Fly with your imajination

Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Tuesday, May 13, 2025

Tiga Puluh Surat Pengunduran diri

 

Main : Alina, Nathan
Rate: T
Genre: Slice of Life, Metrop
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.



👠👠👠

Namaku Alina. Dua puluh delapan tahun dengan gelar sarjana komunikasi dan satu gelar tak resmi dalam kesabaran tingkat dewa. Gelar yang kudapat selama tiga tahun menjadi asisten pribadi Nathan Minoru—bos paling menyebalkan sejagat perkantoran modern yang sayangnya tampan.

Nathan, atau lebih tepatnya Lucifer, adalah CEO di perusahaan kontaktor alat berat di tempatku bekerja. Jangan ditanya bagaimana penampilannya. Sebagai pria usia tiga puluh lima tahun yang ditunjang perpaduan Jepang dan Indonesia, tentu saja dia tampan. Dan, jangan lupakan bentuk tubuh bak dewa Yunani kuno yang dia miliki yang sering membuat para karyawati berfantasi liar. Perpaduan yang gila, kan? Oh, kalau kalian berpikir hanya itu, tentu saja tidak. Dia juga tajir. Bahkan menurut gosip yang beredar, dia adalah cucu pemilik dari perusahaan ini. Mau tahu yang lebih gila lagi. Seolah tak cukup dengan penampilan dia juga punya otak yang cerdas. Sialan!

From: Nathan Minoru
Subject: Urgent

Alina, saya tidak mau lihat kopi saya lebih dari 10 menit setelah saya sampai. Hitam. Satu sendok gula. Jangan lebih apalagi kurang.

PS: Tolong belikan baterai jam meja saya. Kalau bisa, yang awet. Saya benci hal yang cepat habis.

Aku baru saja menyalakan komputer ketika pesan itu menggantung di layar monitor. Padahal ini belum jam delapan pagi. Dan masih satu jam sebelum jam masuk kantor dimulai. aku sudah duduk di balik meja, mencoba menenangkan diri setelah membaca email pagi darinya.

Aku mendengus. “Dikira aku suka gitu sama bos yang kesabarannya cepat habis.” gumamku.
Aku mengambil sticky note dari laci dan menuliskan: Surat pengunduran diri ke-30. Alasan: Tidak tahan dimarahi hanya karena salah beli merek baterai yang dia suka. Lalu kutempelkan di sisi monitor, bergabung dengan tumpukan dua puluh sembilan surat pengunduran diri imajiner lainnya yang sudah kubuat sejak hari pertama bekerja dengannya.
👠👠👠

Pertemuan pertama kami mungkin akan seperti di drama percintaan, kalau saja sifatnya tidak menyebalkan dan membuat pertemuan itu seperti mimpi buruk. Aku datang terlambat lima menit karena ban bocor, dan dia—baru pulang dari luar negeri dan anehnya bukan istirahat di rumah dia malah memilih langsung masuk kantor. Mungkin kalau atasan yang lain bisa memberikan toleransi. Sayangnya, dia tidak. Yang ada dia malah memandangku seperti aku sudah menginjak reputasinya.

“Alina, kan?” tanyanya sambil memindai penampilanku dari kepala hingga kaki.

Meski tak nyaman, aku memberikan senyum manis terbaikku. “Ya, Pak.” jawabku dengan sopan.

“Mulai besok, jangan datang kalau tak bisa datang tepat waktu. Saya tidak mau bekerja dengan orang yang jamnya lebih lambat daripada jam di meja saya.”

Senyumnya tipis, pedas, dan… menggoda, kalau saja ucapannya tidak begitu menyebalkan.

Senyumku hilang seketika dan sejak hari itu, dimulailah kehidupan perkantoran bak serial drama dengan genre: komedi gelap.

👠👠👠

Hari-hariku diisi dengan perintah dadakan seperti:
“Ada noda di sepatu saya. Bersihkan! Dan simpan di walk-in closet saya di rak nomor tiga.
“Saya lupa password laptop. Reset tanpa hapus file saya.
“Kenapa ada burung merpati di halaman kantor? Singkirkan. Merusak estetika."
"Cari tahu kenapa cuaca akhir-akhir ini nggak mendukung meeting saya."
“Alina, kenapa kamu bernapas terlalu keras?

Yang terakhir membuatku berpikir untuk melemparnya dengan jam kesayangannya yang ada di atas mejanya. Memangnya gara-gara siapa aku terkena flu dan membuat hidungku tersumbat? Sudah tahu sedang hujan tetapi memaksa mengambil file yang dia lupa di cafe tidak jauh dari perusahaan. Lagipula, kenapa dia membawa file penting ke cafe?

Tapi, seperti biasa, aku bertahan. Karena gaji bagus, tunjangan kesehatan premium, dan… entah kenapa, aku penasaran sampai kapan aku bisa bertahan sebelum akhirnya benar-benar meledak.

👠👠👠

Sampai suatu hari, titik kesabaranku akhirnya tercapai. Aku meledak.

Pagi itu, aku datang seperti biasa. Membawa kopi hitam satu sendok gula tepat 5 menit setelah dia duduk di kursinya. Tapi baru saja aku masuk ke ruangannya, aku mendapati Nathan sedang duduk dengan ekspresi kesal sambil menatapku dan jam mejanya yang mati secara bergantian.

“Alina,” katanya datar. “Jam ini masih mati.”

Lalu?

“Sudah saya ganti baterainya, Pak. Tadi sudah bagus kok jamnya. Mungkin jamnya yang rusak.” sahutku dengan nada biasa sembari menahan kedongkolan

“Bukan jamnya. Kamu pasti salah beli baterai.”

Aku menghela napas. Rasanya sesuatu yang panas pelan-pelan memenuhi kepalaku dan sebentar lagi akan meledak. “Ini baterai AA, persis seperti yang Bapak minta.” jelasku. Masih dengan nada penuh pengertian.

Dia berdiri. Mengambil baterainya, lalu membaca bungkusnya. “Ini AA. Benar. Tapi mereknya bukan yang biasa saya pakai.”

Dan saat itulah, aku meledak.

"Bapak tahu tidak?” kataku sambil menahan gemetar. “Saya ini sudah bertahan tiga tahun mendampingi Bapak. Membelikan kopi, menyiapkan bahan meeting, membersihkan sepatu, bahkan tega mengusir merpati di halaman padahal mereka tidak salah apa-apa. Dan saya tetap bertahan. Tapi saya bukan paranormal! Saya tidak bisa tahu merek baterai yang Bapak suka kalau Bapak tidak bilang! Saya manusia, bukan mesin pengingat Bapak!”

Aku menghempaskan dokumen di meja. “Saya capek, Pak. Saya benar-benar capek. Jadi kalau hari ini Bapak mau marah hanya karena merek baterai, silakan. Tapi setelah ini, saya keluar. Ini surat pengunduran diri saya.” Aku mengeluarkan amplop putih yang selama ini hanya jadi ancaman, dan meletakkannya di mejanya.

Ruangan hening.

Lalu, Nathan menatapku lama. Untuk pertama kalinya, ekspresinya tidak menyebalkan. Tidak angkuh. Tidak sinis.

Lalu dia tertawa. Pelan. Rendah. Tulus?

Ha? Mataku pasti salah lihat. Si Lucifer yang hanya tahu bagaimana caranya membuat orang jengkel tak mungkin tahu caranya tersenyum tulus. Ini pasti halusinasi karena terlalu emosi.

“Akhirnya kamu lepas juga,” katanya.

Aku tertegun. “Maksud Bapak?”

“Setiap hari saya lihat sticky note kamu. Surat pengunduran diri ke-1 sampai 29. Kamu pikir saya nggak lihat?”

Pipiku memanas. “Itu… cuma lelucon.”

Dia mengangguk. “Tapi kamu tetap bertahan. Dan saya pikir, orang sekuat kamu pasti punya alasan untuk tetap di sini. Ternyata, memang akhirnya kamu nyerah juga.”

Aku menggigit bibir. “Saya bukan nyerah. Saya… realistis.”

Dia menarik napas panjang. “Kamu tahu, Alina, kenapa saya begitu keras ke kamu?”

Aku menatapnya curiga. Tidak mungkin dia menaruh hati padaku, kan?

“Karena Bapak penyuka drama?” jawabku ragu.

Dia tertawa lagi. “Karena kamu pintar. Dan saya takut kamu terlalu nyaman. Saya butuh asisten yang tajam, cepat, dan berani. Dan kamu punya semua itu. Tapi saya juga lupa satu hal.”

“Apa?”

“Saya lupa kalau kamu manusia juga.”

Untuk pertama kalinya, aku melihat Nathan sebagai manusia. Bukan hanya bos menyebalkan dengan segudang ekspektasi mustahil.

Dia menatap surat pengunduran diriku. Lalu menggesernya kembali ke arahku.

“Ambil lagi surat ini.”

“Apa?” Aku memicingkan mata. Curiga.

“Berikan saya kesempatan untuk jadi bos yang lebih baik.”

Aku nyaris tak percaya. “Bapak belum puas mengerjai saya?”

“Sebenarnya ya. Tapi, bukan karena itu." Aku memandangnya tak percaya. "Kamu asisten terbaik yang pernah saya punya. Dan saya tidak ingin kehilangan kamu hanya karena… merek baterai.”

Aku ingin tertawa. Ingin marah. Tapi juga… merasa lega. Ada bagian dari diriku yang senang mendengar pengakuan itu.

“Apa jaminannya Bapak tidak akan menyuruh saya mengusir merpati lagi minggu depan?”

Dia tersenyum. “Saya akan menyewa petugas keamanan khusus anti-merpati.”

Memangnya ada? Aku memikirkannya dalam hati, tapi tak ingin dikira tak update aku menahan mulutku dan mencari jaminan lain yang membuatku tak akan kerepotan nanti.

"Saya juga tidak mau menjadi peramal dadakan yang bisa tahu kapan cuaca tidak bagus yang tidak mendukung meeting Bapak."

