Beberapa hari ini Hinata merasa banyak perubahan yang terjadi pada Naruto. Bukan hanya dari sikapnya yang seolah─ perlahan─ membuat suatu dinding tak kasat mata yang membatasi antara dirinya dan laki-laki itu juga dari perhatian yang diberikan Naruto tidak sebanyak dulu.
Awalnya, Hinata menganggap semua itu karena kesibukan Naruto pada kegiatan klub basketnya yang sebentar lagi akan menghadapi pertandingan akhir melawan sekolah Kumo─sekolah yang sudah menjadi rival terberat sekolahnya sejak dulu─hingga membuat intensitas pertemuan keduanya berkurang dan perhatian Naruto yang teralih banyak pada kegiatan itu. Nyatanya, walau pertandingan itu sudah berakhir Naruto tetap memperlakukan Hinata seperti itu. Tak lagi terlalu memedulikan kehadirannya.
Bahkan sebelumnya pun Hinata sempat dibuat keheranan dengan sikap Naruto yang terkesan tak acuh padanya, tepat setelah kencan pertama mereka di kebun binatang waktu itu. Entah karena memang ada sesuatu yang terjadi pada Naruto yang tidak bisa dia ungkapkan pada Hinata atau karena dia melihat Sasuke dan Hinata yang tengah jalan bersama atau bahkan kejadian tak terduga waktu Sasuke memeluknya. Pikiran terakhir itu sungguh membuat Hinata jadi khawatir. Takut-takut Naruto salah paham.
Tapi kenapa Naruto tak meminta penjelasannya dan malah menyuruh Sasuke mengantarnya waktu itu?
Oh.. Kami-sama Hinata ingin sekali mengetahui jalan pikiran kekasihnya itu.
Ingin sekali Hinata meminta penjelasan dari Naruto tentang perilakunya akhir-akhir ini terhadapnya, tapi takut membuat Naruto marah dan akhirnya hal yang paling dia takutkan akan terjadi. Naruto akan memutuskannya, meninggalkannya dalam kesedihan.
Memang dulu sempat terlintas untuk tidak menerima ungkapan cinta Naruto, yang notabenanya adalah sahabat dari orang yang sudah membulinya tetapi ekpresi tegas dan kesungguhan yang tercermin jelas dari mata Naruto membuatnya enggan menolak ungkapan itu. Dan sekarang apa yang harus dia lakukan?
Semoga apa yang dia takutkan tidak terjadi.
...
Pair: Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING: AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
...
.
.
.
...
...
.
.
.
.
.
Chapter 8 : Dilema
“Apa kalian sudah melihat pengumuman kemping di mading sekolah?” Kata Iruka-sensei meletakkan sebuah kotak kardus di atas meja, ketika jam akhir sekolah tiba. Kegiatan kemping adalah kegiatan tahunan yang dilakukan khusus untuk murid-murid kelas XI. Kegiatan untuk memperkenalkan pada murid-murid tentang alam dan sekitarnya sekaligus praktek biologi untuk kelas MIA untuk penggolongan jenis tumbuhan tersebut.
“Iya, sensei.” Serempak murid-murid menjawab dengan semangat. Mungkin hanya beberapa saja yang menjawabnya dengan gumaman atau bahkan tak menjawab sama seklai. Mungkin jika itu terjadi pada Sasuke ataupun Shikamaru itu bukanlah hal aneh. Tetapi bagaimana jika itu terjadi pada makhluk ter-ribut di sekolahnya? Naruto, ialah laki-laki itu. Sejak beberapa hari yang lalu dia seolah kehilangan semangat, tak ada senyum atau cengiran yang menghiasi wajahnya kala menyambut teman-teman sekelas, tak ada perdebatan yang sering dia lakukan dengan Kiba maupun Lee, atau tidak ada keusilan yang dia lakukan pada Choji maupun pada Shikamaru. Semuanya tidak lagi dia lakukan.
