Fly with your imajination

Monday, May 2, 2016

LOVE IS BRAVE

Hallo apa kabar pada blogku.
hahaha... sudah lama gak dibuka, sudah banyak laba-laba yang merajut sarangnya.
BTW, senang rasanya akhirnya bisa mengupdate cerita baru untuk blog-ku ini. semoga reader gak ada yang bosan berkunjung yah. hehehe...
dan akhir kata, untuk reader yang masih menunggu untuk cerita-ceritaku. Tolong bersabar. Hahaha... *Seperti ada yang menunggu saja*

.......********........

LOVE IS BRAVE


... 

Lagi-lagi aku melihatnya seperti itu. Duduk menyendiri di bawah naungan pohon rindang taman fakultas, dengan pensil dan buku seketsa yang selalu dia bawa. Rautnya bahkan sama seperti kemarin, bahkan kemarin dulu dan sebelum-sebelumnya juga, selalu menyiratkan sebuah kesedihan bahkan tak jarang matanya mengeluarkan gerimis kecil yang berubah jadi aliran yang deras menuruni pipinya.

Sudah seminggu aku memperhatikannya. Senyum palsu selalu dia tebarkan pada teman-temannya, tak jarang dia juga ikut tertawa walau candaan temannya tak sekalipun lucu untuk ditertawai. Tawa yang terselip duka dan kesedihan. Terlihat tegar namun sangat rapuh di dalam.


Bukankah manusia memerlukan sandaran jika sudah tak kuat dengan apa yang mereka alami? Beban yang tidak bisa mereka angkat sendiri. Tapi dengan perempuan itu, bahkan kesedihannya tidak ingin diketahui oleh teman dan sahabatnya. Sangat naif, bukan? Padahal dia sangat membutuhkannya.

Yah begitulah sifat manusia.


Beberapa minggu sebelumnya dia tidak seperti itu. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, bahkan tak jarang dia tertawa lepas bersama teman-temannya. Sedih dan air mata tak pernah sekalipun kulihat menghampirinya. Mungkin karena dia adalah perempuan yang tak kenal dengan kesedihan. Perempuan dengan semangat yang sudah menulariku dan mengajarkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa rasa bosan. Perempuan yang memberiku warna-warna baru dalam hidupku.

Lucu. Aku bahkan tidak pernah berdekatan dengannya, mendekatinya pun aku tidak berani. Salahkan pada sifat pengecutku, yang entah kenapa tidak berkutik jika berada di sekitarnya, bahkan hanya menyapa ‘hai’. Lalu, bagaimana bisa?

Cinta.

Satu kata yang bahkan hingga kini tidak terdifinisikan dengan jelas. Namun, yang kutahu kata itu pulalah yang membuatku seperti ini. Memang aneh mencintai seseorang yang bahkan tidak mengenalmu. Lalu apa yang bisa kulakukan jika Tuhan sudah berbaik hati menitipkan rasa ini padaku, selain menerimanya.

Sudah tiga tahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Ketika musim gugur mulai menyapa kota, sejak daun mulai berguguran dan mengotori jalan setapak menuju gerbang kampus. Awal pertemuan yang sangat konyol namun melekat dihati hingga kini. Padahal mungkin saja dia sudah melupakan kejadian itu.

Dia dengan gaya tomboynya mencoba menolongku dari beberapa berandalan kampus yang ternyata adalah teman-teman SMA-ku. Matanya melotot menyuruh ketiga berandalan itu pergi. Tapi bukannya pergi berandalan-berandalan itu malah menertawainya. Aku hanya mengamati sikap perempuan itu, menunggu kelanjutan untuk tindakannya.

“Apa kalian tidak malu? Mengeroyok orang yang lebih lemah dari kalian?” Katanya dengan membentak. Dari balik punggungnya aku tersenyum geli. Betapa lucunya dia. Bertingkah layaknya seorang pahlawan yang menolong orang lemah dari penindasan. Padahal tak ada orang yang ditindas, mereka hanya menyapaku karena kami sudah janjian disini.

“Siapa yang menindas, Nona?” Tanya Adam. Tampangnya sebenarnya sangat menarik namun karena beberapa tindikan sebagai penghias wajahnya menyamarkan rupanya dan membuat beberapa orang beranggapan jika dia adalah seorang beradalan yang sering menindas.

“Hahaha... Dia mungkin salah paham, Adam.” Dion menimpali dengan tawanya. “Wajahmu membuat kita seperti berteman dengan seorang seorang penjahat. Lagipula ada apa dengan gaya berpakaianmu, Ngga. Mencoba jadi seperti kutu buku, heh? Dan kami dikira jadi penindas.” Lanjutnya menatapku, heran dengan gaya berpakaianku yang sangat tidak biasa.

“Eh.... Ma....maksud kalian? Apa kalian saling kenal?” Perempuan didepanku dengan tampang bingung bertanya dan itu membuat teman-temanku tersenyum.

“Iya, tentu saja kami saling kenal. Dia adalah sahabat kami.” Raka maju lalu memeluk pundakku, dan melakukan high five dengan tinju. Sapaan yang biasa kami lakukan.

Dan dapat kulihat dia malu sendiri. Wajahnya memerah lucu dan lagi-lagi membuatku tersenyum. Dan entah, sejak saat itu pula perasaan suka mulai menggerogotiku. Dia adalah gadis biasa, tidak cantik, pun tidak menarik, bahkan penampilannya tergolong sangat biasa dengan rambut hitam panjang yang bagian bawahnya bergelombang dan selalu diikat ponitail. Matanya bulat dengan iris hitam seperti rambutnya namun memancarkan kelembutan. Clarika. Sesuai dengan namanya, sifatnya lembut tetapi agak tomboy. Dia tidak seperti kebanyakan gadis yang suka menunjukkan pesonanya lewat tampilan. Berpakaian modis ala jaman kini. Dia tampil apa adanya hanya dengan jins dan kaos oblong sedikit kebesaran untuk tubuhnya.

Dulu aku tidak pernah merasakan sebuah debaran gila, bahkan jika dia memiliki status yang berpengaruh disekitarku, namun sekrang perasaan itu selalu saja menghampiriku jika berada di dekatnya. Dulu, aku tidak pernah salah tingkah jika bertemu dengan seseorang namun sekarang aku malah salah tingkah karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerang jika dia melihatku─ walau hanya sekilas dan mata kami saling bersinggungan, bahkan tak jarang aku bertindak seperti orang tolol jika kami tak sengaja berpapasan. Kesan cool yang melekat pada diriku hilang begitu saja layaknya debu-debu yang ditiup oleh angin. Aku bahkan seperti sebuah boneka Bunraku yang dibiarkan menggantung tanpa seseorang yang menggerakkaannya.

Ah... Andai aku diberikan sebuah kesempatan. Sedikit saja. Aku ingin sekali berkenalan dan mengobrol dengannya. Walau singkat atau bahkan hanya beberapa kata saja yang bisa kami obrolkan. Sekali saja, aku ingin mengajaknya ke pantai, melihat matahari terbenam dan saling menggenggam tangan. Sekali saja─

PUUUK

“Woi... Lihat apaan?”

Aku tersentak, hampir saja terjatuh dari kursi taman ketika Dania datang dan menepuk bahuku keras. Aku menghela nafas dan memberikan delikan tajam padanya. Sepupuku yang satu ini memang tak tahu situasi dan sangat jahil. Baru saja mau terbang ke langit bersama khayalanku tentang Clarika. Eh malah dia menarikku kembali. Sial.

“Serius amat.” Aku tidak menyahuti kata-katanya lantaran masih merasa dongkol karena perbuatannya tadi. Pandangannya kemudian beralih pada apa yang barusan ku lihat. “Masih mengaguminya diam-diam?” Ucapnya sedikit meremehkan. Sebal juga sebenarnya dengan kata-katanya, terlebih dengan gayanya yang menyebalkan namun apa yang bisa ku balas ketika apa yang dia ucapkan adalah sebuah kebenaran. Aku memang menyukainya, diam-diam, “Ah... Payah. Kamu kan laki, masa gitu aja gak berani nyamperin. Malu tuh sama yang di bawah.” Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.

“Seharusnya aku yang bilang gitu. Kamu kan cewek, tapi mulunya kayak laki-laki. Gak bisa disensor, apa? Lagian, kok bisa Raka suka sama kamu. Cewek usil, cerewet, punya pikiran jorok, jelek pula.” Kataku tidak terima dengan apa yang barusan dia ucapkan. Aku benar-benar heran dengan Raka yang memilih sepupuku ini. Padahal banyak gadis-gadis yang berada di sekitarnya yang jauh lebih baik dari Dania. Lebih cantik, penampilannya lebih menarik, bahkan sifat dan sikap yang jauh lebih baik dari Dania.

“Wah... Ni anak cari gara-gara rupanya.” Ucapnya sambil mengambil ponsel dari dalam tasnya. Entah apa yang akan dia lakukan.

“Kamu mau apa dengan Hp itu?” Tanyaku. Perasaanku jadi tidak enak saat dia hanya membalasnya dengan seringai menyebalkannya. “Apa?” Tanyaku sekali lagi, mendesaknya agar mau memberitahuku. Namun dia malah mengetikkan sesuatu.

“Ni... Hehehe... Gimana yah kalau aku kirimkan ini ke Clarika─”

Mataku membulat ketika melihat apa yang akan Dania kirimkan ke Clarika─ Foto konyolku tahun kemarin yang tengah mencium gambar Clarika, entah bagaimana caranya mendapat foto konyolku itu. Cepat-cepat aku merebut ponselnya sebelum sempat terkirim ke nomor Clarika. Apa yang akan Clarika pikirkan tentangku jika gambar itu sampai terkirim padanya. Uh.. Tak bisa kubayangkan.

“Ah... Apa-apaan sih...? Kembalikan!” Ucapnya menarik kaosku, namun tak ku hiraukan. Aku mengambil ponselku dalam saku celana dan menyalin nomorya Clarika. Well, setidaknya aku punya nomornya. Kan lumayan bisa SMS-an, pura-pura salah kirim dan ujung-ujunganya bisa kenalan. Aku jadi tersenyum memikirkan itu.

“Dari mana kamu dapat nomor Clarika?” Tanyaku penasaran setelah menormalkan rautku yang sempat senyum-senyum gak jelas.

“Kembalikan dulu Hp-ku baru ku beritahu.” Katanya berusaha meraih ponselnya dari tanganku.

“Gak. Beritahu dulu baru aku kembalikan.”

Dia tidak menjawab dan malah naik ke atas kursi dan melompatiku. Kami berdua terjatuh di rumput. Untunglah sore ini tidak banyak orang kalau banyak entah dimana mukaku bisa ku simpan terlebih ada Clarika di sana, bagaimana pendapatnya tetang kami. Ah... Semoga dia tidak melihat kami seperti ini, karena— mungkin—dia juga akan memikirkan sesuatu yang sangat tidak bagus. Bagaimana tidak, posisiku dengan Dania saat ini seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran yang tahu tempat. Dia tengah menindihku dan tanganku berada di pinggangnya karena menahannya tadi.

“Aw… duh… duh… dahiku.. Sakit…” rintihnya setelah kami sama-sama sudah duduk. Dia memegangi dahinya yang memang agak merah karena bertubrukan dengan tulang bahuku yang keras.

“Mana sini kulihat. Makanya jangan kayak anak kecil dong. Sudah besar juga, tapi kelakuannya sama kayak anak kecil.” Tanganku mengusap dahinya yang memerah dengan pelan. Sesekali kutiup. Berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Well, ilmu ini kuperoleh dari film-film romantis yang sering ditonton Dania. Sebenarnya aku tak yakin. Mana bisa sakitnya hilang hanya dengan tiupan kecil seperti ini. Tapi setidaknya ini menunjukkan perhatianku─ ah, bukan tetapi rasa bersalahku padanya.

“Aw… sudah ah. Bukannya sembuh, malah makin sakit. Niat nolong, gak sih?”

“Yee… ditolongin juga. Harusnya tuh kamu berterima kasih, bukannya marah-marah kayak gitu. Heran deh, Raka lihat kamu itu dari mana, yah? Kok bisa gitu dia milih kamu. Kamu pake pellet yah?”

“Ih… sembarangan.. Dia tuh beneran suka sama aku. Bahkan sebelum kami kenalan, tapi bagusnya dia berani, beda dengan orang yang kukenal. Dia pengecut hanya bisa melihat orang yang disuka dari jauh, takut mendekat. Ah.. Gak tahu apa yang dia takuti.” Sahutnya tidak terima dan malah menyindirku.

“Loh kok jadinya aku yang dibahas. A— ”

“Tuh lihat… kayaknya dia mau nangis tuh.” Dania memotong perkataanku yang baru saja ingin mengomelinya karena mengataiku.

Aku berbalik hanya untuk melihat Clarika. Dia lagi-lagi menunduk. Entah, apa lagi kali ini yang membuatnya kembali bersedih. Bukankah tadi gerimis itu sudah tak ada? Kenapa mendung itu kembali menghampirinya? Di mana pelangi yang biasa menghiasi senyumnya?

Sungguh aku merindukan senyuman yang biasa terlukis di wajahnya. Aku rindu dengan suara merdu yang berasal dari tawanya. Dan aku rindu dengan raut cerianya. Tapi sekarang, kenapa dia menjadi seperti itu? Apa yang sudah terjadi padanya? Kemana Clarika yang ceria dan penuh semangat? Kemana Clarika yang selalu membuatku tersenyum? Apakah.. Apakah karena dia? Dia yang selalu dibicarakan oleh mereka — teman-teman Clarika.

“Dari pada kamu lihat dari sini mending kamu samperin sana. Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan semua keluh kesahnya dan dia juga pasti butuh pundak seseorang untuk bisa dia sandari untuk melepas beban di hatinya. Kamu mau kalau orang lain yang datang?”

Tanpa menyahuti perkataan Dania. Aku melenggang pergi meninggalkannya dan mencoba menghampiri Clarika. Baru kali ini aku menyukai kata-kata yang terlontar dari bibir usilnya itu. Biasanya hanya kalimat-kalimat sindiran dan ejekan yang dia berikan padaku. Terima kasih. Ucapku dalam hati. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala hanya karena ucapanku itu dan membuatnya semakin semena-mena padaku.

Perlahan kakiku melangkah menghampirinya. Kukuatkan diriku agar tidak gugup di depannya dan melakukan hal bodoh yang bisa membuatku terlihat buruk. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Cara ini biasanya ampuh untuk menghilangkan rasa gugupku.

Tanpa ada izin darinya aku duduk tepat di sampingnya. Mengikuti drama romantic yang biasa Dania tonton. Mungkin aku juga bisa berakhir seperti di film itu. Yah.. Mudah-mudahan saja.

“Apa kamu baik-baik saja?” Tanpa kuperintahkan bibirku berucap sendiri. Aku merutuki diriku yang terlalu sok mengenalnya. Ah.. Sial, apa yang akan dia pikirkan tentangku. Seharusnya aku mengiriminya SMS saja, toh nomornya sudah kudapatkan.

Dia tidak berbalik, pun menghiraukan kata-kataku. Dia tetap menunduk tak memperlihatkan wajahnya. Angin sejuk menerpa kami berdua. Rambutnya berkibar dan menampakkan sedikit wajah sedihnya. “Kenapa kamu menangis?” Lagi-lagi sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Oh Tuhan. Kenapa dengan bibirku ini. Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Aku jadi terlihat seperti orang yang lancang ingin tahu masalahnya. Tapi memang benar aku sangat penasaran dengan ‘sesuatu’ yang membuatnya sedih.

“A.... Aku patah hati.” Ucapnya sesengukan. Angin kembali berhembus, entah kenapa angin ini terasa sangat berbeda. Lebih dingin dan tidak mengenakkan. Bahkan awan-awanpun lebih cepat beranjak dan meninggalkan taman kampus ini. Sesuatu yang sedari tadi kupikirkan ternyata benar. Dia bersedih karena seseorang. Seseorang yang dengan tega memecahkan hatinya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang sulit untuk dirangkai.

“Tiga tahun. Tiga tahun lebih aku mencintainya....” Dia mulai bercerita, namun tak ku sahuti. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Karena aku juga merasakannya. Patah hati. Dua kata yang mampu merobohkan seekor benteng kuat.

Tuhan memang sangat hebat dalam penciptaannya. Dia menciptakan sesuatu yang indah bernama cinta namun disisi lain Dia juga menciptakan kebalikannya. Patah hati. “Aku selalu memperhatikannya, selalu berusaha mendapatkan perhatiannya, tapi dia tidak sedikit pun mau memperhatikanku─”

Aku tahu perasaan itu. Aku juga merasakannya. Ketika seseorang yang kita sukai tidak sedikitpun melihat usaha yang kita lakukan demi mendapatkan perhatiannya. Sangat miris.

Tetapi, aku selalu meyakini jika suatu saat dia dan aku bisa bersama. Aku bisa menghilangkan sifat pengecutku dan mulai mendekatinya. Bukankah setiap orang didunia ini memiliki keyakinan, tujuan, dan impian walau terkadang rasa takut menghampiri ketika berbagai bayangan kegagalan datang menghantui? Tetapi jika bayangan itu bisa dilawan, tujuan dan mimpi pun dapat diraih. Selama kita memiliki keyakinan maka semua impian akan menjadi kenyataan dan bukan hanya menjadi sebuah khayalan.

“─Aku bahkan menjadi seorang idiot.” Ucapnya sesengukan membuyarkan semua lamunanku. Walau hatiku tidak bisa menerima dan sangat membenci orang yang membuat gadis yang kucintai patah hati, tetapi lebih menyakitkan melihatnya seperti ini─ wajah yang dihiasi dengan tangis kesedihan. Kurang ajar sekali orang itu. Kenapa dia tidak bisa melihat usahanya. “Beberapa kali aku sengaja terlihat konyol dihadapannya demi agar dia mau melihatku, tapi tak sekalipun pandangannya teralihkan dari gadis itu. Aku tahu mereka adalah sepasang kekasih. Tapi tidak bisakah dia melihatku. Menyadari kehadiranku. Sekali saja. Aku tahu menyukai seseorang yang telah dimiliki adalah sebuah kesalahan, tapi hati ini tidak bisa berbohong. Aku benar-benar mencintainya.”

Sakit.

Seperti ada tangan tak kasat mata yang tengah meremas kuat dadaku, meremasnya hingga menciptakan lubang di dasana, dan menghasilkan rasa sakit yang sangat. Siapapun pasti akan merasakan sakit, ketika orang yang dicintai mengaku jika dia mencintai orang lain. Bahkan melakukan apapun hanya untuk menarik perhatian dari orang yang dia cintai.

“Aku juga menjadi seorang penguntit─ ah. Sial. Aku bahkan menjadi seorang seperti psyco yang mencari tahu mangsanya. Apa yang dia suka, apa yang dia benci, kebiasaannya, apa yang menjadi favoritnya, makanan, minuman, dan segala hal tentangnya. Tapi sepertinya itu adalah suatu kebodohan, kebodohan yang dilakukan seseorang yang terjerat oleh cinta.”

Cinta adalah sesuatu yang aneh.

“Dan saat ini aku kembali menyaksikan dirinya dengan kekasihnya. Bahkan walau ditempat banyak orang seperti ini mereka tetap bermesraan. Rasanya sakit sekali─”

Cukup.

Aku tidak suka dia seperti ini.

Kuraih kedua bahunya dan membawanya dalam pelukanku. Dia kaget. beberapa saat dia menghentikan tangisnya walau sedikit sesengukan.
“Menangislah sepuasmu dan sesudah itu lupakan semuanya. Mulailah dengan cerita yang baru, cobalah lupakan dia. Dia yang sudah membuatmu seperti ini. Banyak hal yang bisa kau lakukan dari pada terus terpuruk karena patah hati. Aku yakin kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia. Dia yang tidak sadar akan kehadiranmu, dia yang menganggapmu hanya hembusan angin sore. Lebih baik dilupakan.”

“Tapi aku tidak yakin─”

“Yakinlah. Kamu pasti bisa. Jika kamu yakin bisa, maka kamu pasti akan bisa, karena keyakinan akan membentuk sebuah tindakan.” Sama sepertiku, aku yakin bisa dekat denganmu dan akhirnya aku bisa.

“Lalu dengan siapa aku harus memulai? Apa kau tahu jika cinta yang tumbuh selama bertahun-tahun tidak bisa memudar? Apa kamu─”

“Aku.” Aku segera memotong ucapannya karena tidak ingin mendengar kelanjutannya. Aku tahu cinta yang dipupuk sekian tahun tidak akan mudah untuk hilangkan, apalagi dengan seorang perempuan yang memulai. Perempuan yang memiliki hati yang sensitif. “Aku yang akan membuatmu melupakan sosoknya, aku yang akan membantumu melukiskan kisah dilembaran barumu.” Lanjutku mantap. Mungkin ini bisa disebut dengan memanfaatkan situasinya. Atau mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku supaya bisa berdekatan dengannya.

“Kau─” Matanya membulat ketika mendongak melihatku. Kata-katanya terhenti. Mata kami saling menatap, mengunci dan menyelami masing-masing.

“Kenapa?”

“Karena aku menyukaimu.” Ucapku lembut sambil membelai pipinya. Sesuatu yang dahulu hanya ada dalam anganku, akhirnya bisa kuraih.

“Kenapa?” Sekali lagi dia bertanya. Pertanyaan sama yang baru saja dia ucapkan.

“Karena aku menyukaimu.”

“Bukan itu. Bukankah kamu sudah memiliki kekasih? Bukankah Dania adalah kekasihmu?” Aku sedikit menyerngit, bingung menatapnya. “Kenapa kamu mau membantuku, jika kamu sudah memiliki kekasih. Bukankah itu sama saja kamu mau mempermainkanku.”

“Dania? Kamu kenal dengan sepupuku itu? Dan kekasih? Apa kamu menganggap dia adalah kekasihku?” Ucapku sedikit terkekeh setelah menyadari maksudnya.

“Ja... Jadi di... Dia, maksudku Dania bukan kekasihmu?”

“Bukan. Jadi apa kamu bisa memulainya denganku?” Tanyaku berharap dia menerimanya. Ini adalah salah satu usahaku untuk selalu dekat dengannya dan juga agar dia melupakan orang yang sudah membuatnya sesedih itu.

“Apa kamu tahu siapa orang yang sudah membuatku seperti ini?” Dia bertanya, memandangku dengan tatapan.... emosi, legah..... dan senang? Mungkin aku salah mengartikannya.

Aku tidak ingin tahu siapa dia. Aku mungkin tidak akan menahan diriku untuk memberinya hadiah. Hadiah yang setimpal dengan apa yang dia lakukan pada Clarika.

“Kamu.”

“Aku?”

“Yah, kamu. Kamu yang membuatku seperti orang idiot. Kamu yang membuatku seperti seorang psyco, dan kamu yang membuatku merasakan cinta yang tidak tersampaikan. Apa kamu tahu, lukisan yang aku pajang di galeri pameran oleh anak kesenian? Lukisan padang rumput dengan sebuah pohon rindang yang dibawahnya terdapat sebuah bangku yang diduduki oleh seorang perempuan yang tengah memandang seorang laki-laki yang tengah berbaring di tengah padang rumput itu?” aku mengangguk. Lukisan yang membuatku membayangkan jika yang duduk dibangku itu adalah aku dan yang tengah berbaring itu adalah Clarika. Lukisan yang menceritakan tentang seseorang yang mencintai dalam diam.

“Itu adalah lukisan yang menceritakan tentang diriku dan seseorang yang kusukai. Cinta diam-diam.”

Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya, “Siapa?”

“Kamu. Orang yang kuceritakan tadi juga adalah kamu. Kamu yang membuatku seperti ini, kamu─”

“Kenapa kamu tidak bilang? Apa kamu tahu mencintai diam-diam itu tidak enak, apalagi ketika dia tak sedikitpun mengenalimu. Seperti berusaha menadah air dengan saringan. Tak akan ada yang bisa tertampung. Apa kamu tahu bagaimana rasanya cemburu pada orang yang kamu sukai padahal kamu tahu dia tak sedikitpun mengenalmu? Itu seperti memberi gula pada air laut. Sebanyak apapun yang kamu beri air laut itu tidak akan berubah manis.” Ucapku sedikit kesal namun sangat bahagia. Aku kembali memeluknya. Kali ini bukan untuk menenangkannya namun untuk diriku sendiri. Aku tidak mengira bahwa apa yang menjadi keyakinanku selama ini akan terwujud. Kecemburuan yang selama ini kurasakan adalah untuk diriku sendiri yang mana orang ku sukai ternyata menyukaiku. Orang yang selama ini kucemburui.

“Apa menurutmu kita ini bodoh?” Tanyanya setelah kami diam dan menyelesaikan kebodohan kami.

“Mungkin.”

“Seandainya aku memiliki keberanian untuk mendekatimu, mungkin kita tidak akan seperti ini. salah paham dan mencemburui sesuatu yang jelas, hahaha...”

“Yah seharusnya aku juga berani.”

Dan inilah akhir dari penantianku. Mendapatkan seseorang yang sudah lama kusukai, ah.. maksudku ku cintai. ternyata cinta itu memang membutuhkan suatu keberanian. Berani bertindak.

Tak selamanya cinta diam-diam berakhir dengan patah hati. Keyakinan, usaha, dan mimpi adalah hal yang mendorong orang untuk meraih sesuatu. Keyakinan membuat kita untuk berusaha dan mimpi mendorong kita untuk mewujudkannya. Dan lihatlah ketika kita mengalahkan bayangan kegagalan yang menghampiri, tak ada yang tidak bisa kita raih.

Inilah kisahku.

END.

*semoga kalian menyukainya....
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com