. Tetapi bukan perkelahian seperti tadi. Kali ini mereka langsung menyerang Alena secara bersamaan, bukan satu lawan satu. Beberapa pukulannya berhasil mengenai mereka, namun karena ia kalah jumlah juga kondisinya yang tidak memungkinkan, mereka berhasil menjatuhkan Alena.

Beberapa pukulan dan tendangan Alena dapatkan. Dan satu pukulan di kepala gadis itu benar-benar berhasil menumbangkannya. Darah mengucur dari sela-sela rambut Alena hingga mengaburkan penglihatan. Ia menyeka darahnya dan bangkit kembali melawan namun pukulan yang Alena berikan tidak lebih kuat dari pukulan anak-anak berusia lima tahun.

Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau lipat dan menusuknya tepat di perut. Darah kembali mengalir dari tubuh Alena dan kali ini rasa sakit yang sangat ia rasakan.

Alena terdiam beberapa detik melihat perutnya yang sudah banyak mengeluarkan darah sebelum tersungkur di atas permukaan tanah di dalam gang itu. Ia memegangi perutnya seraya merintih kesakitan.

“Itu akibatnya bertindak seperti pahlawan. ”

Bulan bergerak di atas langit hingga memberikan pencahayaan di gang sempit itu. Alena masih merintih ketika sorot bulan menyinari mereka dan sebelum matanya benar-benar tertutup, ia melihat wajah pemimpin mereka membuka penutup wajahnya. Laki-laki itu memiliki wajah oriental dengan rahang tegas dan mata tajam setajam elang melihatnya. Laki-laki rupawan tetapi sayang hatinya seburuk kotoran.

Alena tidak tahu harus bersyukur atau merutuki nasibnya sekarang. Dia adalah seorang pengangguran (baru saja beberapa jam yang lalu dia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja karena ketidak-bagusan dalam managemen tempatnya kerja juga gajinya yang terlampau sedikit untuk statusnya dalam perusahaan itu dan diumurnya yang sudah menginjak angka dua puluh enam dia akan pergi menjumpai Sang Pencipta karena menjadi pahlawan untuk gadis yang tidak ia kenal.

Alena jadi teringat semua kenangan-kenangannya. Ada yang baik, buruk, canda teman-temannya, tangis kebahagiaannya ketika wisuda, juga wajah sedih saat orang tuanya pergi meninggalkan dirinya sendiri.

‘Tenyata benar, jika kita akan meinggalkan dunia, semua kenangan kita akan terlintas dan mengingatkan kita akan kita yang dulu. Selamat tinggal dunia, sampaikan salam sayangku pada orang-orang yang merasa kutinggalkan.’


tbc 


SELANJUTNYA CH LENGKAP
Share:

Sunday, September 23, 2018

SLEEPING BEAUTY ORI - PROLOG

Silahkan baca chapter Lengkap di SLEEPING BEAUTY
.......
Update tiap Sabtu Malam
.......


Edited 13.07.17

...

Remove from WATTPAD



BAGIAN 1
PROLOGUE


"Ada apa dengannya? Sedari tadi dia tidak bangun-bangun."

"Mungkin dia pingsan."

"Tapi masa pingsan, lama sekali. Apa jangan-jangan dia mati?"

"Kasihan sekali, padahal dia masih muda."

"Hei, apa yang kalian lakukan? Sebaiknya panggil ambulance?!"/div>
"Iya, cepat panggil ambulance!"

"Aria... bangun! Hei kau kenapa?"

"Bangunlah! Jangan bercanda!"

"Aria..!!!"

"Astaga, ada apa sih? Kenapa kalian memanggilku seperti itu. Aku ada di sini."

"Aria...?!"

"Hedeh, aku gak budek, kali." sahut gadis yang sedari tadi terus dipanggil namanya dengan kesal. Sambil menggerutu ia menghampiri mereka. Keningnya menyerngit saat ia lihat teman-temannya sudah dikerebungi banyak orang.

"Aria...?!"

"Ish..." gadis itu semakin kesal dengan ulah teman-temannya. Kakinya menghentak-hentak semakin kesal dengan teman-temannya. Awas saja kalian, batinnya merutuki ulah teman-temannya.

"Bangun, jangan membuat kami khawatir... Aria!!!"

"Eh?! Maksud kalian apa?"

Sejenak gadis itu hentikan langkahnya. Dia tahu teman-temannya adalah makhluk paling usil yang pernah dia kenal. Mereka sering mengerjainya begitu pun dengan dirinya yang sering mengerjai mereka, tapi mereka belum pernah bersandiwara serius seperti ini. Derry yang biasanya hanya melihat mereka tanpa ikut campur terlihat sangat khawatir begitu juga dengan Deasy─ kembaran Derry─ gadis manis yang biasanya melerai, tampak sangat panik dan berusaha menelpon seseorang. Lalu kenapa harus namanya yang dipanggil?

"Seseorang... Tolong panggil ambulance!"

"Tenanglah, Deasy sedang menghubunginya."

Ada perasaan tidak enak yang menyeruak dalam hatinya melihat wajah-wajah yang ia kenal tampak sangat khawatir terlebih dengan orang-orang yang semakin banyak menggerubungi mereka juga nama yang terus mereka teriaki.

"Ya Tuhan, sudah cukup. Berhentilah main-main. Ini tidak lucu. Tolong hentikan sandiwara kalian. Kalian benar-benar membuatku takut." ucapnya gelisah. Perasaannya jadi tidak nyaman dengan ulah teman-temannya.

Aria semakin melebarkan langkah kakinya agar dia segera sampai di seberang jalan tempat teman-temannya berada. Pagar besi pembatas taman setinggi satu setengah meter, dengan luwes dia lompati tanpa seorang pun memprotesnya. Dia benar-benar tidak tahan dengan sandiwara mereka dan ingin cepat-cepat menghentikan kelakuan menyebalkan yang membuat perasaannya tidak enak.

