Fly with your imajination

Showing posts with label SCHOOL OF MAGIC. Show all posts
Showing posts with label SCHOOL OF MAGIC. Show all posts

Tuesday, April 11, 2023

SCHOOL OF MAGIC : BUKU ANEH


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read

Amber merasakan tubuhnya melayang-layang di udara. Tidak ada suara yang bisa ditangkap telinganya bahkan suara hembusan napasnya sendiri. Amber merasa, dia berada di ruangan hampa tanpa makhluk hidup. Perlahan Amber membuka mata, tetapi hal pertama yang dia temukan adalah kegelapan. Dirinya tidak tahu apakah dia sedang berada dalam pengaruh halusinasi atau kenyataan, karena Amber tahu rasa sakit di punggungnya nyata, namun dia tidak tahu di mana dia sekarang berada.

Ketika Amber membuka matanya, hanya ada kegelapan pekat yang menyambut. Indra yang sudah dia pertajam sejak kecil seolah tak berguna. Dia tidak merasakan ada hawa kehadiaran bahkan instingnya mengatakan di kegelapan itu tak ada bahaya sama sekali.

Amber mencoba bergerak. Kakinya perlahan melangkah. Seolah berada di atas air, pijakannyan lembut namun kokoh. Entah sudah berapa lama berlalu, Amber tidak tahu sudah sejauh mana ia berjalan tanpa arah, tahu-tahu saja di depannya sudah ada setitik cahaya. Amber berlari mengejar cahaya itu, tetapi jaraknya dengan cahaya itu tidak berubah. Dan ketika tenaga Amber sudah terkikis habis dan terjatuh, tiba-tiba saja cahaya itu sudah berada di depannya.

Itu bukanlah cahaya dari jalan keluar melainkan cahaya dari sebuah buku melayang di atas podium yang dikelilingi oleh sulur sulur memanjang ke atas, tetapi tidak sampai menyentuh buku itu.

Langkah Amber tertatih saat perlahan mendekati buku itu. Ada keraguan di dalam dirinya untuk menyentuh, tetapi rasa penasarannya tidak bisa dikontrol. Pada akhirnya, tangannya menjulur dengan perlahan untuk menyentuh. Namun, belum sempat Amber menyentuh, buku itu terbuka dan cahaya yang sangat menyilaukan kembali menyerangnya.

Ketika Amber membuka mata dia sudah berada di tengah keramaian. Ada banyak ras manusia binatang disekelilingnya yang bergerak, beraktifitas sama seperti ingatan terakhirnya. Siang yang terik, suara bersahut-sahutan, adu mulut antara pedagang dan pembeli, juga suara ibunya yang lembut.

"Kau tidak apa-apa, Amber?"

Amber tidak menjawab, tetapi ia tidak bisa menahan air matanya untuk mengalir.

"Amber?"

"Mae."

Itu ibunya.

"Mae."

Ibunya yang entah berada di mana sekarang. Dan, Amber juga tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sepuluh tahun yang lalu, terjadi perang perebutan wilayah antara anak-anak penguasa dan desanya merupakan salah satu dalam wilayah yang direbutkan. Meskipun ibunya bukanlah seorang kesatria, tetapi karena memiliki sihir penyembuh yang dibutuhkan ibunya dipaksa ikut dalam peperangan itu.

Amber dulu tidak mengerti kenapa orang orang itu berperang dan membuat dia dan ibunya harus terpisah, bahkan banyak juga penduduk yang kehilangan keluarga seperti dirinya. Tetapi, seiring Amber bertambah dewasa, dia mengerti. Perang itu hanya untuk memuaskan nafsu para penguasa. Mereka terlalu egois dan hanya memikirkan kesenangan mereka sendiri. Para rakyat hanya dijadikan pion yang bisa mereka gunakan semaunya.

Dan, ketika perang itu berakhir hanya penguasalah yang mendapatkan keuntungan, sementara rakyatnya menderita. Banyak di antara mereka yang kembali tidak utuh, ada pula yang kehilangan akal sehat, sampai kehilangan nyawa. Termasuk Amber yang tidak tahu dimana ibunya. Orang-orang yang berhasil kembali selamat tidak mengatakan apa-apa dan hanya tertunduk lesu, kemudian memuji apa yang sudah dilakukan oleh ibunya.