Sekali lagi dia tersenyum. Senyum yang bisa melelehkan gunung es di kutub. Senyum menawan yang hampir membuatku terpesona kalau tak ingat sifatnya yang mirip Lucifer. "Saya punya kenalan untuk itu."

Aku mendesah. Tidak tahu apakah ini karena pengaruh senyum yang dia tampilkan atau membayangkan tak ada lagi transferan masuk ke rekeningku kalau resign, aku menyerah. “Baiklah. Saya pertimbangkan.”

“Deal,” katanya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. “Kita mulai dari awal?”

Aku menjabat tangannya. “Mulai dari awal. Tapi kali ini, saya akan taruh sticky note nomor tiga puluh satu kalau Bapak nyebelin lagi.”

Dia tertawa. “Saya tunggu sticky note nomor seratus.”

Dan entah kenapa, aku juga tertawa.

Mickey139

Share:

Monday, April 28, 2025

Under the Rain

Main : Rin, Nara
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC, typo.




🚌🚌🚌

Hujan turun deras sore itu, menghapus jejak-jejak langkah di trotoar sekolah. Rin duduk sendirian di halte kecil, tasnya dipeluk erat di dada. Ia menunggu reda, padahal di dalam hatinya ada sesuatu yang jauh lebih ribut daripada suara hujan: perasaannya pada Nara.

Nara, teman sekelasnya yang selalu duduk satu bangku di belakang. Orang yang selalu punya senyum paling santai, tapi kata-katanya sering membekas lama di kepala Rin. Sudah lama ia ingin mengaku, tapi setiap kali Nara menatap dengan mata cokelat teduh itu, Rin memilih diam.

Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat. Rin mendongak — Nara berdiri di depannya, payung biru tua di tangan.

“Kamu belum pulang?” tanya Nara, setengah berteriak badai melawan hujan.

Rin menggeleng, lalu cepat-cepat menunduk. “Nunggu reda aja…”

Nara tersenyum kecil. “Aku bawa payung. Mau bareng?”

Rin hanya bisa mengangguk, jantungnya berdegup tak karuan. Mereka berjalan berdua, berbagi payung yang terlalu kecil untuk menampung dua orang sepenuhnya. Bahu Rin sesekali menyentuh Nara, dan setiap sentuhan membuat wajahnya semakin panas.

Sementara itu, Nara mencuri pandang ke arah Rin. Di dalam hatinya, ia memarahi dirinya sendiri — sudah berapa lama ia menahan perasaannya? Sudah berapa banyak momen seperti ini yang hanya berakhir dalam diam?
“Aku…” Nara membuka mulut, tapi kata-katanya menggantung.

Rin menoleh, menunggu, deg-degan.

“Aku suka hujan,” kata Nara akhirnya, menarik napas lega meski itu bukan kata-kata yang sebenarnya ingin ia keluarkan.

Rin tertawa pelan, lega sekaligus kecewa. Ia menunduk lagi, mengencangkan pegangan pada tali tasnya. “Aku juga,” balasnya pelan.

Mereka terus berjalan, suara hujan menjadi latar musik yang menyembunyikan kegugupan mereka. Dalam hati, keduanya sama-sama menahan kata-kata yang ingin sekali terucap: Aku suka kamu.

Tiba di persimpangan jalan, tempat mereka biasa berpisah, Rin memberanikan diri.

“Nara…” panggilannya, setengah berbisik.

Nara berbalik, masih memegang payung di atas kepala mereka berdua. “Ya?”

Hujan menetes dari ujung rambut Rin. Ia mengangkat wajah, dan di tengah gemuruh hujan dan detak jantungnya yang mengalahkan segalanya, ia berkata, “Makasih… udah selalu ada.”

Nara tersenyum, senyum kecil yang penuh makna. Ia mengangguk pelan.

“Sama-sama, Rin.Selalu,” jawabnya.

Meskipun tak ada kata cinta yang diucapkan hari itu, hujan tahu — dua hati yang menyembunyikannya sudah saling mengerti.

🚌🚌🚌

Sejak hari itu, Rin dan Nara merasakan lebih canggung. Di kelas, mereka masih ngobrol seperti biasa, bercanda ringan, saling ejek tentang hal-hal kecil. Tapi di balik semua itu, ada ketegangan manis yang menggelayut di udara — sesuatu yang belum terucapkan, namun semakin sulit diabaikan.

Hujan datang lagi seminggu kemudian, sama derasnya, sama tiba-tibanya. Rin sedang merapikan buku di loker saat suara langkah cepat Nara mendekat.

“Hei,” sapannya, sedikit terengah-engah.

Rin menoleh dan tersenyum. “Hei.”

Nara mengangkat payung biru tua yang sama. “Mau bareng lagi?”

Tanpa ragu kali ini, Rin mengangguk.

Mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, berdua di bawah payung kecil itu. Sepanjang jalan, tidak banyak kata yang keluar. Yang ada hanya suara rintik hujan dan detak jantung yang serasa terlalu keras untuk diabaikan.

Di sebuah taman kecil dekat rumah Rin, Nara tiba-tiba berhenti. Rin ikut berhenti, bingung.

“Ada apa?” tanyanya, pelukan kepala.

Nara memegang gagang payung lebih erat, lalu menghela napas panjang.

“Aku capek,” katanya tiba-tiba.

Rin menatapnya. “Capek kenapa?”

Nara menunduk, membiarkan hujan membasahi ujung sepatunya.

“Capek pura-pura biasa aja.Capek sembunyi,” katanya lagi, suaranya berat, bergetar pelan. Ia mengangkat dan menatap Rin dalam-dalam. “Aku suka kamu, Rin.”

Dada Rin seolah meledak. Hujan di sekelilingnya, hanya suara itu yang menggema di kepalanya.

Ia menggigit bibir bawah, menahan senyuman yang mengancam pecah. Tangannya gemetar saat dia menjawab, “Aku juga suka kamu, Nara.”

Nara tertawa kecil, lega bercampur bahagia. Ia menurunkan payung, membiarkan hujan membasahi mereka sepenuhnya. Rin memejamkan mata, merasakan dinginnya hujan dan hangatnya perasaan itu memenuhi dirinya.

Dalam hujan yang turun tanpa henti, dua remaja itu berdiri — basah kuyup, tapi hati mereka kering karena semua ketakutan.

Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.

🚌🚌🚌
source image by pinterest
Share:

Dia Siapa?

 


👻👻👻

Hotel Teent yang sudah sangat terkenal di Kota X saat ini sedang merayakan ulang tahun yang ke-30. Seluruh area hotel sudah dihias dengan dekorasi mewah, balon berwarna gold dan putih, serta meja makan yang dipenuhi makanan lezat.

Namun, karena baru saja di promosikan menjadi supervisor, Alya tak langsung ikut perayaan itu. Ada beberapa pekerjaan yang harus dia harus selesaikan di ruangan adminisstratif agar bisa ikut dalam acara itu tanpa dibawayangi pekerjaan.

Suasana kantor cukup sepi, rata-rata orang administrasi pergi menikmati acara itu dan di dalam ruangan yang tertata beberapa meja kantor hanya ada dirinya yang lembur. Kebanyakan lampu di ruangan itu pun sudah dimatikan dan menyikan satu lampu yang hanya menyinari tempatnya.

Sesekali Alya mendengar suara dari lantai atas. Suara tawa, musik, dan suara langkah kaki yang memenuhi ballroom tempat acara berlangsung sedikit membuat kakinya ingin ke sana juga. Sayangnya, Alya hanya berharap agar acara itu belum selesai ketika pekerjaannya selesai dia kerjakan. Namun, semakin malam, suara itu mulai memudar, berganti dengan keheningan yang sangat mencekam. Dan, pekerjaannya belum
selesai.

Tak lama setelah itu, Alya mendengar suara langkah kaki yang datang dari lorong kantor yang gelap. Pikirnya, mungkin itu rekan kerja yang sedang menuju ruangannya, namun saat dia menoleh ke arah pintu, tidak ada siapa-siapa. Langkah kaki itu semakin dekat, dan Alya merasa ada yang mengawasi dari balik pintu.

Kemudian, terdengar suara wanita berbisik pelan di belakangnya, "Alya…". Alya terlonjak dan berbalik, namun hanya ada kegelapan di sana. Tidak ada orang.

"Siapa?" Bisiknya.

Cemas, Alya mencoba menenangkan dirinya sendiri dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Tetapi, rasa takut mulai merayap. Ketika hendak pergi ke ruang arsip, Alya merasa suhu ruangan tiba-tiba berubah dingin. Saat membuka pintu ruang arsip, Alya terkejut melihat bayangan hitam melintas cepat di dalam ruangan. Alya menutup pintu dengan panik dan lari ke ruang kerjanya.

Tiba-tiba, lampu kantor berkedip-kedip dan komputer di mejanya mati. Alya mencoba menyalakan komputer, tetapi monitor hanya menampilkan gambar gelap dan kosong. Ketika dia melihat ke atas, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya dipompa kencang: sebuah foto lama tergantung di dinding, foto hitam-putih para pendiri hotel, tetapi ada satu wajah yang terlihat kabur dan mengerikan—seorang wanita yang tampak sedang tersenyum dengan bibir yang terlalu lebar. Matanya pun terlalu besar daripada mata orang normal.

Dengan jantung yang berdebar, Alya, yang sudah hampir gila karena ketakutan, akhirnya memutuskan untuk keluar dari kantor dan menuju lantai utama untuk mencari teman-temannya. Saat dia melangkah ke lorong yang gelap, dia melihat wanita itu lagi—wanita berpakaian serba putih yang tadi dia lihat di ujung lorong. Alya bisa merasakan jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya.