"Sudah. Hentikan kelakuan ka─ eh!? Kok? Ke...kenapa tidak bisa?" ucap Aria panik. Ia benar-benar tidak mengerti sekaligus takut dengan situasinya saat ini. Barusan ia ingin men-toel kepala Andra─ temannya yang paling usil dan yang paling sering membuatnya kesal─ tapi tidak bisa, tangannya malah menembus tubuh Andra. Berapa kali pun ia coba, tetap tidak bisa. Rasanya ia seperti angin yang membelai tubuh mereka.

Ia kemudian mencoba pada temannya yang lain, namun hasilnya tetap sama. Tidak satu pun di antara mereka yang bisa dia sentuh. Tubuhnya tetap menembus mereka. Bahkan suaranya pun tidak ada yang bisa dengar. Sekeras apapun ia berteriak.

Aria terdiam di tempatnya. Tubuhnya kaku, nafasnya tercekat dengan rasa takut yang kian tumbuh dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Tatapannya ia alihkan pada teman-teman di depannya, "Teman-teman kenapa dengan tubuhku─" ucapnya sendu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bertahanlah, kami mohon!"

"Aku di sini..." suaranya parau, rasanya air matanya sebentar lagi akan mengucur. Aria kembali melihat tubuh transparannya. "Teman-teman hiks... Kenapa dengan tubuhku? Hiks... Aku─" ucapannya mendadak terhenti. Rasanya bola matanya sebentar lagi akan meledak saat matanya menangkap objek yang sedari tadi dikerubungi banyak orang. Ia benar-benar tidak bisa mempercayai penglihatannya sekarang. Itu sangat mustahil. Tidak mungkin apa yang ia lihat sekarang berada di depannya.

Tubuh seorang gadis yang terbaring. Helaian rambut coklatnya melambai saat orang-orang mengangkat tubuh mungil itu. Dia tidak pingsan, tidak juga tidur. Dia tidak mati, hanya saja dia tidak bisa dibangunkan. Dan saat itu juga tubuhnya meluruh, jatuh dan terduduk di atas tanah. Air mata tak bisa lagi ia bendung, mengalir deras bak aliran sebuah sungai yang jatuh ke tanah namun tak membasahi.

Gadis itu adalah dirinya sendiri.



TBC

 

Mickey139

Holla, aku kembali dengan cerita baru, hehehehe... padahal ceritaku yang lain belum selesai. Tapi mau bagaimana lagi, aku greget banget pengen publish 😆

Eh, BTW cerita ini adalah remake dari FFN ku dengan judul yang sama, jadi kalau sudah ada yang baca dan merasa sama, karena memang sama 😂.

Ok gitu aja.

....

Sign in
Mickey139 18.12.2016

Silahkan baca chapter Selanjutnya Laki-laki Aneh
Share:

Friday, July 15, 2016

My Secret Feeling


MY SECRET FELLING  © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.


.
.
.

BAGIAN 1

Pernikahan itu sebenarnya seperti apa? Apakah menikah harus dilandasi dengan rasa cinta atau karena dia adalah seseorang yang selalu menemani kita? Lalu aku termasuk dalam kategori apa? Dia bukan teman ataupun kekasihku, namun aku mau menikahinya. Dia bukan orang yang selalu ku lihat ataupun ku kenal, namun kenapa aku diminta untuk menikahinya?

Kehidupan kami setelah menikah terbilang damai, tak ada konflik apapun yang pernah terjadi pada kami, pertengkaran atatupun keluhan. Semua berjalan seperti alur yang sudah ditentukan.

Tapi ada satu yang kusesalkan. Aku telah jatuh cinta pada suamiku sendiri.

Seharusnya itu adalah hal yang wajar. Kami adalah sepasang suami-istri yang akan selalu hidup bersama karena dalam perjanjian kami tak ada kata cerai.

Lalu masalahnya apa?

Karena dia adalah manusia es yang tidak memiliki hati. Sifatnya dingin dan kaku, terlebih jika aku ada di dekatnya. Seolah aku adalah sesuatu yang harus dia hindari, seperti bakteri yang dapat membuatnya terjangkit penyakit mematikan.

Dan itu benar-benar membuatku kesakitan.

Bagaimana tidak, bayangkan jika seseorang yang kamu cintai menghindarimu layaknya kuman yang bisa menginfeksi dia dan membuatnya mati. Sakit, bukan.

Tapi tenanglah, walaupun aku hidup dalam pernikahan seperti ini, tidak membuatku semenderita layaknya dalam novel maupun drama-drama televisi. Well, namun ku akui jika hidupku sangat monoton, hanya seputaran rumah dan kantor. Urus suami yang jarang sekali dihargai dan bekerja. Tidak ada canda tawa, tatapan penuh kasih, pelukan sayang di pagi hari atau pun kecupan saat pergi bekerja dalam rumah tangga kami.

Kami menikah memang karena sebuah perjodohan. Entah dari mana ayah mertuaku dan ayahku bisa saling mengenal dan akhirnya memutuskan menjodohkan kami. Dia tidak membantah dan menolak perjodohan ini begitu pun denganku.

Setiap hari aku selalu melayaninya sebagai seorang istri memasakkannya sarapan dan makan malam yang sangat jarang dia makan. Namun untuk hubungan suami istri kami belum pernah melakukannya. Bagiku melakukannya harus dengan seseorang yang aku cintai dan juga mencintaiku. Aku memang sudah mencintainya sejak awal kami dijodohkan namun tidak dengan dia. Entah apa yang dia pikirkan saat menerima perjodohan ini.

Seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan pagi yang mungkin dia tidak akan memakannya. Kemudian menaruh kertas not pada kulkas bahwa aku akan berolah raga pagi. Yah kebiasaan sejak dulu sampai menikah. Aku harus melakukan olahraga agar tubuhku tidak mudah sakit.

Diperjalanan aku bertemu dengan seseorang. Dia laki-laki tampan dengan tubuh kekar seperti suamiku. Aku memang belum secara langsung melihat tubuhnya namun setiap pakaian yang dia pakai selalu melekat dan menampakkan otot-otot kekarnya. Yah kadang aku berfikir ingin menyentuh dan merasakan tektur dari tubuhnya apalagi otot bagian perutnya. Astaga kenapa malah memikirkan yang mesum-mesum sih.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Bagas, laki-laki yang ku temui saat lari pagi.

“Ah... aku tidak apa-apa. hehehe...” sahutku

Sepanjang perjalanan kami terus berbincang. Dia ternyata bekerja di perusahaan furniture, perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan suamiku. Dia juga menduduki posisi penting di perusahaannya itu tetapi aku tidak tahu pasti posisi seperti apa.

Tepat di depan rumah kami berpisah dan untung juga arah rumah kami searah. Dia pamit tanpa masuk, yah aku juga tidak mungkin membiarkannya masuk. Aku memiliki seorang suami dan juga dia adalah seorang yang baru ku temui. Aku pun memasuki rumah dan langsug memasuki dapur. Di sana aku melihat suamiku yang sedang memakan sarapannya. Aku senang, tentu saja. Jarang-jarang dia memakan masakan yang ku buat.

“Kau dari mana saja?” tanyanya dengan nada datar.

“Bukankah aku sudah memberitahumu lewat catatan itu?” Sahutku juga dengan nada tak kalah datar. Menunjuk catatan yang ku temple pada kulkas.

Aku membuka kulkas dan menuangkan jus di gelas untuknya dan air minum untukku. duduk di depannya lantas mengambil sarapan. Ah.. masa bodo dia merasa risih dengan bau badanku yang langsung makan tanpa mandi terlebih dahulu.
“Siapa yang mengantarmu tadi?” tanyanya sekali lagi.

Aku heran tumben dia bertanya terlebih dahulu. Biasanya juga dia masa bodoh dengan apa yang ku lakukan.

“Oh... dia Bagas, kami tadi bertemu saat lari pagi.”

Setelah menjawab pertanyaannya, tak ada lagi pertanyaan lanjutan yang dia kemukakan. Aku melihatnya yang sedang menyantap makanan buatanku. Tampak lahap seolah semalam dia tidak makan.

“Ada apa?” Tanyanya sambil menatapku bingung.
“Bukan apa-apa. Oh ya, apa kau tidak ke kantor?” Tanyaku mengalihkan.

“Mungkin sekitar jam 8.”

Aku tercenung menatapnya. Satu hal aneh yang ku dapatkan lagi hari ini dari dia. Dia menjawab pertanyaanku yang biasanya dia abaikan.

“Kau kenapa? Apa aku salah menjawab pertanyaanmu?”

Aku menggeleng di detik berikutnya aku tersenyum. “Tidak. Kau tidak salah menjawab.” Jawabku lantas membereskan peralatan makan. “Aku duluan.” Ujarku sebelum meninggalkannya yang kebingungan dengan kelakuanku ini.

Aku bergegas mandi dan dengan cepat memakai pakaian. Kemeja putih dengan blazer warna pastel yang dipadukan dengan celana panjang berwarna krem. Yah aku memang berpenampilan berbeda dengan karyawan yang lain, tidak seperti mereka yang sering memakai rok pencil selutut atau di atas lutut seperti asisten suamiku aku malah menutup kaki-kaki jenjangku. Bukannya karena banyak bekas luka di kakiku, tapi aku gak terbiasa memakai rok. Aku merasa risih saja jika duduk seolah orang-orang bisa melihat bagian dalam rokku dan juga tidak bebas. Ku akui aku memang sedikit tomboy.

“Aku pergi duluan.” Ucapku pada suamiku ketika melewatinya. Dia sama sekali tidak menyahut dan masih asik dengan dunianya sendiri. Baginya lebih mengasikkan menonton berita dari pada menyahutiku.

“Hn. Hati-hati.”

Aku berhenti sejenak. Menatapnya yang tak berpaling dari TV. Apa aku sedang berhalusinasi lantaran ingin sekali mendengar sahutannya? Tetapi sepertinya tidak. Telingaku masih normal dan suaranya juga masih bisa terdengar di telingaku. Ini adalah satu keanehannya hari ini. apa yang terjadi padanya? Apa dia sudah berubah? Ah. Entahlah. lebih baik aku bergegas ke kantor, dari pada mendapat kata-kata mutiara dari bos.

Hanya berselang 20 menit setelah menaiki taksi aku sampai di tempat kerja. Hotel ternama di kotaku dan memiliki banyak cabang di kota-kota besar. Hotel Maximilium dengan gedung bertingkat 40. Untuk devisi bagian kantorku sendiri terletak di lantai lima sedang ruangan suamiku terletak di gedung lantai atas.

“Pagi Za!” sapa Mai teman kerjaku. Atau mungkin satu-satunya temanku. Sejak delapan bulan yang lalu dan bertepatan hari nikahku aku mulai bekerja di sini dan tak ada satu pun yang mau berteman denganku yah kecuali Mai dan Neil. Dialah satu-satunya yang maun berteman denganku. Di kantor ini tak ada siapapun yang tahu jika aku sudah menikahi bos mereka. Mereka hanya tahu jika bos mereka sudah menikah namun belum pernah melihat secara langsung wanita itu.