Semua itu terjadi ketika dia tidak sengaja melihat Hinata dengan Sasuke yang tengah berpelukan sewaktu di kebun binatang waktu kencan pertama mereka. Seharusnya dia senang, karena Sasuke sudah tak lagi melakukan bully terhadap Hinata dan melihat mereka tampak akrab, bahkan dia bisa melihat Sasuke yang menaruh sedikit perhatian pada gadis itu. Yah, seharusnya dia senang karena dia bisa meninggalkan gadis itu tanpa membuatnya sedih. Tetapi dia malah merasakan sebaliknya. Ada perasaan tak senang yang menggerogoti hatinya ketika melihat kebersamaan mereka, ada perasaan tak nyaman seolah sebuah batu besar tengah menghimpit dadanya dan sangat tidak mengenakkan ketika melihat Sasuke memeluk Hinata penuh kasih dan ada rasa tidak enggan bahkan sangat besar untuk melepaskan gadis itu.
Entah apa yang terjadi padanya. Dia takut menafsirkan perasaannya itu, karena dia yakin perasaan itu akan membuatnya semakin dilema. Antara melepaskan atau tetap bersama Hinata dan melupakan gadis kecilnya.
“Kalau begitu kalian harus mengambil nomor bangku agar tak ada keributan nantinya.” Lanjut Iruka-sensei sambil menyodorkan semakin kedepan kotak kardus di depannya.
Naruto tak terlalu ambil pusing dengan apa yang diumumkan oleh sensei-nya, karena ada hal lain yang memaksanya untuk terus bergelut dengan pikirannya.
“Naruto, apa yan kau lakukan? Cepat ambil nomor kursinya! Jangan melamun terus. Bapak tahu kamu lapar dan ingin secepatnya pulang, begitu juga dengan teman-temanmu. Jadi cepatlan ambil dan jangan membuat kami semua semakin lama pulang.” Geram Iruka-sensei mendapati Naruto sedari tadi melamun dan tak menghiraukan kata-katanya.
“Ha?”
“Dobe, cepatlah. Kau membuat kami semakin lama menunggu.” Sasuke menimpali. Geram melihat sahabatnya yang hanya tercengang melihat sekitarnya seperti orang dungu yang disuruh tapi tak tahu apa yang harus dia lakukan.
“Apa maksudmu, Teme?” tanya Naruto tak merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan.
“Na.ru.to. apa yang kau lakukan? Cepat ambil nomornya agar kita semua bisa pulang.”
Ucapan keras, tegas dan penuh penekanan membuat Naruto sulit hanya untuk sekedar menelan ludah. Di tengoknya kepalanya patah-patah pada sumber suara dan itu benar-benar membuat nyalinya menciut. Di sana, di depan kelas ada Iruka-sensei yang mengeluarkan aura mengerikan seolah siap menerkam dan menelannya hidup-hidup.
“Ba...baik.” Sahutnya. Dilangkahkan kakinya menuju depan kelas sambil berdoa agar hidupnya baik-baik saja hari ini atau setelah hari ini karena membuat gurunya itu marah.
“Ah... kau ini, Naruto. Jangan mengulanginya lagi.”
“I..iya, sensei. Maaf...!” ucapnya sambil mengambil nomor kursi di kotak kardus itu. “Sensei ini nomor apa?”
Aura yang dipancarkan oleh gurunya semakin kuat hingga membuat rambut-rambut di tengkuknya merinding. “Jadi dari tadi kau tidak memperhatikan ucapanku, Naruto?”
“Eh... ti..tidak. a...aku..ha..hanya bercanda sensei, hehehe...”
“Hah, dasar kau. Itu nomor kursi bus nanti.”
Narut mengangguk dan kembali ke bangkunya. Memperhatikan nomor itu sambil berpikir. Dia menghela nafas dan berdoa semoga dia tak sekursi dengan Hinata, sebab apa yang dia usahakan selama ini akan sia-sia saja dan akan semakin membuat perasaannya semakin dilema.
.
.
oOo
.
.
.
oOo
.
.