Ujian sialan! Amber mengutuk karena dia sadar betul kalau saat ini dirinya berada dalam pengaruh sihir. Tetapi, dia sendiri juga tidak tahu bagaimana caranya keluar dari pengaruh itu.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba menangis. Apa ada seseorang yang menabrakmu?"

Amber menggeleng. Meski dia berusaha tegar dan bertahan melawan rasa rindu di hatinya, dia tetap tidak mampu menghentikan matanya untuk tidak menangis. Amber yakin semua itu karena tubuh kecilnya sangat mempengaruhi isi kepala dan perilakunya. Alhasil, meski Amber ingin berlari, kakinya tidak mampu dan tanpa sadar tangan kecilnya merentang ke depan, meminta sang ibu untuk menggendongnya.

"Tumben sekali minta digendong. Bukankah kau bilang, sekarang kau sudah besar?"

Amber kembali menggeleng. Dia semakin mengeratkan pelukannya di leher sang ibu.

Amber mengerti. Itu bukanlah salahnya. Seberapa keras usaha yang dia lakukan, dirinya tidak akan mampu melawan tindakan tubuhnya karena sekarang dia tengah diperlihatkan ingatannya saat dia masih kecil. Bukan hanya itu saja, dia pun dipaksa merasakan kembali kenangan yang sudah terkubur jauh di lubuk hatinya. Salah satu kenangan yang membuat dirinya bahagia. "Aku memang sudah besar. Tapi, tidak ada gendongan yang nyaman selain gendongan Mae. Jadi, ini bukan karena aku sudah besar." sanggahnya dengan suara cempreng.

Rose terkekeh melihat tingkah anaknya yang tidak mau mengakui kalau dia masih kecil. Dia mengelus lembut rambut Amber, lalu bertanya, "Jadi mau ke tempat kakek Gerald ambil kue atau di gendongan Mae sampai di rumah?"

"Ke tempat kakek Gerald tetapi tetap digendong Mae."

"Tumben sekali kau jadi manja begini."

Amber bergumam pelan di leher ibunya. "Aku rindu Mae." Karena Amber tahu bahwa apa yang dia alami sekarang adalah halusinasi. Itu adalah keinginan terbesarnya. Namun begitu, dia tidak ingin semua itu berakhir. Amber ingin sedikit lebih lama merasakan pelukan ibunya.

Beberapa saat ketika Amber membuka matanya, dia tak lagi berada di dalam pelukan ibunya, tetapi di tengah-tengah peperangan antar manusia binatang dan undead. Perang yang begitu mengerikan. Darah menggenang dimana-mana, api yang membakar semua rumah, juga mayat yang bertebaran di mana-mana.

"Mae?"

Tubuh Amber bergetar melihat pemandangan itu, terlebih ketika bayangan ibunya memenuhi kepala Amber. Di saat kakinya ingin melangkah, di depannya sudah berdiri seekor naga undead. Sebagian tubuh naga itu hanya dibalut kulit selebihnya hanya tulang belulang yang bergerak. Mulut naga itu terbuka, mengeluarkan auman lalu bersiap menelan Amber, tetapi tubuh kecil Amber tak mampu bergerak hingga sebuah dorongan kuat menghempaskan tubuh Amber.

"Lari!"

Suara yang sangat familiar memaksa mata Amber terbuka. "Ma..." Akan tetapi, hanya sedetik setelah dia berhasil membuka mata, kenyataan pahit menamparnya. Di depannya berdiri sosok ibunya yang berhasil menghadang naga undead itu, namun bukan dalam posisi yang baik sebab ibunya sudah berada di dalam mulut naga undead itu.

"Mae!"

"Lari!"

Amber menggeleng, mengutuk kondisinya saat ini. Dia ingin sekali membantu ibunya, tetapi tubuhnya tidak mampu. Dan, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya menangis.

"Kau harus terus hidup."

"Mae."

"Tolong bawa anakku Gerald."

Amber kembali menggeleng saat sadar tubuhnya telah berada di gendongan Gerald yang Amber tidak tahu kapan tiba.