“Pagi.” Sahutku setelah mengisi daftar hadir.

BUGH

“Ah...” aku hanya bisa menghela nafas ketika lagi-lagi mendapatkan perlakuan ini. heran deh bukankah mereka sudah dewasa, tapi kenapa sikapnya tidak lebih dewasa seorang siswa SMA?

“Sabar yah, Za!” ucap Mai menenangkan. Sebenarnya aku bisa saja membalas mereka namun aku tidak ingin membuat keributan apalagi jika nantinya kelakuanku akan membuat nama baik suamiku buruk.

“Hah... sudah biasa Mai. Aku juga malas tanggapi mereka. Buang-buang waktu.”

“Aku salut sama kamu, Za! Kok bisa yah kamu kendalikan emosi kamu menghadapi mereka, kalau aku sudah lama membalas mereka. Apalagi kau itukan pemegang sabuk hitam kempo.” Ucapnya sambil menggelengkan kepala.

“Ah... sudahlah, lebih baik kita segera masuk. Aku tidak mau mendengar kata-kata mutiara”

Kami kembali berjalan memasuki ruangan perkantoran kami. Lekas kami duduk di bilik masing-masing. Ruangan tempat kerjaku hanya di batasi oleh sekat dan dalam satu ruangan terdapat enam bilik dengan satu ruang khusus untuk kepala devisi.

“Oh ya malam kemarin saat jalan ke mall, aku sepertinya melihat Zahya. Dia jalan dengan seorang laki-laki tua dan aku yakin laki-laki itu bukanlah salah satu keluarganya. Kira-kira siapa, yah?”

Hah... aku hanya menghela nafas mendengar gossip yang kelewat keras itu hingga terdengar luar ruangan. Heran, tidak ada bosan-bosannya mereka mencibir bahkan menghinaku. Memang apa yang sudah ku lakukan pada mereka?

“Gak usah di dengar, Za! Gak penting.” Ucap Mai menenangkan sambil memberiku laporan yang harus ku setor kepada kepala devisi.

Aku hanya angkat bahu tak memedulikan mereka. Biarlah mereka berkoar-koar sendiri sampai mereka bosan, toh apa yang mereka katakana tidak benar. Lagipula kemarin malam aku hanya diajak jalan oleh ayah mertuaku sekalian menanyakan kabar pernikahan kami yang tentu saja ku jawab dengan kebohongan.

Tepat ketika waktu telah menunjukkan angka 7.30 semua kembali pada rutinitas kerja masing-masing. Tak ada lagi suara mulut dan gossip-gosip tidak berguna tentang diriku yang ada hanya suara keyboard dan print yang terdengar.

Beberapa menit kemudian pintu ruangan kepala divisi terbuka dan menampakkan seseorang dengan tubuh gempal serta kepala botak sebagian. Pak Doni, kepala divisi kami muncul dan mencari seseorang. Pandangan kami bertemu lantas memanggilku. Tanpa banyak tanya segera ku langkahkan kakiku menuju ke arahnya. Suara bisik-bisik pun terdengar namun tak ku hiraukan, karena tahu apa yang mereka bisikkan.

“Tolong kau bawakan ini pada pak Jonathan. Ini adalah laporan yang dimintai oleh beliau dan juga laporan kemarin yang kuminta kumpulkan juga bawakan kepada beliau.” Ucapnya sambil memberikan laporan itu padaku.

Aku keluar dari ruangannya lantas berjalan menuju bilikku dan mengambil laporan yang sudah dikumpulkan padaku.

Mai berjalan ke arah bilikku lantas menyanggah tangannya di atas sekat. “Apa yang dikatakan pak Doni? Kau tidak dimarahikan karena kemarin kau telat ke kantor?” tanyanya penasaran. Ada raut cemas yang terpatri di wajahnya. aku senang bekerja pada devisi ini, yah walaupun hampir semua karyawan pada devisiku tidak menyukaiku bahkan terkesan membenciku namun ada Mai yang selalu ada dan juga Neil yang suka menghiburku dengan lawakannya.

Aku menggeleng lantas tersenyum, “Aku hanya dimintai untuk mengantar semua laporan ini...” jawabku sambil menunjuk tumpukan laporan yang sudah mereka kumpulkan di mejaku. “Pada pak Jonathan.” Lanjutku lantas mengambil semua laporan itu.

“Wah... Kau beruntung sekali bisa bertemu dengan pak Jonathan. Aku iri padamu.” Sahutnya tiba-tiba. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. Bukan rahasia jika hampir semua karyawati di perusahaan ini menyukai suamiku. Selain tampan dia juga mapan dan yang terlebih dia memiliki postur tubuh yang sempurna. Mai pasti akan pingsan jika aku mengatakan bahwa orang yang dia kagumi itu ada suamiku.

“Kau ini. sudahlah, aku pergi dulu, nanti aku dimarahi jika terlalu lama menyerahkan laporan ini.” kataku seraya pergi meninggalkan Mai yang masih berada dalam euforianya sendiri.

Aku memasuki lift dengan susah payah karena harus membawa tumpukan laporan bulanan ini. terlebih dengan karyawan lain yang juga berada di dalam lift. Kami saling berhimpitan saat ada lagi karyawan yang ingin memasuki lift.

Selang beberapa menit satu per satu karyawan itu keluar dan meninggalkanku sendirian di dalam lift. Lantai terhenti di lantai 35 tidak lama kemudian, aku keluar dan bergegas menuju ruangan suamiku.

“Apa itu laporan bulanan yang dimintai pak Jonathan?” tanya sekertaris suamiku saat melihatku yang kesusahan membawa semua laporan bulanan. Tanpilannya benar-benar seksi. Kemeja putih yang dua kancing atasnya sengaja dia buka dan menampilkan belahan dadanya juga rok pencil kependekan yang kira-kira panjangnya hanya sejengkal dari pangkal pahanya.