Pagi menjelang menggantikan malam yang 12 jam lalu menerangi bagian tempat tinggalnya. Gadis itu melenguh lalu perlahan membuka matanya. Mengerjap beberapa kali saat seberkas sinar menerpa wajahnya di sela-sela tirai jendelanya yang tidak tertutup sempurna.
Dia lalu duduk, mengumpulkan sebagian nyawanya yang masih tercecer. Sedikit meregangkan badannya. Berdiri lalu menuju jendela dan mengibaskan tirai jendela untuk membuka sempurna agar sinar mentari menyinari kamarnya, memberi kehangatan juga menghilagkan sedikit ke-sendu-an yang dialaminya. Yah, inilah adalah salah satu cara dia menenagkan pikirannya sejak beberapa hari yang lalu─sejak Naruto bertindak aneh padanya.
Hinata turun menuju dapur setelah membersihkan tubuh juga kamarnya. Gadis manis itu sekarang tengah sibuk di dapur dan sangat menikmati kegiatannya. Jari-jemarinya menari indah diantara bahan-bahan makanan yang tengah ia racik, matanya sibuk menatap kesana kemari diiringi dengan gerak tangannya yang lincah, memotong, mengupas, mencuci, mengaduk masakan di atas kompor. Hari ini dia sengaja bangun sebelum sang ibu untuk menggantikan tugasnya itu. Yah sekedar pengalihan sebenarnya karena kegiatannya itu membuatnya tak memikirkan apapun selain menghasilkan masakan yang bisa membuat keluarganya senang. Tidak juga pikiran tentang Naruto.
Hinata memang sangat suka memasak, sejak ia masih kecil. Ia sering sekali melihat film-film yang menyajikan chef-chef memasak dan menghasilkan masakan yang membuat orang tersenyum termasuk ibunya yang juga suka memasak dan semua masakan ibunya tak satupun yang kurang di lidahnya.
“Loh, Hinata. Kenapa kau memasak? Seharusnya kau bersiap-siap ke sekolah, bukan?”
Suara di seberang Hinata membuayarkan sedikit konsentrasinya pada makanan. Dia berbalik menatap seseorang yang menjadi idolanya sejak kecil. Hinata tersenyum, “Oka-san.”
“Apa yang sedang kau masak, sayang?” Tanya ibunya lantas menghampiri Hinata.
“Hanya nasi goreng, telur dadar, udang krispi, dan beberapa tambahan lain, oka-san. Aku juga membuat bekal.” Jawab Hinata lantas tersenyum kemudian melanjutkan masakannya.
Setelah semua beres, Hinata kembali ke kamar, berbenah diri untuk ke sekolahnya.
Mereka semua makan dengan tenang tanpa ada obrolan yang membahas apa pun, itu adalah kebiasaan di keluarga mereka, sopan santun yang sudah tertanam dalam diri mereka. Tapi kali ini ada hal yang mengusik pikiran Hinata, ia ingin menanyakan dan meminta izin kedua orang tuanya perihal acara kemping sekolah yang akan diadakan besok agar malamnya dia dapat berbenah.
Beberapa saat Hinata hanya memandang kedua orang tuanya dan kembali menunduk menatap sarapan pagi di depannya, menimbang-nimbang bagaimana cara menyampaikannya. Hinata bahkan sudah tidak menghiraukan makanan di piringnya. Mencoba mengatur kata-kata untuk sekedar bertanya pada kedua orang tuanya.
“Mmm... Oto-san, oka-san!” Sapanya terbata setelah melihat kedua orang tuanya itu sudah menyelesaikan sarapannya.
“Loh... Hinata, sarapanmu... Kau kenapa, Hinata?” tanya ibunya khawatir.
“Ano...” sedikit mengehal nafas. “Be...besok ada acara kemping sekolah dan kami diwajibkan untuk ikut. Apakah boleh aku ikut?”
“Tentu saja sayang. Itu adalah acara sekolah dan kau wajib untuk mengikutinya, kan?” Jawab ibunya. Ayahnya hanya menganggukkan kepaa tanda setuju dengan ucapan istrinya.