"Mae! Mae!" Amber memberontak, tetapi pelukan laki-laki kerdil dan tua itu begitu kuat. Sulit sekali melepaskan diri. Mereka semakin menjauh dan amber begitu frustasi ketika menyadari ketidakbergunaan dirinya saat itu.

"Kumohon kakek Gerald." Suara Amber semakin lirih.

Namun, Gerald hanya menggeleng. Dia pun sebenarnya berat meninggalkan mereka. Jika Rose tidak menitipkan Amber padanya, dia tidak akan lari sebab meski dirinya sudah tua, darah seorang pejuang masih mengalir di tubuhnya.

"Kau harus hidup, Nak!" kata Gerald sebelum membuat Amber jatuh dalam kegelapan.

.....

 Kendari, 11 April 2023

Mickey139

Share:

Sunday, July 24, 2022

SCHOOL OF MAGIC - JALAN SETAPAK


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read

 


::: 

"Aku tidak ingat pengawas mengatakan kalau hari ini adalah hari ujian."
 
Amber mengomel begitu tahu saat dini hari ketika dia membuka mata, dia tidak lagi berada di atas ranjang yang empuk di balik selimutnya. Dia dan teman-teman party-nya sudah berada di atas tumpukan daun-daun kering di tengah hutan yang lembab. Sinar bulan hanya menerangi di sela-sela daun pohon yang rimbun. Dan udara di sana cukup membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Untungnya orion, ketua party mereka cepat tanggap dan membakar api unggun.
 
Mereka cukup beruntung karena hutan itu dipenuhi serbuk tanaman Fos yang memberikan penerang, beberapa pakis yang tumbuh di sekitar pohon juga memberikan penerangan lain. Tidak ada suara hewan atau pun tanda-tanda keberadaan monster. Tetapi, mereka cukup kesulitan menentukan waktu karena tidak bisa melihat bulan secara langsung.
 
Perlengkapan mereka sudah siap. Tas penyimpanan mereka berada di sisi mereka ketika bangun, dan isinya lengkap ketika dicek. Kecuali baju yang mereka pakai saat tidur tidak terganti. Baju itu disiapkan oleh pengawas. Mungkin karena baju itu, mereka tetap bertahan dalam cuaca malam yang dingin.
 
"Apa pengawas juga bilang kapan kita akan diuji?" Aleia membalas dengan pertanyaan lain. Gadis bermata hijau lumut itu juga kesal karena kenyamanannya terganggu. Dia baru saja merasakan kenikmatan mandi air hangat dan empuknya tempat tidur ketika tiba-tiba dia dikirim ke tempat yang tidak ada siapa pun yang tahu. Hutan aneh dengan udara yang tidak biasa. Untungnya, hidungnya bisa menerima bau itu.
 
"Sudahlah. Kalian protes keadaan kita juga tidak akan berubah."
 
Orion juga sebenarnya sangat kesal dengan keadaan mereka yang tiba-tiba, tetapi sebagai ketua dia tidak bisa ikut larut dengan menyalahkan sistem ujian yang tiba-tiba. Sejak awal mereka sudah diberitahu bagaimana keadaan ketika mengikuti ujian kenaikan tingkat, tidak ada seorang pun yang tahu pasti bagaimana dan kapan ujian itu akan dimulai, bahkan pembimbing mereka pun tidak tahu.
"Apa kita tidak melupakan sesuatu?"
 
Levi menyela ketika pandangannya tidak menemukan satu objek familiar yang dia cari. Laki-laki bertubuh besar yang sering membuat keributan di antara mereka tidak ada di sana.
 
"Kalau yang kau maksud itu Arez, setelah bangun dia langsung pergi berkeliling mencari tahu keadaan di sini." Orion menyahut sambil membereskan barangnya-barangnya yang tadi dia bongkor dari tas penyimpanan.
 
