SEBELUMNYA | SELANJUTNYA |
orginal fict by Mickey139
Rate : T-M
Genre : Fiksi remaja, Fantasy, Mystery & Romance
WARNING : (miss) typo, EYD kurang, alur gaje (suka-suka Mickey), author masih perlu banyak belajar. Mohon maaf jika ada kesamaan dalam cerita ini. cerita ini asli dari karangan author sendiri
.
.
DON’T LIKE DON’T READ
.
.
~ Happy Reading ~
.
.
Princess of Frog © Mickey139
BAGIAN 4 : MEET HIM
Mataku melihat keindahan alam dengan bunga, pohon, dan bebatuan yang tersusun rapi dengan cahaya bulan yang menyinari tempat ini seolah memang sudah disusun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah lukisan panorama alam. Di depanku terlihat air terjun yang sangat indah disertai cekungan pelangi yang berwarna-warni, di dekat air terjun itu terdapat susunan bebatuan yang seolah sengaja disediakan sebagai tempat untuk berpijak.
Aku memberanikan diri mendekat pada air terjun itu untuk melihat jelas keindahan pelangi yang terbentuk, tetapi saat semakin dekat pada air terjun seolah kedua kakiku tengah dipaku dengan permukaan tanah sangat kuat hingga kakiku tak bisa lagi melangkah. Berusaha digerakkan pun tak bisa, sebab jika ku gerakkan maka kakiku akan semakin tertanam pada permukaan tanah. Aku pun diam dan kembali menatap air terjun itu nanar padahal hanya berjarak beberapa meter di depanku. Aku memfokuskan pada seseuatu di bawah air terjun itu yang nampak seperti dua orang manusia yang tengah berpelukan. Lama kelamaan dua orang itu bersinar dan menghasilkan cahaya putih yang semakin lama semakin menyilaukan mata.
Aku memberanikan diri mendekat pada air terjun itu untuk melihat jelas keindahan pelangi yang terbentuk, tetapi saat semakin dekat pada air terjun seolah kedua kakiku tengah dipaku dengan permukaan tanah sangat kuat hingga kakiku tak bisa lagi melangkah. Berusaha digerakkan pun tak bisa, sebab jika ku gerakkan maka kakiku akan semakin tertanam pada permukaan tanah. Aku pun diam dan kembali menatap air terjun itu nanar padahal hanya berjarak beberapa meter di depanku. Aku memfokuskan pada seseuatu di bawah air terjun itu yang nampak seperti dua orang manusia yang tengah berpelukan. Lama kelamaan dua orang itu bersinar dan menghasilkan cahaya putih yang semakin lama semakin menyilaukan mata.
.
.
Princess of Frog
.
.
Mimpi adalah sesuatu yang sulit, membingungkan, dan tidak semua mimpi dapat dipahami oleh manusia. Tetapi mimpi memiliki dua pintu : pintu pertama terbuat dari tanduk, sedangkan mimpi kedua dari gading. Mimpi yang masuk dari pintu gading adalah mimpi yang manipu dan membawa kabar kosong. Tetapi mimpi yang muncul dari pintu tanduk yang sdah terasah akan membawa kebenaran jika si manusia memperhatikannya. ─mimpi Jameelah.
...
Aku mengerjapkan mata ketika cahaya menyilaukan mengenai kedua mataku. Aku mengernyit saat menyadari keberadaanku sekarang. ini adalah kamar tidurku, bagaimana bisa? bukankah kemarin kami ke pantai dan aku sempat terjatuh bersama dengan laki-laki itu? dan dimana laki-laki itu sekarang?
Aku turun dari ranjang, membasuh wajah di kamar mandi kamarku kemudian melanjutkannya dengan membersihkan seluruh tubuh.
Di dalam kamar mandi, aku terus mengingat-ingat kejadian sebelum aku pingsan. Sosok yang ku lihat itu begitu nyata sama seperti mimpi yang beberapa hari ini ku alami. Seorang lelaki dengan tubuh setengah manusia dan setengahnya menyurupai ekor ikan. Dia adalah seorang merman, makhluk legenda yang hanya diceritakan dalam buku, makhluk astral yang keberadaannya tak diketahui.
...