Hinata menghela nafas lega. Dikiranya dia tidak akan diizinkan. melihat bagaimana sikap ayah dan ibunya beberapa waktu lalu ketika tahu dia sering dibuli di sekolah. Ayahnya bahkan tak akan lagi memberikan dana di sekolahnya dan akan menuntut pihak sekolah, karena anaknya diperlakukan seperti itu dan pihak sekolah malah membiarkannya dan berdalih tak tahu apa-apa. Tapi sekarang dia senang. Pemikiran itu ternyata hanyalah sebuah pemikiran pesimis yang tak terbukti.
“Arigato, oto-san, oka-san.” Ucapnya penuh rasa syukur.
...
Hinata berangkat ke sekolah dengan kakaknya, Naruto lagi-lagi tidak menjemputnya. Menghubunginya pun tidak. Padahal dulu dia yang memaksa untuk menjemput Hinata dan sekarang... ah, sudahlah. Hinata tak mau berasumsi sembarang karena dia tahu semua asumsinya itu hanya akan membuat hatinya semakin terluka.
Hinata sudah sampai di sekolahnya dan tepat ketika dia baru berjalan beberapa langkah memasuki pekarangan sekolah, sebuah mobil porce kuning lewat dan memakirkan di parkiran depannya.
Seorang laki-laki yang sangat dia kenal turun dari mobil itu tanpa berbalik dan menyapa Hinata dan lagi-lagi membuat perasaannya sesak terlebih bukan hanya dia sendiri yang keluar dari mobil itu, seorang gadis berpewatakan menarik dengan rambut merah muda sebahu turut turun bersamanya. Dia juga kenal gadis itu, dia adalah teman sekelasnya, sekaligus orang yang dia kira dulu disukai Naruto, Sakura Haruno. Tapi kenapa mereka bisa bersama? Apakah Naruto lebih memilih menjemput gadis itu ketimbang dirinya yang notabenenya adalah kekasihnya sendiri?
Dan lagi-lagi Naruto membuat sebuah luka tak kasat mata di hatinya. Perasaan yang beberapa hari ini dia tekan kini hampir terluapkan. Ingin sekali dia meminta penjelasan dari Naruto, tapi sebagian dari hatinya melarang. Yah, dia tahu akan ada yang terjadi jika dia nekat dan semua itu akan berdampak pada hubungannya dengan Naruto. Setetes air mata bening meluncur dengan lancar di pipinya dan buru-buru dia seka agar tak ada yang melihat.
Bagi Hinata sakit itu, ketika dia diabaikan oleh orang yang dia cintai, tak menganggapnya ada bahkan ketika dia berada di depannya. Tetapi dia yakin jika dia bertahan sedikit lagi, kebahagiaan tertundanya akan dia raih.
..
.
Mata itu terus memperhatikan mereka dengan tajam. Sepasang mata yang memang pada dasarnya menyorot dingin menjadi lebih dingin. Menyeleksi tiap gerakan mereka dengan kilatan amarah.
Dia tidak tahu mengapa dirinya sampai seperti itu hanya karena melihat mereka berjalan bersama. Padahal dia yakin dia tidak memiliki suatu perasaan khusus terhadap gadis itu, tetapi kenapa malah hatinya memberontak, menyuruhnya kesana untuk merebut gadis itu dari laki-laki yang berjalan bersamanya?
Sebenarnya ada apa dengan dirinya?
Sejak melihat Sakura menangis ada yang aneh terjadi pada dirinya. Dia tidak yakin rasa itu apa tetapi dia tak senang ketika air mata itu meluncur deras dari kedua mata Sakura. ingin sekali waktu itu dia menghapusnya dan meminta penjelasan Sakura, tetapi sayang rasa egoisme yang tinggi menyurutkan niatnya itu sampai gadis musim semi itu berlari, menjauh darinya pun dia tetap terdiam tak melakukan apa-apa.
“Kau itu pintar, Sasuke. Tapi kau juga bodoh. Hal kecil itu pun tak kau sadari.”
Seseorang menginterupsi kegiatan Sasuke. Laki-laki itu berbalik dan menatap tak suka pada orang yang sudah sok tahu dengan apa yang dia alami. “Bukan urusanmu, Shikamaru.”