“Yah. Bisakah kau menolongku membukakan pintu ruangan pak Jonathan!? Aku sedikit kesusahan memegang handle pintu.” Mintaku.

Untunglah dia bersedia membukakan pintu untukku. ku kira dia seperti karyawan lain yang juga tidak menyukaiku. Yah walau penampilannya seperti ingin ke klub malam, namun dia tetap membantuku.

“Maaf pak laporan bulanan yang anda minta sudah dibawa kemari.”

Aku memasuki ruangan suamiku yang baru kali ini ku masuki. Ruangan ini terkesan maskulin dengan degradasi warna abu-abu juga hitam dan dipadukan dengan warna coklat pada furniture-nya. Sebuah jendela besar di belakang kursi kepempinannya juga ada sofa berwarna coklat kayu di tengah ruangan tersebut.

“Simpan saja di meja!” Perintahnya padaku. Astaga, dia memang orang paling kaku sedunia. Tidak di rumah, di kantor pun sama. Tak ada kelembutan sama sekali. Nada bicaranya datar namun terkesan dingin. Apa yang akan client-nya itu pikirkan?

“Baik.” Sahutku seraya menyimpan laporan-laporan itu. “Saya permisi, Pak.” Ucapku setengah membungkuk sebelum keluar dari ruangan itu. aku tersenyum ketika mendapati asisten itu menatapku.

“Bagaimana?”

Belum juga aku duduk di kursi kerjaku Mai tiba-tiba menanyaiku. Aku hanya mengernyit bingung menanggapinya, “Bagaimana apanya?”

“Itu loh, rupanya pak Jonathan. Keren gak?”

Jadi itu maksudnya. Hah, aku pikir apa yang dia maksud, tentu saja suamiku itu selalu tampil keren. Yah seandainya bisa ku jawab seperti itu. “Biasa saja. Sama kok dengan penampilannya yang biasanya.” Jawabku tak menatapnya dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku malas sekali menanggapi pertanyaan seperti itu.

Suamiku walaupun tiap hari saling bertemu, tapi selalu dianggap seperti angin lalu, di rasakan tak dilihat. Sakit, tentu saja, tapi apa yang harus ku lakukan jika itu semua berasal dari dirinya sendiri? Sudah cukup usahaku selama ini untuknya.

“Hei... kenapa malah melamun sih?” ucap Mai sambil mengibaskan tangannya di wajahku.

“Apa tadi aku sedang melamun?” tanyaku ulang membuatnya sedikit dongkol.

“Dari tadi aku bertanya, tapi kau hanya sibuk dengan tatapan kosongmu pada layar computer. Apa coba yang kau lakukan kalau bukan melamun?”

“Hehehe...” aku hanya mampu menyengir tidak jelas menanggapi kata-katanya.

“Hah... Aku kembali saja ke bilikku. Bentar dilanjutkan!?” ucapnya sebelum kembali pada biliknya.

Aku kembali memeriksa pekerjaanku. Memastikan tak ada yang salah sebelum menyerahkannya pada kepala devisi untuk direvisi.

Tidak lama untuk memeriksanya karena hanya mengenai data-data yang sudah sering ku lakukan dan juga sudah ku kuasai.

Aku menghampiri ruangan kepala devisi untuk menyerahkan laporanku. Lagi-lagi aku mendapatkan tatapan benci mereka. Heran sebenarnya apa masalah mereka padaku. padahal awal masuk kantor semuanya biasa saja, namun setelah beberapa minggu entah karena sebab apa mereka mulai menunjukkan rasa tak sukanya.

“Maaf mengganggu, Pak. Saya mau menyerahkan laporan yang anda minta dua hari yang lalu.” Ucapku formal lantas menghampiri mejanya dan menyerahkan laporanku

“Cepat sekali, Za. Kau tidak istirahat mengerjakannya?” Tanyanya. Rautnya menunjukkan heran atau mungkin juga kekaguman, yah kurasa. Entahlah.

“Ah... Tidak pak. Jika tidak ada pekerjaan saya biasa mencicilnya, jadi cepat selesai.” Jelasku. “Apa saya bisa kembali?” Tanyaku.

“Oh, baiklah. aku akan memberitahukan jika ada kesalahan.” Pak Doni mendongak dan menatapku sekilas dan kembali memeriksa laporanku.

“Terima kasih, Pak. Saya permisi.”
TBC 
.
.
.
.
.
 a/n : Cerita ini sebelumnya sudah saya publish ke WATTPAD, dan di sini saya sudah edit (banyak perubahan)
See U
Mickey 15.07.16
Next : BAGIAN 2


Share:

Sunday, September 20, 2015

Princess of Frog [Bagian 1 : Mimpi Pertama]

CH LENGKAP SELANJUTNYA




BAGIAN 1 : MIMPI PERTAMA


Apa kalian pernah mendengar kisah tentang pangeran katak? Pangeran yang dikutuk oleh seorang penyihir jahat karena rasa dengki dan kutukannya itu berhasil dipatahkan dengan ciuman tulus dari seorang putri.

Sebenarnya, kisahku mirip seperti itu. Yang membedakan adalah, pertama, aku ini perempuan. Kedua, aku tidak dikutuk oleh penyihir melainkan karena ketidaksengajaan. Ketiga, aku belum menemukan seseorang yang mau memberikan ciuman tulusnya, dengan kata lain, kisahku masih berlanjut. Terakhir, yang mungkin bisa sedikit kusyukuri adalah karena wujudku tidak berubah menjadi katak, hanya saja tenggorokanku sering mengeluarkan suara katak.