Wanita itu berdiri di sana, di tengah lorong yang sepi, membelakangi Alya. Suasana begitu sunyi, hanya suara detakan jantung Alya yang terdengar jelas di telinganya. Dia menggigit bibir, mencoba untuk tidak berteriak. Perlahan, dia melangkah maju, dan begitu hampir dengan wanita itu, dia terpaksa memanggilnya dengan suara yang parau, "Pe ... Per ... Permisi, Mbak...."

Wanita itu perlahan-lahan berbalik. Alya siap untuk melihat wajah yang mengerikan—mungkin wajah penuh luka dan berdarah atau mata kosong yang menakutkan. Tapi yang dia lihat justru sesuatu yang jauh lebih aneh….

Wanita itu… tersenyum lebar. Hingga membuat sesuatu yang seperti kulit kering mengelupas dan jatuh.

"Aaaaa...." Alya tentu saja berteriak. Jantungnya benar-benar ingin lepas rasanya.

Lalu suara cekikikan terdengar dan membuat Alya semakin ketakutan hingga kakinya terasa lemas. Dia terjatuh di lantai. Rasanya air matanya sudah akan mengalir kalau katabselanjutnya tidak keluar dari mulit setan itu.

"Sumpah, kamu lucu sekali, Alya. Ya, ampun harusnya aku abadikan momen ini."

"Tika?"

Tika hanya cengengesan di tempat. Masker wajahnya makin berjatuhan ke lantai.

"Tika!!! Dasar kurang ajar. Hampir saja aku kenna serangan jantung, gila!"

"Hehehe, maaf yah." Tika menyahut sambil mengulurkan tangannya. "Ini prank."

"Kenapa kamu nyamar jadi hantu?!"

Ini kan ulang tahun kantor, ada yang bikin acara horror-horror gitu, aku pikir buat seru-seruan aja."

Alya hanya bisa menatap Tika dengan tatapan jengkel, dan hampir marah. "Prank? Prank apa yang bikin orang sampai nyaris pingsan? Aku kira kamu beneran hantunya! Sial, aku kira aku bakal mati di sini."

Tika malah makin tertawa. "Hahaha, maaf, maaf. Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu beneran percaya! Aku cuma mau kasih kejutan. Tadi aku denger kamu lagi ngerjain laporan, jadi aku pikir, 'Kenapa nggak sekalian kasih kejutan horor?' Eh, ternyata malah takut setengah mati."

Alya mendelik, sambil sedikit tertawa kesal. Legah juga. "Ck, jangan main-main gitu dong! Aku kira beneran ada yang ngikutin aku dari tadi."

Tika yang masih ngakak mencoba menenangkan Alya. "Iya, iya. Gak ada kok yang ngikutin kamu. Lagian kan kita lagi merayakan ulang tahun kantor, harus seru dong! Sekarang kita ke atas yuk, liat acara ulang tahunnya yang mulai beres. Gimana, siap nggak jadi hantu juga?"

Dengan malas, Alya menghela napas dan akhirnya ikut tertawa. "Ya sudah, deh. Tapi abis ini, aku cabut duluan ya! Aku nggak mau lagi kalau ada ‘hantu’ lagi yang ngerjain aku. Aku udah trauma!"

Akhirnya, mereka berdua kembali ke ruang perayaan yang sudah mulai sepi. Tamu-tamu sudah mulai pulang, dan para staf sibuk membereskan dekorasi ulang tahun. Alya menghela napas lega, meskipun dia tahu, kejadian tadi akan menjadi cerita seru yang bakal dia bagi di grup karyawan.

Tapi saat dia melangkah ke ruang perayaan, tiba-tiba ada satu sosok yang berdiri di tengah ruangan—seorang pria berjaket hitam dengan topi, wajahnya tertutup oleh bayangan. Alya, yang sudah mulai sedikit paranoid, langsung menatap Tika dan berbisik, "Tika, apa itu lagi…?"

Tika menatap pria itu dengan tatapan bingung, lalu tersenyum. "Tenang, Alya, itu cuma Pak Tutu, cleaning service-nya. Dia memang suka main-main di akhir acara, kadang berpura-pura jadi hantu juga. Jangan kaget, ya!"

Alya menatap pria itu, yang kemudian membuka topinya dan tersenyum lebar. "Hai, Alya! Kaget, ya? Ha-ha, aku cuma lagi testing kostum buat Halloween nanti."

Alya, yang mulai kehilangan sabar, cuma bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Oke, kalian semua mau bikin aku stres, ya? Besok aku nggak kerja deh, kalian udah terlalu banyak nge-prank!"

Tetapi, hanya berselang beberapa menit kejengkelan Alya berubah jadi rasa penasaran. "Ngomong-ngomong, siapa yang manggil aku di kantor tadi? Menjengkelkan banget."

Kening Alya mengerut, bingung. "Aku nggak lihat siapa-siapa tadi. Pak Tutu lihat, nggak?"

Pak Tutu menggeleng. "Saya dari tadi tidak lihat siapa-siapa yang naik."

"Setahuku juga cuma kamu yang masih betah di kantor sih."

"Tamu?"

"Gak mungkin, Alya. Karena saya dari tadi jagain di pos masuk kantor karyawan."

Bulu kudu Alya seketika meremang. Apalagi, ketika potret wajah mengerikan yang dia lihat di kantor tadi terbayang di kepalanya dan dia seolah bisa mendengar suaranya yang berkata, "Itu saya yang manggil."

"Wah, gila!" Alya berseru dan tanpa peringatan apapun, Alya langsung kabur, diikuti oleh Pak Tutu dan Tika yang juga ikut berlari dengan wajah kebingungan namun juga ketakutan.

👻👻👻
Share:

Wednesday, October 10, 2018

BECAUSE OF YOU

From WATTPAD Clinton Clive

TITTLE : BECAUSE OF YOU
BY : MICKEY139 DAN EPRAKOSO

SORT STORY

ENJOY IT





"Selamat pagi, semua."

Cengiran khas laki-laki itu terpatri di wajahnya ketika menyapa seisi kelas. Surai hitam melambai diterpa angin sepoi pagi yang berasal dari luar kelas. Wangi semerbak dari parfum yang dia gunakan menyebar, hingga masuk ke indra pembauku.

Tidak berubah, gumamku di sela-sela kegiatanku membaca novel.

Rasanya waktu berlalu terlalu cepat, secepat kereta api bergerak bahkan saking cepatnya nasibku tidak berubah-ubah. Aku masih mengaguminya namun tak berani menyapa. Sekalinya disapa, aku malah lari terbirit. Ah, nasibnya orang ansosial, terlalu pesimis sama orang lain, pikirannya negatif terus, padahal dia tidak berniat buruk. Laki-laki tukang cari masalah belum tentu jahat, kan?

Dan pertanyaannya, kenapa meski aku sudah tahu dia tukang rusuh, aku malah menyukinya? Padahal anak kecil pun tahu betapa bedanya sifat kami berdua, seperti air laut dan air sungai. Sangat berbeda.

Aneh, bukan?

“Johan?!”

Riki─ si tukang cari masalah nomor dua, sekaligus teman dekat Johan memanggilnya. Laki-laki itu menunjukkan poselnya lalu menyengir lebar, “Ada yang baru. Buruan!” serunya hingga membuat beberapa anak-anak cowok ikut mengerubunginya.

“Wih, Njirr. Lo dapat dari mana ni pideo?” Celutuk Johan yang dianggukan oleh teman-teman cowoknya yang lain.

“Ada dong. Makanya fasilitas sekolah dimanfaatkan. Hahaha..” sahutnya dengan bangga.

“Eh... eh... gila gede banget lagi, gue juga kepengen... gimana caranya tuh?”

"Ngocok aja terus. Lima kali sehari, dijamin dah punyo lo juga bakal gede."

"Seriusan?"

"Gue juga kayak gitu kali, makanya punya gue besar. Mau lihat gak lo?"

"Bego lo."

"Kampret."

"Diam Njir, gue masih mau nikmatin ni, sebelum guru datang."

"Ck, oke."

"Buju buset, toketnya men, gede banget. Gimana rasanya tuh dinenen."

"Kampret, berisik lo. Lo mau kita ketahuan, hah?"

"Refleks, Men. Gue baru lihat yang gede kayak gitu. Cewek gue aja gak segede gitu."

"Gue laporin lo ke Tina."

"Eh... eh jangan dong."

Lalu mereka tertawa dan membuat seisi kelas menatap mereka penasaran namun tak ada yang menghampiri mereka.

Aku tidak tahu video yang mereka maksud itu tentang apa dan aku tidak ingin tahu. Aku lebih tertarik pada novel mistery yang kemarin ku beli dari online shop. Novel ini jauh lebih menarik ketimbang mencari tahu tentang apa yang mereka lakukan, minus Johan tentu saja.

Tidak lama berselang, guru masuk dan membubarkan paksa grup cewek-cowok yang tadi saling membentuk kelompok dan hanya beberapa menit kemudian guru memulai ritualnya.

Mungkin di dunia ini hanya ada tiga dari puluhan murid yang berada di dalam kelas yang mau menyimak pelajaran yang menurut mereka membosankan, mungkin juga hanya ada belasan murid dari puluhan murid di dalam kelas yang tidak akan tidur jika diterangkan pelajaran sejarah layaknya lululabi yang di dendangkan oleh pianis jenius.

Dan sepanjang penglihatanku riset konyol dadakan itu memang benar. Tak sedikit murid cowok di kelasku yang tidur lalu dihiraukan oleh guru dan tidak sedikit pula murid cewek yang lebih memilih melanjutkan acara gosip mereka yang tertunda tadi di grup medsosnya. Guru sejarahku tetap saja masa bodoh dengan perilaku rekan-rekan sekelasku.

Rekan?

Yah rekan. Kalian tidak salah baca. Murid-murid kelasku memang kusebut sebagai rekan dan bukan teman. Tentu saja bukan tanpa alasan, mungkin jika kalian menjadi salah satu di antara mereka, kalian juga tidak akan ingin menjadi temanku atau bahkan mengenalku.