“Hoam... terserahlah. Aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Ucapnya lantas berjalan memasuki sekolah, meninggalkan Uchiha bungsu itu yang tengah tercenung memikirkan perkataan Shikamaru.
Apa maksud dari kata-kata Shikamaru? Pikirnya dan beranjak dari sana mengikuti Shikamaru yang sudah mendahuluinya masuk di sekolah namun baru saja dia ingin beranjak, netranya tak sengaja mendapati seseorang yang berjalan sendiri. Gadis yang awalnya ─atau bahkan sampai sekarang─ dia sukai.
Ada apa dengan gadis itu, kenapa dia malah berjalan sendiri?
Ingin sekali dia menanyakan pertanyaan itu langsung pada sang gadis namun lagi-lagi egoismenya kambuh. Dia pun hanya bisa memendam pertanyaannya itu dalam benak dan kembali melanjutkan jalannya.
Tetapi ada yang aneh dengan gadis itu, kenapa malah rautnya menunjukkan kesedihan. Apa semuanya karena Naruto? Dan lagi kenapa rasanya ada yang aneh pada dirinya. Perasaannya tak seperti ketika melihat kesedihan dari gadis musim semi itu, sekarang dia malah hanya merasa... kasihan bukan marah seperti kepada Sakura dulu.
Jadi ada apa dengan dirinya?
Apakah perasaan itu kini beralih pada gadis musim semi itu ataukah memang sedari dulu perasaannya memang ada dan dia tidak menyadarinya, dan Hinata. Gadis itu hanya menjadi pelampiasan egoismenya saja?
Lalu perkataan Shikamaru tadi, apa maksudnya?
Ah... bisa-bisa kepalanya meledak lantaran terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dia jawab.
...
...
Di sisi lain. Sakura sadar sedari tadi dirinya diperhatikan oleh seseorang. Laki-laki yang sudah mempermainkan hatinya sekaligus orang yang tidak ingin dia temui. Laki-laki yang sudah membuat dia tak bisa berpaling pada orang lain. Laki-laki yang sudah mempunyai kunci hatinya bahkan sejak mereka masih kecil yang bahkan dengan sengaja mematahkan kunci itu tepat dihadapannya.
Memang sangat menyakitkan ketika kau tahu bahwa janji yang selalu kau ingat bahkan kau pegang ternyata tidak diingat oleh orang yang sudah membuat janji itu. Seolah janji itu tak berarti, hanya ungkapan kosong yang terlontar karena terbawa suasana.
“Kau kenapa, Sakura?” tanya Naruto ketika mereka sudah memasuki sekolah dan engah berjalan di koridor.
“Ah... tidak apa-apa. Hanya terpikir saja tentang kemping besok. Kira-kira kita akan kemping kemana? Oh ya, nomor kursi yang kau dapat berapa? Dan akhir-akhir ini kau terlihat menghindar dari Hinata, ada apa sebenarnya dengan kalian berdua?”
“Sakura pertanyaanmu terlalu banyak. Aku tidak tahu mana yang harus ku jawab terlebih dahulu.” Gerutu Naruto yang di balas jitakan oleh Sakura.
“Jawab saja.”
“Huh, sudahlah nanti juga kau akan tahu.”
“Eh...” Sedikit geram melihat kelakuan Naruto, tetapi dia juga tidak bisa memaksa laki-laki blonde itu untuk menjawab rentetan pertanyaannya. Dia tidak memiliki hak untuk menuntut Naruto. “Tapi, Naruto. Kuharap kau tidak mempermainkan Hinata. Kau tahu sendirikan dia baru saja terbebas dari bullyan murid-murid jangan tambah lagi.”
Naruto sadar, kata ‘tambah’ yang dimaksud Sakura adalah membuat Hinata kembali terpuruk karena ulahnya.
“Sakura, aku tahu kau hanya mengalihkan, iya kan? Aku juga sadar dengan Teme yang terus memperhatikan kita. Sebenarnya ada apa antara kau dengan Teme?”