Aku turun menuju ruang makan. di sana sudah menunggu keluargaku, ayah, ibu, dan kak Devan namun tak ku temui keberadaan wanita tau yang begitu membenciku. Kemana dia?
Keningku sedikit mengkerut memikirkan nenek tua itu. memang selama seminggu ini aku tak pernah makan bersama keluargaku karena keberadaannya sangat menggangguku dan bisa saja mulut berbisanya itu berkoar dan membuat suasana keluargaku kembali menegang.
Ayah melihatku dan dia tersenyum. “Tenanglah, Nak. Nenek sudah kembali kemarin.” Katanya namun tak menghilangkan kerutan di keningku.
“Kau pingsan hampir tiga hari.” Seolah membaca kebingunganku kak Devan menimpali perkataan ayah.
Aku bertambah bingung dengan penjelasan kak Devan. Kursi di samping kiri kak Devan ku geser untuk ku duduki. Aku menatapnya bingung, “Tiga hari? WROOG...” tanyaku.
Kak Devan mengangguk dan sedikit tersenyum geli. Mungkin merasa lucu karena tak mendengar suara katakku selama tiga hari. “Memang kenapa kau bisa sampai tenggelam? Bukankah kau gadis katak dan seekor katak itu juga pandai berenangkan?” candanya yang ku tanggapi dengan sikuan di perutnya.
Kak Devan meringis dan menghentikan kegiatan sarapan paginya. Menatapku dan “Li, kau pikir itu tidak sakit, huh? Kau─”
“Devan!” tegur ayah dan menghentikan kata-kata kak Devan padaku. “Lanjutkan sarapanmu.” Kata ayah dan membuatku tekikik geli melihat kak Devan yang menahan emosinya padaku. “Kau juga Lili. berhenti mengganggu kakakmu dan makanlah!” perintah ayah padaku. ku lihat kak Devan yang tersenyum puas melihatku juga mendapatkan teguran dari ayah.
“Oh iya, kau pasti belum tahukan kalau Crystal akan pulang.” Ucapan ibu membuatku menghentikan sarapan dan menatapnya penuh tanya namun tetap tersenyum bahagia. Yah aku bahagia, karena kak Crystal akan pulang, salah satu kakak yang selalu menghiburku saat keterpurukanku selain kak Devan dan juga rela kuliah ke luar Negeri karena tak ingin membuatku selalu menerima cacian dari nenek.
“Kapan, Bu?” tanyaku girang.
“Semangat sekali kamu ingin ketemu kak Crystal.” Sindir kak devan. Aku tidak peduli dengan sindirannya karena aku pun tahu dia juga sangat senang mendengar kabar kepulangan kak Crystal.
“Hari kamis.” Jawab ibu yang sekarang tengah duduk setelah mengambil sirup maple di kulkas untuk pencake-ku.
Kamis, berarti minggu depan. Wah aku tidak sabar ingin bertemu dengan kak Crystal. Selama ini kami hanya berhubungan hanya lewat barang elektronik dan itu tak sepenuhnya menyembuhkan rasa rindu kami.
“Oh ya. Siapa yang membawaku? WROOG... Maksudku yang menolongku saat aku tenggelam? WROOG...” tanyaku. Sejak dari tadi aku ingin menanyakannya, bahkan setelah bangun dar tidurku.
“Tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu. tapi dia keren loh. Sepertinya juga baik.” Jawab ibuku sambil menggerling dan menggodaku. Ah kebiasaan ibu, kenapa aku juga mendapatkannya. Bukankah nada menggoda itu untuk kakak-kakaku?
Aku hanya menggelengkan kepalaku, tak menggubris godaan ibu. “Apa laki-laki itu punya mata hijau bening dengan rambut berwarna coklat tembaga?” tanyaku dan ibuku mengangguk. Kembali senyum menggoda itu bertengger di wajah ibuku.
“Kau mengenalnya?”
Aku menggeleng, “Kami pernah bertemu tanpa sengaja dan kemarin adalah pertemuan kami yang kedua, mungkin. WROOG...” Jawabku tanpa mengindahkan perhatian ibu padaku. pandanganku hanya tertuju pada sarapan di depanku sambil memikirkan laki-laki itu dan kemiripannya dengan sosok yang ku lihat sebelum kehilangan kesadaran.