Tidak ada satu orang pun yang ingin mempunyai kenalan seorang yang dikutuk.

Tapi tenang saja, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Dijauhi, dicibir, bahkan dianggap seperti kotoran pun tidak akan membuatku sedih.

Semuanya sudah biasa.

Aku memejamkan mata dan menghirup udara kelas yang berubah pengap bercampur keringat juga berbagai jenis bau parfum sambil mencoba menetralkan diriku. Kembali pada realita dan memfokuskan diri pada materi yang dijelaskan oleh Guru.

...

Hari sudah menjelang sore ketika aku tiba di rumah. Hanya ada keheningan dan kegelapan yang menyambutku pulang. Tidak ada siapapun bahkan seekor jangkrik sekalipun.

Aku kemudian menyimpan sepedaku di bagasi kecil di depan rumah lalu mencari tombol untuk bisa membuka pintu. Beberapa detik mencari, akhirnya aku menemukannya. Hanya berselang tiga detik setelah tombol itu kutekan, dinding di depanku bergeser dan menampakkan pintu rumah biasa yang dengan mudah bisa dibuka.

Rumah ini sangat keren, kan?

Tapi kalau orang-orang melihat tempat tinggalku ini dari luar, rumah ini malah seperti gudang penyimpanan barang-barang yang ditangguli bebatuan tanpa pintu masuk dengan tumbuhan yang merambat menutupi hampir semua tanggulan─ dari pada rumah pada umumnya. Bentuk dan isi dalamnya saja berbeda, hanya beberapa saja yang sama, termasuk kamar tidur, dapur, dan ruang tamu, selebihnya berupa ruangan tak terpakai, koridor yang banyak memiliki perangkap dan juga beberapa jalan rahasia. Rumah ini benar-benar seperti benteng pertahanan dan aku sangat yakin, tidak akan ada seorang pun yang ingin masuk untuk kedua kalinya kemari. Keren, kan?

Aku sungguh salut pada arsitek yang sudah merancang rumah ini. Entah apa yang dia makan hingga otaknya bisa membuat rancangan seperti rumahku.

Oh betewe, sebenarnya aku sudah tidak punya orang tua, pun dengan sanak saudara. Jadi aku hanya hidup sendiri di rumah ini bahkan di dunia ini. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sudah meninggal dua tahun yang lalu. Dia adalah kakekku, satu-satunya orang yang sangat kucintai sekaligus orang yang sudah mewariskan rumah ini padaku.

Aku menghembuskan nafas lelah, lalu berjalan masuk dan menyalakan saklar lampu. Duduk di sofa untuk beristirahat sejenak sebelum berbenah diri dan pergi melakukan pekerjaanku.

Hidup sendiri itu harus bisa menghidupi diri sendiri. Mandiri dan tidak tergantung pada orang lain juga tidak suka mengeluh.

Tapi, kalau capek, boleh lah mengeluh. Hahaha...

...

Ah, segar, nyaman, dan enak.

Tiga kata yang mewakili apa yang kurasa saat ini. Memang benar kata orang, pengalihan terbaik dari rasa lelah adalah dengan mandi air hangat yang sudah diberi wewangian aroma terapi. Selain membuat tubuh ringan, perasaan nyaman, juga otak jadi rileks.

Dan hal berikutnya yang bisa membuat lelah kita berkurang adalah dengan mengisi bahan bakar perut alias makan makanan enak dan mengenyangkan.

Eh, tapi kalau kupikir kembali, bukankah bahan makanan di kulkas sudah habis? Ish, sial. Harus keluar belanja deh.

Malas sekali keluar ke minimarket, meski dekat tapi di sana berdekatan dengan tempat nongkrong anak-anak berandal. Aku tidak mau mereka mengejekku.

Tapi, kalau tidak pergi, aku akan kelaparan sampai besok dan semua kerjaanku bakalan berantakan. Aku tidak akan dapat bayaran. Dan kalau aku tidak dapat bayaran, uang sekolah, uang makan, dan uang untuk kebutuhan sehari-hariku tidak akan ada.

Aaaah, sial. Inilah yang tidak kusukai dari hidup sendiri, apa-apa harus mandiri, tidak bisa meminta tolong pada orang lain. Meski tidak bisa, harus dibisakan.

Dengan helaan nafas kecil, aku keluar untuk membeli bahan makanan. Terpaksa.

...

Aku menggeleng kepala ketika melihat belanjaan di kasir. Tanpa sadar, ternyata hampir semua barang beranjaanku adalah makanan kemasan yang mungkin tidak baik untuk kesehatan jika dijadikan kebutuhan perhari, seperti indomie, bakso, sosis, dan daging kemasan. Enak sih, tapi hanya sesaat, selanjutnya jadi bahan penyakit.

Ah, tapi mau bagaimana lagi? Memang makanan seperti apa yang lebih baik, kalau aku saja tidak memiliki banyak waktu untuk meracik masakan? Pesan online? Bahkan makanan yang aku pesan dua tahun lalu, tidak kunjung sampai.

“Empat ratus lima puluh sembilan ribu, Mbak.” Kata mbak kasir menyentak lamunanku.

Aku menghela nafas, kembali melihat barang belanjaanku. Padahal semuanya hanya makanan kemasan, tapi harganya setara dengan harga RAM delapan GIGA, astagah. Sepertinya pemilik minimarket ini ingin segera naik haji, makanya harga barang-barangnya mahal.

Tanpa menunggu ditegur, aku segera mengeluarkan nominal uang untuk membayar kasirnya. Untung saja sebelumnya aku punya firasat tidak enak jadi aku membawa uang lebih, meskipun lebihnya hanya seribu.

...

"Masih berani lo lawan gue?" samar-samar aku mendengar suara bentakan tidak jauh dari jalanan tempatku mengayuh sepeda. Abaikan saja, batinku memerintah. Yah benar, sebaiknya aku mengabaikan mereka, dari pada aku terlibat masalah. Lagipula aku kan bukan tokoh cewek kuat dan jago beladiri seperti dalam novel action, aku hanya seorang hacker yang kerja di dalam ruangan kecil.

"Apa lagi mau lo? Hah! Impas dengan apa yang Rey lakuin ke Dongok!"

DEG.

Tapi suara itu sangat mirip dengan suara Johan. Atau jangan-jangan itu memang suaranya. Apa Johan sedang ada masalah? Jangan-jangan dia dikeroyok anak-anak berandalan?

Sialan. Aku tidak mungkin hanya berdiam diri di sini.

Tanpa membuang waktu, aku mengayuh sepedaku untuk lebih dekat dan memarkirnya agak jauh dari tempat mereka. Berjalan mengendap hingga sampai pada posisi pas untuk mengamati.

"Kagak ada yang impas. Lo yang cari masalah dulu sama Rey. Lo bunuh adeknya. Sekarang lo bunuh juga Rey. Gue nggak terima dengan sikap bajingan lo!"

Apa maksud dari ucapannya?

Tidak mungkin Johan membunuh. Meskipun dia berandalan dan tukang cari masalah, dia tidak akan sampai membunuh orang. Orang itu pasti salah dan hanya menuduh-nuduh. Seorang berandalan akan selalu mencari masalah, bukan?

"Bukan salah gue!" Bantah Johan membuatku kembali fokus pada mereka. Suara Johan sudah mulai parau. Astaga, sepertinya luka-luka akibat pukulan mereka yang menyebabkan itu.

Kakiku mulai gatal untuk menghampiri mereka. Aku ingin secepatnya menolong Johan, tapi aku juga tidak mungkin gegabah dan menyetor nyawa suka rela. Aku harus punya rencana atau minimal sesuatu yang bisa menolongku.

Drrrtt.

Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk tapi tidak kupedulikan. Paling-paling dari klien yang ingin menanyakan pekerjaanku atau mungkin klien baru yang ingin menggunakan jasaku.

Sesaat pandanganku beralih pada ponselku yang terus bergetar mengganggu. Orang ini benar-benar tidak  tahu situasi. Buru-buru aku mematikannya dan mengirim pesan, jika aku sedang sibuk dan tidak ingin diganggu. Dan saat pendanganku kembali, kulihat salah seorang dari mereka maju. Tongkat bisbol yang ada di tangannya mulai melayang.

Oh Tuhan, tidak. Aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tetap menonton mereka dari sini.

Tanpa sadar kakiku sudah melangkah mendekati mereka. Beberapa dari mereka sudah sadar akan kehadiranku dan sudah menyiapkan ancang-ancang menyerang jika aku melakukan tindakan bodoh.

Tapi, kau sudah melakukan tindakan bodoh, Rere,  batinku mengejek.

"Oh, lanjutin aja. Aku cuma lagi live kok." kataku sembari mengarahkan kamera ke mereka. 

Oh Tuhan Rere, apa yang kau lakukan? Dasar bodoh, tolol, goblok. Kau benar-benar ingin mati yah?

Tapi, setidaknya aku berhasil menghentikan serangannya pada Johan, aku membela diri.

Laki-laki yang tadi ingin memukul Johan berhenti dan menatapku. Aku benar-benar takut di tatap seperti itu oleh mereka. Berdiri di depan mereka saja sudah membuat kakiku gemetaran apalagi jika mereka maju dan melayangkan alat-alat yang ada di tangan mereka.

"Re... Re..." kulihat Johan, tubuhnya benar-benar sudah babak belur. Banyak luka yang  tercetak, termasuk luka pada wajahnya yang masih mengeluarkan darah.

Mereka benar-benar keterlaluan.

"Oh, hai, Johan." kataku dengan suara gemetar tak kentara dan berpura-pura seolah kami adalah teman dekat.

Setalah mengatakan itu, tidak berapa lama, tubuh Johan benar-benar ambruk. Tubuhku semakin gemetar, panik juga takut. Aku sangat khawatir pada keadaan Johan, tapi aku juga tidak bisa menolongnya tanpa memedulikan mereka. Lagipula aku keluar tanpa persiapan. Melirik sana sini pun percuma, karena tidak ada yang bisa dijadikan sebagai penolong. Tidak ada orang yang berlalu lalang, tidak ada batu atau kayu yang bisa kulemparkan pada mereka.