Sebenarnya sejak dari tadi pikirannya bertanya-tanya tentang kelakuan sahabatnya itu. Bukankah Sasuke menyukai Hinata dan kenapa malah dia lebih sering memperhatikan Sakura? awalnya dia hanya menganggap biasa sampai saat ini ketika dia merasakan tusukan tak kasat mata di punggungnya dari seseorang yang memperhatikan mereka dan orang itu adalah Sasuke.
Sorot mata dingin dan ada amarah yang terselubung ketika menatap mereka. Dikiranya Naruto, semua itu karena ulahnya yang tadi mengabaikan Hinata dan lebih memilih jalan bersama Sakura namun nyatanya salah. Tatapan itu bukan terarah padanya melainkan mereka.
“Sudahlah. Tidak usah dibahas.” Jawab Sakura tegas enggan mengungkit kejadian itu lagi. Luka itu akan terbuka kembali saat mengingatnya.
.
.
oOo
.
.
Lagi-lagi seperti ini. Naruto kembali mengabaikannya padahal dia baru saja ingin mengajak Naruto makan siang bersama namun laki-laki itu sudah mendahuluinya dan keluar kelas bersama Sakura.
Dan disinilah dia berada sekarang. Duduk sendiri di atas atap, tempat favoritnya bersama Naruto untuk memakan bekal buatannya. Bekal yang dia bawa akhirnya dia makan sendiri. Masih banyak yeng tersisa karena bekal itu memang diporsikan sesuai porsi Naruto dan dirinya.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Hinata sedikit terperanjat saat tiba-tiba Sasuke muncul dan bertanya padanya. “Sasuke-san. A...apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya sambil membereskan peralatan bekalnya.
Sasuke melirik kagiatan Hinata, “Jadi Dobe menghindarimu lagi?”
Hinata tersentak kala kalimat itu meluncur dari bibir Sasuke. Dari mana laki-laki itu tahu kalau Naruto beberapa hari ini mengabaikannya?
“Eh... ti...tidak─”
“Aku tahu, Hinata. Tidak usah menyembunyikannya. Siapapun yang tahu hubunganmu dengan Naruto jika melihat sikap Naruto seperti itu padamu mereka juga akan beranggapan sama denganku.”
Hinata menunduk dalam, menyembunyikan kesedihannya. Bahkan orang lain pun bisa mengetahuinya dengan jelas, sebenarnya apa masalah Naruto padanya?
“Naruto memang bodoh.” Lanjutnya lagi lalu mengambil tempat yang sedikit jauh dari Hinata di balik bayang untuk berbaring menikmati angin yang berhembus.
Mereka berdua tak lagi mengobrol, sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Angin berhembus menerpa mereka berdua membiarkan mereka menikmati sisa waktu istirahat itu.
Sebenarnya ada yang aneh di benak Hinata. Awalnya dia merasa biasa namun kiranya sekarang dia sudah sadar. Laki-laki itu sudah tak mengharapkannya dan bahkan laki-laki itu seperti terlihat sama dengannya. Bukan merasa kecewa, tetapi lebih pada rasa lega. Akhirnya laki-laki itu sadar dengan perasaannya sendiri.
Namun begitu, dia masih merasa sedih. Naruto orang yang dia cintai masih menghindarinya bahkan mengabaikannya.
oOo
.
.
“Nah, anak-anak kalian mengerti...”
Selama sisa pelajaran itu tak satu pun yang otaknya serap. Gadis indigo itu malah sibuk memikirkan sesuatu.
Kring....
Hinata tersentak karena bunyi bel pulang sekolah yang terdengar sangat nyaring. Dia tak sadar jam mata pelajarannya telah usai dan sekarang guru wali kelasnya sudah memasuki kelasnya.
“Anak-anak, jangan lupa besok kalian akan berkemping dan datanglah pagi-pagi─”
Hinata menghela nafas, baru kali ini dia tak fokus pada pelajaran sekolah. Untung tadi gurunya tak sadar jika dia tak memerhatikan. Dan apakah ada tugas sekolah? Astaga dia baru sadar. Lalu kepada siapa dia harus bertanya? Bahkan teman sebangkunya pun dia tak akrab.