"Kalau kalian sudah selesai, kita juga harus berpencar dan mencari tahu tentang keadaan di sini. Dan karena aku tidak merasakan keberadaan monster, kita tidak perlu pergi dengan grup. Tapi, kalau kalian takut, tidak masalah untuk pergi bersama." Orion menunjuk pakis yang bersinar menghasilkan cahaya orange dan di sampingnya ada tanaman merambat berwarna putih mengkilap, di pucuk daunnya ada cahaya hijau. Itu adalah tanaman erphys fairy atau peri tanaman. "Kita bertemu di sana setelah satu jam. Aku akan pergi ke utara, tadi Arez pergi ke selatan." Setelah itu Orion bergerak menjauh.
 
Amber, Aleia, dan Levi saling berpandangan kemudian memilih jalan masing-masing.
 
...
 
Jalan setapak yang dilalui amber tampak terlalu rapi untuk dikatakan bahwa tidak ada penghuni di hutan itu. Tanaman-tanaman merambat di antara pepohonan, rumput-rumput liar yang ada di pinggir jalan setapak, dan bunga Magnolia yang bersinar dengan sangat menakjubkan di beberapa pohon. Jelas sekali yang tinggal di hutan itu adalah peri. Bunga Magnolia adalah salah satu bunga yang hanya bisa tumbuh di tempat yang kadar mana-nya cukup murni. Dan salah satunya adalah hutan peri. Inilah alasan kenapa mereka tidak menemukan satu pun hawa keberadaan monster di tempat itu. Tapi, bukankah hutan peri tidak mengizinkan siapapun untuk masuk?
 
Amber memperhatikan di atas, pada langit yang tertutupi dedaunan. Di sana Amber melihat ada sesuatu yang sedari tadi mengikutinya dan dia tidak tahu apakah itu benda atau peri yang mengubah bentuk tubuhnya untuk mengawasi amber. Bentuk benda itu seperti bola mata dan Amber belum pernah membaca di buku manapun ada peri yang mengubah bentuknya jadi sebuah benda. Kebanyakan mereka menyerupai hewan suci atau manusia, jika kelas mereka sudah berada di tingkat atas.
 
Dan, karena benda itu tidak memberikan ancaman, Amber mengabaikannya. Amber juga tidak sempat memberitahukan teman party-nya karena itu, dan kini dia menyesal. Padahal, ada kemungkinan benda itu bisa memberikan petunjuk kepada mereka. Jadi, tanpa membuang waktu, Amber melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi, melompat dan meraih benda itu. Namun, hanya sedetik setelah berada di dalam genggamannya, benda itu berubah jadi debu dan menghilang.
 
Amber berdecak, gadis kucing itu sangat kesal tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi, kekesalannya itu hanya beberapa detik ketika di depannya tiba-tiba mencuat akar tanaman dari tanah dan perlahan membentuk wujud serupa manusia. Amber tidak tahu, apakah sosok di hadapannya itu adalah peri atau monster panggilan, namun dia tetap memasang kuda-kuda. Bersiap menyerang jika ada gerakan mencurigakan dari sosok itu.
 
Langit bergemuruh 
Awan hitam bergulung 
Halilintar menyambar

Bunga berguguran 
Darah mengalir 
Membasuh jiwa yang kering

Gerbang kedengkian terbuka 
Membawa para jiwa serakah

Terbukalah
Terbukalah 
Terbukalah

Amber tidak tahu apa yang dikatakan sosok itu, tetapi instingnya mengatakan bahwa hal itu berbahaya. Maka dari itu, tidak mau menunggu sampai sesuatu terjadi, Amber tiba-tiba mengambil langkah seribu, secepat kilat melesat menjauh. Namun, hal itu percuma. Tubuh Amber tiba-tiba tidak bisa bergerak. Sekuat apapun dia mencoba, tubuhnya hanya bisa mematung dan menyaksikan ketika jalan setapak yang dia lalui tadi perlahan ditelan oleh cahaya yang muncul dari ujung jalan, kemudian menelan tubuhnya.

... 

Mickey139


Share:

Tuesday, July 19, 2022

SCHOOL OF MAGIC : BURUNG


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read

Suara kepakan sayap mengalihkan pandangan ribuan mata yang berada di pelataran. Kepakan sayap merah seperti api yang melayang di udara membuat seluruh mata terpesona. Burung itu di lingkupi api merah di ujung sayapnya, api yang tak akan padam kecuali burung itu sudah tak hidup. Matanya berwarna biru seperti langit cerah, tetapi tatapannya sangat tajam mengintimidasi. Bulu di sekitar kepalanya berwarna kuning keemasan dan dihiasi mahkota indah yang menjulang panjang ke punggung. Itu adalah perpaduan yang sangat menakjubkan. Terlebih ekor merahnya yang menjuntai panjang. Burung itu benar-benar sangat menakjubkan di malam hari.

