Fly with your imajination

Friday, March 22, 2024

NOT PERFECT#19

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA





***

"Sudah kamu serahkan titipan saya yang kemarin?"

Yoga menatap kesal Kenzo. Jika ia tahu akan bertemu masa lalunya, ia tak akan mau mengantarkan pesanan laki-laki itu. Terlebih ia juga terjebak hujan dan pulang sangat terlambat.

"Sudah. Pak." Yoga sengaja menekan kata-katanya.

Tetapi, pada dasarnya Bos tak suka disalahkan, Kenzo menaikkan sebelah alisnya sebagai respon.

"Aku akan pura-pura tak mendengar nada jawaban kamu."

Terserah. Mau dipedulikan pun Yoga tidak peduli. Malah bagus jika ia dipecat. Yoga bisa lebih fokus menjalankan bisnisnya.

"Apa ada lagi yang bapak butuhkan?"

Kenzo diam beberapa detik, tampak menimbang apa yang ingin dia katakan pada Yoga. Sebelum membuka suara, "Yog," dan kembali menjeda ucapannya.

Yoga menaikkan sebelah alisnya ketika Kenzo menjeda ucapannya. Tetapi, ia tetap diam dan menunggu sampai Kenzo menyelesaikan ucapannya. "lo bisa... ketemu kakek?"

Dan Yoga menyesal membiarkan Kenzo meneruskan kata-katanya.

"Sebulan sekali kita bertemu." Yoga menyahut dingin. "Personal. Tidak dengan keluarga yang lain." Yoga tak menyahut lantas berdiri, bersiap pergi dari ruangan Kenzo.

"Yog, sejujurnya gue penasan, apa yang lo pikirkan. Sebenarnya lo bisa, tapi lo malah..."

"Ada lagi yang Bapak butuhkan? Kalau tidak, saya akan kembali ke ruangan saya." kata Yoga, tak mau mendengar ocehan Kenzo yang mungkin akan membuatnya lepas kendali

Tak mendapat sahutan dari Kenzo, Yoga segera berjalan dan meraih gagang pintu. Ia benar-benar tak menyukai cara Kenzo yang mengingatkan dirinya dengan mengungkit masa lalu.

Terlebih pada orang yang membuangnya. Orang yang membuat dirinya kesepian.

Tidak mengapa jika itu hanyalah Yoga, masalahnya hanya karena nenek memedulikan dirinya, orang itu juga membuang nenek. Wanita yang selalu setia dengan cintanya.

Yoga tak bisa memaafkannya. Meski tiap bulan ia bertemu dengan kakeknya, tak pernah sekali pun ia bertegur sapa. Yoga akan berpura-pura melakukan sesuatu atau bahkan mengabaikan kakeknya secara terang-terangan.

"Apa lo masih akan bersikap seperti itu kalau tahu apa yang sebenarnya kakek lakukan buat lo?" Yoga tidak merespon apa-apa dan membiarkan udara yang menyahut pertanyaan Kenzo. Kakinya terus melangkah hingga hilang di balik pintu ruangan kenzo. ...

Semilir angin menerbangkan debu-debu di jalan yang dilalui Yoga. Meski tidak banyak debu, tetapi masih bisa mengganggu hidungnya. Cuaca hari itu tidak terlalu terik dan membuat Yoga memilih jalan kaki menuju rumah makan langganannya di dekat perusahaan. Tomatoz, rumah makan yang dikelola oleh sepupunya Regan dan Hana.

Yoga memang tidak terlalu dekat dengan mereka. Meski rata-rata keluarganya menganggap Yoga adalah sesuatu yang aneh, dan lebih memilih menghindar, tidak begitu dengan mereka. Kepribadian mereka pun bisa dibilang sangat baik. Padahal ayah dan ibu Regan sangat keras. Mereka sering menyapa Yoga, meski Yoga tidak peduli. Bahkan mereka juga selalu mengajak dirinya mengobrol ketika perkumpulan keluarga diadakan.

Hanya beberapa langkah sebelum pembelokan seseorang menepuk pundaknya dan membuat Yoga tersentak. "Mas Yoga?"

Yoga berbalik dan mendapati Nayla di hadapannya tengah menyengir. Yoga benar-benar tak menyangka akan bertemu gadis itu di dekat kantornya. Dan entah dari mana datangnya, Yoga menganggap bahwa semesta ingin menghiburnya dengan kehadiran Nayla.

Penampilan gadis cantik namun tomboy itu sekarang berbeda. Ia memakai almamater universitasnya.

"Kebetulan banget Mas." kata Nayla sekali lagi menyengir.

"Kok kamu bisa di sini?"

"Aku gak ngikut loh." Lagi-lagi Nayla menyengir ketika menjawab Yoga. Nayla benar-benar senang bertemu Yoga. Dan, ia jadi membayangkan kalau pertemuan mereka adalah rencana semesta.