“Rania sangat khawatir padamu. Setelah sarapan segeralah menghubunginya.” Kata ayah menghentikan godaan ibuku yang mungkin akan semakin menjadi walau tak ku indahkan.
Aku mengangguk dan melanjutkan sarapanku.
...
Rania datang setelah ku hubungi beberapa menit setelahnya. Wajahnya terlihat legah setelah dua hari dilanda kekhawatiran. “Kau kenapa bisa tenggelam sih? Bukannya kau itu gadis katak dan setahuku katak itu bisa berenang.” Tanya Rania.
Aku tahu pertanyaan Rania itu murni karena kekhawatirannya namu karena kata-katanya yang lebih mirip dengan cibiran dan hampir sama dengan kak Devan akhirnya dia ku hadiahi dengan tabokan di kepalanya.
Rania meringis lantas mengelus-elus kepalanya. Dia mendelik padaku namun tak melontarkan kata-kata pedisnya. “Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau bisa sampai tenggelam? Dan ku dengar-dengar yang menolongmu adalah seorang laki-laki yang tampan yah?”
Aku menghela nafas, lantas menatapnya bosan. Sebenarnya dia khawatir padaku atau penasaran dengan sosok yang sudah menolongku itu?
“Hm...” jawabku bosan. Aku membaringkan diriku lantas mengambil buku dan membacanya. Namun beberapa kalimat setelah ku baca tak ada satu pun yang masuk di kepala malah memikirkan sosok misterius penolongku sekaligus sosok yang ku lihat sesaat sebelum kehilangan kesadaranku. Entah itu halusinasi atau memang sebuah kenyataan dan anehnya sosok itu terlihat sangat mirip dengan laki-laki itu.
“Itu─”
Aku ingin sekali lagi menemui laki-laki itu dan menanyakan apa yang tengah ku pikirkan saat ini. Mungkin yang ku lihat itu juga terlihat di matanya, atau yang ku lihat itu adalah memang dirinya dan─ ah. Aku baru ingat sosok misterius lainnya yang ku lihat di balik bebatuan itu. Sosok yang hanya terlihat bagian punggungnya saja karena ketakutanku pada saat itu dan entah bagaimana caranya setelah laki-laki itu tiba sosok itu menghilang dan tak ku temukan di manapun saat itu.
“Dia─”
Tetapi apakah mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi? Bukankah saat itu kami hanya kebetulan bertemu? Waktu di taman juga di pantai kemarin. Tetapi benarkah semua itu hanya kebetulan? Aku merasa Tuhan seolah sudah menuliskan ini semua.
“Lili.... Woi... Lili.... kembalilah ke dunia nyata...!!”
Rania berucap lantang sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di wajahku. Aku menatapnya seperti orang bodoh sambil menganga, “Ng... Ada apa?” tanyaku. Masih tak mengubah ekpresiku wajahku.
“Ish... Kau ini. kalau orang seang berbicara denganmu dengarkan dong. Aku seperti tidak ada bedanya dengan orang gila yang sedang berbicara dengan patung, tahu gak? Memang apa yang sedang kau pikirkan hingga tak mendengarkanku?” Rania mendumel sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Wajahnya saat cemberut sangat lucu, aku yakin di luar sana banyak laki-laki yang menyukainya.
“Aku... Aku...”
Rania semakin mendekatkan telinganya padaku, “Hm... Apa? Kau membuatku penasaran. Cepat katakana apa yang kau pikirkan tadi?”
“Aku─ apa kau ingin tahu?” Aku menatapnya polos.
Dia mengangguk, “Apa?”
“Apa kau benar-benar ingin tahu?” Rania mengangguk. “Benar-benar ingin tahu?” dia kembali mengangguk, “Sungguh?” Rania terlihat dongkol dan menatapku, kemudian berucap “Cepat katakan! Kau membuatku penasaran.” Sungutnya.
“Aku...” Aku menyeringai namun tak dilihat oleh Rania. “Well, aku hanya sedikit berfikir, jika nanti kamu punya pacar kira-kira dia seperti apa? Kau kan sangat cerewet.” Rania melemparkan bantal ke wajahku hingga membuatku terjungkal ke belakang.