Kondisiku ini sudah berlangsung selama tiga tahun dan selama itu aku tidak pernah keluar rumah. Aku juga sudah berhenti sekolah dan melanjutkan dengan home schooling. Guru yang mengajariku pun adalah orang yang sudah tahu kondisiku. Guruku adalah tante Iren, adik mama yang juga mengajar di salah satu sekolah swasta.

“--ganteng banget deh pokoknya--"

Ah, satu lagi, hampir terlupa. Yang lagi curhat ini namanya Rania. Satu-satunya teman setia yang masih kumiliki, sekaligus yang membuat aku seperti ini.

"--terus, tadi aku malah fokus lihat bibirnya pas makan mi ayam. Kalau gak kenal tempat, sudah kusosor tuh bibirnya. Gemas banget deh. Nah-- kamu dengar gak sih aku cerita?"

Aku hanya meringis kecil tanpa menyahut. "Oke aku lanjut." katanya membuatku menghela. Kapan sih dia selesai curhatnya. Aku benar-benar sudah bosan dan mengantuk.

"Uh, pokoknya yah kalau kamu ketemu dia, mata kamu gak bakal jelalatan kemana-mana. Karismanya tuh kayak memaku tatapan kita ke arah dia saja."

Sebenarnya, dari tadi aku tidak mengerti apa yang Rania bicarakan. Dan aku juga tidak tahu siapa yang ia maksud.

“Intinya yah, dia tuh kayak pangeran yang ada di disney. Udah ganteng, tajir, otaknya encer--"

"Bosan ah Rania WROOG... Kenapa kamu gak bilang intinya aja sih? WROOG... Kamu suka dia, kan? WROOG...”

Dia menatapku aneh. “Aku?” Menunjuk dirinya sendiri “Nggak dong. Dia ganteng emang, tapi kayak patung es.”

Aku menyerngit, kalau Rania tidak suka, kenapa dari tadi ia malah curhat tentang orang itu? “Kalau gak suka, ngapai curhat tentang dia?"

“Hahaha...” Rania tertawa, sesekali menyeka air mata di sudut matanya. “Kamu ini ada-ada saja, deh. Aku kan cuma gosipin dia, tapi bukan berarti kalau aku juga tertarik."

"WROOG?" Terus kata-kata yang kudengar tentang sosor bibir karena mi ayam itu maksudnya apa?

“Aku jadi penasaran ingin melihatnya. WROOG...”

Mendengar pernyataanku sentak membuat Rania seketika menghadapku. Mimiknya berubah jadi bahagia, “Serius?” Tanyanya.

Aku hanya menaikkan satu alis, bingung dengan pertanyaannya. “Maksudmu? WROOG....”

“Apa kau serius ingin melihatnya?” Tanyanya sekali lagi memastikan bahwa pertanyaanku tadi bukanlah sebuah delusi sesaat yang dia dengar.

Aku mengangguk tanda membenarkan pertanyaannya. “Memang kenapa kalau aku ingin melihatnya? WROOG. Apa ada yang salah? Kenapa kau terkejut seperti itu? WROOG.” Tanyaku.

“Ah.......~ Akhirnya, sahabatku ini akan keluar juga dari menara mengerikan ini.” Dia berteriak kegirangan sambil melompat-lompat di atas tempat tidurku. Sebenarnya ada apa dengan sahabatku ini. Aku tahu dia aneh, namun baru kali ini aku melihatnya seaneh ini.

“Kau kenapa? Kenapa bertingkah seperti itu, kau seperti baru menemukan harta karun? WROOG...~” Tayaku keheranan.

“Tentu saja aku senang, karena baru kali ini aku mendengar dari bibir manismu itu, kalau kau ingin keluar dari sini tanpa paksaan.” Jelasnya dan aku tersadar kalau apa yang dia ucapkan itu semua benar.

“Hehehe... WROOG... Maaf yah... WROOG...” Ucapku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

.
.

Princess of Frog

.
.

Aku melihat seseorang berada di atas permukaan air danau yang berwarna biru kehijauan. Saat itu malam hari, dan air nampak berkilauan di timpa cahaya rembulan. Aku dapat melihat dengan jelas sosok itu dari kejauhan. Dia seorang pria yang nampak seperti sedang menunggu. Dia menengadah menatap rembulan. Sosoknya yang terkena cahaya bulan memperjalas sosoknya yang amat sangat rupawan.

Aku ingin menghampirinya, namun kakiku tak bisa melangkah mendekatinya. Dia berada di atas permukaan danau, sedang aku berada di permukaan tanah. Jika aku melangkah, aku akan tenggelam. Dia melihat sosokku yang sedang kebingungan menatapnya, dia pun juga begitu. Ketika dia ingin melangkah, kakinya juga tertahan. Air seakan menahan kakinya untuk tidak beranjak.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak kunjung keluar. Hanya bisikan malam yang menemani sepi kami. Dia juga ingin mengucapkan sesuatu namun suaranya tak kunjung terdengar.

.
.

Princess of Frog

.
.

Aku terbangun saat cahaya putih menyilaukan menerpa wajahku. Melirik ke samping, ternyata jendela kamarku tak tertutup. Mungkin setelah kepulangan Rania kemarin, aku langsung tertidur dan lupa untuk menutup jendela kamarku. Aku turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

Hari minggu yang cerah, namun tak secerah diriku. Aku masih memikirkan mimpiku semalam. Entah apa artinya. Dan laki-laki itu siapa? mengapa dia berdiri di atas permukaan air dan apa yang sedang dia tunggu? Apakah itu adalah aku? Tapi kenapa? Ah.. pikiran-pikiran aneh lagi. Mana mungkin. Itu hanyalah sebuah mimpi, bunga tidur yang biasa orang alami. Itu adalah normal bagi semua orang termaksud diriku.