Naruto? Sakurakah? Atau Sasuke? Apa nanti mereka mau memberitahunya? Naruto sudah jelas tak mungkin, laki-laki itu sering menghindarinya, Sakura juga. Dia tidak akrab dengan gadis itu. Sedang Sasuke, apa laki-laki itu mau memberitahunya?
Ah.. sudahlah. Mungkin sebentar dia akan bertanya dan semoga saja laki-laki itu mau memberitahunya.
“─Jangan lupa nomor kursi kalian.” Kata sensei-nya
“Iya, sensei.” Semua tampak semangat menjawab senseinya namun tidak dengan Hinata.
“Kalau begitu kalian boleh pulang.”
Setelah itu semua murid-murid bergegas keluar dan pulang ke rumah untkuk mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya akan mereka butuhkan.
.
.
oOo
.
.
.
oOo
.
.
Hari berganti jadi pagi yang indah. Sinar hangat sang mentari mulai menyebar di belahan bumi bagian lain. Seorang gadis berambut indigo pun terbangun saat belaian sinar menyentuhnya. Ia membuka tirai jendela lebar-lebar agar sinar itu menghangati kamarnya. Perlahan, ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Bersiap untuk menjalani aktivitas hari ini.
Hinata keluar dari kamar mandi dan memeriksa semua perlengkapan barang bawaannya sebelum berangkat menuju sekolah. Satu minggu adalah waktu yang mereka gunakan untuk kemping nantinya, dia sendiri tidak tahu dimana mereka akan melakukan kemping. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Toh akan ketahuan kalau sudah berada di sana. Pikirnya.
Seperti biasa Hinata berangkat ke sekolah dengan diantar oleh kakaknya. Tidak lagi dijemput oleh Naruto, kekasihnya. Neji juga tak menanyakan Naruto pada Hinata dan itu sedikit membuatnya lega. Yah, setidaknya beban pikirannya tak bertambah dengan pertanyaan itu. Nampaknya kakaknya juga mengerti jika mereka ada masalah.
Atau, mungkin saja kakaknya itu malah senang dengan ketidakadaan Naruto yang selalu menjemput Hinata. Well, bukankah Neji memang seorang sister complex?
Sesampainya di sana, banyak bus yang berjejer juga murid-murid yang sudah siap untuk menaiki bus. Tak ada di antara mereka yang datang dengan pakaian sekolah. Yah, tentu saja, karena hari ini adalah hari sabtu tak ada murid-murid lain selain mereka kelas XI yang akan mengikuti kegian kemping tahunan datang ke sekolah.
Urutan kursi kalian seperti nomor yang sudah kalian ambil. Tiap kelas menaiki bus yang berbeda.
Mendengar pengumuman itu tentu saja membuat Hinata bergegas menuju bus kelasnya. Dia tidak ingin ketinggalan dan membuat yang lain kerepotan karena keterlambatannya itu.
Akhirnya setelah beberapa menit mencari dia menemukan bus-nya. Teman-teman sekelasnya hampir semua sudah memasuki bus, hanya beberapa saja yang belum. Hinata kemudian menghampiri dan menunjukkan nomor kursi yang akan dia duduki kepada wakil kelasnya yang bertugas me-list nama mereka.
Di dalam bus hampir semua kursi sudah terisi, hanya beberapa saja yang kosong dan salah satunya adalah kursi di sebelah Sasuke. Hinata kemudian menghampiri kursi itu karena kebetulan kursi itulah yang akan dia duduki. Tetapi, sepertinya laki-laki itu belum menyadari kehadiran Hinata sampai duduk di sebelahnya pun tak bereaksi apa-apa. Laki-laki itu masih sibuk dengan bukunya sambil mendengarkan musik lewat earphone-nya.