Ketika burung itu hinggap di dahan melayang di samping Archimage, cahaya-cahaya kecil perlahan muncul dari berbagai arah kemudian terbang menuju langit-langit dan membentuk lukisan nyata berbentuk langit cerah yang terang. Aula itu berubah jadi siang hari.

Suara kekaguman menggelegar di aula menyebabkan kebisingan, tetapi hanya sesaat karena Sang Archimage mengeluarkan satu kata yang membungkam seluruh murid.

"Aku tahu kalian sangat mengagumi pertunjukkan malam ini atau mungkin pada burung ini. Sebenarnya, aku juga begitu saat pertama melihatnya. Tapi, sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan betapa mengagumkannya burung ini. Sebelum itu, selamat atas kelulusan kalian..."

Suara sorakan kembali menggema ketika sang Archimage memberikan semangat pada semua yang berhasil sampai di pelataran. Dan kembali diam ketika tangan kanan sang Archimage terangkat dan kembali berbicara.

Akan tetapi, kata-kata Archimage tak terlalu dihiraukan oleh Levi, gadis nyentrik itu hanya terpaku pada burung yang ada di samping sang Archimage. Burung yang hanya sering dia baca di buku dongeng, sekarang ada di hadapannya. Levi ingin menyentuhnya, ingin merasakan bagaimana kelembutan bulu burung itu ketika dia elus. Levi juga ingin merasakan bagaimana rasanya terbang di pundak burung itu. Well, biarpun ukuran burung itu saat ini tidak bisa menampung tubuh Levi, tetapi gadis nyentrik itu yakin, dengan sihir burung pheonix bisa membesar hinggan bisa ditunggangi beberapa orang.

"Hentikan khayalanmu itu Levi."

Levi menatap Orion yang sedang menatapnya kesal, tetapi Levi tidak peduli. Baginya, mengagumi burung itu jauh lebih berharga ketimbang meladeni kata-kata Orion.

"Kau pikir Archimage tidak sadar apa yang sedang kau lakukan?"

Levi mendengus. Kesal. Namun begitu, gadis nyentrik itu tetap menuruti perkataan Orion.

...

"Kalau begitu kalian bisa istirahat."

Levi tidak terlalu menghitung waktu ketika sang Archimage dan beberapa pengawas ujian menyelesaikan pidatonya, gadis itu memang mendengarkan tetapi pikirannya mengambang di udara. Bukan hanya mengenai burung Pheonix, tetapi masalah ujian yang akan mereka jalani nanti. Dia tidak khawatir mereka akan gagal, hanya saja ada yang mencurigakan dari kata-kata terakhir para pengawas. Apa maksudnya jalan perenungan? Apakah itu adalah satu satu rintangan dalam ujian nanti?

Levi menghela napas kemudian menatap wajah-wajah asing yang berlalu menuju ruangan istirahat mereka. Di antara mereka semua, tidak ada satu pun yang menujukkan kegugupan atau khawatir.

"Mukamu itu sudah suram, jadi jangan jalan dengan pandangan kosong begitu. Aku tidak mau sekelompok dengan undead, oke."

Mata levi beralih pada gadis mungil bertelinga kucing di sampingnya. Ekornya bergerak ke kanan dan ke kiri sesuai langkah kaki gadis itu.

"Aku tidak melamun, Amber." Levi sedikit jengkel tetapi menuruti Amber dan melangkah pelan sambil memperhatikan orang-orang sekali lagi.

"Lalu dari tadi apa yang kau lakukan?"

"Berpikir."

Amber mendengus, "Sepertinya burung Archimage sudah menyihirmu."

Keceriaan Levi kembali, mata gadis nyentrik itu berbinar-binar ketika membayangkan keelokan burung milik sang Archimage. "Kau benar. Burung itu benar-benar sudah membawa sebagian kewarasanku. Sepertinya aku harus menemui Archimage dan meminta agar Pheonix miliknya mengembalikan kewarasanku."