Tuhan, kumohon tolong kami. Aku benar-benar tidak ingin berakhir tragis di sini, apalagi di tangan mereka.

"Wah, akting mereka seru sekali, kayak betulan, kan teman-teman?"

Aku menatap laki-laki itu dengan berusaha terlihat santai. "Ini film tentang apa?” kataku sambil menatap wajah mereka satu-satu. Bisa kulihat jika keraguan dan ketakutan mulai menyelimuti mereka. Dan, aku masih dengan berpura-pura lugu. “Oh, kalian dari SMA Taruna Bangsa? Mereka dari SMA favorit teman-teman." lanjutku sembari tersenyum ceria.

"Matikan HP lo sekarang!" ancamnya penuh tekanan. Dan aku tidak mungkin menampakkan rasa takutku pada mereka. Jangan harap kami bisa kabur jika aku melakukan itu.

"Loh, kok dimatikan? Eh, sorry kalau aku ganggu. Seru soalnya lihat akting kalian." jawabku masih dengan wajah pura-pura lugu. Mantap Rere. Aku memuji diri sendiri.

Tapi laki-laki itu tidak gentar. Malah aku melihat seringai jahat yang dia terbitkan. Dan saat sadar, aku sudah terlambat. Seseorang sudah siap menyerangku. Yah, aku yakin jika aku juga akan berakhir jika Johan tidak cepat merengkuhku dan menjadi tameng dari serangan mereka. Sialan, jurus pura-pura lugu tidak mempan. Tapi, setidaknya muka mereka sudah terpampang jelas di rekaman dan besok mereka akan menerima ganjarannya.

Tapi, kamu belum tentu hidup.

Sial! Itu benar.

"Urusan lo sama gue Gam! Jangan sangkutin Rere!" ucap Johan di sela-sela kesadarannya dan membuat pikiranku kembali. Melihat tetesan darahnya sudah cukup membuatku yakin kalau dia sebenarnya sudah tidak kuat dengan luka-luka yang dia dapat namun tetap menolongku.

"Wow, lo pacaran sama Johan? Selamat membusuk di neraka sayang, serang lagi!"

DEG.

Tidak. Aku tidak mau. Kami tidak akan berakhir, brengsek! teriakku dalam hati ketika melihat tongkat bisbol yang terabaikan. Secepat kilat aku mengambilnya dan langsung memukul mereka secara membabi buta dan tidak terarah.

Melihat kesempatan kami bisa kabur, aku benar-benar memanfaatkannya. Secepat kilat aku menarik Johan untuk berlari dari sana, mencari tempat keramaian supaya kami bisa ditolong oleh orang-orang.

***

Seminggu setelah kejadian itu, sikap Johan berubah. dia jadi lebih perhatian, selalu berusaha mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Bahkan tak jarang dia mengabaikan teman-temannya hanya untuk bersamaku. Walau biasa kutolak, tapi dia tetap keras kepala. Alasannya pun bermacam-macan, mulai dari alasan yang bisa diterima hingga alasan-alasan konyol yang dibuat-buat.

Aku senang. Tentu saja. Semua orang juga akan merasakan rasa senang ketika cowok yang dia taksir berubah perhatian padanya. Tapi kalau mendadak seperti ini, jujur saja aku belum siap. Terlalu banyak pertimbangan yang mesti kupikirkan termasuk pandangan aneh orang-orang yang melihat sikap tidak biasa Johan. Bukan hanya namaku saja yang bertambah buruk, namanya juga ikut-ikutan memburuk. dia sudah punya label sebagai siswa berandalan dan tukang onar di sekolah entah apa lagi yang akan dia terima jika dekat-dekat denganku.

Aku tahu dia tidak akan ambil pusing dengan pandangan orang-orang padanya. Lelaki cuek sepertinya tentu saja akan lebih mementingkan apa yang dia sukai dari pada memusingkan pendapat orang terhadapnya. Tapi aku tidak bisa.

“Eh, lo pada sadar gak, kalo akhir-akhir ini Johan jadi aneh?”

“Iya Ta. Lo benar. Dia berubah. Dia gak pernah lagi ngegombalin kita. Kemarin aja nih, masa kita sudah sengaja tungguin dia di depan kelas, sudah pasang muka-muka cantik nan imut, malah diabaikan. Padahal biasanya dia berhenti, terus ngegombalin. Eh, parahnya lagi dia malah ngejar si Rere. Riki aja sampe bengong liatnya.”

“Ntu si Rere pake pelet apaan yak? Kok bisa-bisanya Johan jadi klepek-klepek sama dia sampe segitunya.”

“Ra kalau pelet mah kaga sampe segitunya kali. Kayaknya itu kutukannya deh. Dia kan terkenal banget sebagai anak terkutuk. Ih, gue jadi merinding.” 

“Eh, udahan yuk ceritanya. Kali aja si Rere dengar terus mengutuk kita─”

Seperti kataku tadi, kenapa aku tidak suka jika Johan dekat-dekat denganku di sekitar sekolah adalah ini. Gosip. Gosip gampang menyebar seperti spora yang diterbangkan oleh angin, sangat cepat. Untung saja tadi aku berhasil lolos dari Johan sehingga kami tidak akan terlihat bersama saat ini. Aku tidak yakin gosip apalagi yang akan kami dapatkan jika hal itu terjadi.

Aku tahu, jika Johan saat ini tengah menungguku di depan sekolah karena sudah tahu dengan kebiasaanku dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa bebas darinya hari ini.

Yah, selagi dia menungguku di depan sekolah aku menyelinap keluar lewat lubang pagar belakang sekolah.

Katakanlah aku bodoh atau tidak memiliki otak karena menolak rejeki yang sudah disuguhkan di depan hidungku, tapi lebih baik begitu dari pada terus ditempeli Johan dan membuatku tidak nyaman sekaligus merasa bersalah karena terus membohonginya. Laki-laki itu benar-benar memiliki rasa penasaran yang terlalu berlebihan. 

Tapi, omong-omong sedari tadi kenapa perasaanku mendadak jadi tidak tenang. Sepanjang jalan aku merasa seperti seseorang tengah membuntutiku. Namun tiap menengok ke belakang, tidak ada seorang pun yang mencurigakan. Walau jalan yang kulewati lebih sepi tetap saja perasaan itu masih ada.

Apa dia penjahat yang ingin merampokku? Atau jangan-jangan orang itu adalah orang yang sudah kucuri data-datanya hingga dibuat bangkrut oleh saingannya dan ingin membalas dendam padaku.

Mati aku. Aku tidak ingin berakhir tragis seperti seorang tokoh wanita dalam film thriller yang dibunuh oleh seorang psikopat gila.

Aku mempercepat langkah kakiku hingga tersisa beberapa meter sebelum sampai rumah. Aku sudah tidak peduli jika ada orang yang tahu keberadaan rumah ini, toh mereka juga tidak bisa masuk sesuka hati karena banyaknya jebakan yang ada di dalam rumah. Sampai di dalam rumah, aku benar-benar menari kegirangan karena rasa legah luar biasa.

Sial. Tadi itu benar-benar mengerikan.

...


Beberapa menit setelah mandi dan membuat mocha hangat, aku kembali berkutat dengan komputer. Menuliskan baris demi baris kode dalam bahasa pemrograman yang hanya sedikit orang yang paham. Otakku hampir memanas ketika belum menemukan kombinasi yang tepat untuk memasuki sistem dari orang yang sudah membayarku.

Di layar, data-data berpindah dengan cepat, berbaris seperti sungai informasi yang mengalir tanpa henti. Setiap baris kode itu adalah petunjuk, teka-teki yang harus ku pecahkan untuk menemukan celah dalam sistem keamanan yang rumit. Angin malam dari jendela terbuka sesekali berbisik, namun itu tak membuatku berhenti. Bahkan ketika suara-suara dari aktivitas orang-orang mulai terdengar di luar, aku masih berusaha.

Mataku sudah mulai lelah. Semalaman mencari namun belum ada hasil. Untungnya, hari ini libur. Jadi, aku bisa mencarinya dengan lebih leluasa. Lalu, satu jam berlalu, perutku sudah mulai berteriak, aku kelaparan. Tetapi, jika ku tinggal, aku mungkin akan mengulanginya dari awal. Data-data di depanku terus bergerak, ada petunjuk-petunjuk kecil yang bisa mengarahkanku pada celah keamanan. Jadi, jika kutinggal, aku mungkin akan kehilangan momentum. Aku menghentikan jariku ketika mencoba membaca pola dari angka-angka yang muncul secara acak. Ini benar-benar seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Lalu kutemukan ada satu bagian kode aneh dalam salah satu data log— astaga, ini dia. Aku berhasil!

Lalu berjam-jam kemudian, aku terus mengamati pola aneh itu. Sebuah angka yang tampaknya tak sengaja muncul di tempat yang salah. Sebuah angka yang seharusnya terhidden—sebuah indikator dari celah yang sangat kecil, tapi cukup besar untuk dimanfaatkan.

Dengan hati-hati, aku menulis beberapa baris kode baru dan menekan tombol Enter. Seketika, layar komputer berubah. Data-data yang bergerak cepat itu berhenti sejenak, seperti dunia maya menahan napasnya. Lalu, sebuah jendela baru muncul, dan di dalamnya adalah akses masuk ke sistem yang telah dijaga ketat selama ini.

Aku tersenyum tipis. Ini memang masih awal. Tapi ini bisa membuka banyak pintu.

Sambil menatap layar yang penuh dengan data yang bergerak terus-menerus, aku menyadari sesuatu yang lebih penting daripada sekadar peretasan. Dunia ini penuh dengan informasi yang tak terlihat, dan hanya mereka yang benar-benar mengerti cara membaca dan memahaminya yang bisa membuat perubahan. Aku tahu, ini baru permulaan.

