Fly with your imajination

Showing posts with label Senja Di Penghujung Tahun. Show all posts
Showing posts with label Senja Di Penghujung Tahun. Show all posts

Thursday, February 11, 2021

Senja Di Penghujung Tahun - Hanabi


NARUTO MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Senja di Penghujung Tahun 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read

ket.
Huruf miring adalah percakapan di telepon.
Huruf miring yang dibolt adalah sebaris percakapan masa lalu.
Sumber gambar : pinterst

🍋🍋🍋 

 "Selesai ..." ucap Naruto dengan antusias.

Naruto menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya dan Himawari. Terlihat raut Himawari yang bingung sementara dirinya malah memperlihatkan senyum yang amat sangat lebar. Senyum yang baru lagi ia tampakkan setelah beberapa tahun silam hilang dari wajahnya.

"Ada apa, Himawari?" tanyanya. Raut Naruto perlahan berubah. Keningnya mengkerut dengan tatapannya yang ikut kebingungan menatap monoton ke arah cermin yang menampakkan bayangan Himawari.

"Pitanya miring, Paman. Ikatannya juga tidak sama tinggi. Yang ini lebih naik dari pada yang ini, Paman." sahut Himawari sambil menunjuk ikatan rambutnya.

"Benarkah?" Naruto membalikkan Himawari seraya menatap rambut Himawari, menelitinya, seperti memeriksa sebuah laporan.

"Hm... yah... kau benar." lalu Himawari kembali berbalik, sementara tangan Naruto kembali terjulur dan membetulkan keseimbangan ikatan rambut Himawari. "Ini memang lebih naik..." gumamnya.

"Yang ini jadi lebih tinggi, Paman." kata Boruto menyelutuk tiba-tiba dan sudah berada di samping Naruto dan Himawari.

"Kau benar, Bolt." sahut Naruto dan kembali lagi menggerakkan tangannya untuk memperbaiki posisi ikatan rambut Himawari.

"Itu terlalu naik, Paman." kali ini Himawari yang berpendapat.

Lagi Naruto kembali memperbaiki.

"Jadi miring...."

Astaga ... Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia baru tahu, ternyata mengikat rambut anak kecil itu sesusah begini. Ini bahkan lebih rumit dari membuat proposal dengan tender besar.

"Paman... ikat ekor kuda saja, yah?" tanyanya setelah beberapa menit berlalu dan ikatan rambut Himawari tak kunjung seimbang.

Himawari mengangguk. Sepertinya gadis cilik itu tahu bagaimana susahnya Naruto mengikat rambutnya.

Naruto kemudian melepaskan kedua ikatan rambut Himawari yang tidak seimbang, lalu menata dan mengikatnya seperti ekor kuda.

"Bagaimana?" entah kenapa Naruto kembali was was. Pasalnya, ikatan ekor kuda yang ia buat kali ini tidak ada bedanya dengan yang tadi. Yah, meskipun yang kali ini bisa dikatakan agak rapi.

"Ini lebih bagus, Paman." kata Boruto yang diangguki oleh Himawari.

Naruto tersenyum lega. Akhirnya selesai juga setalah hampir tiga puluh menit berlalu. Seharusnya ia melakukan ini dari tadi. Kalau beginikan ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan kesama-rataan ikatan rambut Himawari.

Sumber gambar : pinterest

Tapi, meski begitu, tak pelak ada letupan-letupan kecil dalam hatinya yang membuatnya merasa hangat. Ada sesuatu dari kegiatan mereka itu yang membuat hatinya membuncah bahagia.

"Paman ...."

"Eh, ada apa?"

"Kami sudah siap." Himawari memberenggut, bibirnya mencebik lucu hingga memunculkan rasa geli bagi Naruto. Sementara Boruto, bocah cilik itu membuat pose seperti orang dewasa, bersedekap dada dan mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai tidak sabar.

Naruto yang menatap mereka secara refleks tersenyum geli.

"Paman ...."

"Hehehe ... Iya, iya jadi kalian sudah siap?"

"Ya ..." seru Boruto dan Himawari bersamaan. Senyum sumringah tak lepas dari kedua bocah itu.

"Baiklah, kita berangkat." sahutnya tak kalah antusias dari kedua bocah itu.

Yah, meski mungki ini adalah pertemuan terakhir mereka, entah kenapa ia malah bersemangat. Ia tak tahu, dari mana datangnya keyakinan bahwa apa yang dia cari selama ini akan ia dapatkan. Penyesalan yang dahulu dan sampai sekarah masih menggerogoti jiwanya akan lenyap.

Sumber gambar : pinterest

"Paman ...."

Naruto menghentikan langkahnya ketika Himawari memanggilnya. Ia berbalik dan menatap gadis cilik itu yang tengah menunduk sambil memilin jari-jari mungilnya.

"Ada apa, Himawari?"

"Boleh aku meminta sesuatu?"

"Tentu, Sayang. Katakan, apa itu?"

"Aku ... Aku ..." Himawari mendongak menatap Naruto. Binar matanya sungguh menggemaskan hingga Naruto ingin sekali mencium pipi menggemaskan milik gadis cilik itu. Tapi, itu tidak bisa ia lakukan. Bisa-bisa ia ketagihan.

"Bisakah kami memanggilmu ayah?"

Deg.

Apa Naruto tidak salah dengar?

"A, apa, Sayang? Bisa ulangi lagi?"

"Bisakah kami memanggil paman sebagai Ayah? Ka ... karena Paman mirip ayah kami."

Dan rasa haru itu tak bisa lagi dibendung oleh Naruto. Dadanya sesak oleh kebahagiaan yang secepat cahaya meluap.

Yah, siapa yang tak senang ketika apa yang kau pikir hanya akan menjadi impianmu saja menjadi kenyataan? Apalagi yang mewujudkannya adalah orang yang kau harapkan. Itu luar biasa, kan?

Menjadi seorang ayah. Ayah dari Boruto dan Himawari. Betapa Naruto ingin meneriakkan pada dunia bahwa ia sungguh bahagia. Detik ini. Apa yang menjadi keinginan terpendamnya akhirnya jadi kenyataan.

Secara refleks Naruto berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Himawari dan menarik tubuh kecil Himawari ke dalam peluknya.

"Tentu saja, Sayang. Kalian akan menjadi anak-anakku."

"Papa Naruto."

"Iya. Panggil aku seperti itu." dan tanpa Naruto sadari setetes air mata sudah jatuh dari pelupuk matanya.

"Aku ... juga ingin dipeluk."
Rengekan dari Boruto disambut hangat oleh tangan Naruto. "Kemarilah Bolt. Kau juga adalah anakku. Dan mulai sekarang kalian boleh memanggilku sebagai papa."

"Iya... Papa Naruto ...."

"Iya."

Betapa Naruto sangat bahagia hari ini. Yah, meski hari ini Boruto dan Himawari akan kembali ke rumah aslinya, setidaknya ia memiliki alasan untuk bertemu dengan mereka.

Sumber gambar : pinterest

"Papa, kapan kita bertemu bibi Hanabi?"

Setelah hampir dua jam mereka mengelilingi taman bermain, Naruto mengajak Bolt dan Himawari ke tempat perjanjian dirinya dan Hanabi, bibi Boruto dan Himawari.

Tempat perjanjiannya adalah restoran Ichiraku, restoran tradisional jepang yang desain interiornya dipadupadankan dengan gaya barat dan Asia. Salah satunya adalah lukisan kayu dari Sentani, Indonesia dan lukisan pemandangan khas Italia.

"Mungkin sebentar lagi bibi kalian akan datang." Naruto menyahut sambil melirik jam tangannya.

Waktu pertemuan yang sudah mereka sepakati memang sudah terlewat satu jam dan Naruto tak mengetahui sebab keterlambatan wanita itu.

"Papa aku mau tambah burgernya..."

Naruto berpaling pada Boruto. Perasaan bahagia masih nampak di wajah tampannya. Sementara, bocah cilik itu wajahnya sudah penuh dengan saos burger. Berbanding terbalik dengan Himawari yang bersih. Ia kemudin mengambil tissue dan membersihkan bibir Boruto.

Awalnya bocah delapan tahun itu menolak, karena ia ingin membersihkannya sendiri. Ia tak mau disebut anak kecil oleh adiknya. Namun, karena tak bersih, akhirnya ia menurut pada Naruto untuk dibersihkan.

"Dasar bocah ..." ejek Himawari melihat kakaknya.

"Apa katamu—"

"Boruto, Himawari ...."

Serempak, mata Boruto, Hiawari, dan Naruto berpaling pada sumber suara. Namun, ada perbedaan pada tatapan mereka. Jika Bolt dan Himawari tampak senang, Naruro malah menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus... entahlah, seperti sebuah kelegaan.

Ada harapan yang tampak samar namun kian melambung melihat sosok wanita yang baru tiba itu. Dan perlahan Naruto merasa yakin bahwa dugaan-dugaan yang selalu ia abaikan dari teman-temannya kemungkinan besar adalah benar.

"Hanabi?"

Secara refleks mulut Naruto melontarkan satu buah nama dari bibirnya.

Wanita itu berbalik, menatap Naruto dengan kening mengkerut. "Kau yang bernama Naruto?"

"Kau tidak mengingatku?" sahut Naruto tanpa memedulikan pertanyaan Hanabi.

Satu kening Hanabi terangkat. "Apa maksudmu? Siapa kau? Apa kau punya hutang padaku?"

"Tidak, tapi—"

"Sudahlah. Lupakan itu. Kau tidak perlu membayarnya..."

Apa ini?

Dia Hanabi, 'kan?

Tapi, kenapa ia tak mengingat Naruto? Apa yang sudah terjadi?
Sumber gambar : pinterest

tbc.

sorry kependekan.

Btw, makasih yah untuk kalian yang masih setia menunggu fict ini. kalian benar-benar memberi motivasi bagi saya untuk terus melanjutkan cerita ini. sekali lagi terima kasih.

Dan untuk kalian yang cilent reader, sekali-kali bolehlah tuangkan sedikit pendapat kalian mengenai fict ini 🐈🐈 sekalian olahraga tangan. hehehe _.

dan thanks juga bagi yang sudah memfollow dan memfav, fict ini.


Mickey139

Share:

Tuesday, February 9, 2021

Senja Di penghujung Tahun - Masa Lalu



NARUTO MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Senja di Penghujung Tahun
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

ket.
Huruf miring adalah percakapan di telepon.
Huruf miring yang dibolt adalah sebaris percakapan masa lalu.

enjoy :)

sumber gambar : pinterest

Untuk kesekian kalinya, mata Hinata jatuh pada selembar gambar yang tanpa sengaja ia temukan di sela-sela barangnya yang telah usang— yang hampir saja ia buang tadi. Selembar gambar yang kembali membawanya pada kenangan lama yang berusaha ia kubur sejak beberapa tahun silam.
 
Gambar itu menampakkan sepasang remaja yang tengah tersenyum bahagia menatap kamera. Seperti menunjukkan bahwa dua insan itu tak akan terpisah karena binar cinta yang terpantul dari mata keduanya terlihat murni bahkan membuat siapapun iri melihatnya.
 
"Wah, Hime. Kau benar-benar mirip putri di dunia dongeng."
 
Wajah Hinata merona mendengar pujian dari pujaan hatinya. Dan entah kenapa ia selalu tak terbiasa dengan pujian yang dilontarkan Naruto untuknya.
 
"Naruto-kun jangan menggodaku ...."
 
"Tapi, aku sungguhan." sahutnya. Lalu Naruto menatap si fotografer yang sudah mengambil foto mereka. "Benar, kan Paman?"
 
"Benar sekali, Bocah. Kau benar-benar beruntung punya pacar secantik dia. Jaga dia, jangan sampai direbut laki-laki lain."
 
"Tentu saja, Paman. Dia itu satu-satunya pemilik hatiku, jadi tidak mungkin aku melepasnya. 

"Cih, dasar. Sekolah dulu yang benar. Kalau sudah kaya baru bisa bilang begitu."
 
"Cih, Paman kau iri, yah? Aku juga tidak mungkin membiarkan pasanganku hidup miskin. Aku pasti akan membahagiakan, Hime-chan."
 
"Naruto-kun ...."
 
Lalu mereka kembali tertawa, mengabaikan Hinata yang wajahnya sudah memerah seperti tomat. Kebahagiaan itu benar-benar tanpa beban.
 
sumber gambar : pinterest

Sayangnya, janji yang dibuat lelaki itu pada akhirnya hanya menjadi wacana yang tak terealisasikan. Nyatanya, mereka akhirnya berpisah. Keegoisan dan mental lembek dari sang prialah yang menyebabkan hal itu terjadi. Dan mirisnya, sebagai pihak wanita— yang lebih mengutamakan perasaan dan cinta di atas segalanya— hanya bisa pasrah dan menyerah hingga membuat Hinata hidup dalam kubangan sesal dan sakit hati. Lalu meski pun membenci, hatinya juga tak mampu berkelit untuk melepaskan. Si pemuda itu tetap bertahtah dalam jiwa.
 
Yah, katakanlah wanita itu tolol. Tapi mau bagaimana lagi, saat cinta berbicara, logika tak bisa berkutik, dan semua kalimat penyangkalan tak ada yang bisa terserap.

Hinata sadar. Dulu, ia memang wanita bodoh yang terlalu meninggikan perasaan ketimbang logika. Bahkan saat Naruto meninggalkan dirinya, ia tetap menerima. Ketika ayahnya tak mengakui dirinya sebagai anak karena aib yang ia lakukan, Hinata juga tak meminta pertanggung jawaban lelaki itu. Cinta telah membutakan pikirannya.
 
Namun, sekarang ia sudah belajar, bahwa cinta pada lelaki tak ada ubahnya dengan nafsu yang akan membawanya pada kesedihan. Dan ia bertekad, tak akan lagi jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Meskipun, rasa itu tetap melekat pada jiwa.
 
Menarik napas dalam, Hinata memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ia kemudian menyimpan gambar tersebut ke dalam laci lalu kembali berkutat pada pakaian-pakaian yang akan ia bawa ke Jepang.
 
Seharusnya sekarang ia tak perlu lagi memikirkan masa lalu atau penyesalan. Toh masa lalu sudah tertinggal jauh di belakang dan berkat itu pula Hinata mendapatkan dua karunia besar di hidupnya dari Tuhan. Boruto dan Himawari. Ah, mengingat mereka, hati Hinata kembali menggebu. Ia sungguh tak sabar untuk bertemu kedua buah hatinya itu. Padahal baru tiga hari mereka pergi, tapi rasa rindu Hinata sudah membuncah tak bisa ditahan.
 
Hinata benar-benar bersyukur mendapatkan mereka. Mereka berdua adalah anugrah yang luar biasa. Dan tidak lama lagi Hinata akan kembali bertemu dengan anak-anaknya. Uh, Hinata benar-benar sangat merindukan mereka. Apalagi Hanabi selalu menolak untuk membiarkannya bicara dengan mereka.
 
sumber gambar : pinterest

Treeeet...
 
Satu pesan masuk di ponselnya. Hinata menghentikan aktivitasnya dan mengambil ponselnya untuk melihat Si Pengirim dan isi pesan tersebut.
 
"Miss, pihak dari Uzu Corp. bersedia menyewakan satu ruangan gedungnya untuk acara nanti. Kontraknya sudah saya lampirkan. Silahkan dibaca. Terima kasih."
 
Itu adalah pesan dari Kevin, stafnya yang bertugas menyelesaikan masalah kontrak dan kerja sama dengan perusahaan Uzu.
 
Meski bukan dari orang yang ia harapkan, tapi Hinata tetap bersyukur. Setidaknya, ia bisa pergi tanpa memikirkan proyeknya di sini yang sudah ia tangguhkan ke karyawannya dan kembali bekerja keras di sana untuk meyakinkan perusahaan Uzu. Lagipula, proyek itu juga memang akan diadakan di Jepang. Istilahnya, sekali tepuk,p dua lalat yang kena. Keberuntungan yang menggembirakan. Hinata sangat bersyukur memiliki karyawan seperti Kevin.
 
"Nice Kevin. Thank's." ketiknya kemudian menyimpan ponsel tersebut lalu melanjutkan mengemas pakaian ke dalam koper.
 
Hinata benar-benar tak sabar. Ia bahkan sudah melupakan masa lalunya. Kesedihan yang sempat menjeranya beberapa detik lalu pun seolah menguap seperti alkohol dalam botol yang dibiarkan tanpa penutup.
 
sumber gambar : pinterest

🍋🍋🍋
 
tbc.
 
sorry kependekan.

Btw, makasih yah untuk kalian yang masih setia menunggu fict ini. kalian benar-benar memberi motivasi bagi saya untuk terus melanjutkan cerita ini. sekali lagi terima kasih.

Dan untuk kalian yang cilent reader, sekali-kali bolehlah tuangkan sedikit pendapat kalian mengenai fict ini 🐈🐈 sekalian olahraga tangan. hehehe _.

Satu lagi, thanks juga bagi yang sudah memfollow dan memfav, fict ini.

 

Mickey139


Share:

Saturday, September 29, 2018

Senja Di Penghujung Tahun - Rencana Hanabi

Pair : Naruto, Hinata
Rate : K+
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey139


sumber gambar pinterest


Senja Di Penghujung Tahun - Rencana Hanabi

Hinata menghembuskan napas setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Rasa lelah karena tenaga dan pikirannya yang terkuras akhirnya terbayar. Lusa ia bisa menyusul anak-anaknya ke Jepang, tepatnya di kota Konoha. Kota yang menyimpan banyak kenangannya bersama keluarga, teman, sahabat, dan juga... mantan kekasihnya. Naruto. Lelaki yang entah kapan bisa hilang dari hatinya.

Sudah sembilan tahun berlalu, namun sosok lelaki itu masih setia tertanam dalam hatinya. Bahkan Hinata pun tak bisa mencabut atau menghilangkan nama itu.

Apakah karena ia masih mencintainya?

Entahlah. Hinata sendiri pun tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Sudah beberapa kali ia mencoba menjalin hubungan dengan lelaki lain, tetapi tak satu pun di antara mereka berhasil menyentuh relung hatinya. Selalu ada kekurangan yang dia rasakan dengan hubungan itu. Tidak ada chemisrty, tidak ada rasa, atau hal lainnya yang membuat hubungan itu tak bertahan lama. Hingga akhirnya, Hinata tidak lagi mencoba untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain dan memfokuskan diri pada proses pertumbuhan dan perkembangan buah hatinya pun dengan pekerjaan dan perusahaan yang saat ini ia kelola.

Mungkin memang benar, cinta pertama tidak bisa dilupakan pun dihilangkan, karena cinta pertamalah yang memberikan kenangan pertama untuk semua rasa. Termasuk dengan rasa sakit itu.

Hinata melirik jam dinding di dalam kantornya, ia bahkan tidak sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaannya hanya karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya.

Rindunya pada kedua anak-anaknya sudah tidak bisa lagi ditolerir, padahal baru ditinggal dua hari. Tapi, rindunya itu seperti kanker yang perlahan menggerogoti tubuh. Menyebar dan menyesakkan. Dan anehnya, tidak menyakitkan.

Hinata mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk adiknya, Hanabi.

"Hanabi, lusa aku akan ke sana. Bagaimana keadaan anak-anakku? Mereka tidak bandel, kan?"

Hinata menunggu pesan balasan dari adiknya namun sampai menit hampir berganti jam, tidak ada tanda jika pesannya akan dibalas.

Hinata menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menyilangkan kaki, dan memutar kursi tersebut hingga pemandangan malam kota New York tersuguhkan di depannya.

Sembilan tahun dan perubahan kota sudah seperti ini. Gedung-gedung saling berlomba untuk sampai ke langit, lampu-lampu dari kendaraan, juga gedung-gedung kecil yang semakin tersebar. Di sini saja sudah terjadi perubahan sebegitu banyak, bagaimana dengan Jepang yang sudah sembilan tahun ia tinggalkan? Akankah banyak perubahan yang terjadi? Ah, tentu saja. Di sana pasti banyak yang berubah.

Malam ini, langit tampak terang tanpa ada sapuan awan. Bintang bergemerlap seperti hiasan, membentuk formasi unik yang menghasilkan ribuan gambar dengan pola-pola tertentu.

Angan Hinata kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat ia dan Naruto masih bersama. Saat cinta mereka masihlah menggebu, saat hanya ada masalah-masalah kecil yang mudah mereka selesaikan, sampai pada akhirnya mereka berpisah karena Naruto pergi meninggalkannya dan tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilannya.

Hinata ingat betapa terpuruknya ia ketika ayah dan kakaknya mengatakan jika Naruto malah memilih pergi meninggalkan dirinya karena lelaki itu menerima perjodohan orang tuanya lalu membiarkan ia pergi ke kota New York dan menanggung semuanya seorang diri. Melahirkan dan membesarkan kedua anaknya.

Jadi kenapa, lelaki itu tak mau pergi dari pikirannya, dari hatinya? Bukankah lelaki itu sudah sangat kejam terhadapnya juga pada anak-anaknya?

Hinata menghembuskan napas dengan berat. Lusa adalah saat dirinya kembali menginjakan kaki di kota kelahirannya, kota yang banyak menyimpan kenangan, terutama bersama pria itu.

Sanggupkah ia?

Hinata hanya bisa berharap agar semuanya baik-baik saja. Ia berharap agar ia tidak bertemu dengan lelaki itu dan kembali merasakan perasaan hancur sama seperti beberapa tahun lalu atau mungkin perasaan yang selama ini berusaha ia kubur kembali bangkit dan membuatnya kembali terpuruk ketika melihat laki-laki itu bersama dengan wanita yang sudah ia nikahi.

sumber gambar google

...

"Maaf, Nee-chan aku baru membalas email-mu, semalam aku tidur lebih awal. Aku terlalu lelah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Oh iya, kau tenang saja nee-chan Bolt dan Himawari baik-baik saja, mereka tidak bandel, kok. Mereka berdua adalah keponakanku yang paling menggemaskan. Dan omong-omong, mungkin aku tidak akan menjemputmu. Kau tahu kan nee-chan, tou-san memberiku banyak pekerjaan. Dia benar-benar tanpa ampun."

Hanabi membalas pesan dari Hinata sambil memperhatikan interaksi antara ayah dan anak di depannya. Tepatnya beberapa meja di depannya.

Sudah seharian ini dia mengikuti mereka, mengikuti segala kegiatan yang mereka lakukan. Naruto, lelaki yang pernah menyakiti kakaknya dan kedua keponakan yang sangat ia sayangi. Entah lelaki itu sadar dengan ikatan yang ada di antara mereka atau hanya karena mereka mengingatkannya pada kakak perempuannya hingga menunda menghubunginya dan mengembalikan mereka pada keluarganya.

Hanabi memang salah, sudah terlambat─ sangat terlambat─ menjemput mereka karena tertidur akibat rasa lelah yang tidak bisa ia tahan. Proyek yang ditangguhkan padanya benar-benar menguras waktu dan pikiran. Dan ia baru sadar setelah Hinata menelpon untuk menanyakan kabar kedua keponakannya.

Jantungnya serasa mau melompat dan meninggalkan tubuhnya ketika sadar kalau jam sudah berputar banyak melewati angka tetapi keponakan-keponakannya belum sampai di rumahnya.

Hanabi benar-benar kalut saat itu dan tanpa memedulikan waktu ia berangkat menuju bandara untuk menjemput Boruto dan Himawari. Tetapi, usahanya itu sia-sia karena kedua keponakannya sudah tidak ada di sana. Lagipula, mana mungkin dua keponakannya masih menunggu dirinya di bandara, padahal jam sudah mennjukkan angka satu dini hari. Enam jam yang lalu.

Hingga hari ini, ia tidak sengaja melihat mereka keluar dari rumah sakit tempat nenek Konohamaru bekerja. Senju Tsunade, pemilik sekaligus orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Sakit tersebut.

Awalnya, ia kira matanya mengalami kerusakan ketika melihat mereka tetapi, setelah lama diperhatikan mereka memang orang-orang yang ada di kepalanya. Naruto dan para keponakannya.

Hanabi mengikuti mereka tanpa mengingat jika ia sudah membuat janji dengan Konohamaru. Terus memperhatikan mereka seperti seorang stalker, tanpa berniat menyapa atau pun mengganggu mereka. Ia hanya ingin melihat bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama sebelum─ mungkin─ kakak dan ayahnya memisahkan mereka.

Sejujurnya, Hanabi ingin sekali mereka─ Naruto, kakak perempuannya, juga keponakan-keponakannya─ bisa bersama. Ia ingin melihat kakak perempuannya kembali seperti dulu, juga ingin keponakan-keponakannya bisa merasakan memiliki seorang ayah yang sesungguhnya.

Ia ingat, dulu ketika ia berkunjung ke rumah kakak perempuannya, mereka─ Boruto dan Himawari─ menangis sambil bertanya tentang ayah mereka.

Hari itu musim gugur, dengan banyak daun-daun yang berguguran mengotori setiap jalan setapak. Umur Boruto dan Himawari masih lima tahun dan karena kakak perempuannya sibuk mengurusi proyek yang baru dia menangkan akhirnya meminta padanya untuk mengurus Boruto dan Himawari, yang kebetulan datang berkunjung.

Kakaknya tidak memakai jasa pengasuh, karena trauma. Pernah Boruto dan Himawari diculik oleh seseorang yang berpura-pura menjadi pengasuh mereka. Waktu itu, keluarga Hanabi sangat khawatir, terutama Hinata yang sudah kalut dan berniat pergi sendirian menjemput anak-anaknya. Untung saja, ada inspektur polisi Edward yang menenangkan Hinata dan tidak lama mereka bisa menemukan lokasi penculik itu.

Hanabi juga tidak bisa melupakan, bagaimana mata Boruto dan Himawari yang membengkak karena menangis juga di tubuh mereka yang terdapat beberapa lebam biru bekas cubitan. Hanabi benar-benar marah saat itu dan ingin menghajar si penculik karena sudah melukai dua keponakan tersayangnya kalau saja Hinata tak mendahului dirinya.

Dan sejak saat itu, Hinata tak lagi menyewa jasa pengasuh dan memilih mengasuh anak-anaknya sendiri. Dan jika sibuk, Hinata akan membawa mereka ke kantornya.

Hanabi tentu saja dengan senang hati menerima permintaan itu, karena alasan utamanya mengunjungi mereka adalah karena rindu terhadap Boruto dan Himawari. Keponakan yang sangat lucu. Tingkah polos mereka selalu membawa tawa, menghilangkan semua penat terhadap pekerjaan dan tuntutan sebagai seorang karyawan di perusahaan tempatnya bekerja.

Mereka pergi ke taman. Taman yang tidak jauh dari sekolah Boruto dan Himawari. di sana ada banyak anak-anak yang bermain dan di dampingi oleh orang tua mereka. Mereka semua tampak bahagia. Banyak tawa yang terdengar, banyak senyum yang tersungging di bibir, juga aura yang menunjukkan kebahagian.

Boruto dan Himawari juga asik bermain. Mereka juga tertawa, mereka bahagia tetapi Hanabi merasa ada sesuatu yang berbeda dari bahagia mereka.

Awalnya, ia tidak mengacuhkan perubahan tingkah mereka yang jadi lebih banyak diam dan tidak biasanya hingga ia tidak sengaja melihat Himawari menangis. Entah karena apa. Boruto berusaha menenangkan Himawari yang tidak berhenti menangis.

Hanabi berjalan, bermaksud menenangkan Himawari, tetapi langkah kakinya terhenti ketika suara keluhan Himawari terdengar di sela-sela isakannya. Membuat Hanabi bergeming di tempat seperti patung air mancur.

"Kenapa kita tidak punya dad, Boluto? Aku juga ingin punya dad sepelti Eric, Cika, Mimi, dan Glay. Aku cudah jadi anak yang baik Boluto, kenapa dad belum datang? Apa dia membenci kita?"

"Hima kenapa bicala sepelti itu?"

Boruto yang tadinya berusaha menenangkan Himawari ikut menangis ketika mendengar keluhan adiknya. Ia juga rindu pada sosok ayahnya. Teman-temannya selalu membanggakan ayah mereka, selalu menceritakan kebiasaan mereka menghabiskan waktu bersama ayah mereka dan itu membuat mereka benar-benar iri.

Dan Hanabi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hatinya benar-benar seperti diremas tangan tak kasat mata ketika melihat kedua keponakannya menangis meraung sambil memanggil ayah mereka. Sejak saat itu, Hanabi berniat ingin mempertemukan mereka dengan Naruto─ ayah mereka─ tetapi ayah dan kakak lelakinya pasti tidak akan pernah mengijinkannya. Mereka sudah benar-benar membenci Naruto. Lelaki yang mereka anggap tidak pernah bertanggung jawab. Lelaki yang hanya bisa mencari kesenangan tanpa mau repot-repot menanggung akibatnya.

Hanabi kembali memperhatikan mereka. Ia ikut tersenyum ketika keponakannya bertengkar dan entah memperebutkan apa. Hanabi bisa melihat Naruto tersenyum dengan hangat dan tertawa melihat tingkah keponakannya─ tidak seperti berita yang ia dengar jika lelaki itu tidak pernah tersenyum. Sama sekali tidak pernah.

Drrrrtt...

Getaran ponsel Hanabi sedikit mengalihkan perhatiannya.

Hinata nee-chan is calling...

Jantung Hanabi berpacu, ketika melihat siapa yang menghubunginya. Hinata─ kakak perempuannya yang tadi ia pikirkan, "Ya, nee-chan ada apa?" jawab Hanabi berusaha menutupi kegugupannya.

"Hanabi, bisakah kau memberikan ponselmu pada anak-anakku? Aku ingin bicara pada mereka. Aku sangat merindukan mereka."

Hanabi diam sejenak. Ia memikirkan alasan yang masuk akal untuk menolak permintaan kakaknya. Ia tidak mungkin mengatakan jika keponakannya itu tidak sedang bersamanya, terlebih mereka bersama Naruto atau mendatangi Naruto secara langsung, berpura-pura semua yang pernah terjadi di antara mereka tidak pernah ada dan langsung memberikan ponselnya pada Boruto atau Himawari karena ibu mereka ingin bicara. Apa yang akan Naruto pikirkan nanti?

Hanabi tidak sengaja melihat jam tangannya dan mendapatkan alasan bagus untuk menolak keinginan Hinata. "Ano ne, nee-chan Boruto dan Himawari sementara istirahat. Mereka sedang tidur siang. Kau tahu kan kalau anak-anak seumuran mereka sangat aktif jadi, yah mereka sedang tidur siang karena kelelahan bermain." Maaf nee-chan aku membohongimu, kata Hanabi dalam hati.

Terdengar helaan nafas dari seberang sana, "Baiklah kalau begitu."

"Maaf yah nee-chan." ucap Hanabi merasa bersalah.

"Iya tidak apa-apa. Oh, Hanabi, apa Neji-nii atau tou-san tidak bisa menjemputku nanti?"

"Iya nee-chan. Mereka juga sibuk mempersiapkan pesta tahun baru di perusahaan. Aku akan mengirimkan orang untuk menjemputmu."

"Hah, baiklah."

sumber gambar google

Selanjutnya telepon di tutup oleh Hinata. Hanabi masih memperhatikan mereka. Ada keinginan untuk mempertemukan mereka. Ia ingin sekali meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara Hinata dan Naruto. Ia tahu kalau semua alasan yang dilontarkan oleh Neji-nii juga ayahnya itu bohong. Ia tahu, semua yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan Hinata, tetapi melihat sekarang adalah kebalikan dari yang mereka harapkan, ia jadi tidak tega.

Hanabi ingin mempertemukan mereka. Barangkali saja penyesalan dan rasa bersalah juga kebencian yang ada pada mereka berdua bisa sirna dan berganti dengan perasaan mereka yang dulu. Saling mencintai. Terlebih pada Boruto dan Himawari yang merindukan sosok ayahnya.

Semoga saja dia bisa dan berhasil. Untuk itu Hanabi butuh bantuan teman-teman Naruto dan Hinata.

Yah, semoga saja berhasil. Harap Hanabi dalam hatinya.

sumber gambar google

TBC

...

 

Mickey139



Share:

Wednesday, September 26, 2018

Senja Di Penghujung Tahun - Ke Dokter Gaara


Pair : Naruto, Hinata
Rate : K+
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey139

Bagian 3 : Ke Dokter Gaara

sumber gambar google

Keesokan harinya sesuai janji Naruto pada anak-anak, ia membawa mereka untuk mencari Hanabi. Namun, terlebih dahulu, ia membawa mereka ke rumah sakit tempat Gaara bekerja.

Selain mengecek kondisi anak-anak, Naruto tentu saja ingin menjawab rasa penasarannya. Apakah mereka berdua memanglah anaknya? atau itu semua hanyalah sebuah kebetulan dari takdir.

Tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan Gaara yang sebelumnya sudah diberitahu.

Naruto ingat ketika ia memberitahu, laki-laki itu langsung menyetujui dan malah lebih girang daripada Naruto. Nampaknya Gaara memang sangat menantikan ini.

"Paman, kenapa kita ke sini? Apa bibi Hanabi ada di dalam?" Himawari bertanya dengan raut menggemaskan miliknya.

"Bibi Hanabi tidak ada di dalam, Sayang. Aku hanya ingin memastikan jika Boruto benar-benar baik-baik saja. Kalian tidak ingin membuat ibu, bibi Hanabi, dan kakek kalian khawatir, kan?" Mereka berdua menggeleng dan Naruto melihat Himawari menggandeng lengan kecil kakaknya untuk segera berlalu ke ruangan Gaara, "Ayo, kak." ucapnya.

Naruto mengikuti mereka dengan perasaan hangat. Seperti ada unggun kecil yang menghangatkan hati beku miliknya.

Seandainya saja mereka berdua memanglah anaknya...

Naruto tersentak dengan pikirannya sendiri. Jika mereka memang adalah anaknya, memang apa yang akan dia lakukan? Merebutnya? Meminta hak asuh mereka dan kembali melukai hati Hinata- wanita yang amat sangat dia cinta bahkan hingga detik ini? Ataukah membiarkan mereka, lalu melupakan dirinya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membuat hatinya kembali diliputi oleh rasa bersalah dan penyesalan?

Naruto memejamkan mata, lalu menghela nafas, dia benar-benar bingung dengan langkah yang akan dia ambil untuk kedepannya.

Naruto kembali memperhatikan tingkah mereka. Mereka berdua memang seperti replika dirinya dan Hinata. Bahkan teman-temannya pun beranggapan sama ketika melihat mereka.

Lalu kalau mereka bukanlah anaknya seperti yang ia harapkan, bagaimana?

Lagi-lagi Naruto tersentak dengan pemikirannya sendiri. Tapi, kalau memang demikian, maka tidak apa. Setidaknya rasa penasarannya bisa terpuaskan. Dan lagi, bukankah ia bisa mengunjungi mereka berdua untuk melepaskan rindunya terhadap sang terkasih yang─ entah─ sudah dipanggil oleh Tuhan tanpa ada embel-embel apapun?

sumber gambar google

Ah, sudahlah. Lebih baik fokus di sini dulu, yang lain nanti diurus belankangan.

Naruto melepas pandangannya dari Boruto dan Himawari ketika tiba di depan ruangan Gaara. Ia mengetuk beberapa kali sebelum dipersilahkan masuk oleh Gaara.

"Akhirnya kau mengikuti saranku." Ucap Gaara kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk.

sumber gambar google

"Hn.." senyum kaku Naruto terbit dan memberikannya pada Gaara. "Apa kita bisa memulainya Gaara. Aku harus mengantarkan mereka pada Hanabi. Tolong periksa mereka, pastikan mereka baik-baik saja."

"Yah, kau tenang saja." sahutnya kemudian menuntun Himawari dan Boruto menuju ranjang pasien untuk pemeriksaan. "Halo anak-anak..." Gaara menyapa mereka dengan senyum ramah khasnya untuk anak-anak. Tetapi senyum yang sangat berbeda untuk orang-orang dewasa, seperti pasien-pasiennya yang lain.

Himawari dan Boruto memandang Gaara, tersenyum lebar yang memperlihatkan gigi-gigi kecil mereka dan membalas sapaan Gaara, "Halo paman."

Gaara menyuruh Boruto membuka bajunya dan memeriksa tubuh Boruto, "Bagaimana kabarmu, Boy?"

"Baik, Paman." sahut Boruto dengan senyum yang memperlihatkan gigi-gigi kecilnya.

Gaara mengangguk sambil tersentum kecil. "Nah, sekarang waktunya paman menmeriksa." Lalu ia menekan lembut lengan boruto, "Bilang ke paman kalau ada yang sakit yah?"

Boruto mengangguk. "Oke."

Namun, sampai semua pemeriksaan yang Gaara lakukan, bocah cilik itu tak juga mengeluh. "Nah, sekarang sudah selesai. Boruto tidak apa-apa." "Terima kasih, Paman."

"Sama-sama. Nah, sekarang giliran Himawari." kata Gaara sambil membantu Boruto memperbaiki bajunya dan menurunkan Bocah itu dari ranjang lalu membantu Himawari untuk menggantikan Boruto. "Kalau anak manis ini, bagaimana? Coba bilang, A..."

Himawari menirukan gaya Gaara dan membuka lebar-lebar mulutnya. Selanjutnya, Gaara memeriksa Himawari sama seperti Boruto barusan. Menekan titik-titik tertentu di badan gadis cilik itu dan memeriksanya. 

Naruto berdiri di samping mereka hanya melihat dan sesekali tersenyum mendengar pembicaraan mereka, "Bagaimana?"

Gaara berpaling dan menatap Naruto sejenak, "Mereka baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir." sahutnya.

"Kau yakin?"

"Kau pikir aku siapa, Naruto?"

"Yah, aku tahu kau siapa. Tapi, bisa saja, kan ada kesalahan."

Gaara menggeleng. "Kau terlalu berlebihan. Mereka benar-benar baik-baik saja. Tidak ada masakah yang serius."

Meski Naruto masih khawatir, tetapi Naruto tetap menghembuskan napas lega. "Baiklah. Terima kasih."

 

"Bukan masalah. Oh ya, Minggu depan hasil lab-nya bisa kau ambil." Gaara menjelaskan, "Tapi Naruto, kalau memang mereka adalah anak-anakmu itu artinya Hinata... masih hidup, lantas mengapa mereka mengatakan jika Hinata sudah meninggal dan melakukan upacara pemakaman?"

Naruto bergeming, tidak menjawab. Ingatan itu kembali lagi dalam benaknya.

Gaara menghiraukan ekpresi Naruto lalu melanjutkan. "Lalu apa yang akan kau lakukan jika itu semua memang benar?" Gaara membereskan peralatannya dan kembali duduk di kursinya, meninggalkan Himawari dan Boruto yang berbincang ala anak kecil di atas ranjang.

Naruto menghela nafas, "Entahlah, aku belum tahu. Aku... saat ini hanya ingin tahu kebenaran ini dan semuanya."

Gaara memandang Naruto dalam, dalam diam. Tidak menyahuti pun bertanya lagi.

sumber gambar google

"Baiklah, kalau begitu. Kuharap kau bisa menghadapinya lebih dewasa, Naruto." kata Gaara kemudian.

"Apa maksudmu, Gaara?"

"Bukan apa-apa─ ah, aku hampir lupa. Ini." Gaara memberikan satu undangan berwarna Gold pada Naruto. "Reuni angkatan 69. Kau akan datang, kan?"

"Entahlah." Naruto terdiam beberapa detik. "Mungkin iya, kalau aku tidak sibuk. Kalau begitu kami permisi. Aku harus mengantar mereka pada Hanabi."

Lalu Naruto permisi pada Gaara dan membawa Boruto dan Himawari keluar dari ruangan Gaara.

Gaara menatap punggung Naruto yang semakin jauh dan hilang di balik pintu ruangannya. "Semoga kau menemukan kebahagiaanmu, Naruto..." lirihnya.
sumber gambar google

 

Mickey139



Share:

Saturday, September 22, 2018

Senja Di Penghujung Tahun - Naruto dan Anak-anak


Genre: Romance hurt, drama
NARUTO MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)

Senja di Penghujung Tahun Mickey_Miki (@mickey139)

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Ket.

Huruf miring adalah percakapan di telepon.
Huruf miring yang dibolt adalah sebaris percakapan masa lalu.

DLDR

enjoy :)

sumber gambar google

Senja itu langit tampak kelabu, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi tanah kota Tokyo. Hal yang tidak biasa karena akhir musim hujan sudah lewat beberapa bulan lalu. Hujan di awal penghujung tahun memang bukan menuju akhir tahun yang baik, karena persiapan tahun baru sudah mulai dilakukan. Tapi tidak begitu dengan pemuda itu. Hujan di awal bulan desember malah menjadi keberuntungan yang menyenangkan untuk dirinya. Tidak hanya memiliki alasan untuk menunda pertemuannya dengan Hanabi, itu juga membuatnya lebih lama menghabiskan waktu bersama dua bocah di depannya.

"Hujannya masih lama, yah Paman?" Himawari masih memperhatikan rintik hujan dari balik jendela apartemen milik Naruto. Gadis cilik kloningan Hinata itu, sedang duduk dan bersandar di punggung sofa dengan kepalanya menghadap jendela. Tangan-tangan mungilnya sedang menggambar sesuatu di kaca dengan embun yang dihasilkan oleh hujan.

Naruto tersenyum. Memperhatikan Boruto dan Himawari selalu membawa perasaan nyaman di hatinya. Entah itu tingkah mereka, obrolan absurb yang kadang mereka lakukan, atau kesibukan dan wajah memberenggut mereka.

"Sepertinya hujannya akan sampai besok." jelasnya. Naruto menemani Boruto merangkai lego yang tadi dia belikan untuk bocah pirang itu.

"Jadi, kita belum bisa bertemu bibi Hanabi, yah?" Himawari kembali bersuara meski pandangannya tetap pada kaca.

"Maafkan, paman yah sayang?" Meski sebenarnya Naruto cukup senang dengan cuaca mendung saat ini yang bisa memberinya waktu lebih lama dengan bocah-bocah itu.

"Kalian sudah mengisi baterai ponsel kalian, 'kan?" Boruto mengangguk, "Sudah." sahut Bolt tanpa memperhatikan Naruto dan sibuk dengan Lego yang ia rangkai sekarang.

"Bagaimana kalau kalian hubungi bibi kalian dan bilang padanya jika kalian ada bersama paman supaya ia tak khawatir." saran Naruto langsung diterima oleh Himawari. Gadis cilik itu langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri tas belakang yang ia simpan di dalam kamar.

Tidak lama Himawari kembali dan duduk di sofa bersama Naruto dan Boruto. Lalu mengotak atik ponselnya sebelum mengangkat dan meletakkannya di telinga.

Tidak sampai dua dering, orang di seberang sudah mengangkatnya. "Himawari..." Tetapi, bukan sapaan lembut yang biasa bocah itu dapatkan, melainkan pekikan keras khas seorang wanita, "astaga sayang, kalian ada di mana sekarang. Kalian baik-baik saja, 'kan? Bagaimana dengan Boruto, dia tidak ketakutan, 'kan?..."

"Bibi..."

"Sayang katakan, di mana posisi kalian, biar bibi datang ke sana sekarang. Apa kalian diculik? Katakan pada Bibi...!!!"

"Bibi Hanabi, kami..."

"Himawari..."

Naruto yang melihat Himawari tak bisa berbicara karena kecerewetan bibinya, langsung mengambil ponsel dari tangan gadis cilik itu lalu menggantikan Himawari untuk bicara, "Hallo..." Nada bicara Naruto yang tegas dan dingin mau tak mau membuat lawan bicaranya berhenti sejenak. Lelaki itu telah kembali pada dirinya sebelum bertemu dengan Bolt dan Himawari.

"Siapa ini? Mana keponakanku? Di mana Himawari dan Bolt?"

Sayangnya nada tegas dan dingin pun tak bisa membungkam lama mulut Hanabi. Bibi Boruto dan Himawari itu malah semakin mendesak dengan pertanyaan-pertanyaannya.

"Aku Naruto. Namikaze Naruto. Apa ini bibi Himawari dan Boruto?"

"Iya, aku bibinya... Di mana kalian sekarang? Aku akan menjemput mereka."

"Kau tenang saja. Keponakanmu ada di apartemenku."

"Apartemen?"

"Iya, apartemenku."

"Dasar brengsek, kau mau menculik mereka?" suara di seberang sana semakin melengking, bahkan Naruto harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

"Kau salah paham Nyonya."

"Nyonya? Siapa yang kau sebut nyonya, hah? Aku masih belum menikah, sialan. Dan aku tidak salah paham. Kau pikir sudah berapa lama keponakanku hilang, ha? Sudah sehari-semalam dan kau tidak mengembalikan mereka. Seharusnya kau langsung menghubungiku bukan malah menahan mereka bersamamu..."

Naruto menghela nafas, rasa kesal tak pelak dia rasakan juga saat kata-kata tuduhan yang sebenarnya betul itu keluar dari mulut cerewet bibi Boruto dan Himawari. Tipekal wanita yang selalu Naruto hindari (sama seperti ibunya, tapi ayahnya malah sangat mengagumi ibunya).

"Kalau bukan menganggapmu penculik lalu apa? Sekarang cepat katakan!"

Dasar wanita. Sepertinya mulut wanita itu memang diciptakan dengan kecepatan ucap yang lebih tinggi seperti mobil sport.

"Di mana alamatmu? Aku yang akan mengantar mereka. Hari sudah hampir malam, dan hujan belum berhenti. Aku atau pun kau tidak mungkin berkendara di cuaca seperti ini." tandas Naruto dan menghentikan segala kesal wanita di seberang sana.

"Tidak. Kau yang harusnya memberitahuku di mana alamatmu? Aku yakin setelah tahu di mana rumah kami, kau akan datang dan meminta tebusan."

Naruto mendengus, memang orang ini seberapa kaya sampai bisa membuat seorang Namikaze Naruto meminta uang tebusan?

"Buat apa aku meminta uang tebusan padamu?"

"Tentu saja karena taraf hidup di kota ini sudah meningkat hingga kau sangat butuh uang untuk biaya hidupmu."

Bahkan Naruto bisa memberikan satu persen saham perusahaannya untuk menukar bocah-bocah itu.

"Sebutkan alamatmu, kalau kau ingin para keponakanmu bisa kau temui besok!"

"Sialan! Kau pikir kau siapa, hah? Cepat"

"Namikaze Naruto dari Uzu Corp. Kirimkan alamatmu sekarang! Besok aku akan mengantarkan mereka di sana."

sumber gambar google

Meski wanita itu masih terdengar tidak terima, ia tetap menyebutkan alamatnya. Yah setidaknya, wanita itu sadar dengan keadaan. Dan satu tujuan terselubung miliknya pun akan terealisasi. Walau pun, Naruto tidak bisa lagi bersama bocah-bocah itu, ia tahu di mana ia bisa menemui mereka.

"Apa kata bibi, Paman?"

Naruto menyerahkan kembali ponsel milik Himawari. Gadis cilik itu rupaya sedari tadi terus memperhatikan Naruto. Bahkan Boruto yang tadi sangat fokus pada legonya pun berhenti untuk memperhatikannya.

"Besok paman yang akan mengantar kalian pulang. Bibi kalian tidak bisa datang karena hujan. Jadi, malam ini kalian akan tidur kembali bersama paman. Kalian mau, 'kan?"

Boruto dan Himawari mengangguk bersamaan, "Aku masih mau main dengan permainan ini." ucap Bolt seraya meneruskan permainannya.

sumber gambar google

...

Di sisi seberang, tepatnya si penerima telepon, Hanabi terlihat tersenyum sendiri di atas ranjangnya. Sudah lama ia ingin melakukan itu terhadap Naruto, sayangnya dulu ia tak bisa. Dulu, ia masih bocah berumur 13 tahun yang tidak pernah mendengar kalimat kasar atau pun umpatan hingga tak mampu mengeluarkan kalimat-kalimat makian. Dan tadi itu, adalah bentuk realisasi dari keinginannya yang dulu. Ia benar-benar puas memaki Naruto. Yah, meski makian itu bukan tentang kebejatannya yang dulu, melainkan untuk para keponakan manisnya.

sumber gambar google

Hanabi mengambil ponselnya yang terletak tak jauh dari posisinya berbaring. Ia kembali membuka pesan kakaknya yang sedari tadi dia abaikan karena tidak ingin membohongi kakaknya. Pesan yang isinya masih tetap sama. Entah kenapa, kakaknya itu memiliki kepekaan tinggi terhadap anak-anaknya. Padahal jarak dirinya dan kakaknya itu sampai beratus kilo meter, tapi kakaknya masih bisa merasakan kalau anaknya tidak berada bersamanya.

Drrrrrrttt...

Hanabi tersentak, ponselnya hampir jatuh kalau saja ia tidak menggenggamnya erat.

Nama nee-chan tertera di layar ponsel. Artinya, kakaknya itu lagi-lagi menelponnya dan mau tak mau ia harus mengangangkatnya kalau tidak ingin membuat kakaknya itu curiga.

Hanabi berdehem untuk membersihkan kerongkongannya yang terasa seperti ada kelat karena rasa gugup. "Halo nee-chan ada apa..."

"Ah Hanabi, kenapa dari tadi kau tidak menjawab teleponku? Pesanku pun kau abaikan. Aku kan merasa khawatir pada anak-anak..."

"Astaga, nee-chan. Kau terlalu berlebihan. Anak-anak dalam keadaan baik-baik saja. Kau tenanglah di sana dan jangan terlalu cemas. Nanti malah kau sendiri yang jatuh sakit..." Hanabi menghela nafas, satu kebohongan berhasil meluncur dari mulutnya dan membuatnya dirundung bersalah. "Lagi pula, tadi aku menemani anak-anak. Mereka terlalu aktif, jadi, aku susah membuka ponsel karena harus mengawasi mereka." jelasnya lagi.

Terdengar suara helaan nafas dari seberang, "Kau tahu kan Hanabi. Ini adalah kali pertama aku berpisah dengan anak-anakku. Tentu saja aku merasa sangat khawatir."

"Iya, aku tahu nee-chan. Kau sudah jadi seorang ibu sekarang, jadi wajar kalau merasa khawatir. Ini juga adalah pertama kalinya mereka jauh darimu... tapi, kan kau tahu sendiri, kalau mereka ada bersamaku dan kau pun tahu kalau aku atau ayah tidak mungkin menelantarkan bocah-bocah manis itu."

"Yah, kau benar Hanabi..."

Hanabi menghela nafas lega. Kebohongan yang ia lontarkan dimakan bulat-bulat oleh kakaknya.

"Kalau begitu, biarkan aku mendengar suara anak-anakku. supaya aku bisa tenang..."

Deg.

Jantung Hanabi mulai tak karuan berdebar, tangan dan kakinya mulai terasa dingin karena gugup. Ia harus memikirkan kebohongan yang bisa kakaknya terima tanpa protes. "Kalau itu sayang sekali nee-chan..." mata Hanabi tanpa sengaja jatuh pada jam dinding kamarnya, "anak-anak sudah tidur. Mereka sangat lelah karena seharian bermain."

"Kau bisa membangunkannya, hanya sebentar saja Hanabi, yang penting aku mendengar suara mereka."

Astaga, kakaknya ini. "Nee-chan, kau tahu sendiri Himawari sangat susah tidur kalau dibangunkan. Aku tidak mau dia tidak tidur semalaman karena keinginan nee-chan." meski jantung berdegup cepat dan tubuhnya sudah panas dingin karena gugup , Hanabi tetap berusaha sabar menjelaskan pada Hinata.

"Yah, kau benar."

Hanabi lagi-lagi menghela nafas lega, syukur kakaknya itu bukan orang curigaan. Alasan klise semacam itu pun bisa dia terima.

"Kenapa kau menghela nafas, Hanabi? Kau menyembunyikan sesuatu? Apa anak-anakku baik-baik saja?"

Tapi, kalau tingkat kepekaan, Hanabi akan mengakui kalau kakaknya itu memiliki rasa peka yang tinggi. Terlalu sensitif jika menyangkut orang yang ia sayang. Dan sayangnya, gara-gara itu pula yang membuatnya sulit melupakan Naruto. Laki-laki yang sudah menghancurkannya dulu.

"Nee-chan aku tidak menghela nafas, aku sedang menguap tadi."

"Kau sudah mengantuk?"

Hanabi geleng kepala menyesal, "Iya. Anak-anakmu membuatku tak bisa beristirahat." dustanya lagi. Entah sudah berapa banyak dusta yang ia berikan pada kakaknya. Semoga Kami-sama mengampuninya

"Mereka keponakanmu juga, 'kan?"

"Iya sayangnya begitu. Mereka keponakan yang sangat aku sayangi. Meski mereka merepotkan... Jadi, nee-chan, aku akan menutup teleponnya. Aku mau istirahat." sekalian tidak mau lagi berbohong.

"Baiklah." sahut Hinata, lalu, "Ah, satu lagi, aku mungkin pulang lebih cepat. Lusa atau tiga hari lagi setelah pekerjaanku selesai.."

"Iya, Nee-chan, aku sudah tahu. kemarin nee-chan kan sudah bilang. " untunglah kakanya itu pulang lebih lama, jadi ia bisa menjalankan tahap awal rencananya. Benar-benar beruntung.

sumber gambar google
...

Malam semakin larut, namun mata Naruto tetap nyalang menatap langit-langit kamar. Boruto dan Himawari sudah tertidur sejak satu jam yang lalu. Mereka tertidur sangat cepat, mungkin karena pengaruh aktivitas yang seharian ini mereka lakukan.

Boruto adalah tipe bocah yang sangat aktif, terlebih jika ada hal baru yang ia lihat. Sebagai contoh adalah permainan lego. Bocah itu bahkan tak mau beranjak sebelum rangkaian pesawatnya jadi. Sementara Himawari, bocah cilik itu pun sama bersemangatnya dengan Boruto. Memang tidak seaktif Boruto, tapi cukup kritis sampai menguras pikiran Naruto untuk bisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya belum boleh diajukan oleh bocah seumurannya. Contohnya saja, "Paman kenapa di perut bibi itu bisa ada anak bayinya?" pertanyaan itu muncul ketika mereka melintas di taman dan tanpa sengaja mereka berpapasan dengan ibu hamil ketika di rumah sakit tadi. Naruto tidak mungkin menjawab gamblang pertanyaan itu. Alhasil ia malah mengalihkan topik. Atau pertanyaan lain seperti, "Paman kenapa paman dan bibi itu ciuman?" saat tanpa sengaja Naruto membiarkan tivinya menayangkan film romansa dewasa. Dan semua pertanyaan itu benar-benar cukup membuat seorang Namikaze menjawab dengan tidak masuk akal.

Naruto bangkit dan berjalan menuju ruang kerjanya. Di sana ia duduk di kursi yang biasanya digunakan untuk kerja. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi seraya menghela napas panjang. Tangannya segera membuka laci dan mengambil satu figura cantik yang selalu ia simpan. Seorang wanita cantik yang berpose menghadap kamera dengan senyum yang selalu bisa membuatnya hangat. Wanita yang tetap bertahan memaku namanya di hati Naruto.

sumber gambar google

"Aku tidak tahu, kenapa wajahmu sering muncul di kepalaku. Bahkan wajah kaa-chanku sendiri berubah seperti dirimu."

Naruto senyum sendiri ketika mengingat itu. Bagaimana dulu, ia menggoda Hinata menggunakan rayuan ketinggalan jaman, namun Hinata tetap tersenyum, bahkan merona.

"Hinata, kau benar-benar cantik. Tapi, aku tidak suka kau memakai baju itu. Kakimu terlihat, nanti laki-laki lain tidak bisa mengalihkan matanya dari kaki-kakimu. Mereka akan membayangkan hal-hal erotis dipikirannya..."

Lagi-lagi Naruto tersenyum ketika mengingat betapa posesifnya dulu ia terhadap Hinata. Ia seperti anak kecil yang tidak mau berbagi permen kepada orang lain. Dan Hinata, gadis itu malah tenang-tenang saja dengan prilakunya, tidak protes dan melakukan apa yang Naruto katakan.

"Kumohon gugurkan bayi itu, Hinata!"

Lalu ingatan yang tidak ia inginkan itu datang. Meluruhkan senyum yang sempat menghias bibirnya. Meredupkan euforia semu yang sempat singgah di dadanya dan kembali membawa perasaan tak nyaman dan sesak yang perlahan mengingatkan dirinya tentang rasa sakit dan menyesal.

Naruto menghela napas sekali lagi, ia kemudian memejamkan matanya dan memijit pangkal keningnya. Andai dulu ia tak bertindak egois, Naruto tak mungkin seperti ini, hidup bagai ikan di dalam akuarium. Hanya berenang memutar pada satu tempat. Penyesalan pun tak kunjung berakhir. Andai dulu ia bersikap lebih dewasa, kekasih dan anak yang tak dia inginkan pun pasti akan berada di sisinya sekarang. Dan pastinya ia tak akan menjalani hidup penuh kekosongan dan penyesalan.

Getaran ponsel di atas meja menyentak kesadaran Naruto akan bayang-bayang masa lalu. Ia menghembuskan nafas kasar kemudian bangkit dan mengambil ponselnya.

"Aku akan pulang besok."

Satu pesan singkat dari Sasuke berhasil membuatnya berdecih kasar. Entah kenapa laki-laki itu selalu berhasil membuat rasa dongkolnya menanjak. Atau karena Sasuke sendiri yang hadir saat mood-nya tidak bagus? Entahlah.

Melirik jam dinding di atas pintu, Naruto segera beranjak. Ia tidak ingin bangun kesiangan besok dan membuat Bolt dan Himawari kelaparan. Ia kemudian keluar ruangan menuju kamarnya sendiri.

Di tengah jalan, Naruto menghentikan langkahnya dan beralih menuju kamar Bolt dan Himawari. Entah kenapa, ia merasa khawatir dan ingin melihat mereka.

Dari pintu, Naruto sudah bisa melihat bagaimana posisi Bolt dan Himawari sudah berubah. Tetapi, untungnya posisi mereka tak ada yang saling menyakiti. Kalau Bolt sudah berada di bagian kepala, maka Himawari ada di bagian kaki, selimut mereka pun sudah jatuh di bawah ranjang.

Naruto menggerakkan kakinya semakin dekat. Melihat anak-anak itu tertidur, entah kenapa menimbulkan sebuah perasaan rindu.

Naruto kembali teringat dengan perkataan Gaara maupun Ino. Dan meskipun itu hanyalah sebuah argumen mendadak yang datang tiba-tiba karena kemiripan mereka, Naruto berharap jika itu adalah kenyataan.

"Dad, we miss you...!"

Pandangan Naruto refleks mengarah pada Himawari saat suara igauan bocah perempuan manis itu masuk ke indra pendengarannya. Ia tak tahu kenapa, mendengar igauan itu memunculkan suatu desiran halus yang merambah dari dalam dadanya hingga membuat jiwanya terasa hangat. Dan ia pun tak tak tahu dari mana cetusan untuk menjadikan bocah-bocah itu jadi anaknya datang. Naruto benar-benar ingin menggantikan posisi ayah yang Himawari rindukan.

"Kau sangat mirip dengannya, Himawari..." Naruto bergumam seraya membawa tangannya untuk mengelus kepala Himawari.

Untuk beberapa menit, Naruto hanya mengelus kepala Himawari dan tak beranjak sedikit pun dari ranjang. Niat awalnya untuk segera ke peraduannya berubah. Ia kemudian memperbaiki posisi bocah-bocah itu lalu mengambil tempat di sisi kanan samping Bolt selanjutnya ikut berbaring bersama mereka. Ikut terlelap dalam damai mimpi indah.

sumber gambar google
.

.

.

Tbc.

...

A/N : sebelumnya saya berterimakasih karena sudah menunggu cerita ini dan maaf karena lama gak updatenya. Dan semoga chap ini tidak membosankan.


Share:

Monday, February 6, 2017

Senja Di Penghujung Tahun - Kebenaran



Pair : Naruto-Hinata

NARUTO © MASASHI KISHIMOTO

WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
.
.
.


.
.
.
.

KEBENARAN

Mereka bertiga berada diruang makan dengan makanan yang sudah dipesan oleh paman Naruto. Makanan yang terlihat lezat dan berwarna-warni. Tapi mereka sudah biasa makan makanan seperti itu karena mom mereka memang biasa memasaknya. Mom adalah chef yang paling hebat yang pernah mereka tahu.

Paman Naruto lebih memilih mengambilkan nasi dan lauk untuk masing-masing piring Boruto dan Himawari dari pada mengisi piringnya sendiri. Dia seperti kakek Hiashi yang juga suka mengambilkan lauk untuk mereka ketika berkunjung ke rumah mereka.

“Kalian harus makan yang banyak supaya cepat besar.”

Dan kata-kata itu juga biasa kakek Hiashi ucapkan setelah piring mereka terisi makanan. Tapi biasanya mom mereka sedikit mengomel ketika piring mereka masih banyak sisa ketika selesai makan karena tidak bisa menghabiskannya.

“Paman, ini terlalu banyak. Kami nanti tidak bisa menghabiskannya.”

“Iya, paman. Himawari benar. Kata mom, kita tidak boleh berlebihan. Dan menyisakan makanan itu juga tidak boleh, katanya banyak orang yang tidak bisa makan seperti kita di luar sana, jadi kita tidak boleh membuang-buang makanan.”

Naruto terpaku mendengar ucapan anak-anak di depannya itu, ucapan mereka membuat Naruto bangga. Mereka memang masih kecil tapi mereka sudah belajar tentang buruknya berbuat boros. Ibu mereka memang sangat hebat dalam mendidik mereka.

“Baiklah. Paman minta maaf, tapi makanan itu sudah terlanjur ada di piring kalian. Jadi mau tidak mau kalian harus menghabiskannya.”

“Tapi, paman. Ini terlalu banyak.”

“Kan kalian sendiri yang bilang tidak boleh membuang-buang makanan. Kalian tidak mau bukan jika barang yang sudah kalian beri pada orang lain, kalian ambil kembali?”
Boruto dan Himawari hanya bisa pasrah dan mengangguk menyetujui permintaan paman Naruto. mereka tidak mau seperti orang yang dikatakan oleh paman Naruto, karena kata mom mereka orang seperti itu harus dijauhi dan mereka tidak ingin dijauhi.

BRAK

Tidak berselang lama dalam kesunyian, ketika mereka makan, bunyi debuman keras dari pintu apartemen paman Naruto mengagetkan mereka.Seorang perempuan masuk dan menerjang paman Naruto, memeriksa seluruh wajahnya, tubuhnya, bahkan bola mata paman Naruto.

“Naruto, kau baik-baik saja, kan?”

Boruto dan Himawari menghetikan gerakan tangan dan kunyahan mulut mereka ketika melihat perempuan itu. Perempuan yang sama saat di bandara. Perempuan yang mereka kejar hingga membuat Boruto hampir tertabrak mobil paman Naruto.

“Bibi Hanabi.” Himawari meneguk cepat-cepat minumannya hanya untuk menyebutkan nama perempuan itu.

Perempuan itu berhenti dan menatap Boruto dan Himawari. Bola matanya membulat di balik kaca matanya, dia terkejut sama seperti dokter yang sudah memeriksa Boruto di rumah sakit tadi. Mungkin karena wajah mereka yang terlihat mirip.

“Menyingkirlah, Ino.” Kata paman Naruto yang terlihat jenuh dengan ekpresi berlebihan dari perempuan itu.

Perempuan itu membuka kaca mata ribennya hanya untuk melihat Boruto dan Himawari “Kalian anak Naruto?” tanyanya.

Boruto dan Himawari hanya menggeleng. “Jadi, bibi bukan bibi Hanabi?” kata Himawari dengan kecewa setelah melihat mata biru perempuan itu. “Ku pikir bibi adalah bibi Hanabi. Pantas saja waktu di bandara, bibi tidak berhenti saat kami panggil.” Lanjutnya sambil menunduk.

Wajah mereka murung seketika. Ternyata mereka sudah salah mengenali orang dari awal. Bibi itu bukanlah bibi Hanabi seperti yang mereka kira. Bibi itu hanya memakai wig dan kacamata untuk menyembunyikan dirinya dari fans-fans yang sudah menunggunya di bandara.

Perempuan itu bernama Ino Yamanaka, dia adalah aktris sekaligus sepupu paman Naruto yang baru pulang dari Korea Selatan setelah pemotretan bersama dengan salah satu aktor kondangan Korea Selatan. Kata paman Naruto film itu adalah film dengan campuran genre roman, action, dan humor, tapi Boiruto dan Himawari tidak mengerti tentang film itu.

“Oh, maafkan aku sayang. Aku tidak tahu kalau samaranku mirip dengan bibi kalian. Tapi, omong-omong, apa bibi Hanabi yang Himawari maksud itu adalah Hyuga Hanabi?”

Himawari dan Boruto mengangguk antusias, “Iya, bi. Bibi kenal dengan bibi Hanabi?” mereka berdua tampak senang dengan pertanyaan perempuan─ yang disebut in oleh paman Naruto, itu artinya bibi Ino mengenal dengan bibi Hanabi dan bibi itu bisa menghubungi bibi mereka untuk bisa cepat-cepat bertemu dengan kakek mereka.

sumber gambar google

.....

Naruto terkesiap saat jawaban itu meluncur dari bibir kedua anak di depannya. Jantungnya bagai tersengat listrik jutaan volt. Mata safir-nya melebar dan terus menatap Ino penuh tanya. "A-apa maksudnya?"

Ino juga bingung ketika mendengar jawaban dari anak-anak itu. Padahal, ia hanya asal tanya, tapi siapa sangka jawaban kedua anak itu benar-benar mengejutkan.

Namun, setahu Ino Hyuga Hiashi hanya memiliki dua anak perempuan dan Neji sebagai kakak sepupu, jadi orang tua anak-anak itu siapa? Hinata sudah meninggal ketika mereka masih remaja dulu dan tidak mugkin juga Neji atau Hanabi karena mereka belum menikah. Lagi pula umur anak-anak itu kemungkinan sudah tujuh sampai delapan tahun jadi tidak mungkin Hanabi, karena umurnya masih terlalu muda pada saat melahirkan, sedangkan Neji, tidak ada kemiripan pada kedua anak-anak itu. Kecuali...

Ino menatap Naruto, kemudian beralih pada anak-anak itu, lalu kembali ke Naruto dan begitu seterusnya hingga dia benar-benar yakin dengan pemikirannya.

“A-apakah ibu kalian bernama Hinata?” Ino bertanya ragu, sekilas melirik Naruto yang masih terdiam ditempatnya. Barangkali dia masih mencoba mencerna apa yang terjadi saat ini.

“Bibi kenal dengan mom?”

Pertanyaan dari kedua anak itu sudah cukup mewakili jawaban dari pertanyaan Ino. tapi bagaimana bisa Hyuga Hinata masih hidup sementara dulu mereka datang pada saat pemakamannya. Lalu Hinata yang dimaksud oleh anak-anak itu siapa? Ataukah ada yang disembunyikan oleh keluarga Hyuga? Memang untuk apa?

Di sisi lain, setelah mendengar perkataan mereka, Naruto diam. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu. Dirinya terlalu terkejut. Ia tetap bertahan dalam kesunyian semunya.

Jadi, sesuatu yang sedari tadi menganjal di kepalanya adalah ini. Kebetulan yang perlahan menguak akan kebenaran dan takut untuk mempertanyakannya.

Lantas mengapa mereka melakukan ini padanya? Membuat dirinya hidup dalam bayang penyesalan. Menipu dan membohongi semua orang dengan kematian palsu Hinata. Apakah ini bentuk balas dendam dari Hyuga untuk dirinya?

Jika memang seperti itu, maka mereka sudah berhasil. Mereka sudah berhasil memporak-porandakan perasaan Naruto. Hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah selama bertahun-tahun.

Bagi Naruto, tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada mengetahui sebuah kebenaran.

“Bisakah bibi Ino memberitahu bibi Hanabi kalau kami bersama paman Naruto, please? Kami tidak mau mom khawatir.”

“Iya, bi. Kami tidak mau mom marah. Mom sangat cerewet kalau marah,” kata Himawari. Wajahnya sangat menggemaskan dan Naruto menatap ekspresi itu. Ekspresi yang sama dengan wanita itu ketika menginginkan sesuatu. Ah... lagi-lagi anak-anak itu mengingatkan dia.

Jadi, apakah dia harus melakukan saran Gaara? Karena hanya itulah satu-satunya cara yang bisa membuktikan kebenaran semua ini.

“Hm... baiklah. Aku akan memberitahunya.” Ino menyetujui permintaan mereka.

"Terima kasih bibi"

"Oke.. kalau begitu kembalilah ke kamar kalian untuk istirahat." Mereka mengangguk dan turun dari kursi, "Tapi, sebelum itu bersihkan tubuh kalian."

"Baik, bi."

"Ah... Apa kalian ingin paman Naruto membantu kalian membersihkan tubuh kalian?"

Naruto tersentak menatap Ino penuh tanya dan sedikit kesal. Bagaimana tidak, dia masih memikirkan kebetulan dan kemungkinan jika ia memang memiliki hubungan dengan ke dua anak itu, juga Hinata yang masih hidup sampai sekarang dan Ino malah menawarkan kepada anak-anak itu jika ia bisa membantu membersihkan tubuh mereka. Wanita itu benar-benar menyebalkan.

Namun, walau pun demikian, tak dia pungkiri jika jauh dalam hatinya, ia merasa senang akan hal itu. Walau kebenarannya masih abu-abu dan jauh diraih, tapi dia merasa bahwa mereka memang memiliki suatu ikatan antara ayah dan anak.

"Bibi, kami sudah besar dan aku bisa membersihkan tubuhku sendiri. Tapi biasanya Boruto dibantu mom. Karena Boruto kadang mandi tidak bersih." Himawari cekikan ketika menceritakan Boruto.

"I...itu tidak benar, Paman. Aku biasa mandi sendiri, Hima bohong." Boruto membantah apa yang dikatakan Himawari, tetapi gelagatnya menunjukkan bahwa ia memang sedang bohong. Matanya memandang banyak arah dan telinga sebelah kanannya bergoyang.

"Tapi telingamu bergerak, Boruto. Itu tandanya kau bohong."

Naruto tertawa melihatnya. Mereka berdua terlihat menggemaskan. Hatinya berteriak jika kejadian yang dia alami saat ini bukanlah kebetulan biasa. Tuhan mungkin menjawab doanya dalam bentuk pertemuan dirinya dengan kedua anak itu. Boruto dan Himawari yang kemungkinan besar adalah darah dagingnya, anaknya bersama Hinata.

sumber gambar google
....

Di tempat lain, Hinata merasa perasaannya tidak karuan ketika mengingat anak-anaknya. Dia tidak tahu perasaan jenis apa itu, tapi perasaan itu perlahan menggerogoti tubuhnya hingga membuatnya kehilangan fokus.

Berkas--berkas yang seharusnya dia kerjakan malah terabaikan bahkan janji temu dengan perusahaan Hana Advertising ditunda demi untuk menenangkan perasaannya. padahal pertemuan itu sangat penting karena membahas salah satu proyek yang berhasil dia dapatkan dari beberapa saingannya.

Hinata tidak sanggup, jantungnya seolah diremas dan membuat perasaannya jadi tidak karuan ketika mengingat anak-anaknya.

Dia kemudian menghubungi Boruto, tetapi ponsel anaknya tidak aktif dan membuat Hinata semakin kalang kabut. Perasaan cemas perlahan merasuk dan menggerogoti setiap sel sarafnya. Tangannya gemetar hebat ketika menghubunginya beberapa kali dan selalu dijawab sama jika ponsel anaknya tidak aktif.

Hinata mencoba tenang, menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Mungkin memang ponsel anaknya tidak aktif dan mereka baik-baik saja.

Hinata kemudian menghubungi Hanabi, namun adiknya itu tidak mengangkatnya. Ia kemudian menghubunginya lagi, di derung ketiga Hinata baru bernafas legah.

"Halo, nee-chan ada apa?" suara Hanabi tampak serak sepertinya dia baru bangun.

"Oh, Hanabi apa kedua anak-anakku baik-baik saja?" Hinata tidak bisa menyembunyikan nada khawatir pada suaranya.

"Anak-anak? Maksud nee-chan apa?"

Deg

Jantung Hinata seolah dihantam gemuruh. Apa maksud perkataan Hanabi?

"Hanabi jangan bercanda! Aku benar-benar khawatir pada mereka."

"Nee-chan, aku benar-benar tidak tahu maksudmu. Apa Boruto dan Himawari datang ke sini?"

"Iya. Aku sudah mengirim banyak pesan karena teleponku tidak kau jawab. Anak-anak harusnya tiba hari ini. Dan bukankah ini adalah idemu?"

"Hahaha, maafkan aku nee-chan. Bercandaku kelewatan. Himawari dan Boruto memang tengah istirahat di kamar, mereka baru saja tertidur. Kau tahu kan perjalanan dari sana ke sini sangat jauh."

"Astaga Hanabi kau membuatku benar-benar khawatir. Kau tahu, sejak tadi perasaanku tidak enak kalau ingat mereka. Tapi syukurlah mereka baik-baik saja. Tolong jaga mereka Hanabi, aku mungkin akan menyusul tiga hari kemudian kalau pekerjaanku sudah selesai."

Hinata mendengar kekehan Hanabi di seberang, "Maaf nee-chan, sudah membuatmu khawatir seperti itu. Tapi, tenanglah, aku pasti akan menjaga mereka." Suara Hanabi terdengar bergetar dari tempat Hinata, tapi Hinata membuang jauh-jauh pikirannya itu, karena Hanabi sudah bilang jika mereka baik-baik saja.

Sementara di ujung sana Hanabi khawatir setengah mati, pasalnya dia tidak tahu kalau dua keponakannya itu akan tiba hari ini dan sms yang katanya dikirim oleh kakaknya tidak sekalipun dia baca. Salahkan ketelodorannya yang melupakan ponselnya di Kantor dalam keadaan tidak aktif dan sekalinya dia mau membuka ponselnya kesibukan kantor tidak mengizinkan. Lalu sekarang di mana dua bocah kesayangannya itu?
.
.
.
sumber gambar google
.
.
TBC

A/n : Sebelumnya minal aidzin wal faizin, maaf kalau Mickey banyak salah sama kalian terutama keterlambatan update fict. Sebenarnya fict ini sudah lama ingin sy publish, tapi ada kerjaan yang mengharuskan saya untuk fokus ke sana. Dan lagi saya sedang mencoba membuat sesuatu, jadi yah, fokus ku terbagi.

Btw, thanks buat kalian yang sudah review, fav, dan memfollow fict ini. Yah... Sy kira gak bakalan ada, hehehehe... Abiz pasaran, terlalu mainstrem. Hehehehe...

Sondankh641 : iya Menyesal itu memang gak ada gunanya, jadi yah, berusaha saja dan perbaiki.

Aug 13 c1 kenz : HEHEHE... Pertanyaanmu masih setengah terjawab. Nanti chapter selanjutnya lagi. Jadi tunggulah..

shafir : yah, mainstream sekali. Hahaha ^∆^, arigato.

lovechanhun6194 : waduh, ini belum terjawab di chapter ini, jadi tunggu kelanjutannya saja, oke. BTW, arigato.. ^,^

LuluK-chan473 : Hm... Tapi kan dia nyesel :'( (tapi gak ada juga sih, cewe yg mau...)

Alinda504 : Itu karena mereka salah orang, hehehe °∆°

SPECIAL THANKS FOR

Hyuuzu Avery, vikramout, ana, dewa, kenz, Hitampanjang, Guest, adam.muhammad.980, shafir, lovechanhun6194, hammerb101, Sondankh641, LuluK-chan473, Alinda504, QueenMamba, PearlLavender25, BrotherHeart, Hitampanjang.

Semoga kalian gak bosan baca fict-fict ku yang lain. Memang agak lama update, tapi percayalah pasti akan saya selesaikan.

Baiklah, sampai di sini dulu dan sampai jumpa di fict ku yang lain. •∆•

Mickey139

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com