Bukan tanpa Alasan Nayla berpikir begitu. Pasalnya kebetulan semacam itu benar-benar sering mereka alami.

Dimulai dari tahun baru, kemudian semalam ketika pulang dan ia berencana pergi ke rumah sakit, dan terakhir adalah di waktu sekarang. Kalau bukan takdir, apa namanya? Yah, kecuali laki-laki itu penguntit. Tetapi, tentu saja tidak mungkin. Selain karena mereka tak pernah bertemu sebelumnya, Yoga juga tak menunjukkan tanda-tanda seperti seorang penguntit.

Pertama karena wajah Yoga sangat tampan. Hanya dengan menunjuk, ia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Dan yang kedua adalah, ekspresi ketika mereka bertemu. Nayla tak pernah melihat wajah Yoga berseri-seri atau senang. Laki-laki itu justru selalu menunjukkan ekspresi kebalikannya. Mana ada penguntit begitu?

Seperti saat ini, Yoga seperti punya beban yang sangat berat di punggungnya. Padahal tadi dia sudah memanggil laki-laki itu beberapa kali, tetapi Yoga tak menyahut dan lebih memilih berjalan sambil melamun.

Yoga terkekeh melihat tingkah Nayla seolah tersinggung dengan kata-katanya.

"Bukan saya loh yang bilang."

"Ih beneran."

"Iya... iya... saya percaya."

"Tapi, kita sering ketemu secara kebetulan. Jangan-jangan..."

"Iya, kita jodoh."

"Eh..."

Dan Yoga kembali terkekeh, seolah ia tak memiliki masalah tadi.

 Kendari, 22 Maret 2024

Mickey139



SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA




Share:

Thursday, February 29, 2024

ANAK TOKO - Khodam


Sangat disarankan memberi kritik dan saran.

Main : Tini, Mila, Mulyadi, Agus, Ridho
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139




SUMMARY :

Kisah para kacung alias anak toko yang ditempatkan di minimarket desa. Desa itu agak sepi, apalagi saat malam. Rata-rata aktivitas di lakukan saat pagi hingga jam delapan malam. Di sana tidak ada hiburan. Jadi, hiburan satu-satu nya anak toko adalah ketika pembeli datang ke toko.

~happy reading~



Malam makin larut. Bulan di luar makin menanjak. Untungnya, cuaca sedang aman. Tidak dingin atau panas, sehingga tidak ada gerakan tambahan seperti mengipas atau malas bergerak karena kedinginan.

Tidak ada suara selain binatang malam yang saling bersahutan. Toko benar-benar sangat sepi pelanggan. Yah, wajar saja karena minimarket mereka berada di pelosok yang kalau malam orang-orang lebih memilih beristirahat ketimbang keluyuran atau sekedar nongkrong di kafe pinggiran.

Selamat datang di April Mart. Mila menyapa pelanggan sambil tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu, Nek?"

Nenek itu diam sejenak. Dia memperhatikan Mila dengan pandangan menyelidik. Lalu tidak lama dia menunduk seperti memberikan salam.

"Salam saya, Nyai." celutuk nenek itu tiba-tiba.

Mila menaikkan salah satu alis, tidak mengerti. Namun, hanya beberapa detik setelah kebingungannya, Mila kemudian mengabaikan kata-kata nenek itu karena berpikir kalau nenek itu ingin mengerjainya.

"Ada yang bisa saya bantu, Nek?" Sekali lagi Mila bertanya dengan nada yang ramah. Namun, nenek itu tidak lagi menyahut dan memilih diam. Sampai seorang pemuda masuk lalu menghampiri nenek itu.

"Nek, ngapain ke sini? Kan bisa minta ke Aan." kata pemuda itu lembut.

Nenek itu tak menyahut dan memilih menunjuk ke arah Mila. "Ada Nyai."

Pemuda itu melihat Mila dengan kening mengkerut sebelum mengangguk pelan.

Sementara Mila yang jadi objek kedua orang di hadapannya sudah mulai merasa agak risih.

"Ah, maaf ya, Mbak. Jangan hiraukan nenek saya. Dia memang begitu."

Mila mengangguk memaklumi. "Tidak apa-apa." katanya sambil tersenyum.

"Kalau begitu kami permisi, Mbak. Nyai."

"Eh?"

Nyai?

Tiba-tiba saja Mila jadi merinding.

Mickey139


Share:

Monday, February 26, 2024

THE MERMAID - EMPAT

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP



THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)



"Kenapa datang ke sini lagi?"

Aata menggeleng kepala melihat kelakuan temannya yang tidak bisa bosan datang di tepi batu karang untuk melihat laut ketika latihan usai.

"Kau ingin sekali ke sana?" Aata menunjuk laut yang diangguki oleh Mac.

"Kenapa?"

Mac ingin sekali menyahut, "Karena dari sanalah aku berasal dan aku ingin pulang." Namun, Mac tahu Aata hanya akan menertawakannya jika menjawab seperti itu. Maka dari itu, ia hanya tersenyum dan menanggapinya dengan singkat. "Di sini nyaman."