Setelah hampir tiga bulan bekerja, akhirnya aku berhasil menemukan celah dan menembus sistem dengan cara yang sangat halus. Ya ampun, aku benar-benar bangga pada diriku. Tanpa perayaan lebih, karena perutku juga sudah hampir mencapai batas, aku mengirim email pada orang yang sudah menyewa jasaku.

"Aku sudah menemukan kelemahan sistem ini. Tim IT Anda bisa meningkatkan keamanan sistem Anda lebih lagi."

Setelah mengirim pesan, hanya berselang beberapa menit notifikasi pembayaran dari kasaku masuk. Aku tersenyum puas. Meski, hari-hari yang kulalui benar-benar melelahkan, bayaran yang kudapatkan pun sangat memuaskan.

Dengan langkah ringan aku menuju dapur dan membuat makan malam. Kalian tidak salah baca, ini memang sudah masuk waktu malam. Sarapan dan makan siang sudah kulewati karena tak ingin kehilangan momentum yang berharga. Tapi, karena semua hasilnya berbuah manis, jadi tidak masalah.

Habis makan dan mandi, aku merilekskan diriku dengan minum green tea dan cemilan sambil melihat bintang di rooftop. Tapi belum ada semenit, bunyi ponselku berbunyi.

‘Kak, barangnya yang dititipkan sudah selesai diperbaiki, silahkan datang untuk mengambilnya. Mohon konfirmasinya, jika ingin diambil besok atau hari ini.’

Satu pesan dari tukang servis, mengharuskanku untuk segera menghampirinya. Alat yang dia perbaiki adalah alat yang benar-benar kuperlukan sekarang.

"Aku akan ambil sekarang. Terima kasih."

Setelah bersiap yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih dari sepuluh menit, aku bergeges pergi dan hanya dua puluh menit yang kebutuhkan untuk mengambil barangku, setelahnya aku kembali ke rumah. Namun,

"Kamu... Kenapa di sini?"

Mendadak langkah kakiku behenti setelah Johan menepuk punggungku tepat di depan rumah. Jadi inilah yang membuat perasaanku sepanjang jalan tadi tidak enak? Johan dengan rasa penasarannya membuntutiku seperti seorang psikopat gila. Membuatku parno sendiri dengan spekulasi-spekulasi mengerikan yang bermunculan di kepalaku. Lalu sejak kapan dia membuntutiku?

"Kamu tinggal di sini?" bukannya menjawab dia malah balik bertanya.

"Jawab pertanyaanku!" hardikku.

"Maaf, aku penasaran. Aku cuma ingin tau tentang kamu. Kenapa kamu tidak ingin ditahu? Kenapa...."

Gila! Aku benar-benar sudah meremehkan laki-lak ini.
"Bukan urusan kamu lah! Urusi dirimu sendiri!" Aduh, jantungku kok kayak diremas, yah. Tapi, aku benar-benar tidak bisa menerima apa yang dilakukan Johan. Dia sudah melangkah terlalu jauh hanya karena rasa penasarannya. Beraninya dia membuntutiku. Biarpun aku menyukainya, tetapi bukan berarti aku bisa membiarkan dia bertindak seenaknya.

Aku sudah memalsukan tempat tinggalku untuk menghindari orang-orang yang mengincarku. Bagaiamana jika mereka mengetahui itu? Bukan hanya hidupku yang terancam, tetapi dia juga.

"Tapi, aku tidak bisa! Tidak bisakah kita berteman?" suaranya terdengar lirih. Jujur saja, melihatnya seperti itu sedikit membuatku luruh.

Selama ini, aku hanya tahu kalimat memanfaatkan setelah kakek meninggal dan mendengarnya seperti itu, membangkitkan perasaan yang sudah lama mengendap bahkan sudah kulupakan.

Tapi,

"Tidak! Aku tidak bisa. Kita terlalu berbeda, Johan. Dan aku tidak mau mengubah atau pun mengubah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanku.

"Re....."

"Stop! Jangan berusaha untuk sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Aku pergi dulu. Ku harap, mulutmu bisa di percaya dan tidak membocorkan apapun atas hari ini. Aku permisi Johan," potongku cepat dan secepat kilat pergi dari hadapan Johan.

****

"Rere..."

Aku menghela nafas ketika sapaan itu masuk ke indra pendengarku. Johan sangat keras kepala.

"Apa?" tanyaku ketus. Untung saja tidak ada orang di sekitar kami.

Ada rasa bersalah saat melihat wajahnya yang kuyu. Matanya yang dihiasi mata panda juga penampakannya yang tidak seperti biasanya.

"Bisa aku bicara?" tanyanya hati-hati.

"Kenapa?"

"Anu, sebelum anak-anak datang, mungkin. Tapi... Itu... Hmm... Maksudku..."

"Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?" potongku cepat, aku benar-benar tidak ingin kami dilihat berdua oleh murid-murid sekolah ini.

"Maaf jika aku terlalu memaksamu. Tapi, aku.. Aku masih tidak bisa berpura-pura tidak ada kamu. Tidak bisakah meski kita tidak bisa jadi teman, setidaknya kita bisa bertegur sapa?" sahutnya.

Aku memejamkan mata, berusaha menekan perasaan salahku karena sikap dinginku. Aku tahu, bukan itu maksudnya. Johan masih penasaran. "Ck, ikut aku!" Nada bicaraku berubah. Aku lebih tegas dan tak bisa dibantah.

"Kita kemana?" Anehnya dana suara Johan terdengar riang.

Aku tidak menyahut melainkan langsung melenggang terlebih dahulu ke arah loteng sekolah. Aku ingin ini segera berakhir. Secepatnya.

Tiba di atas loteng aku tidak membuang waktu dan langsung menyakan keinginannya. "Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan."

Ia menatapku lama sambil berpikir dan tidak berapa lama dia pun menyahut, "Siapa kamu sebenarnya?”

Alisku menukik sebelah. "Kenapa tanya pertanyaan yang sudah jelas kamu tahu jawabannya."

"Bukan. Yang aku maksud dirimu yang sebenarnya."

Aku menghela napas. Aku bodoh jika aku menjawabnya dengan jujur. "Seperti yang kamu sudah tahu, namaku Reva Valeria."

Sejenak aku menatapnya, melihat bagaimana reaksinya. Tapi dia tetap diam sembari memperhatikanku.

"Aku sudah tahu itu. Yang mau aku tahu adalah kenapa kamu berpura-pura?"

"Apa maksudmu?


"Tentang kamu. Semua informasi tentang kamu tidak ada. Bahkan ketika aku mencarinya di bagian kesiswaan, data dirimu semuanya palsu. Dan, aku pernah melihat nama yang kamu tulis. Relia Alcandor, apa itu namamu?"

Aku memang sudah mengira kalau dia sudah mencari tahu tentang diriku dan ini tetap membuatku terkejut ketika mengetahuinya. Terlebih, aku membuat satu kesalahan fatal.

"Tolong. beritahu aku. Aku akan berhenti setelah mengetahuinya dari mulutmu."

Aku menghela. Mungkin setelah ini aku tidak akan melihatnya lagi. Tetapi, setidaknya dia tahu namaku.

"Yah, namaku adalah Relia Alcandor namun Reva Valeria juga adalah namaku. Aku memiliki 2 identitas. Hanya itu yang bisa kuberitahukan padamu."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Orang tuaku sudah meninggal lima tahun yang lalu."

"Jadi, apa yang ada di kesiswaan, smuanya palsu?"

Aku mengangguk. "Palsu."

"Apa yang sebenarnya kamu kerjakan? Kenapa kamu memalsukan semua datamu?"

Aku mengangkat tangan untuk mengisyaratkan untuk tidak menanyakan apa-apa lagi ketika mendengar langkah kaki yang mendekat. "Ada yang mendekat. Aku akan pergi sekarang."

Setelah mengatakan itu, aku menjauh darinya.

Aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Memberitahu dia tentang diriku sama saja dengan membawa kami berdua ke dalam bahaya. Aku tidak ingin dia bernasib sama dengan ayah ibuku yang meninggal dua tahun lalu."

"Re... Aku..."

Aku tetap berjalan. Tidak "Kehidupan kita berbanding terbalik Johan. Cukup kamu tau bahwa aku menyukaimu. Tapi jangan mengusik kehidupanku. Satu lagi, lupakan aku. Karena harapan untuk dekat denganku adalah pikiran konyol. Aku tidak ingin kamu terlibat di dalamnya. Aku..."

Aku tersentak dengan mata terbelalak kaget saat tiba-tiba Johan memelukku. Ini yang pertama dan rasa nyaman ini adalah perasaan yang sudah lama hilang dari diriku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin Johan ikut terperosok masuk ke dalam dunia gelapku. dia masih memiliki orang-orang yang membutuhkannya. Tidak seperti diriku. Seorang gadis terkutuk yang hanya berteman dengan gelap dan kesendirian. Tidak akan ada yang perduli padaku.

"Re, jangan anggap remeh aku. Aku sanggup menemani kamu selama aku bisa bernafas. Aku sanggup menemani kamu selama kamu mau dan mengijinkan. Re... Tolong beri aku kesempatan," pintanya lirih.

Tidak. Aku tidak bisa. "Tidak. Jangan memaksakan diri. Kehidupanku terlalu kejam Johan. Biarkan saja kita saling tau. Selebihnya biarkan Tuhan yang mengatur. Untuk sekarang ini, kumohon jangan paksa aku. Biarkan aku bebas dengan kehidupan kejamku," jawabku sambil melepaskan diri dari pelukannya.

Aku menatapnya nanar lalu mundur bebepa langkah, "Johan, aku mencintaimu. Itu urusanku. Jangan terbujuk untuk hanyut bersamaku. Masih banyak wanita lain yang kehidupannya normal. Pilih mereka. Hanya satu yang perlu kamu tau. Sekali aku mencintai seseorang. Selamanya akan begitu," lanjutku sebelum benar-benar meninggalkannya sendiri.