Amber menggelengkan kepalanya, lalu berpaling pada Orion yang berjalan tanpa menghiraukan keberadaan Amber dan Levi. Aleia dan Arez juga melakukan hal yang sama. Padahal biasanya Arez selalu bersemangat dan selalu mengindahkan teman party-nya, meski bukan sesuatu yang penting.

"Baiklah kalau kau mau pergi ke ruangan Archimage. Tapi, ingat! Jangan menyebut nama kami saat kau di sana."

"Ck, kau tidak bisa diajak bercanda."

"Tidak ada dari teman satu party kita yang tidak menganggap semua ucapanmu tidak serius. Kau itu manusia paling nekat dan keras kepala. Kalau kau bilang akan pergi, meski bercanda, aku yakin kau pasti sudah memikirkan cara agar bisa ke sana dan bertemu langsung dengan Pheonix milik Archimage."

"Hm... benarkah?"

"Tidak bisakah kau memikirkannya saat sudah tiba di ruangan kita?"

"Yah, baiklah."

Amber memutar matanya, sedikit kesal dengan tingkah Levi. Harusnya Amber juga bersikap seperti teman party-nya yang lain, mengabaikan Levi adalah pilihan yang bisa membuat ketenangannya terjamin. Bahkan Arez pun tahu kapan seharusnya mulutnya tidak bersuara.

...
Mickey139


Share:

Tuesday, July 5, 2022

SCHOOL OF MAGIC : PULAU TERBANG


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read


"Aleia apa yang sedang kau pikirkan? Dari tadi kami memanggilmu tapi, kau hanya diam dan menatap ke atas."

Aleia menatap salah satu teman party-nya yang sudah berdiri tepat di depannya sekarang. Laki-laki bertubuh besar dengan otot yang membungkus tubuhnya. Laki-laki itu tidak seusia Aleia. Dia jauh lebih tua jika dilihat dari wajahnya, namun Aleia tidak tahu pasti berapa usia laki-laki itu. Mungkin jauh lebih tua dari perkiraannya.

"Aku tidak apa-apa, Arez." kata Aleia dengan sedikit senyum. Matanya menyipit ketika pandangannya jatuh ke sebuah portal dengan gate kecil di kanan-kirinya. Untuk seukuran manusia, portal itu sangat pas di tubuh Arez, tetapi tidak untuk makhluk sejenis throll. Aleia merasa bahwa portal sekecil itu sengaja dibangun agar tidak ada monster yang bisa memasukinya.

"Aku tidak menanyakan keadaamu."

Aleia mendengus. "Iya." katanya sedikit jengkel, kemudian bergerak untuk mensejajarkan dirinya di samping Arez.

"Kalau begitu cepatlah." Setelah Aleia sudah berada di samping Arez, laki-laki itu kemudian menggerakkan tanah yang dia pijak menuju party mereka yang sudah menunggu di dekat portal.

"Kau membuang-buang mana, Arez."

"Kalau sihir seperti ini tidak akan memakan banyak mana. Pedulikan saja dirimu sendiri. Orion sudah dari tadi mengawasimu. Kau tahukan sifat pemimpin kita itu bagaimana kalau sedang kesal."

Aleia menghela, pandangannya jatuh pada laki-laki tinggi berambut merah di depan. Laki-laki itu salah satu yang bisa memanjakan mata Aleia, tetapi mengingat sifat menjengkelkannya membuat kekaguman Aleia luntur. Orion memang pemimpin di party mereka, wajar juga dia punya sifat tegas, tapi sangat disesalkan laki-laki itu tidak punya sifat toleran. Sekali berbuat salah, maka dia akan mengawasimu sepanjang hari lalu menyindirmu terus menerus.

"Yah, kau benar. Aku tidak akan mengulanginya." kata Aleia.

"Memang apa yang sedang kau perhatikan tadi?"

Aleia menunjuk sesuatu yang melayang di langit. "Pulau terbang."

Arez mengalihkan pandangannya ke langit dan menatap apa yang ditunjuk Aleia. "Itu adalah tujuan kita yang pertama."