“Kau ini menyebalkan sekali. Cepat katakan apa yang kau pikirkan tadi?” tanyanya memaksa.
Aku menghela nafas, “Aku memikirkan orang yang sudah menyelamatkanku. Aku─”
“Kau menyukainya?” Rania tiba-tiba memotong perkataanku dan ku balas dengan delikan tajam, “Kau mau mendengarnya dan tak memotong atau kau sendiri yang menyimpulkan?” ucapku dan membuatnya menyengir.
“Aku yakin sebelum pingsan aku sempat melihat putra duyung. Kau tahu merman seekor laki-laki yang memiliki ekor ikan? Saat itu kami saling bertatapan dan dia sangat mirip dengan laki-laki yang ku temui di taman dan di pantai itu.” jelasku. Rania tampak berfikir, aku yakin dia tidak akan percaya dengan ceritaku ini. di zaman modern seperti ini mana ada yang percaya dengan makhluk astral itu yang hanya di ceritakan dalam buku dan tidak ada yang pernah membuktikan kebenarannya.
“Hm... Jadi begitu. Jadi laki-laki yang dikatakan bibi itu tampan adalah seekor merman? Tapi apa kau yakin melihatnya seperti itu? mungkin saja kan kau saat itu sudah pingsan dan sedang bermimpi.” Jawab Rania. Dari jawabannya bisa ku tangkap ada kepercayaan terhadap ceritaku, tapi masih merasa ragu.
“Aku yakin sekali. Mataku masih baik-baik saja, WROOG... Walau sedikit kabur saat itu, tapi ekor dan wajahnya jelas ku lihat. Dia sangat mirip dengan laki-laki yang ku temui itu. Mata hijau beningnya itu tak bisa ku lupakan, Rania. Dia pun juga muncul di dalam mimpiku. WROOG...” Jelasku sekali lagi berharap dia mempercayai ceritaku ini.
“Aku percaya padamu Lili.” katanya dan menatapku dalam, “Entah kenapa aku merasa semua ini ada hubungannya. Mimpi dan laki-laki itu mungkin saja akan membawa kesembuhanmu dan kembali menjadi gadis normal.” Lanjutnya.
Aku tidak percaya Rania dengan mudah mempercayai kisahku ini. ku kira dia akan menertawaiku dan mengejekku yang terlalu percaya akan takhayul. “Kenapa kau dengan mudah percaya dengan ceritaku, Ra? Mungkin sajakan aku membohongimu. WROOG...” Tanyaku.
Dia tersenyum, lalu menjawab “Kalau aku tidak percaya itu, aku tidak tidak mungkin berada di depanmu sekarang. Kau mengelami ini semua karena aku dan lagi jika aku tidak percaya, maka harapan untuk kesembuhanmu itu tidak akan ada. Lili, aku percaya Tuhan sudah menggariskan ini semua pada kita. Pertemuanmu dengan laki-laki itu juga kemungkinan adalah sebuah takdir yang mungkin akan membawa kita pada pembenaran dan jalan untuk kesembuhanmu. Lili aku tidak mau menghilangkan harapan itu dengan tidak mempercayai ceritamu itu. Dan aku ingin sekali kau sembuh agar kita bisa kembali seperti dulu. Bersenang-senang walau di tempat umum dan tidak mencari tempat yang sepi.” Jelasnya.
Mataku berkaca mendengar penuturan itu. Rania selama ini ternyata selalu memikirkanku dan aku menganggap bahwa dirikulah yang paling menderita padahal orang-orang di sekitarku juga merasakan hal itu. Aku benar-benar egois. Maafkan aku, Rania, ayah, ibu, kak Devan, dan Kak Crystal. Mereka semua pasti juga merasakan kesedihan itu.
Aku memeluk Rania, menumpahkan segala emosi yang berkecamuk dalam benak. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri tanpa mau melihat orang yang berada di dekatku. “Aku minta maaf Rania. Aku memang egois. Sangat egois.” Ucapku tersedu.
“Astaga Li, kau ini apa-apaan sih. Berlebihan sekali ekspresimu itu.” Walau berkata seperti itu, Rania tetap tersenyum dan membelai punggungku.
“Terima kasih, Ra.” Ucapku tulus dambil melepaskan pelukanku padanya.
Dia mengangguk dan tersenyum. Beberapa detik kemudian kami berdua tertawa. Konyol, namun inilah yang disebut persahabatan. Tak peduli dengan perbedaan, tak peduli berapa banyak orang yang meninggalkanmu bahkan tak mengharapkan keberadaanmu. Sahabat selalu ada menemanimu, menghiburmu dan membuat hari-harimu menyenangkan. Walau terkurung di rumah namun aku tetap senang, Rania akan selalu datang dan menemaniku.
“Li, mau temani aku tidak?” Ucapnya beberapa menit setelah kami selesai tertawa.
“Kemana?” kali ini kira-kira tempat apa lagi yang akan dia tunjukkan untukku.
“Bertemu dengan seorang pangeran. Hehehe...” ucapnya dengan cengiran.
Keningku mengkerut mendengar jawabannya. “Mana ada pangeran di zaman modern seperti ini, di kota kita pula? WROOG... Memang pangeran William akan─ WROOG─ berkunjung di kota kita?” tanyaku
“Bukan pangeran seperti itu. dia lebih tampan dari pada pangeran William, walau tak sekaya dia. Kamu ingatkan laki-laki yang pernah ku ceritakan?” Aku menganggu sebagai jawaban. “Sebentar sore dia akan latihan basket, temani aku yah untuk menontonnya, sekalian kamu juga lihat betapa tampannya laki-laki itu.” ucapnya tersenyum mungkin dia sedang membayangkan wajah pangerannya itu. memang setampan apa laki-laki itu hingga membuat Rania seperti sekarang.
“Iya, baiklah. aku juga ingin menggerakkan tubuhku. Rasanya tiga hari tak bergerak, membuat tubuhku kaku, seperti nenek-nenek. WROOG...” Sahutku sambil menggerak-gerakkan tubuhku bagian atasku layaknya sedang berolahraga.
Sore menjelang, aku sudah bersiap-siap dengan pakaian olehragaku. Celana training selutut dan baju kaos hitam dengan sepatu olahraga putih berlogokan Nike, tidak ketinggalan earphone yang sengaja ku gantung di leher. Rania sudah sejak tadi pulang dan kami janjian ke taman sore ini untuk berolahraga sekalian melihat pangeran Rania yang sedang latihan basket.
“Ibu aku pergi, WROOG...” Ucapku lantas membuka pintu dan mulai berjalan menuju taman.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku sampai di taman. Banyak orang yang sedang berolahraga tetapi ada juga yang sedang duduk-duduk menikmati suasana taman sore ini. Aku juga duduk di salah satu bangku dari taman. Menunggu Rania sambil ikut juga menikmati suasana taman ini. angin berhembus lembut menerpa wajahku, terasa sejuk dan juga sangat nyaman. Di taman ini banyak tumbuh pohon-pohon besar yang ditata sangat rapi dan sangat tidak bosan untuk dilihat. Apalagi di sebagian dari taman ini disisipkan bunga-bunga yang mampu memanjakan mata.
Aku menutup mata dan merasakan hembusan yang menerpa kulitku. Bau bunga yang bercampur tanah jelas di indra penciumanku dan anehnya aku tak terlalu mencium bau keringat dari orang-orang yang sedang berolahraga. Mungkin karena tanaman-tanaman yang berada di taman ini dan juga bau farfum yang mereka pakai tidak membuat tubuh mereka berbau.
Tidak berapa lama aku membuka mata. ku lihat Rania sedang berlari kecil ke arahku. Aku tersenyum menyambutnya, “Kamu sudah lama menungguku?” tanyanya dan ku jawab gelengan. “Aku juga baru sampai.” Jelasku.
“Ayo, aku sudah tidak sabar melihat pangeranku.” Ucapnya lantas menarikku menjauh dari bangku itu. aku sedikit menyentak tangannya agar mau melepaskanku, “Kita lari-lari dulu baru ketemu sama pangeranmu itu. kau tahukan alasanku datang ke taman ini, WRO─” ucapku dan segera menutup mulut, agar suaraku itu tak sampai terdengar oleh orang lain.