"Re... Pegang janjiku. Kita akan bersatu. Entah sekarang atau nanti. Entah besok atau lusa. Dan jangan ragukan aku. Rahasiamu aman padaku Rere. Terima Kasih sudah mencintaiku. Yang notabene-nya hanya seorang troble maker sekolah,"

Aku terus melangkah, tidak peduli pada ucapannya yang sudah menggelitik batinku, karena sekali berbalik, keputusanku untuk menjauh darinya akan goyah.

Dan sekarang tinggal satu hal yang harus kulakukan.

Maafkan aku Johan. Aku harus melakukan ini.

Selamat tinggal dan terima kasih atas perasaanmu.


...

END.

..

Iya End, gak salah. Ini bukan kisah yang berlanjut, meski terkesan menggantung 😂. Ini tugas kami untuk LenteraLiterasia 3500 word, melebihi persyaran 😂

Btw, thanks buat @eprokoso99 yang sudah mau berdiskusi denganku dalam membuat karya ini dan sabar dengan tingkah leletku yang menyebalkan dan sorry edokey aku pake kata mu 😂

Oke, sekian cuap cuapnya.
Share:

Monday, May 2, 2016

LOVE IS BRAVE

Hallo apa kabar pada blogku.
hahaha... sudah lama gak dibuka, sudah banyak laba-laba yang merajut sarangnya.
BTW, senang rasanya akhirnya bisa mengupdate cerita baru untuk blog-ku ini. semoga reader gak ada yang bosan berkunjung yah. hehehe...
dan akhir kata, untuk reader yang masih menunggu untuk cerita-ceritaku. Tolong bersabar. Hahaha... *Seperti ada yang menunggu saja*

.......********........

LOVE IS BRAVE


... 

Lagi-lagi aku melihatnya seperti itu. Duduk menyendiri di bawah naungan pohon rindang taman fakultas, dengan pensil dan buku seketsa yang selalu dia bawa. Rautnya bahkan sama seperti kemarin, bahkan kemarin dulu dan sebelum-sebelumnya juga, selalu menyiratkan sebuah kesedihan bahkan tak jarang matanya mengeluarkan gerimis kecil yang berubah jadi aliran yang deras menuruni pipinya.

Sudah seminggu aku memperhatikannya. Senyum palsu selalu dia tebarkan pada teman-temannya, tak jarang dia juga ikut tertawa walau candaan temannya tak sekalipun lucu untuk ditertawai. Tawa yang terselip duka dan kesedihan. Terlihat tegar namun sangat rapuh di dalam.


Bukankah manusia memerlukan sandaran jika sudah tak kuat dengan apa yang mereka alami? Beban yang tidak bisa mereka angkat sendiri. Tapi dengan perempuan itu, bahkan kesedihannya tidak ingin diketahui oleh teman dan sahabatnya. Sangat naif, bukan? Padahal dia sangat membutuhkannya.

Yah begitulah sifat manusia.


Beberapa minggu sebelumnya dia tidak seperti itu. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, bahkan tak jarang dia tertawa lepas bersama teman-temannya. Sedih dan air mata tak pernah sekalipun kulihat menghampirinya. Mungkin karena dia adalah perempuan yang tak kenal dengan kesedihan. Perempuan dengan semangat yang sudah menulariku dan mengajarkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa rasa bosan. Perempuan yang memberiku warna-warna baru dalam hidupku.

Lucu. Aku bahkan tidak pernah berdekatan dengannya, mendekatinya pun aku tidak berani. Salahkan pada sifat pengecutku, yang entah kenapa tidak berkutik jika berada di sekitarnya, bahkan hanya menyapa ‘hai’. Lalu, bagaimana bisa?

Cinta.

Satu kata yang bahkan hingga kini tidak terdifinisikan dengan jelas. Namun, yang kutahu kata itu pulalah yang membuatku seperti ini. Memang aneh mencintai seseorang yang bahkan tidak mengenalmu. Lalu apa yang bisa kulakukan jika Tuhan sudah berbaik hati menitipkan rasa ini padaku, selain menerimanya.

Sudah tiga tahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Ketika musim gugur mulai menyapa kota, sejak daun mulai berguguran dan mengotori jalan setapak menuju gerbang kampus. Awal pertemuan yang sangat konyol namun melekat dihati hingga kini. Padahal mungkin saja dia sudah melupakan kejadian itu.

Dia dengan gaya tomboynya mencoba menolongku dari beberapa berandalan kampus yang ternyata adalah teman-teman SMA-ku. Matanya melotot menyuruh ketiga berandalan itu pergi. Tapi bukannya pergi berandalan-berandalan itu malah menertawainya. Aku hanya mengamati sikap perempuan itu, menunggu kelanjutan untuk tindakannya.

“Apa kalian tidak malu? Mengeroyok orang yang lebih lemah dari kalian?” Katanya dengan membentak. Dari balik punggungnya aku tersenyum geli. Betapa lucunya dia. Bertingkah layaknya seorang pahlawan yang menolong orang lemah dari penindasan. Padahal tak ada orang yang ditindas, mereka hanya menyapaku karena kami sudah janjian disini.

“Siapa yang menindas, Nona?” Tanya Adam. Tampangnya sebenarnya sangat menarik namun karena beberapa tindikan sebagai penghias wajahnya menyamarkan rupanya dan membuat beberapa orang beranggapan jika dia adalah seorang beradalan yang sering menindas.

“Hahaha... Dia mungkin salah paham, Adam.” Dion menimpali dengan tawanya. “Wajahmu membuat kita seperti berteman dengan seorang seorang penjahat. Lagipula ada apa dengan gaya berpakaianmu, Ngga. Mencoba jadi seperti kutu buku, heh? Dan kami dikira jadi penindas.” Lanjutnya menatapku, heran dengan gaya berpakaianku yang sangat tidak biasa.

“Eh.... Ma....maksud kalian? Apa kalian saling kenal?” Perempuan didepanku dengan tampang bingung bertanya dan itu membuat teman-temanku tersenyum.

“Iya, tentu saja kami saling kenal. Dia adalah sahabat kami.” Raka maju lalu memeluk pundakku, dan melakukan high five dengan tinju. Sapaan yang biasa kami lakukan.

Dan dapat kulihat dia malu sendiri. Wajahnya memerah lucu dan lagi-lagi membuatku tersenyum. Dan entah, sejak saat itu pula perasaan suka mulai menggerogotiku. Dia adalah gadis biasa, tidak cantik, pun tidak menarik, bahkan penampilannya tergolong sangat biasa dengan rambut hitam panjang yang bagian bawahnya bergelombang dan selalu diikat ponitail. Matanya bulat dengan iris hitam seperti rambutnya namun memancarkan kelembutan. Clarika. Sesuai dengan namanya, sifatnya lembut tetapi agak tomboy. Dia tidak seperti kebanyakan gadis yang suka menunjukkan pesonanya lewat tampilan. Berpakaian modis ala jaman kini. Dia tampil apa adanya hanya dengan jins dan kaos oblong sedikit kebesaran untuk tubuhnya.

Dulu aku tidak pernah merasakan sebuah debaran gila, bahkan jika dia memiliki status yang berpengaruh disekitarku, namun sekrang perasaan itu selalu saja menghampiriku jika berada di dekatnya. Dulu, aku tidak pernah salah tingkah jika bertemu dengan seseorang namun sekarang aku malah salah tingkah karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerang jika dia melihatku─ walau hanya sekilas dan mata kami saling bersinggungan, bahkan tak jarang aku bertindak seperti orang tolol jika kami tak sengaja berpapasan. Kesan cool yang melekat pada diriku hilang begitu saja layaknya debu-debu yang ditiup oleh angin. Aku bahkan seperti sebuah boneka Bunraku yang dibiarkan menggantung tanpa seseorang yang menggerakkaannya.

Ah... Andai aku diberikan sebuah kesempatan. Sedikit saja. Aku ingin sekali berkenalan dan mengobrol dengannya. Walau singkat atau bahkan hanya beberapa kata saja yang bisa kami obrolkan. Sekali saja, aku ingin mengajaknya ke pantai, melihat matahari terbenam dan saling menggenggam tangan. Sekali saja─

PUUUK

“Woi... Lihat apaan?”

Aku tersentak, hampir saja terjatuh dari kursi taman ketika Dania datang dan menepuk bahuku keras. Aku menghela nafas dan memberikan delikan tajam padanya. Sepupuku yang satu ini memang tak tahu situasi dan sangat jahil. Baru saja mau terbang ke langit bersama khayalanku tentang Clarika. Eh malah dia menarikku kembali. Sial.

“Serius amat.” Aku tidak menyahuti kata-katanya lantaran masih merasa dongkol karena perbuatannya tadi. Pandangannya kemudian beralih pada apa yang barusan ku lihat. “Masih mengaguminya diam-diam?” Ucapnya sedikit meremehkan. Sebal juga sebenarnya dengan kata-katanya, terlebih dengan gayanya yang menyebalkan namun apa yang bisa ku balas ketika apa yang dia ucapkan adalah sebuah kebenaran. Aku memang menyukainya, diam-diam, “Ah... Payah. Kamu kan laki, masa gitu aja gak berani nyamperin. Malu tuh sama yang di bawah.” Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.

“Seharusnya aku yang bilang gitu. Kamu kan cewek, tapi mulunya kayak laki-laki. Gak bisa disensor, apa? Lagian, kok bisa Raka suka sama kamu. Cewek usil, cerewet, punya pikiran jorok, jelek pula.” Kataku tidak terima dengan apa yang barusan dia ucapkan. Aku benar-benar heran dengan Raka yang memilih sepupuku ini. Padahal banyak gadis-gadis yang berada di sekitarnya yang jauh lebih baik dari Dania. Lebih cantik, penampilannya lebih menarik, bahkan sifat dan sikap yang jauh lebih baik dari Dania.