Aata menghela, kemudian berlalu dari sana setelah mengatakan, "Jangan sampai terlambat jika tak ingin dihukum." karena ia tahu, Mac tidak akan kembali bersamanya jika Mac belum memuaskan dirinya.

Mac sebenarnya ingin jujur pada temannya mengingat bagaimana sifat temannya itu yang setia kawan. Sayangnya, ajaran para tetua sudah tertanam jelas di kepalanya, bahwa manusia daratan adalah manusia tamak yang akan melakukan apa saja untuk memuaskan nafsunya. Apalagi Mac tahu, jika manusia bisa hidup abadi hanya dengan mengekstrak duyung.

Kembali ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat dirinya dipenuhi oleh ambisi dan rasa ingin tahu. Melupakan peringatan para tetua dan orang-orang yang ia sayangi dan melanggar hukum kerajaan. Sampai ia sadar dan semuanya sudah terlambat. Ia berakhir dengan kesedihan yang terus memenjaranya.

Mac menghela nafas. Ia hanya butuh satu kesempatan untuk kembali ke sana. Ia benar-benar sudah lelah menjalani kehidupannya yang sekarang dan ia ingin kembali.

Dewa Casios.

Amethrine.

Dua kata itu adalah kuncinya.

Mac tersenyum kemudian bangkit dari sana. Berlalu. Sampai ia mendengar suara rintihan lirih dari seseorang. Langkah kakinya berubah arah yang kemudian membawanya di ujung tepi batu karang. Matanya menyipit guna memfokuskan pandangannya pada satu titik. Di sana, Mac melihat ada seorang gadis yang merintih. Wajah dan sebagian atas tubuhnya menyandar pada bebatuan, sementara bagian tubuh ke bawah tertutupi oleh air.

Tanpa membuang waktu, Mac merapalkan sesuatu hingga akar-akar di sekitar batu karang yang ia pijaki bergerak membentuk tangga hingga ke bawah. Ia menuruninya dengan cepat sampai pada gadis itu.

"Hei, kau- akh!" Mac menarik kembali tangannya bingung. Suhu gadis itu terasa panas di kulitnya. Sangat kontras dengan suhu kulitnya yang dingin karena suhu udara di sekitar mereka. Benar-benar aneh. Namun, bagaimana pun perasaannya terhadap manusia, ia juga tak mungkin membiarkan gadis itu sekarat dan mati di sana.

Setelah merapalkan sesuatu, Mac melepaskan sweater-nya dan membungkus tubuh bagian atas gadis itu yang hanya menggunakan kerang dan rumput laut untuk menutupi dadanya. Selanjutnya, ia menyisipkan tangannya di bawah punggung gadis itu lalu di bawah lututnya dan... tidak ada kaki.

Mata Mac melebar ketika menyadari bahwa gadis itu bukanlah manusia, melainkan duyung. Kebingungan menyelimutinya. Ia sangat ingin menyelamatkan gadis itu, namun di sisi lain, ia takut apabila gadis itu ditemukan oleh orang lain. Dan saat ini, waktunya tak banyak untuk kembali ke asrama.

Dalam waktu yang singkat, dipenuhi oleh kebingungan, Mac memutuskan untuk menyelamatkan putri duyung itu. Membawanya pada tempat yang aman lalu menyembunyikan keberadaan putri duyung itu. Kembali ke asrama untuk mengambil poison.

Putri duyung itu harus selamat. Hanya dia yang mampu menolongnya.

Mac kembali pada putri duyung itu. Menggunakan sihir air, ia membentuk bola air lalu memasukkan putri duyung itu ke dalamnya dan menuangkan possion tersebut. Perlahan namun pasti luka menganga pada ekor dan luka-luka goresan di tubuh putri duyung itu berangsur menghilang.

Mac tersenyum ketika menyadari putri duyung itu hampir pulih dari luka-lukanya.

Akhirnya ia bisa ke Amethrine. Akhirnya ia bisa bertemu dewa Casios. Akhirnya ia bisa pulang.

Sampai mata gadis itu terbuka lebar, harapan Mac pupus. Alih-alih berterima kasih, gadis itu justru menyerang Mac hingga tubuh Mac terhempas pada karang di belakangnya.

Bola air yang dibentuk Mac pecah dan membuat putri duyung itu jatuh di atas pasir.

"Apa yang kau lakukan?" Mac bangkit. Untung saja tubuhnya refleks membuat perlindungan hingga rasa sakit akibat hempasan itu tak sampai menyakiti tubuhnya.

"Manusia!"

Sekali lagi putri duyung itu menyerangnya. Tak peduli pada tubuhnya yang tak bisa bangkit di atas pasir. Dengan tangan kiri ia menyanggah tubuhnya agar tegak dan tangan kanan ia gunakan untuk membentuk sihir berupa jarum-jarum air kecil lalu menghempaskan pada Mac.

Mac melompat lalu menghindar. Kemudian menggunakan akar yang ada di belakangnya untuk mengekang gadis itu. Mengikat kedua tangan dan ekornya agar tak bergerak. Lalu dengan sihir lain, ia membuat gadis itu tak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Tenanglah!" kata Mac seraya menghampiri gadis itu. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakanmu." Lanjutnya.

Putri duyung yang masih tetap mencoba menggerakkan badannya itu, mendongak dan menatapnya dengan pandangan membunuh, "Bagaimana bisa aku mempercayaimu?" sentaknya keras.

Mac memejamkan mata seraya menghela. Dia tentu tidak bisa menyalahkan putri duyung itu yang tetap waspada di hadapannya. Dia juga tahu bagaimana bencinya para duyung terhadap manusia.

"Aku memang tidak bisa membuktikan jika aku tidak akan membuatmu dalam bahaya sekarang." Mac melihat lilitan akarnya yang sudah menyakiti tangan gadis itu lalu melonggarkannya sedikit, "Tapi, membiarkanmu sekarat dan ditemukan manusia lain, bukan pilihan baik juga, bukan? Aku tidak yakin, jika mereka bisa berbuat lebih baik dari aku. Kau tahu, kebanyakan manusia yang melihat duyung akan memanfaatkan mereka untuk memperoleh keabadian." Jelasnya dengan tenang.

Raut wajah putri duyung itu berubah. Ia tentu tidak ingin tubuhnya diperlakukan buruk oleh mereka, maka dari itu gesturnya berubah. Ia tak lagi memberontak dan pasrah pada perlakuan Mac yang kembali membuatnya berada di dalam bola air.

"Jadi, namamu siapa?" Mac bertanya namun konsentrasinya tetap berada pada bola air yang ia buat. Poison yang ia ambil dari asrama masih tersisa sedikit dan cukup untuk mengobati sisa luka putri duyung itu.

Putri duyung itu masih memejamkan mata, merasakan luka di sekujur tubuhnya satu per satu sembuh. Bahkan pada sayatan panjang di ekornya. Ia menggerak-gerakkan ekornya untuk meyakinkannya.

Bola air yang Mac buat berangsur menyurut, menyisakan air hingga sebatas pinggang putri duyung itu.

"Adrea." sahut putri duyung itu. Masih tetap waspada pada tiap pergerakan Mac.

Tanpa memedulikan reaksi Adrea, Mac kembali bertanya, "Lalu kenapa kau bisa terluka seperti itu?" Mac belum melepaskan putri duyung itu dan masih tetap menahannya. Meski kelihatan jika ia hanya ingin membantu, namun kenyataannya dalam air yang tadi ia gunakan untuk penyembuhan putri duyung itu, ia sudah menyisipkan mantra pengekang yang aktif apabila gadis itu melakukan sesuatu padanya dan berniat kabur.

"Bukan urusanmu. Aku juga tidak memiliki tanggung jawab untuk menyahutnya." Putri duyung itu masih berbicara sarkas pada Mac, tetapi tak juga berniat melarikan diri.

"Baiklah kalau kau tidak ingin menjawabnya. Setidaknya aku tahu siapa dirimu dan mungkin juga karena itu pula kau bisa mendapatkan luka seperti itu." Mac mengangkat bahunya acuh. Masih mengabaikan sikap Adrea.

Ini adalah kesempatannya.

Mac terdiam beberapa detik, membiarkan angin laut menyusup di sela-sela antara dirinya dan putri duyung itu, sebelum menarik nafas panjang dan menatap putri duyung itu dengan tekad yang besar.

"Sebelum aku melepasmu kembali ke lautan, aku ingin kau memberitahuku satu hal." Mac memulainya dengan pelan. Namun, tidak dengan basa-basi yang bisa menghabiskan banyak waktu.

Adrea mengangkat kepalanya dan menatap sepasang mata biru di depannya. Masih dalam posisi bersiaga, ia menyahut, "Apa?" dengan pertanyaan lain.

"Kau tau Dewa Casios?"

Gestur tubuh Adrea berubah. Tubuhnya menegang dengan wajah yang menyiratkan kewaspadaan. Ia belum menyahut, membiarkan suara deru ombak mengisi kebisuan di antara mereka. Matahari sudah mulai menghilang, menyisakan warna lembayung pada senja di langit.

"Tidak." sahut Adrea tidak lama kemudian setelah melihat tatapan Mac berubah.

Ia tahu ada yang salah pada laki-laki di hadapannya itu. Meski Mac sudah menolongnya dengan menyembuhkan semua lukanya, laki-laki itu pasti punya tipuan di balik kebaikannya.

"Kau juga tahu Sawarga?"

Tubuh Adrea semakin menegang karena kata-kata Mac. Dengan gerak refleks, tubuhnya mengambl posisi bersiaga. Adrea sudah siap menyerang Mac kapan saja.

Mac menampakkan senyumnya, tidak terpegaruh pada sikap Adrea. Ia tahu mengapa putri duyung itu bertindak demikian. Karena ia pun akan bertindak seperti itu jika melihat sesuatu yang dapat mengancamnya. Namun, satu hal yang pasti, Adrea tahu tentang Dewa Casios dan Sawarga.

"Kau tahu, Adrea. Aku sudah menolongmu, maka dari itu kau wajib membalas budi." kata Mac pelan namun cukup untuk menekan Adrea. Mac tahu, harga diri seorang kesatria bagaimana tingginya dan ia akan memanfaatkan harga diri itu untuk keinginannya. "Aku hanya memintamu untuk mempertemukan aku dengan dewa Casios. Antarkan aku ke Sawarga." tutupnya dengan tegas.

Sementara Adrea di tempatnya tak menyahut, justru kuda-kudanya semakin mantap. Ia menatap Mac semakin tak bersahabat. Ia seorang kesatria. Pejuang yang bertugas melindungi kerajaan. Negerinya. Harga dirinya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keselamatan rakyat di Negerinya.

"Kalau begitu bunuh aku sekarang!" sahut Adrea tegas. Tak ada keraguan dalam tiap kata yang ia lontarkan pada Mac, "Aku tidak akan pernah membalas budi dengan cara seperti itu."

Mac tahu, setelah mengetahui siapa putri duyung yang ia tolong, ia tak akan mudah mendapatkan keinginannya. Jadi, ia memilih jujur dan menjelaskan siapa ia dan tujuannya bertemu dengan Dewa Casios.

Mac kemudian membuka bajunya, perlahan menarik paksa sesuatu yang menyerupai kulit di punggungnya hingga memperlihatkan tatto yang tidak pernah ia perlihatkan kepada orang lain, sekali pun Aata yang menjadi teman sekamarnya lebih dari tiga tahun.

Tatto itu sangat sederhana menyerupai tombak dengan tiga mata runcing di ujungnya, dililit oleh rumput laut, namun Adrea tahu arti tattoo itu. Tattoo seorang pejuang. Meski tiap Negeri memiliki gambar berbeda, namun tetap ada kesamaan.

"Dari mana kau dapat tattoo itu?" Adrea bertanya dengan rasa tidak percaya yang sangat jelas di matanya.

"Kau pernah dengar pangeran Silian dari Negeri Neofito yang menghilang?" Mac berujar pelan, memaksa matanya agar tetap lurus menatap Adrea yang menatapnya penasaran.

"Pangeran Silian, mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kerajaan Neofito dari manusia." sahut Adrea, "Dan ia mati karena itu."

Mac menggeleng, "Salah."

Kening Adrea menyerngit, namun tidak lama kemudian matanya membulat, "Jangan katakan kau adalah..."

Mac mengangguk kemudian tersenyum miris, "Iya. Aku adalah pangeran itu. Karena kebodohanku, aku berakhir seperti ini. Dan aku ingin kembali pada Negeriku."

"Jangan membohongiku!" Adrea membentak. "Aku tahu kau hanya ingin memasuki Sawarga untuk menghancurkannya, sama seperti Neofito." Dan Adrea tidak mungkin membiarkan Negerinya hancur.

"Aku tidak membohongimu." suara Mac menjadi lebih pelan dari sebelumnya. Tidak lagi menekan Adrea. Satu hal yang ia inginkan sekarang adalah Adrea menyetujuinya dan ia bisa kembali pada lautan yang tenang.

Mac sangat merindukan keluarganya, istana dan Negerinya.

Jika Adrea tidak menyetujuinya, Mac tidak tahu harus melakukan apalagi selain berusaha menerobos lautan yang dalam hingga paru-parunya meledak dalam tekanan yang menyesakkan.

"Kumohon tolong aku. Aku ingin pulang." Dan Mac tidak lagi menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia sembunyikan. Suaranya semakin lirih dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bagaimana jika kau membohongiku? Negeriku yang kupertaruhkan saat ini." suara Adrea juga melirih. Dia tidak tahu mengapa ketika melihat Mac, membuat dadanya berdesir tak nyaman. Empati yang tidak pernah dia rasakan pada manusia sebelumnya kini dia rasakan pada Mac.

Mac tahu, bagaimana dilema yang dirasakan oleh Adrea saat ini, namun ia juga tidak berbohong. Mac hanya ingin pulang ke rumahnya. "Kau bisa mengekangku dengan menggunakan rumput laut Melion. Jika aku berusaha menghancurkan Negerimu, kau bisa langsung membunuhku."

Adrea tak lagi berucap, tidak banyak yang tahu mengenai rumput laut Melion. Hanya mereka para kesatria yang diberitahu, karena sifat toksik yang dihasilkan rumput laut itu yang sangat membahayakan. Apalagi terhadap manusia, hanya sentuhan kecil bisa melumpuhkan.

"Baiklah." Adrea mengalah. "Kapan kita berangkat?"

"Sekarang." cepat dan tegas. Mac terdengar tidak sabar. Pandangannya mengarah pada langit yang sudah gelap. Artinya, para penjaga akan mencarinya karena ia belum kembali dan jika mereka berdua ditemukan, maka dia dan Adrea tidak memiliki kesempatan untuk kembali.

"Kalau begitu kita bergerak."

Mac menggerakkan bola air yang mengekang tubuh bagian bawah Adrea menuju lautan, diikuti olehnya di belakang. Ketika mereka sudah berada di dalam lautan, Mac melepaskan bola air miliknya dari Adrea dan membuat bola air berisi udara untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, Adrea mengeluarkan rumput laut yang ada di tas kecil di pinggulnya lalu melilitkan pada tubuh Mac hingga membuat tubuh Mac lemas dan hampir membuat bola air Mac pecah. Namun, Adrea melapisi bola air tersebut hingga tak pecah.

Mereka bergerak, berenang semakin dalam, melawan arus air dan tekanan yang kuat. Telinga Mac berdengung dengan rasa sakit juga dadanya yang semakin sesak ketika mereka berada pada kedalaman yang jauh.

Adrea hanya melirik Mac yang semakin melemah, namun tidak juga mencoba membantunya. Itu adalah resiko yang harus Mac terima untuk mendatangi Negerinya. Untuk bertemu dengan Dewa Casios.

.

.

.

Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP

Share:

Sunday, February 25, 2024

Scary#2

sumber gambar : Pinteres
Design by Mickey139

Nafas anak kecil itu sudah tak beraturan karena lari. Di belakangnya ada seorang gadis remaja yang membawa pisau terus mengejar.

Gadis mengerikan dengan mata berkobar marah. Rambut acak-acakan dengan wajah penuh coretan. Di bajunya terdapat bercak darah yang terlihat masih baru.

"Berhenti di sana!"

Gadis itu berteriak, membuat burung-burung yang bertengger, terbang karena kaget. Tapi, tidak mungkin anak kecil itu berhenti, bukan?

Tanpa menyahut, anak kecil itu terus berlari, melewati bebatuan di pinggir sungai, melewati aliran sungai kecil. Sayangnya, karena ia tak memperhatikan ada batuan besar di depannya, ia terjatuh. Bajunya basah, tangannya terluka sampai berdarah, dan seketika tangisnya meledak.

"Tuh kan, makanya dibilang berhenti malah ngeyel."

"Sakit, Kak! Hua ....!"

Gadis itu menghela, kalau sudah begini terpaksa ia harus meredam kemarahannya. Meski sebenarnya, ia ingin sekali mencincang adiknya yang sudah membuat penampilannya bak seorang psikopat gila.

Mickey139


Share:

Thursday, February 22, 2024

ANAK TOKO - Setan?

Sangat disarankan memberi kritik dan saran.

Main : Tini, Mila, Mulyadi, Agus, Ridho
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139




SUMMARY :

Kisah para kacung alias anak toko yang ditempatkan di minimarket desa. Desa itu agak sepi, apalagi saat malam. Rata-rata aktivitas di lakukan saat pagi hingga jam delapan malam. Di sana tidak ada hiburan. Jadi, hiburan satu-satu nya anak toko adalah ketika pembeli datang ke toko.

~happy reading~


BAGIAN 2 : SETAN?

“Gus, sudah jam berapa?” Aku sedikit berteriak agar MD mendengar suaraku yang berada agak jauh dariku.

Sejenak dia berhenti menghitung uang kemudian melihat jam tangan. “Sejam lagi Bu baru tutupan.”

Aku mengangguk, kemudian lanjut mengisi barang kosong di rak display dan merapikan barang-barang. Tidak sampai setengah jam, Mila, Mulyadi, dan Ridho datang. Mereka membawa gorengan juga nasi bungkus yang langsung mereka simpan ke dalam gudang.

Toko semakin sepi, tidak ada lagi pelanggan yang masuk dan tepat jam sepuluh malam, Agus keluar untuk menutup folding gate. Mila, Mulyadi, dan Ridho keluar dari gudang dengan membawa kardus lalu melebarnya di depan kasir. Selanjutnya, mereka menata makanan di atas kardus.

“Itu kasus anaknya Bu Mega, betulkah?”

Aku hanya menaikkan alis, belum ikut nimbrung karena lebih memilih fokus untuk melakukan tutup bulanan.

“Yang katanya dibawa sama kalong wewe?”

Wajah Mila tampak antusias, dan aku juga memasang telinga tetapi tetap fokus pada pekerjaan.

“Itu serius apa bohongan? Jangan-jangan cuma dikarang saja. Tahu sendiri toh, itu Bu Mega bagaimana?” Aku berpaling pada Agus. Rupa-rupanya dia juga mendengarkan percakapan mereka.

“Betulan.” Ridho menyahut sambil mengangguk pelan. “Masalahnya itu anak tidak bisa bicara. Biar dipaksa bicara, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.”

Aku mengedipkan mata beberapa kali. Agak kaget. Kupikir Wewe Gombel itu hanya karangan orang-orang dulu untuk menakuti anak-anak, ternyata betulan ada. Aku jadi ingat kembali cerita yang selalu kakek ceritakan waktu masih kecil. Biarpun aku selalu mengeluh bosan dan minta cerita yang lain. Namun, kakek hanya tersenyum dan tetap menceritakan kisah Wewe Gombel. Jadi, inilah alasannya kenapa kakek selalu menceritakan kisah itu.

“Terus keadaan anaknya Bu Mega bagaimana sekarang?” tanyaku penasaran.

“Sudah baikan. Cuma masih tetap belum bisa bicara.”

“Kasihannya Didit.”

Aku mengangguk lalu melanjutkan pekerjaan dan mengabaikan obrolan mereka yang sudah berubah ke topik yang lain.

Hanya berselang lima belas menit, ketika kami masih menunggu loading tutup bulanan selesai, aku mendengar suara gesekan plastik di dalam gudang. Anak toko yang lain sepertinya tidak mendengar suara itu, sampai aku menyuruh mereka diam dan ikut memfokuskan pendengaran.

"Tikus?"

Aku mengerut, "Coba cek dulu."

"Mila, tidak ada yang kamu bikin toh? Cek coba."

"Loh, kok saya? Kamu saja. Kan dari tadi kerjamu cuma makan."

"Astaga, cuma ngecek aja, bicaranya banyak banget."

"Ya udah, kamu aja gih yang cek."

"Lah, kenapa jadi saya?"

Aku menghela, agak jenuh dengan sikap kekanakan mereka. "Kenapa kalian jadi saling suruh? Pergi saja cek. Teriak kalau ada apa-apa."

"Ih, bu jangan kasi takut, dong."

Aku mendelik pada Mila yang protes.

"Please, Bu. Jangan saya ya, Bu. saya takut."

Aku menghela. Agak jengkel juga. Padahal mereka takut, tapi malah bercerita horor?

Malas mendengar alasan mereka aku berbalik pada Agus. Meski sebenarnya dia juga malas, karena pekerjaannya pun belum selesai, tetapi dia tetap menurut. Untung saja, ada anak toko yang berani.

Kurang lebih lima menit, Agus keluar dengan kening mengkerut. Dia menjelaskan kalau tidak ada apa-apa di dalam gudang. Namun, satu menit setelah dia keluar suara plastik bergeser kembali terdengar. Kami semua saling pandang, tetapi tidak ada yang mau mengeceknya lagi.

Agus sebenarnya tidak takut, tetapi lebih memilih menyelesaikan tugasnya. Sementara aku sendiri pun menunggu sampai unduhan laporan bulanan selesai.

"Itu apaan, sih?"

Mila kembali bersuara setelah hening beberapa menit.

"Kalau penasaran, ya udah pergi cek aja."

Mulyadi menyahut. Namun, Mila tak lagi menyahut. Dia lebih asik memainkan gawainya sambil memotret dirinya.

Agus yang pergi mengembalikan pel, kembali masuk dalam gudang sembari mengecek tanpa kusuruh. Akan tetapi, setelah kembali beberapa menit kemudian, muka Agus menegang. Dia tidak bersuara dan hanya mendekat ke dekat kasir tempat Mila dan yang lain duduk.

Aku yang penasaran kemudian bertanya, tetapi agus hanya menggeleng dan bilang besok pagi baru dia jelaskan.

Selang beberapa menit kemudian, loading tutup bulanan akhirnya selesai, kami memulai acara tutup bulanannya dengan makan gorengan. Setelah makanan itu habis dan memastikan keadaan toko aman, kami akan kembali ke kos masing-masing.

Tapi, itu keinginan kami, sebelum kami sama-sama mendengar samar seperti bisikan yang jelas sekali itu bukan suara di antara kami.

Kami saling berpandangan. Wajah Mila dan Ridho sudah memucat. Badanku benar-benar sudah menggigil karena ketakutan. Dan, sebelum kami berlari, Pak Rahmat tiba-tiba muncul dari samping toko.

Mila jatuh terduduk, dia memegang dadanya yang kuyakini kalau jantungnya berdetak tak karuan seperti jantungku. Para laki-laki pun tampak kaget awalnya sebelum bersikap tenang, kecuali Ridho yang tadi sempat terpekik.

Rupanya, suara gesekan plastik yang kami dengar tadi berasal dari pak Rahmat yang sedang mengumpulkan buah salak dari kebunnya yang terletak di belakang toko kami, dan bisikan yang tadi memanglah suaranya karena mengadah kesakitan sebab dengkulnya menabrak balok yang menyembul dari pagar rumahnya.

Tapi, kenapa tingkah Agus seperti tadi? Dan, sekpresinya sekarang malah seperti ... ketakutan?

Aku menggeleng, tidak mau lagi memikirkan sesuatu yang bisa membuatku membayangkan hal-hal horor, kemudian ulang setelah berbincang sejenak dengan pak Rahmat.

Kendari, 21 Februari 2024

Mickey139


Share:

Friday, February 16, 2024

REVIEW - Player Who Return After 10.000 Years

 


Judul : Player Who Return After 10.000 Years
Penulis : Butterfly Valley
Ilustrator : Team 4PLAYER
Genre : Aksi, Komedi, Fantasi,

sinopsis

Suatu hari, Kang Woo tiba-tiba jatuh ke neraka. Yang dia miliki hanyalah keinginan bertahan hidup yang kuat dan skill predator.

Dari neraka tingkat ke-1 hingga ke-9, dia memakan ratusan ribu demon, sampai pada akhirnya 7 Archduke tunduk padanya.

“Master, kenapa Anda ingin kembali? Bukankah Anda sudah memiliki semua yang ada di neraka?”

“Tepatnya apa yang aku miliki?”

Tidak ada yang bisa dimakan ataupun sesuatu yang menghibur! Hanya tanah tandus dan demon mengerikan yang memenuhi neraka.

“Aku akan pulang.” Setelah 10.000 tahun di 9 neraka, dia akhirnya kembali ke Bumi.

...

Jujur saja, saya paling tidak suka membaca kalau ada karakter antagonis yang kejam, picik dan licik yang senang melakukan segala cara termasuk menipu untuk mendapatkan keuntungan dan keinginannya. Tetapi, karakter utama di Player Who Return After 10.000 Years, meskipun memiliki sifat itu tidak membuat saya jengkel. Seringnya terpingkal malah.

Oh Kang Woo sang karakter utama adalah definisi gila sesungguhnya. Dia kejam, menakutkan, dan licik. Dia tidak akan segan terhadap musuhnya. Yah, apa yang diharapkan dari karakter yang baru kembali dari neraka. Hidup di antara para monster tentu membuat Kang Woo ikut terbawa pada kehidupan di sana.

Dia jadi memanfaatkan orang untuk ambisinya, tetapi bukan berarti Kang Woo memanfaatkan dengan tujuan untuk kehancuran. Kang Woo ingin mendapatkan kekuatannya kembali. Dan, meskipun dibilang memanfaatkan, sebetulnya dia juga membantu. Yah, kecuali sih terhadap si calon pahlawan.

Bukannya apa, dia terkurung di Neraka selama 10.000 tahun dan ketika dia kembali pulang, tahu-tahu saja dunianya sudah berubah. Ada gate yang isinya adalah monster dan kekuatannya tersegel. Padahal dia cuma ingin hidup damai di bumi setelah pulang.

Hal lain yang membuat saya suka adalah kelucuan yang biasa dilakukan Oh Kang Woo. Kelicikannya seringkali digambarkan dengan ekspresi yang kocak dan bikin pembaca terpingkal. Ekspresi kejamnya, bukannya membuat bergidik malah jadi kocak.

Interaksi terhadap karakter lain pun cukup menghibur. Terutama ketika dia bersama dengan naga kecil Echidna.

Namun, di atas semua itu, hal yang bikin saya agak ragu adalah kekuatan karakter utamanya terlalu kuat. Meskipun sebagian besar kekuatannya tersegel, tetapi dia masihlah kuat. Kecepatan kembalinya kekuatannya juga cepat. Dan, sama seperti cerita klasik di mana sang karakter utama yang terlalu broken membuat pertarungan jadi agak membosankan.

Untungnya, sampai pada chapter 69 yang saya baca, saya belum menemukan pertarungan seperti itu. Authornya benar-benar apik dalam menggambarkan bagaimana kekuatan Kang Woo bisa mengalahkan musuhnya sekaligus menghibur.

Di beberapa pertarungan yang harusnya bikin tegang, justru Menghibur karena Kang Woo harus menahan dirinya agar tidak langsung membunuh musuh dalam sekali serang.

Ada juga yang membuat saya merasa agak kurang, yaitu art-nya berubah ketika rilis kembali setelah end season. Sebenarnya art nya lebih bagus, lebih soft, dan komposisinya juga semakin bagus. Sayangnya, itu justru mengurangi kadar kelucuan Kang Woo.

Namun apapun itu, saya benar-benar penasaran dan menantikan bagaimana Author akan mengembangkan cerita ini ke depannya agar tidak membuat pembaca jadi bosan. Bagaimana Author akan menyeimbangkan alur cerita dengan art barunya.

Secara keseluruhan manhwa Player Who Return After 10.000 Years benar-benar sangat menghibur. Baik secara alur maupun art-nya yang memanjakan mata.

Rate : 8.5/10


Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com