Rania tersenyum geli bahkan sedikit terkikik melihatku panic, “Iya, baiklah.” Sahutnya dan kami berlari mengitari taman ini. Taman ini sangat luas, karena selain disediakan arena untuk olahraga lari, bersepeda, dan beberapa komunitas olahraga juga disediakan lapangan basket hingga membuat kami memerlukan waktu yang lama untuk mengitari seluruh arena larinya. Terlebih lagi banyak juga orang-orang yang sedang berjalan hingga sulit untuk berlari dengan kecepatan normal.
Tiga putaran sudah sangat cukup bagi kami, selain karena lelah, kami juga ingin melihat laki-laki yang disebutkan oleh Rania. Laki-laki yang dia sebut-sebut sebagai seorang pangeran karena ketampanannya.
Tidak lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke lapangan basket, karena jaraknya tidak jauh dari tempat kami istirahat. Di sana banyak orang yang melihat latihan mereka terlebih para gadis. Kata salah seorang yang kami tanya mereka rupanya sedang latih tanding. Sekolah Rania dengan sekolah lain yang tidak ku ketahui.
“Ayo...!!”
“Jangan menyerah!!”
“Kalahkan mereka...!”
Sorak-sorakan dari para penonton berkumandang di area lapangan itu. baik pendukung sekolah Rania maupun lawan dari sekolah Rania.
“Ayo Raka, jangan sampai kalah!!” teriak Rania dari sampingku hingga membuat telingaku agak berdengung sedikit.
“Rania. Kalau teriak jangan di telingaku! Telingaku sampai berdengung mendengar teriakanmu. WROOG...!” Gerutuku dan cepat-cepat menutup mulut agar tak ada seorang pun yang menyadari suara mirip katak yang cukup besar itu berasal dari diriku.
“Hehehe... Maaf yah, Li. Aku refleks teriaknya. Oh yah, laki-laki yang ku maksud itu, ada di sana. Yang sedang mendribel bola.” Tunjuknya dan otomatis juga mengalihkan perhatianku pada laki-laki itu.
Mataku menyipit untuk memperjelas penglihatanku, bahkan mengusap ke dua mataku hanya untuk memastikan penglihatanku itu masih berfungsi dengan baik. Aku memang tidak salah melihat. Pandanganku masih normal. Laki-laki yang ditunjuk Rania adalah orang yang beberapa kali ku lihat bahkan dia jugalah yang mungkin sudah menyelamatkanku.
Aku ingin mengatakannya pada Rania, namun Rania sudah menjauhiku dan mengambil duduk manis paling depan dari atribun kecil yang sudah dibuat untuk para penonton. Aku mengikutinya namun tidak duduk di sampingnya, aku takut terkenna bola basket yang keras itu.
Pandanganku terus mengikuti permainan laki-laki itu. Walau aku tidak mengerti tentang basket, namun yang ku lihat dia adalah pemain yang hebat. Bola yang dia drible seolah memiliki jiwa sendiri dan lihainya permainan tangannya membuat lawan tak bisa merebut bolanya hingga bola itu melesat masuk ke dalam ring lawan.
Dia berbalik dan menampakkan senyum yang bahkan tidak terlihat sama sekali kalau itu adalah senyuman, namun entah kenapa para gadis-gadis di lapangan ini sangat menyukainya.
Tidak berapa lama peluit berbunyi, semua pemain dari sekolah Rania menghampiri Raka. Memberinya tepukan di punggung dan juga ber-high five. Mereka semua berbalik dan menatap para penonton yang menyambut mereka dengan sorakan penuh semangat terutama oleh para gadis.
“Yey, RAKA......” Sorakan penonton untuk salah satu pemain basket tersebut terdengar keras. Salah satunya adalah Rania. Sahabatku itu terlihat sangat mengagumi, bahkan menggilai pemain yang bernama Raka itu. Walau dia pernah bilang hanya menyukai wajahnya. Aku tersenyum melihatnya yang terlampau bersemangat meneriaki nama seseorang. Pandangaku ku alihkan kembali pada pemuda itu dan─
DEG
0 komentar:
Post a Comment