Aleia sedikit mengangguk. "Dari dulu aku penasaran, seperti apa pulau terbang itu. Aku tidak menyangka aku diberi kesempatan untuk melihatnya sekarang." jelas Aleia.

"Aku juga begitu. Tapi, aku tidak menyangka kalau jalan masuknya ternyata lebih mudah dari yang kubayangkan."

"Kau benar." balas Aleia. "Oh Arez, apa kau tidak merasa heran dengan tempat ini?" Aleia sedikit melirik laki-laki di sampingnya itu sebelum pandangannya kembali pada kumpulan orang-orang di depan. "Apa yang kau maksud karena di tempat ini tidak ada hawa keberadaa para monster?"

Aleia kembali mengangguk. "Apa tempat ini sudah disucikan? Tetapi, aku tidak merasakan keberadaan artefak suci."

Tangan Arez menyilang di depan dada, tampak berpikir. "Kalau kata Orion karena gate itu," Arez menunjuk gate pada portal di depan mereka, "sudah dilengkapi sihir penangkal dan beberapa alat yang dibuat prof Medeline sebagai pelindung tempat ini, jadi para monster akan kesulitan mendekati tempat ini."

"Oh." Alaeia mengangguk kemudian memalingkan pandangan ke gate dan mencari alat yang dimaksud oleh Arez. Tetapi, karena mata Aleia tak bisa menemukan bentuk fisik alat itu, ia menggunakan vision. Memusatkan energinya untuk merasakan perubahan energi di sekitar mereka. Ada lima alat yang membentuk pentagram, mengelilingi area di sekitar. Energinya memang terasa samar, dan Aleia tidak bisa mengetahui seberapa kuat alat itu bisa menghalangi para monster untuk menerobos dan masuk ke dalam area gate.

"Kenapa kalian lama sekali?" Kata Levi kesal ketika Aleia dan Arez sudah tiba di dekat portal. Tidak seperti penampilannya yang nyentrik dan ala gothic, gadis itu merupakan healer. Dan, satu hal yang party mereka syukuri pada gadis itu adalah karena penampilan gadis itu tidak senyentrik para penyembah The Darkness.

"Sudahlah yang lebih penting kami sudah ada di sini."

"Ck, ya sudah. Untung saja, tanduk Orion tidak keluar."

"Kalian, bersiaplah. Lapisi tubuh kalian dengan mana, agar tidak ada dari tubuh kalian yang tertinggal." Tidak lama setelah mengatakan itu Orion maju dan memasuki portal. Cahaya putih keluar dari portal itu kemudian terbang menuju langit. Tiga detik kemudian cahaya itu menghilang dan kembali muncul ketika Amber mengikuti Orion memasuki gate, lalu Arez, Levi, dan terakhir Aleia. 

Tubuh Aleia tidak merasakan perubahan signifikan di tubuhnya, tetapi cahaya menyilaukan membuat matanya kesulitan melihat hal lain. Ketika Aleia membuka mata, gadis itu sudah berada di tempat yang berbeda. Di sana sudah banyak yang memadati pelataran. Berbagai ras dan penyihir berkumpul di sana, termasuk para siswa yang bersekolah di akademi sihir tempatnya bersekolah.

"Lagi-lagi kau melamun." Arez kembali menegur Aleia sambil menggeleng. "Kau betul-betul ingin membuat Orion kesal, ya?"

Aleia menghela lalu menatap Arez dengan kesal. "Memangnya kau tidak begitu? Kau menegurku untuk menyembunyikan kekonyolanmu barusan, kan? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi?Kau bahkan lebih parah dariku. Kau melongo dengan mata berbinar-binar, terus berteriak keras. "Akhirnya. Hahaha..." kata Aleia mengikuti nada bicara Arez.

Arez tak menyahut, tetapi mukanya memerah.

"Kau tenang saja, tidak akan ada yang terlalu bodoh untuk menegur orang bodoh." kata Aleia sekali lagi kemudian terkekeh. Gadis itu kemudian mengikuti party-nya menuju tengah pelataran.

Sementara Arez lagi-lagi tak menyahut dan hanya mendumel di belakang Aleia dan ikut bergerak.

Mickey139


Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com