Aku membasuh wajahku dan menatap cermin di depanku. Melihat refleksi tubuhku yang mulai segar kembali setelah membasuh.

“Hei... Apa aku bisa sembuh? WROOG...” Tanyaku pada refleksi diriku. “Sebenarnya apa yang sudah terjadi sebelum ini? Kenapa hanya aku yang mendapatkan suara sialan ini? WROOG...” Tanyaku lagi. Setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mataku.

Ini adalah kebiasaanku sejak tiga tahun yang lalu, bertanya pada bayangan diriku lalu kemudian menangis. Selalu seperti ini, menyembunyikan kesedihan diriku dari orang lain. Menutupinya dengan keceriaan yang mana membuat orang tak sadar dengan keadaanku.

Bohong kalau aku sudah menerima keadaanku ini. Siapapun itu jika mengalami hal seperti yang aku alami, pasti akan bersedih dan sulit menerima keadaannya.

Sungguh aku ingin sembuh. Tidak ada keinginan lain yang kuinginkan selain kesembuhanku. Aku sudah tak mampu lagi melihat kesedihan keluargaku dan rasa bersalah dari sahabatku. Aku tahu walau mereka menyembunyikannya. Pancaran mata mereka tak bisa berbohong, walau ekspresi menunjukkan kegembiraan. Sungguh aku tahu jika mereka melihatku penuh dengan kesedihan.

“Sayang, cepatlah turun. Nasi gorengmu nanti dingin.” Teriak ibuku. Aku buru-buru menyeka air mataku dan kembali membasuh wajah. Ku lirik sekali lagi cermin di depanku memastikan tak ada jejak air mata di sana.

“Iya, Bu. WROOG...” Sahutku, lantas bergegas menuju ruang makan.

Di sana sudah ada ibu, kakak, dan ayahku tengah menyantap makanan mereka. Mereka melihatku lantas tersenyum, walau senyum itu penuh kepedihan tetap ku balas, agar mereka tak menyadari kesedihan yang kualami.

“Ku dengar kau akan berjalan-jalan bersama Raina?” Tanya ibuku ketika aku sudah duduk dan akan menyantap sarapan pagiku.

“WROOG... iya benar, Bu. Aku ingin berjalan-jalan. Katanya Raina ada tempat bagus yang belum banyak orang yang tahu. WROOG...” Jawabku menatap matanya. Aku bisa melihat kesedihan yang mendalam dari tatapannya itu.

“Apa perlu ku antar?” timpal kakakku melihatku penuh minat. Nampaknya dia juga tertarik pada tempat yang ingin ku kunjungi. Hobinya sebagai fotografer membuatnya ingin mendapatkan tempat-tempat yang belum terjamah.

“Mmm... WROOG...” Aku pura-pura berfikir, membuatnya was-was dengan jawabanku. Aku menyengir lantas mengangguk. Ku lihat dia mendesah lega mendapat respon positif dariku.

“Huh... kau ini, bikin kakak takut saja. Ku pikir kau tidak akan mengijinkan kakak untuk ikut.” Sungutnya sambil mengacak-acak rambutku.

“Hehehe....”

.
.

Princess of Frog

.
.

“Wah... WROOG... Ups... Hah suara menyebalkan, tapi tempat ini keren banget, Rania. Dari mana kamu tahu tempat ini? WROOG...” Tanyaku setelah sampai. Well, perjalanan yang kami tempuh memang sangat jauh dan berjalan kaki, namun keadaan asri dan keindahan tempat ini mampu menguapkan rasa lelah yang kami rasakan saat perjalanan.

“Aku juga temunya tidak sengaja, saat kemping kemarin.” Balasnya dengan senyum.

Danau yang indah dengan perpaduan warna biru kehijauan. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar danau membuat udara di sekitarnya menjadi sejuk dan menenangkan. Terpaan sinar mentari dari celah-celah daun menambah keindahan danau itu, belum lagi suara ciutan dari burung-burung yang seakan menyambut kami. Sungguh tempat ini bagaikan permandian para dewi-dewi─ walau aku tidak tahu tempat permandian itu seperti apa. Ini hanyalah pengandaianku saja.

“Ra, sumpah yah. Benar kata Lili tempat init uh, tempat terkeren yang pernah aku lihat. Wah terima kasih banget yak Ra.” Ucap kak Devan.

“Hehehe... Terima kasih, kak. Ah.. Jadi malu dipuji terus.” Sahutnya. Dapat ku lihat pipinya memerah karena perkataan kak Devan.

“Kalian berdiri deh di sana. Aku ingin mengambil gambar kalian.” Pintanya pada kami. Kami menurutinya dan berjalan ke arah danau. Berfose layaknya seorang model untuk kemudian di potret oleh kak Devan.

Banyak gambar yang di hasilkan dari fose amatiran kami, namun terlihat keren. Kak Devan hebat sekali mengambil gambar. Namun ada satu gambar yang menurutku aneh. Bukan karena pose yang aku lakukan tetapi gambar aneh yang terekam di kamera saat aku berpose. Aku memperbesar gambar itu untuk memperjelas gambar yang berada di belakang diriku. Sesosok atau mungkin seorang tengah berdiri menatap ke arah kami, aku tidak tahu siapa itu karena gambar yang ku perbesar membuat sosok itu terlihat pecah.

Aku berniat memberi tahu kak Devan, namun niatku ku hentikan saat memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Dia pasti akan semakin mengkhawatirkanku.

“Lili, kemarilah! Kau harus melihat ini.” Panggil Rania.

Aku tertegun ketika sampai di tempat yang di katakan Rania. Tempat itu sama persis dalam mimpiku. Memang masih di tempat yang tadi, tetapi danau itu, baru ku sadari saat terpaan sinar mentari sore menyorotnya. Danau itu tampak berkilau dengan gradiasi warna yang indah. Orange, biru, dan hijau menyatu dan menghasilkan suatu paduan yang memanjakan mata.

“Ini... WROOG... Sungguh... Sungguh indah.” Ucapku sambil menitikkan air mata. bukan karena keindahan alam yang tersuguhkan di depan mataku, melainkan teringat akan mimpiku beberapa hari yang lalu. Mungkinkah ini adalah sebuah petunjuk bahwa sebentar lagi kehidupan normalku akan kembali? Semoga saja. Doaku dalam hati.

“Kau sampai menitikkan air mata karena keindahannya? Astaga kamu ini lebay banget deh...” Ucap Rania menatapku geli.

“Tentu saja... WROOG... Aku terharu. Aku kan baru pertama kali melihat pemandangan seindah ini. WROOG...” Sungutku.

“Hahaha...” Tawa mereka meledak mendengar alasanku menangis. “Makanya, sekali-kali keluarlah seperti ini. Kau akan menemukan lagi tempat yang lebih menyenangkan bahkan seindah ini.” Timpal kak Devan sambil mengelus-elus kepalaku.

“Kak... Jangan mengacak-acak rambutku!” cibirku berpura-pura kesal karena perlakuannya.

“Aku jadi pengen punya kakak.” Sahut Rania tiba-tiba. Aku tahu dia sedih dan kesepiankarena menjadi seorang anak tunggal.

“Heh.. Kau juga adalah adikku. Teman Lili adalah adikku juga, jadi kau boleh memanggilku kakak.” Sahut kak Devan menenangkan Rania.

Rania lantas tersenyum. Dia menatap kakak dengan binar penuh kebahagiaan. Setetes air mata terlihat di sudut mata Rania namun cepat-cepat dia seka. Berjalan menghampiri kak Devan lalu memeluknya penuh kasih, “Terima kasih kak Devan.”

Kami bertiga berpelukan. Aku senang memiliki kak Devan yang sabar dan sayang kepadaku walau menyebalkan, juga Rania sahabat yang selalu bersamaku. Tak peduli sesedih apapun diriku dia tetap berada di sisiku, menemani dan menghiburku. Aku menyayangi mereka. Sangat menyayangi mereka.

.
.

Princess of Frog

.
.

Setelah kejadian kemarin, aku jadi memikirkan apa yang dikatakan kak Devan. Menjadi pribadi penyendiri dan jauh dari sosialisasi ternyata buruk. Kesendirian dalam kastil─kamarku─ membuatku tak mengerti apa-apa, ternyata benar apa yang mereka katakan. Banyak tempat-tempat indah yang tidak pernah k temui sebelumnya. Walau pun yang ku kunjungi hanyalah tempat-tempat yang masih belum banyak orang yang tahu. Setidaknya aku bisa bebas berbicara pada mereka, kak Devan dan Rania tanpa takut di dengar oleh orang lain.

“Kak Devan sering ke mari?” Tanya Rania setelah puas mengagumi tempat yang kami kunjungi saat ini.

Tempat ini adalah salah satu pantai yang baru pertama kali ku jejakkan. Aku tidak tahu nama tempat ini bahkan letaknya saja aku tidak tahu. Pantai indah dengan laut biru kehijauan, tampak sangat jernih, pasir di pesisir pantai berwarna putih dan langit yang tampak cerah menyemarakkan keindahannya. Suara debur ombak dan suara bunyi camar menyatu bagai simfoni alam yang menyejukkan. Suasana yang mendukung untuk pikinik kami.

Aku berjalan menyusuri pesisir pantai menjauh dari kak Devan dan Rania yang sedang menyiapkan alat pikinik kami. Mataku terus menyusuri pantai ini untuk mencari-cari kerang yang akau ku bawa pulang sebagai oleh-oleh.

Banyak kerang yang terhampar di sepanjang pesisir pantai namun aku tidak mengambilnya, kerang-kerang itu sudah biasa ku lihat, aku ingin mendapatkan kerang yang unik dan tidak banyak orang yang punya.

Sebuah benda berkilauan menyilaukan mataku saat menunduk akan mengambil kerang yang menurutku unik. Aku menghampiri benda itu setelah mengambil kerang tadi. kalung dengan manic kristal berbentuk tetesan air berwarna biru yang di dalamnya terdapat titik-titik putih menyerupai sebuah rasi bintang, tapi aku tidak tahu rasi apa.

Aku menghentikan pencarianku setelah mendapatkan kalung itu. menghampiri kak Devan dan Rania yang masih sibuk.

“Lili, kamu dari mana saja sih? Kau tahu kami sibuk, eh... malah kau juga sibuk sendiri.” Comel Rania yang ku balas dengan sebuah cengiran.

“Maaf deh, WROOG... Aku cuman cari kerang unik. Hehe... WROOG... He...” Balasku sambil garuk-garuk belakang leher.

“Yah sudah bantu kami.”

Aku mengangguk tanpa bicara. Ikut dengannya membantu menyiapkan bahan-bahan makanan. Mereka tadi sudah selesai melebar karpet dan membuat tungku untuk bakar-bakar ikan. Aku dan Rania sekarang tengah membersihkan ikan yang akan kami bakar nanti. Ah.. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi ikan bakar kami. Makan di tempat dengan pemandangan yang memanjakan mata, rasanya luar biasa menyenangkan. Ini adalah kali pertama setelah tiga tahun mengurung diri di dalam kamar keluar dan melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti ini. aku jadi sedikit menyesal, kenapa tidak dari dulu saja aku melakukan ini semua?

TBC

a/n : kritik sarannya, please!!!


CH LENGKAP SELANJUTNYA


 

Mickey139


Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com