Hinata menatap sekilas pemuda raven itu lalu menghela nafas. Sedikit syukur karena dia tidak mendapatkan teman yang banyak bicara seperti teman-teman perempuan sekelasnya, karena pasti akan membuat jenuh teman kursinya itu. Yah, dia adalah tipe pemalu dan tak banyak bicara─walau sebenarnya ingin.
Dia melihat di depannya. Ada Naruto di sana duduk dengan Kiba, mereka sibuk bercengkrama, membuat lelucon yang kadang membuat orang di sekitarnya ikut tertawa.
Hinata lagi-lagi menghela nafas. Ingin sekali dia sekursi dengan Naruto. Dia benar-benar rindu dengan semua ocehan pemuda itu, walau kadang membuat kupingnya panas tapi itu benar-benar membuat dirinya nyaman.
Semoga setelah acara ini, semuanya kembali seperti semula. Aku ingin Naruto-kun tidak menghindariku lagi. Doanya dalam hati.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
TBC
Yey... ni sudah ku update. Maaf yah kalau lama. Maaf juga kalau fell-nya masih kurang *aku masih perlu banyak belajar*. Dan chapter ini pun gak ada adegan Naru-Hinanya. Hehehehe... maaf lagi buat kalian kecewa, padahal banyak yang minta untuk dibanyakin adegan Naru-hinanya, tapi tidak ku lakukan.
Tadinya ingin aku banyakin adegan naru-hina-nya, tetapi tangan dan pikiranku malah bertolak belakang. Tanganku seenaknya sendiri nulis alurnya *suuueeeeerrrrr* >_<. Kadang apa yang ingin kita tulis tuh berbeda kalo sudah kita tulis alurnya *padahal author sendiri yang alami -_-*.
Oh ya, terima kasih yah yang masih bersedia membaca bahkan menunggu fict ini sampai sekarang.
Than, aku mau balas dikit reviewnya kalian, mungkin selama ini aku hanya pilih-pilih untuk balas tapi mulai dari sekarang kuusahakan untuk balas satu-satu. Dan untuk kali ini mungkin yang gak login aja, hehehe... dan untuk yang login silahkan dilihat PM, yah.
Yamanaka : hahaha... kalau itu mungkin gak bisa aku lakukan. Maaf...! aku hanya buat konfliknya dari mereka berempat, yah kayak salah paham gitu. *akhirnya aku kecoplosan*
Momoshiki : semoga chapter ini bisa memuaskanmu. Maaf yah kalau Naruto di sini rada plin-plan ku buat (bukan plin-plan tetapi sedang dilanda dilema).
Guest : chapter 8 nih sudah ada. maaf yah gak ada adegan naru-hinanya.
Lucifer : kan dipilahan gendrenya gak ada sinetron, jadi aku pilih saja drama. Kan sama saja. Maaf yah kalau membosankan.
Amry : nih sudah ada lanjutannya. Makasih yah sudah di baca. Hahaha... :-D
Shanazawa : wah kamu benar. Hahahaha... walau aku belum jelaskan apa itu, tapi sepertinya ‘sesuatu’ itu gampang di tebak.
Park eun jo : hehehehe... kan awal konfliknya mereka. Eh bukan tengah-tengahnya konflik sasu-saku. Yah, ini juga gak ada momen naru-hinanya. Maaf, yah...!
Rian : hm... apa yah kira-kira...? kalo sudah baca ini, apakah masih belum jelas? Semoga jelas, yah? Hehehe..
Himiko, Park bu tong, Dillah-chan, Guest, dan Robert.Hn : Nih aku sudah update ch 8 nya moga kalian menikmatinya...
Semoga chapter kali ini bisa menghibur kalian. Jujur kalau untuk fict yang roman-roman kayak gini, aku susah buatnya. Aku lebih suka yang bergenre fantasi, jadi mungkin banyak sekali kekurangannya.
Well, sekian dulu cuap-cuapnya. Kritik, saran, kalau bisa. Atau kalau ada yang aneh lagi silahkan tuangkan di kolom review. Dan tolong kalau review pakai bahasa yang baik, PLEASE!!!!
Next......... Chapter 9
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment