Fly with your imajination

Wednesday, July 8, 2015

Real of the Princess 2

Baca : chapter 1

Cerita sebelumnya


“Kau masuk grup apa?” Tanya seorang pemuda yang sedari tadi mengikuti Hinata. “Ku harap kita tidak satu grup. Aku tidak mau melawanmu selain di babak final nanti.” Lanjutnya beserta dengan cengirannya yang berhasil membuat Hinata sedikit terpesona.


“Sepertinya kita tidak se-grup. Lihatlah namumu dan namaku berada di grup yang berbeda.” Sahut Hinata dengan mengubah suaranya.


“Hah... syukurlah. Aku harap kita bertemu di babak final nanti. Kau jangan sampai kalah yah!”
Hinata tak menjawab, tetapi mengangguk. Rasanya dia juga ingin melawan pemuda itu. intuisinya mengatakan laki-laki itu kuat dan bisa memuaskannya.

~>O<~


Pair: Naruto & Hinata
Rate: T
DISCLAIMER : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey), 
Real of Princess © Mickey_Miki



Real Of The Princess
.
.
.

“Apa kalian siap!?” Tanya pembawa acara tersebut pada para penonton. Dengan gayanya yang menggebu membuat para penonton semakin bersemangat dan tak sabar untuk segera menonton pertarungan tersebut.

SIAP...! Balas penoton serentak

“Baiklah tapi sebelumnya aku akan menjelaskan pertandingan ini. Untuk babak pertama ini, para petarung dipisahkan dalam delapan grup dan mereka akan melakukakan battle royal. Battle royal adalah pertarungan semua petarung dalam satu ring. Jadi bagi setiap petarung semuanya adalah musuh! Dan siapa pun yang mampu berdiri hingga akhir tidak terelminasi dialah pemenangnya. Dan petarung yang tereliminasi bila mereka pingsan dan tak bisa melanjutkan pertandingannya atau mengucapkan kata menyerah. Para peserta untuk grup ini terdiri dari 120 petarung. Dan pertarungan untuk battle royal...─”

Ting.....

“─dimulai!”

Akhirnya setelah menunggu selama tiga puluh menit para peserta yang menjadi pembuka dalam pertandingan memasuki arena dan peserta yang lain─yang belum mendapatkan giliran bertanding naik ke lantai dua untuk menonton pertandingan.

Pemuda yang bersamanya juga berada dalam grup peserta awal yang menjadi pembuka pertandingan.

Ternyata felling-nya benar, laki-laki itu akan menjadi lawan yang baik untuk memuaskannya. Skill-nya benar-benar hebat. Semua gerakannya terarah dan tidak satu pun yang sia-sia. Walau terlihat biasa namun kesemua gerakannya tidak ada yang meleset.

Kemampuannya dalam menghindari, lalu melawan balik, semuanya telah diperhitungkan sebelumnya. Tetapi satu hal yang ingin Hinata lihat adalah kemampuan pemuda itu dalam memainkan pedangnya. Selama pertandingan berlangsung tak sekali pun pemuda itu menyentuh apalagi memainkan pedangnya.
Memang tanpa pedang pun laki-laki itu tak sekali pun pernah terdesak atau pun terkena pukulan dari lawan-lawannya. Malah ia bertarung dengan santai.

“Lumayan, setidaknya bisa sedikit memuaskanku.” Gumam Hinata dengan seringai. Senyum yang belum pernah dia nampakkan sebelumnya bahkan kepada keluarganya sendiri. Senyum psyco yang menginginkan sesuatu─ dan tidak akan berhenti bila belum terpuaskan.


Hinata sedikit berpaling dari pertandingan itu. Mengamati setiap peserta lain yang belum bertanding. Ada beberapa orang yang membentuk kelompok, mungkin membuat rencana untuk memenangkan pertandingan itu. Mereka orang-orang yang bukan berasal dari kerajaannya. Lebih terlihat seperti pekerja bayaran yang melakukan pekerjaan apa saja agar mendapatkan uang, walau pekerjaan kotor sekalipun termaksud membunuh.

Ada juga peserta yang sama seperti dirinya. Menghindari interaksi dari peserta lain sambil mengamati keadaan juga peserta yang akan menjadi lawannya nanti.

Sedang yang lainnya─para prajurit kerajaan─saling bercengkrama seakan mereka masihlah sedang berlatih, mereka tampak tak memiliki beban dalam pertandingan ini. Memang itu adalah cara terbaik untuk menghilangkan kegugupan atau bahkan cara mereka untuk saling mencari kelemahan?
Kembali pandangannya dia alihkan ke arena pertandingan. Rupanya pesertanya tidak sebanyak yang tadi, sekitar tiga puluhan yang tersisa termaksud pemuda bernama Naruto.

Dilihatnya laki-laki itu mengayunkan tangannya untuk menangkis pukulan musuh dan memberikan tendangan pada musuhnya yang lain. Dia bertarung melawan lima orang. Sepertinya peserta yang lain mulai tertarik padanya dan berniat menyingkirkan dia terlebih dahulu sebelum saling menyerang.

Banyak sorakan menggema di atribun penonton menyuarakan namanya─ mendukungnya ─yang kebanyakan adalah penonton wanita─ termaksud para peserta yang belum mendapatkan giliran bertanding. Mereka juga ternyata menyukai cara bertarung pemuda itu.

Ada juga seseorang dari grupnya yang bertarung hebat. Lelaki botak dan bertubuh besar juga kekar. Dia juga menghadapi beberapa orang yang sepertinya tidak menyukainya. Memang dia hebat namun cara bertarungnya sangat brutal dan tak terarah. Dia tidak segan-segan memukuli lawannya yang sudah tidak berdaya bahkan sudah mengakui kekalahan.

Sangat pantas untuk dihabisi.

Perhatiannya kembali kepada pemuda yang sudah menarik perhatiannya. Ternyata pemuda itu sudah berhasil mengalahkan lawan-lawannya yang tadi, bahkan lawan yang lain pun baru saja dikalahkan.

Kini tersisa dirinya dengan lelaki brutal tadi. walau melihat lawannya yang besar dia tidak gentar sedikitpun, bahkan terkesan santai. Seolah lawan yang berada di depannya itu sama seperti lawan-lawan yang sudah dia kalahkan sebelumnya, bahkan pedangnya tidak dia gunakan.

Laki-laki botak itu terlihat geram akan sikap pemuda itu. Dia merasa diremehkan. Laki-laki botak itu lantas menerjang Naruto. Berkali-kali melayangkan pukulan dan tendangan ke arah Naruto, namun tak satupun yang berhasil mengenainya. Bahkan Naruto terlihat santai menghindari serangan pria botak itu.

Berpaling, menunduk, bergerak ke kanan lalu ke kiri, kemudian menunduk lagi. Gerakan yang tidak membutuhkan energi banyak. Naruto bahkan terlihat seperti sedang menari.

Laki-laki botak itu berteriak tidak terima dengan perlakuan Naruto. Entah apa yang di ucapkan atau dilakukan Naruto hingga membuat pria botak itu sangat geram terhadapnya dan ketika laki-laki botak itu menyerangnya lagi dengan pukulan, Naruto tak lagi menghindar namun menagkisnya dengan satu tangan, lalu menarik laki-laki botak itu dan langsung melayangkan pukulan tepat ke wajah laki-laki itu dan membuat laki-laki itu terlempar sekitar lima meter ke depannya dan pingsan seketika.

Hinata takjub melihatnya lantas menyunggingkan sebuah senyum evil-nya. Dia sangat senang melihat pertandingan itu─gerakan pemuda yang bernama Naruto itu sangat hebat. Walau mungkin masih sedikit dari banyak gerakannya─yang hebat─ dari yang dia tampilkan tadi.

..........******.........

Hinata POV

“Hei... Bagaimana? Aku hebatkan?” Tanyanya dengan cengiran yang dia tampilkan. Panjang umur laki-laki ini, baru saja aku pikirkan dia sudah berdiri di depanku sekarang.

“Hn...” Jawabku malas. Memang dia sangat hebat, gerakan yang dia gunakan semuanya tidak ada yang terlewatkan. Semua lawan-lawannya bahkan tak ada yang berkutik melawannya sekalipun dengan laki-laki botak tadi. Dan sepanjang pertandingannya yang tadi ku tonton tak sekali pun aku melihatnya terkena pukulan.

“Hanya itu saja?” Ku lihat dia sangat terkejut dengan jawabanku. Memang itulah yang bisa aku ucapkan. Memang apalagi? Aku mengakui kehebatannya, tetapi kemampuan yang dia gunakan tadi tidaklah hebat-hebat, semuanya gerakan biasa. Aku memang sempat takjub padanya, namun untuk kemampuannya masih sedikit yang ku lihat, jadi aku tidak bisa mengatakan kalau dia hebat.

“Apa kau ingin menerima pujianku?” Tanyaku dan dia hanya tersenyum, sepertinya dia memang menginginkannya. “Aku tidak bisa memujimu sebelum melihat semua kemampuanmu. Aku tahu kau hanya bermain-main tadi.” Lanjutku. Aku melihatnya terkejut karena perkataanku.

“Hehehehe... Kau tahu rupanya.” Ucapnya dengan cengiran. Dia kemudian menggaruk belakang kepalanya kikuk. “Kau ternyata hebat bisa melihatnya. Aku jadi ingin segera bertarung melawanmu.” Lanjutnya sambil tersenyum.

“Kita akan bertemu di final.” Sahutku sebelum berjalan menuju arena pertandingan. Aku juga sudah tidak sabar ingin segera bertarung melawannya. Aku ingin melihat semua kemampuannya.

Tibalah aku di arena. Ternyata jika dilihat dari sini arena pertandingannya sangat besar, bahkan bisa menampung setengah dari keseluruhan prajurit kerajaanku. Tidak seperti saat di lantai dua ketika melihat para petarung bertarung tadi.

Semua peserta sudah berkumpul dan ternyata banyak juga prajurit kerajaan yang berada satu grup denganku termaksud... “Neji-nii.” Gumamku tidak percaya. Ternyata kakakku sendiri mengikuti pertandingan ini.

Perasaanku jadi tidak enak. Bagaimana jika dia tahu kalau aku adalah adiknya? Apa yang akan dia lakukan? Walau dia terlihat keras namun dia-lah yang paling perhatian, dia juga menyayangiku. Saat aku terbaring di kamar tadi, dia bahkan menyempatkan diri melihatku walau tidak menegurku, tetapi dari sorot matanya dapat ku lihat ada kekhawatiran.

Dia adalah orang yang sangat mengetahui diriku selain ibuku. Dia selalu tahu jika aku sedang menyembunyikan sesuatu. Dia... Dia...

Oh... Kami-sama, semoga saja dia tidak menyadari aku.

Mulaaaaiiiii.....

Akhir kata pembuka sebagai tanda pertandingan telah dimulai. Seseorang langsung melayangkan pukulan ke arahku. Dia adalah salah satu prajurit bawahan kakakku. Walau aku tidak pernah melihatnya, namun ikatan di kepalanya adalah tanda bahwa dia salah satu bawahan dari kakak.

Aku sedikit terkejut akibat serangannya, namun dengan mudah dapat kuhindari. Sedikit kuarahkan kakiku kebelakang hingga dengan leluasa tangaku bisa memukul tengkuknya dan membuatnya tak sadarkan diri. Aku tidak suka membuat gerakan yang bisa mengeluarkan banyak tenaga, selama lawanku yang ku anggap tidak terlalu kuat.

Melihat temannya yang jatuh pengsan karena pukulanku, para prajurit lain datang dan berniat membalasku dan menjadi lawanku selanjutnya. Tidak sulit mengalahkan mereka, karena mereka tidaklah terlalu kuat. Aku hanya menghindar dan menotok mereka dan membuat mereka pingsan.

Tidak mau menghadapi kakak, aku pun menjauh darinya, namun belum sempat berjalan jauh, para prajurit lain datang dan menghadangku. Aku pun kembali melawan mereka sambil berpura-pura berlari sedikit agar jarakku dengan kakak semakin jauh.

Aku bisa merasakan mereka menggunakan bahasa isyarat lewat mata dan pergerakan tubuhnya. Mungkin mereka akan mencoba gerakan kerja sama, yang sudah mereka latih. Yah.. Apapun itu jika bisa membuatku senang silahkan. Ck...

Ternyata dugaanku benar, mereka mulai melakukannya dan menyerangku. Gerakan mereka ini, kalau tidak salah namanya adalah ‘burung dalam sangkar’, dimana mereka sengaja menjebak lawannya agar bisa berada di tengah-tengah kurungan dan mereka akan memulai menyerang secara beruntun hingga lawannya kelelahan yang lantas diakhiri dengan sekali serang oleh mereka.

Hm.. Tapi maaf saja, aku tidak akan kalah dengan gerakan itu. Terlalu mudah untuk dibaca, karena gerakan mereka itu belumlah sempurna.

Salah seorang dari mereka menyerangku dan dengan cepat aku kembali memukul tengkuknya sebelum mereka kembali menyerangku. Melihat temannya yang jatuh membuat mereka sedikit gentar melawanku. Kembali seseorang menyeranku lagi dan dengan gerakan yang sama aku kembali memukul tengkuknya.
Terus. Dan terus mereka menyerang dan kembali memukul tengkuk mereka bahkan ada juga yang ku totok agar tak bergerak sampai akhirnya mereka semua ku tumbangkan.

Kutengadahkan kepalaku dan melihat sekeliling, ternyata hampir semua petarung telah tumbang.

Aku juga bisa melihat kak Neji sedang melawan lawan yang tangguh. Aku mengakui kakak memang sangat kuat, dan tidak pernah ku dengar ada seseorang yang bisa mengalahkannya dan membuatnya terdesak, hingga sekarang.

Kakak melawan seorang laki-laki yang memiliki potur tubuh lebih besar darinya, sedikit brewok, dan wajahnya yang menyeramkan. Menyeramkan dalam versiku sebenarnya, dia seperti seorang penjahat india. Penjahat yang bulan lalu telah tertangkap karena kejahatannya. Menculik gadis-gadis di kerajaanku lalu menjualnya dan sebagian dijadikan sebagai budak.

Kakak terengah melawan laki-laki itu. Peluh sudah membanjiri tubuhnya bahkan pakaiannya pun sebagian sudah basah. Terdapat beberapa lebam di wajahnya karena terkena pukulan lelaki itu juga luka gores di beberapa bagian tubuhnya sampai bajunya pun banyak robekannya karena senjata yang di gunakan oleh laki-laki penjahat india itu.

Salah satu kebiasaan kakak. Dia tidak suka menggunakan senjata dalam duel pertarungan seperti ini. Terlalu percaya diri dengan kemampuan beladirinya.

Dan mataku sukses membulat kala melihat kakak yang sedang bersimbuh akibat tendangan laki-laki itu di uluh hatinya dan laki-laki itu juga mengarahkan pedangnya ke arah leher kakak. Apa yang orang itu pikirkan? Apa dia berniat membunuh kakak tanpa memedulikan aturan pertandingan ini? Apa sedari awal tujuannya memang adalah kakak? Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menolong kakak.


Aku berlari menerjangnya, saat pedang itu akan mengenai leher kakak, aku segera menangkisnya dengan pedang prajurit kakak yang tadi ku kalahkan. Kakak terkejut melihatku, tapi tidak lama karena dia sudah jatuh tak sadarkan diri. Semoga saja dia tidak sadar kalau aku adalah adiknya.

Pandanganku beralih pada laki-laki yang hampir membunuh kakakku. Jubah yang ku gunakan sedikit berkibar akibat angin yang berhembus. Aku bertarung masih menggunakan jubahku, karena wajahku hanya bisa tertutupi oleh jubah yang kugunakan.

“He... Ada yang berani rupanya...” Ucapnya meremehkan sambil menyampirkan pedangnya di bahu kanannya.

Pedang yang kugunakan tadi segera ku lepaskan, karena aku ingin laki-laki itu merasakan pukulan dan tendanganku secara langsung. Aku tidak akan menotoknya atau langsung membuatnya pingsan. Aku ingin dia merasakan kesakitan, sama seperti kesakitan yang dirasakan oleh kakak.

Dia kemudian mengarahkan tendangannya kepadaku, namun dengan mudah ku raih kakinya dengan satu tangan, kemudian memelintir dan membuatnya jatuh tengkurap. Dengan sigap dia bangun dan langsung melayangkan pukulan dan tendangan yang membabi buta. Gerakannya brutal, penuh tenaga dan tak terarah. Aku tidak menangkisnya tetapi menghindarinya. Membiarkan dia menyerang seperti itu hingga membuatnya kelelahan sendiri. Tidak lama nafasnya semakin memberat, tenaga yang dia keluarkan tidak seperti yang tadi. Dia berhenti bergerak dan melihatku penuh kebencian.

“KAU! AKAN KUBUNUH KAU...!” Teriaknya penuh amarah. Seluruh penonton terdiam karena teriakannya dan aku hanya diam menyeringai menatapnya.

“Kau bahkan tidak bisa menyentuhku. Bagaimana caranya kau bisa membunuhku?” Sengaja mengejeknya. Sejujurnya tangan dan kakiku sudah sangat gatal untuk segera menyerangnya.

Dengan penuh emosi, dia berlari menerjangku, senjata yang dia anggurkan tadi dipakai untuk menyerangku namun dengan mudah aku menagkisnya. Memelintir tangannya hingga pedangnya jatuh dan melayangkan tendangan ke wajahnya. Tendangan yang membuat seekor beruang langsung tumbang hanya dengan sekali tendang.

“Aaaarrrrgghhhhhh.....~” Teriaknya kesakitan, sambil memegang batang hidungnya yang sepertinya telah patah. darah mengucur dari sela-sela jari yang memegang hidungnya. Yah tentu saja, bahkan beruang buas pun akan segera pingsan jika terkena seranganku itu, apalagi seorang manusia. Tapi kuakui orang ini sangatlah hebat. Sepertinya sedikit bermain-main bagus juga, sekalian membalaskan apa yang sudah dia lakukan pada kakak dan meredakan amarah yang bergejolak akibat tindakannya pada kakak.

“KURANG AJAR, SIALANNNNN.....!!!” Teriaknya kemudian. Dia menatapku penuh kebencian, lalu berdiri dan siap melayangkan tinjunya kepadaku, namun lagi-lagi kuhentikan dengan tanganku dan menariknya lalu memberikannya pukulan yang tidak kalah kuatnya dengan tendanganku. Tidak sampai disitu, aku kemudian memutar tangannya lalu menariknya kebelakang hingga terdengan suara ‘KRAK’.

“Arrrrrggghhhhh.....~” Aku meringis mendengar suara teriakan kesakitannya yang bahkan lebih keras dari pada beruang. Tangan yang dia gunakan untuk menghajar kakak sudah ku patahkan. Aku sedikit kasihan melihatnya, namun mengingat apa yang ingin dia lakukan pada kakak tadi menimbulkan kebencianku kembali.

Aku menghempaskannya hingga jatuh tersungkur ke lantai arena. Dia terlihat sangat kesakitan, namun kebenciannya padaku mengalahkan rasa sakitnya. Dia kembali berlari dan menghempaskan kakinya kuat ke arahku. Sekali lagi aku menangkisnya dan memberikannya tendangan lutut tepat pada uluh hatinya hingga tak ada suara lagi yang keluar dari mulutnya. Bahkan para penonton pun tak ada yang bersuara ketika ku layangkan beberapa pukulan lagi ke arahnya. Aku berhenti ketika dia benar-benar sudah tidak bisa lagi bergerak. Baru kali ini aku merasakan kemarahan hingga membuatku hilang kendali.

Aku melirik kakak yang terbaring lalu menghampirinya. Memegang pergelangan tangannya dan memeriksa denyut nadinya. Memang lemah, namun dia tidak akan apa-apa. Aku menghela nafas, bersyukur karena kakak baik-baik saja.


...dan pemenangnya adalah Hiruka....

Aku tidak memperdulikan lagi apa yang dikatakan oleh pembawaacara itu, setelah mengetahui kondisi kakak, aku kemudian segera beranjak dari sana. Aku tidak ingin ada yang mencurigaiku.

“Kau hebat tadi, tapi kau kehilangan kontrol melawan laki-laki itu.” Ucap Naruto ketika aku berada di dekatnya. Aku tidak ingin menanggapi semua ucapannya. Aku tidak ingin dia mencurigaiku. Aku tidak ingin dia mengetahui siapa aku sebelum bertarung dengannya.

“Aku akan pulang sekarang.” Ucapku yang membuatnya terkejut. Aku sudah tidak bisa berlama-lama di sini. Bisa jadi ada orang yang akan mengetahui diriku.

“Kenapa? Kau tidak ingin melihat pemenang di grup lain?” Dia bertanya dengan sedikit kecewa. Aku tahu dia pasti akan merasa bosan, karena dia tidak memiliki teman lain. Padahal semua perkataannya pun hanya sedikit yang kutanggapi.

“Aku akan pulang. Sampai jumpa di final.” Ucapku sebelum benar-benar pergi dari sana. Aku sangat lelah, bukan lelah karena pertarungan tadi, tetapi aku lelah memikirkan kakak dan tindakanku yang di luar kontrol tadi. selain itu, aku juga takut bila ada orang yang curiga karena menolong kakak tadi.

“Baiklah... Sampai jumpa.” Sahutnya dan kembali menonton pertandingan setelah semua orang-orang yang terluka di bawa ke tandu perawatan. Aku juga sempat melirik kakakku. Dia sudah sadar walau keadaannya masih kurang baik. Kurang baik─mungkin harga dirinya yang terasa sakit. Sudah dikalahkan ditolong pula.

Semoga dia baik-baik saja dan semoga dia tidak tahu bahwa yang sudah menolongnya adalah adiknya sendiri.
.
.
.

“Kau sudah kembali? Apa pertandingannya sudah selesai? Cepat sekali?” Belum sempat aku duduk, dia─tsunade─sudah mengajukan beberapa pertanyaan.

“Iya. Aku kembali sebelum pertandingannya selesai, tapi aku sudah bertarung tadi, dan aku bertemu kakak di arena. Aku juga menolongnya tadi. Walau pertandingan masih berlangsung aku kembali. Aku takut ada yang menyadari bahwa aku adalah seorang putrid. Putrid kerajaan ini.”

“Kalau begitu cepat bersihkan tubuhmu dan istirahatlah! Besok adalah pertarungan final-mu.” Ucapnya lagi, kemudian menyiapkan ramuan untukku. Aku tahu dia adalah tabib yang sangat hebat, tidak sedikit orang yang meminta bantuan mengobati karena kehebatannya, walau dirinya sangat sulit ditemui. Karena dia lebih memilih menjadi penghuni hutan istana, yang banyak terdapat binatang buas dan menjadi tabib lepas dari pada menjadi tabib istana. Padahal sudah berulang kali ia ditawari namun dia lebih memilih tinggal di hutan itu yang katanya di sana banyak terdapat tumbuhan obat.

“Baiklah. Terima kasih sudah menolongku.” Ucapku tulus. Aku ingin sekali dia menjadi guruku. Aku juga ingin mempelajari soal pengobatan dan meramu obat. Dia dan guruku termaksud dua dari tiga legenda di kerajaanku. Mereka adalah Petarung yang sangat hebat, yang sudah memenangkan beberapa pertarungan. Namun Tsunade dan temannya yang lain berhenti. Tsunade menjadi tabib lepas dan yang lain menjadi guru dan mengembara─ entah kemana tujuan akhirnya.

Setelah membasuh tubuhku sekaligus merilekskannya, aku keluar setelah memakai pakaian kebangsawananku di kamar mandi. Tidak mungkin aku memakainya di hadapan Tsunade. Dia kan sang legenda, sangat tidak sopan jika aku melakukan itu.

“Kemarilah!” panggilnya dan aku pun langsung mendudukkan diri di ranjang. Dia kemudian memberiku ramuan tadi untuk kemudian ku minum dan sebagian ada yang dioleskan di tubuhku.

Rasanya memang aneh, namun tak ada rasa pahit. Ada rasa mint, juga sedikit manis dan sedikit menjijikkan. Efeknya langsung menerjang tubuhku. Obat yang dia olesi juga semakin membantu tubuhku menjadi lebih segar dan sedikit rileks dan membuat perasaannku jadi tenang, pikiran-pikiran yang tadi berseleweran di benakku seolah lenyap tak bersisa. Seakan semua yang ku alami tadi tidaklah nyata dan merupakan sebuah mimpi.

“Obat apa yang kau berikan padaku? Aku jadi merasa lebih rileks.” Tanyaku penasaran.

Dia terdiam tampak berfikir. Mungkin mencoba mencari kata-kata yang bisa mewakili jawabannya, karena ku yakin jawaban yang nanti akan dia utarakan padaku sama sekali tidak akan ku mengerti.

“Kau tidak akan mengerti bila ku jelaskan. Kau istirahat saja sekarang. Lagipula efeknya akan lebih terasa jika kau membaringkan dan mengistirahatkan tubuhmu itu.” Jawabnya yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Namun tetap ku turuti setiap perkataannya, karena apa yang dia katakan sangat benar. Walau aku sudah lebih rileks, tetapi tetap saja tubuhku masih membutuhkan istirahat untuk mengahadapi pertarungan final besok.

“Aku akan kembali. Besok pagi aku akan kemari lagi. Selama kau masih bertanding aku akan datang ke mari.” Ucap Tsunade sambil membereskan peralatannya.

“Apa aku harus melakukan hal yang sama seperti tadi pagi?” Tanyaku penasaran dengan mataku yang perlahan menutup.

“Tidak usah. Orang-orang istana sudah mengetahui kalau kamu sedang sakit dan membutuhkan waktu selama tiga hari untuk penyembuhanmu. Aku sudah memberitahukan mereka termaksud Raja dan saudara-saudarimu untuk tidak mengganggumu.” Jelasnya dan membuatku bisa bernafas lega. Untung saja ada nona Tsunade yang membantuku.

“Ah... Tsunade-san!” Dia berbalik sebelum benar-benar meninggalkan kamarku. “Tolong nii-sama, dia tadi terluka ketika bertarung.” Pintaku. Aku benar-benar khawatir pada kakakku itu. Aku takut terjadi sesuatu padanya, walau tadi ku periksa denyut nadinya tidak menunjukkan adanya kesalahan pada tubuhnya, tetapi aku tetap masih mengkhawatirkannya. Salahku juga tidak memeriksanya dengan Byakugan. Padahal kami sudah diberkati mata yang bisa melihat tembus pandang.

“Aku akan memeriksanya. Aku sudah diberitahu tadi. Kalau begitu aku akan pergi. Istirahatlah!” Ucapnya sebelum meninggalkanku sendiri di dalam kamarku.

“Terima kasih.” Lirihku sebelum jatuh dalam dunia mimpiku.

“Hn.” Gumamnya yang bisa ku dengar sebelum menutup pintu kamar.

“Semoga aku tidak ketahuan. Semoga Nii-sama tidak mencurigaiku. Semoga tidak ada yang tahu kalau aku mengikuti pertandingan ini.” Doaku sebelum benar-benar memasuki dunia mimpi.
.
.

Bunyi ciutan burung dan cahaya mentari yang menyeruak masuk melalu jendela kamarku membuatku terpaksa mengakhiri ritual tidurku dan bergegas membasuh tubuh sebelum kedatangan nona Tsunade. Aku tidak mau dia melihatku dengan wujud sepeerti ini. Sangat tidak sopan dan sangat memalukan.

Terdengar suara deritan pintu membuatku harus menoleh ke arahnya. Ternyata nona Tsunade sudah datang, dia memasuki kamarku dengan pakaian khasnya. Tidak seperti tabib wanita lain yang menggunakan gaun, dia nampaknya lebih senang dengan pakaian ala prianya namun memperlihatkan kesan seksinya.

“Ah...” Seruku kaget. Tak menghiraukannya, aku langsung memasuki kamar mandi dan segera membersihkan diri.

“Maaf, Tsunade-san!” Ucapku menyesal setelah keluar dari kamar mandi. Aku merasa sangat tidak sopan ketika nona Tsunade masuk dan aku malah bergegas ke kamar mandi karena tak ingin penampilan burukku dilihat.

“Ah.... Bukan masalah. Aku juga minta maaf karena tak mengetuk pintu dan meminta izin memasuki kamarmu.” Sahutnya. Dia berbicara namun dengan wajah yang datar. Sekali-kali aku ingin melihatnya tersenyum. Selama ini aku tidak pernah melihatnya tersenyum, mungkin karena masa lalunya yang begitu kelam, dengan berbagai macam pertarungan, darah, dan mayat yang biasa dia hadapi hingga membuatnya tak bisa lagi tersenyum.

Ku akui walau umurnya yang tak lagi muda, namun wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda penuaannya. Wajahnya masih seperti wanita yang berumur tiga puluhan. Cantik namun tanpa ekpresi. Sayang sekali.

“Ah... tidak apa-apa Tsunade-san. Ngomong-ngomong bagaimana keadaan Nii-sama? Apa dia terluka parah?” Tanyaku khawatir.

Ku lihat nona Tsunade sedang membuat ramuan lagi dan aku yakin sekali kalau itu untukku. “Dia tidak apa-apa. Matanya memang sedikit bermasalah, dia terlalu memaksakan penggunaan Byakugan.” Jelasnya.

Aku menatapnya sedih─ mengingat kakak yang sakit, apalagi masalahnya bersangkutan dengan mata. Bagi klan Hyuga mata adalah segalanya. “Pertarungan yang dia lakukan kemarin adalah puncaknya, sebelumnya dia telah memaksakan matanya untuk berlatih dan para pemberontak di daerah timur perbatasan.” Jelasku sendu tanpa ditanya oleh nona Tsunade.

“Kau tidak perlu cemas, aku sudah memberikannya ramuan agar pemulihannya cepat. Sekitar seminggu dia bisa lagi menggunakan matanya.” Sahutnya sambil memberiku ramuan yang sudah ia ramu. “Minumlah!” Imbuhnya seraya menyodorkan ramuan itu padaku.

Ramuan berwarna hijau pekat dengan bau herbal yang menyengat di indara penciumanku. Aku yakin ramuan ini sangat pahit dan sangat tidak cocok dengan lidahku. “Apa tidak ada obat yang seperti kemarin yang rasanya tidak pahit?” Tanyaku agak ragu-ragu. Padahal dia sudah berbaik hati membuatkanku ramuan, walau sepahit apapun seharusnya aku menerima dengan lapang dada, karena bagaimana pun ini demi kebaikanku sendiri.

Tapi aku juga berharap meminum ramuan yang seperti kemarin, walau menjijikan namun baik warna, bau, dan rasanya sangat pas di lidahku, namun ku rasa itu hanyalah harapanku saja, karena nona Tsunade sepertinya tidak akan membuatkanku ramuan yang seperti kemarin sebelum aku menandaskan ramuan ini.

“Apa kau sudah mencobanya?” Aku menggeleng. “Kalau begitu minumlah! Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya sebelum mencobanya. Jangan menilai sesuatu dari bentuknya, atau fisiknya, karena kau tidak akan mengetahui apa-apa.” Jelasnya. Aku hanya terdiam meresapi apa yang dikatakan oleh nona Tsunade. Bukan karena ramuan yang akan ku minum, melainkan karena kata bijaknya yang dia ucapkan. Kata-kata itu seperti menyindir diriku.

Lama terdiam, karena memikirkan perkataannya dan membuat ramuan yang tadi ku genggam tak kunjung tandas. Nona Tsunade pun jengah dan menegurku, “ramuan yang ku buat bukan untuk kau genggam saja, tetapi kau minum.”

“A... Haik. Gomenasai.” Ucapku menyesal.

Dengan gerakan perlahan gelas yang berada di genggamanku mulai ku sentuhkan di bibir agar aku bisa meminum isinya. Aku sedikit menyerngit, ketika minuman hijau pekat dan sedikit kental itu masuk ke dalam kerongkonganku. Lama terdiam karena meresapi rasanya, dan ternyata benar. Rasanya tidak seburuk bentuknya. Walau sedikit pekat, namun tetap manis dan sangat sesuai dengan lidah serta tenggorokanku.

Gomennasai! Rasanya ternyata tidak seburuk bentuknya. Enak sangat pas di lidah maupun tenggerokanku.” Ucapku menyesal dan kemudian tersenyum.

“Hn. Sebentar lagi kau akan bertanding. Sebaiknya segeralah bersiap kalau kau tak mau terlambat.”

“Baiklah. terima kasih Tsunade-san. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan jika kau tidak ada.”

“Hn. Aku akan pergi ke luar. Mungkin sekitar tiga hari aku tidak akan berada di sekitaran kerajaan.” Ucapnya tiba-tiba.

Aku terdiam dan memikirkan kata-katanya. “Kenapa?” Kenapa dia pergi? Kalau dia pergi bagaimana denganku? Siapa yang akan berpura-pura merawatku? Siapa yang bisa diajak berbohong? Siapa....?

“Aku akan pergi mangambil tanaman obat. Tanaman itu sudah sejak lama aku cari dan seseorang memberiku informasi kalau tanaman itu berada di sekitar desa Hi.” Jelasnya tanpa mengiraukan wajah khawatirku.

“Apa tidak bisa ditunda keberangkatanmu? Tidak bisakan kau pergi setelah pertandingan ini selesai?” tanyaku khawatir.

Dia menghentikan gerakan tangannya yang sedang membereskan dan meracik ramuan obat. “Tidak. Tanaman ini sangat langkah dan jarang tumbuh.” Tolaknya memberikan penjelasan.

Aku terdiam memikirkan nasibku setelah ini. Pertandingan terakhir adalah besok dan hari ini adalah hari terkahir nona Tsunade berada di sekitar istana sebelum pergi. “Apa kau pergi setelah pertandinganku selesai?” Tanyaku lagi dengan menaruh harapan pada jawaban yang akan dilontarkannya.

“Tidak. Setelah aku selesai mengecek keadaan jendral aku akan berangkat.”

Oh... Tuhan. Apa yang harus ku lakukan?

“Kau tenang saja. Kau masih bisa bertanding untuk hari ini. aku sudah memerntahkan anak buahku untuk berpura-pura menjagamu dan sudah melarang orang masuk ke dalam kamarmu, tidak terkecuali keluargamu.” Ucapnya membelakangiku sambil membereskan peralatannya.

Aku mendesah sedih. Pada akhirnya aku hanya bisa bertanding untuk hari ini dan esok tidak lagi. Aku jadi berharap agar terjadi kekacauan di kerajaanku ini agar ada pertarungan dan aku bisa berpartisipasi.

“Baiklah. Terima kasih sudah membantuku selama ini Tsunade-san.” Ucapku tulus dengan senyum getir mengingat hari ini adalah pertandingan terakhirku.

“Hn. Kalau begitu bergegaslah, karena sebentar lagi aku akan ke kamar jendral.” Sahutnya dan mengangkat tasnya.

Haik.” Jawabku lesu dan tidak bersemangat.
.
.
.

Langkahku semakin cepat seiring dengan semakin dekatnya tempat pertandingan yang akan dilangsungkan. Aku tidak mau terlambat lalu harus didiskualifikasi dan tidak bisa mengikuti pertandingan itu.

Salahkan para penjaga yang sangat ketat menjaga istana sampai-sampai aku harus terlambat seperti ini. Memang ada apa sebetulnya hingga penjagaan istana di perketat?

Akhirnya aku sampai, tapi kenapa tak terdengar suara? Bahkan suara riuh penonton pun tak tertangkap oleh telingaku. Ada apa sebenarnya? Padahal kemarin saat pertama kali aku datang ke tempat ini, belum ada dua puluh meter teriakan dan sorakan penonton sudah terdengar. Apa pertandingannya sudah dimulai? Ataukah telah terjadi sesuatu? Ini aneh.

Tak ingin terlalu larut dalam pikirannku, aku pun melangkahkan kaki-kakiku menuju arena pertandingan dan melihat siapa petarung yang sedang bertarung.

Tepat di tikungan jalan menuju tempat untuk menonton pertandingan untuk para petarung, ku hentikan langkahku dan menyembunyikan diriku di dinding yang pencahayaannya kurang bahkan terlihat gelap, karena beberapa orang lewat. Bukan karena takut pada mereka, namun karena pembicaraan mereka.

Raja, kekuasaan, dan mata-mata. Kata-kata ambigu yang samar tertangkap oleh indra pendengaranku. Kata-kata yang menjelaskan sesuatu, namun masih nampak samar. Aku tidak mau menduga-duga sesuatu.

Aku kemudian melanjutkan perjalananku, hingga beberapa meter sebelum sampai ke tempat tujuanku, tetapi lagi-lagi aku menghentikan langkahku karena melihat sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan kata-kata yang ku dengar sebelumnya.

Sial. Ada seseorang yang menyusup di kerajaanku dan tak ada seorangpun yang menyadarinya. Apa yang harus ku lakukan sekarang? haruskah aku kembali ke istana dan berpura-pura menjadi seorang putri yang lemah lembut? Ataukah aku harus maju ke depan, menghajar mereka semua, tanpa memedulikan para penduduk yang menjadi sandera?

Sial. Apa yang harus ku lakukan? Apakah ini karma atau karena harapanku yang menjadi kenyataan? Sejujurnya aku menyesal telah berharap seperti itu. aku nampak sangat jahat sekali dan juga egois.

Guruku pergi menjadi utusan ayahanda, kakak masih sakit, nona Tsunade pergi mencari tanaman obat dan pulang setelah tiga hari kedepan, para prajurit pun banyak yang terluka dan masih belum pulih akibat pertandingan kemarin.

Apa ini semua berhubungan? Apakah sudah terencana? Siapa mata-mata itu?

Tanpa membuang waktu aku pun segera menuju istana. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada... “Astaga!? Raja dan beberapa mentri menjadi sandera.” Pekikku tertahan. Sial. Pantas saja semakin banyak pengawal di kerajaan tadi.

PUK
 
.
.
.


Akhirnya chapter 2 berhasil di upload. Senang deh. Hehehe... :-D. pasti ada yang merasa pernah dengar kata Battle Royal, kalau kalian suka nonton anime One Piece, pasti kalian tahu. Ituloh pas episode, Rufinya mau bertarung di Kolosium. Kalian ingatkan!? >,^ aku juga ambil idenya dari situ pas nonton episode itu. yah kalau diurutkan kan bisa lama, jadi di singkat dengan pertarungan battle royal. Hehehe... *,* (author payah).

Next Chapter 3
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com