“Wah... Ni anak cari gara-gara rupanya.” Ucapnya sambil mengambil ponsel dari dalam tasnya. Entah apa yang akan dia lakukan.

“Kamu mau apa dengan Hp itu?” Tanyaku. Perasaanku jadi tidak enak saat dia hanya membalasnya dengan seringai menyebalkannya. “Apa?” Tanyaku sekali lagi, mendesaknya agar mau memberitahuku. Namun dia malah mengetikkan sesuatu.

“Ni... Hehehe... Gimana yah kalau aku kirimkan ini ke Clarika─”

Mataku membulat ketika melihat apa yang akan Dania kirimkan ke Clarika─ Foto konyolku tahun kemarin yang tengah mencium gambar Clarika, entah bagaimana caranya mendapat foto konyolku itu. Cepat-cepat aku merebut ponselnya sebelum sempat terkirim ke nomor Clarika. Apa yang akan Clarika pikirkan tentangku jika gambar itu sampai terkirim padanya. Uh.. Tak bisa kubayangkan.

“Ah... Apa-apaan sih...? Kembalikan!” Ucapnya menarik kaosku, namun tak ku hiraukan. Aku mengambil ponselku dalam saku celana dan menyalin nomorya Clarika. Well, setidaknya aku punya nomornya. Kan lumayan bisa SMS-an, pura-pura salah kirim dan ujung-ujunganya bisa kenalan. Aku jadi tersenyum memikirkan itu.

“Dari mana kamu dapat nomor Clarika?” Tanyaku penasaran setelah menormalkan rautku yang sempat senyum-senyum gak jelas.

“Kembalikan dulu Hp-ku baru ku beritahu.” Katanya berusaha meraih ponselnya dari tanganku.

“Gak. Beritahu dulu baru aku kembalikan.”

Dia tidak menjawab dan malah naik ke atas kursi dan melompatiku. Kami berdua terjatuh di rumput. Untunglah sore ini tidak banyak orang kalau banyak entah dimana mukaku bisa ku simpan terlebih ada Clarika di sana, bagaimana pendapatnya tetang kami. Ah... Semoga dia tidak melihat kami seperti ini, karena— mungkin—dia juga akan memikirkan sesuatu yang sangat tidak bagus. Bagaimana tidak, posisiku dengan Dania saat ini seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran yang tahu tempat. Dia tengah menindihku dan tanganku berada di pinggangnya karena menahannya tadi.

“Aw… duh… duh… dahiku.. Sakit…” rintihnya setelah kami sama-sama sudah duduk. Dia memegangi dahinya yang memang agak merah karena bertubrukan dengan tulang bahuku yang keras.

“Mana sini kulihat. Makanya jangan kayak anak kecil dong. Sudah besar juga, tapi kelakuannya sama kayak anak kecil.” Tanganku mengusap dahinya yang memerah dengan pelan. Sesekali kutiup. Berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Well, ilmu ini kuperoleh dari film-film romantis yang sering ditonton Dania. Sebenarnya aku tak yakin. Mana bisa sakitnya hilang hanya dengan tiupan kecil seperti ini. Tapi setidaknya ini menunjukkan perhatianku─ ah, bukan tetapi rasa bersalahku padanya.

“Aw… sudah ah. Bukannya sembuh, malah makin sakit. Niat nolong, gak sih?”

“Yee… ditolongin juga. Harusnya tuh kamu berterima kasih, bukannya marah-marah kayak gitu. Heran deh, Raka lihat kamu itu dari mana, yah? Kok bisa gitu dia milih kamu. Kamu pake pellet yah?”

“Ih… sembarangan.. Dia tuh beneran suka sama aku. Bahkan sebelum kami kenalan, tapi bagusnya dia berani, beda dengan orang yang kukenal. Dia pengecut hanya bisa melihat orang yang disuka dari jauh, takut mendekat. Ah.. Gak tahu apa yang dia takuti.” Sahutnya tidak terima dan malah menyindirku.

“Loh kok jadinya aku yang dibahas. A— ”

“Tuh lihat… kayaknya dia mau nangis tuh.” Dania memotong perkataanku yang baru saja ingin mengomelinya karena mengataiku.

Aku berbalik hanya untuk melihat Clarika. Dia lagi-lagi menunduk. Entah, apa lagi kali ini yang membuatnya kembali bersedih. Bukankah tadi gerimis itu sudah tak ada? Kenapa mendung itu kembali menghampirinya? Di mana pelangi yang biasa menghiasi senyumnya?

Sungguh aku merindukan senyuman yang biasa terlukis di wajahnya. Aku rindu dengan suara merdu yang berasal dari tawanya. Dan aku rindu dengan raut cerianya. Tapi sekarang, kenapa dia menjadi seperti itu? Apa yang sudah terjadi padanya? Kemana Clarika yang ceria dan penuh semangat? Kemana Clarika yang selalu membuatku tersenyum? Apakah.. Apakah karena dia? Dia yang selalu dibicarakan oleh mereka — teman-teman Clarika.

“Dari pada kamu lihat dari sini mending kamu samperin sana. Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan semua keluh kesahnya dan dia juga pasti butuh pundak seseorang untuk bisa dia sandari untuk melepas beban di hatinya. Kamu mau kalau orang lain yang datang?”

Tanpa menyahuti perkataan Dania. Aku melenggang pergi meninggalkannya dan mencoba menghampiri Clarika. Baru kali ini aku menyukai kata-kata yang terlontar dari bibir usilnya itu. Biasanya hanya kalimat-kalimat sindiran dan ejekan yang dia berikan padaku. Terima kasih. Ucapku dalam hati. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala hanya karena ucapanku itu dan membuatnya semakin semena-mena padaku.

Perlahan kakiku melangkah menghampirinya. Kukuatkan diriku agar tidak gugup di depannya dan melakukan hal bodoh yang bisa membuatku terlihat buruk. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Cara ini biasanya ampuh untuk menghilangkan rasa gugupku.

Tanpa ada izin darinya aku duduk tepat di sampingnya. Mengikuti drama romantic yang biasa Dania tonton. Mungkin aku juga bisa berakhir seperti di film itu. Yah.. Mudah-mudahan saja.

“Apa kamu baik-baik saja?” Tanpa kuperintahkan bibirku berucap sendiri. Aku merutuki diriku yang terlalu sok mengenalnya. Ah.. Sial, apa yang akan dia pikirkan tentangku. Seharusnya aku mengiriminya SMS saja, toh nomornya sudah kudapatkan.

Dia tidak berbalik, pun menghiraukan kata-kataku. Dia tetap menunduk tak memperlihatkan wajahnya. Angin sejuk menerpa kami berdua. Rambutnya berkibar dan menampakkan sedikit wajah sedihnya. “Kenapa kamu menangis?” Lagi-lagi sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Oh Tuhan. Kenapa dengan bibirku ini. Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Aku jadi terlihat seperti orang yang lancang ingin tahu masalahnya. Tapi memang benar aku sangat penasaran dengan ‘sesuatu’ yang membuatnya sedih.

“A.... Aku patah hati.” Ucapnya sesengukan. Angin kembali berhembus, entah kenapa angin ini terasa sangat berbeda. Lebih dingin dan tidak mengenakkan. Bahkan awan-awanpun lebih cepat beranjak dan meninggalkan taman kampus ini. Sesuatu yang sedari tadi kupikirkan ternyata benar. Dia bersedih karena seseorang. Seseorang yang dengan tega memecahkan hatinya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang sulit untuk dirangkai.

“Tiga tahun. Tiga tahun lebih aku mencintainya....” Dia mulai bercerita, namun tak ku sahuti. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Karena aku juga merasakannya. Patah hati. Dua kata yang mampu merobohkan seekor benteng kuat.

Tuhan memang sangat hebat dalam penciptaannya. Dia menciptakan sesuatu yang indah bernama cinta namun disisi lain Dia juga menciptakan kebalikannya. Patah hati. “Aku selalu memperhatikannya, selalu berusaha mendapatkan perhatiannya, tapi dia tidak sedikit pun mau memperhatikanku─”

Aku tahu perasaan itu. Aku juga merasakannya. Ketika seseorang yang kita sukai tidak sedikitpun melihat usaha yang kita lakukan demi mendapatkan perhatiannya. Sangat miris.

Tetapi, aku selalu meyakini jika suatu saat dia dan aku bisa bersama. Aku bisa menghilangkan sifat pengecutku dan mulai mendekatinya. Bukankah setiap orang didunia ini memiliki keyakinan, tujuan, dan impian walau terkadang rasa takut menghampiri ketika berbagai bayangan kegagalan datang menghantui? Tetapi jika bayangan itu bisa dilawan, tujuan dan mimpi pun dapat diraih. Selama kita memiliki keyakinan maka semua impian akan menjadi kenyataan dan bukan hanya menjadi sebuah khayalan.

“─Aku bahkan menjadi seorang idiot.” Ucapnya sesengukan membuyarkan semua lamunanku. Walau hatiku tidak bisa menerima dan sangat membenci orang yang membuat gadis yang kucintai patah hati, tetapi lebih menyakitkan melihatnya seperti ini─ wajah yang dihiasi dengan tangis kesedihan. Kurang ajar sekali orang itu. Kenapa dia tidak bisa melihat usahanya. “Beberapa kali aku sengaja terlihat konyol dihadapannya demi agar dia mau melihatku, tapi tak sekalipun pandangannya teralihkan dari gadis itu. Aku tahu mereka adalah sepasang kekasih. Tapi tidak bisakah dia melihatku. Menyadari kehadiranku. Sekali saja. Aku tahu menyukai seseorang yang telah dimiliki adalah sebuah kesalahan, tapi hati ini tidak bisa berbohong. Aku benar-benar mencintainya.”

Sakit.

Seperti ada tangan tak kasat mata yang tengah meremas kuat dadaku, meremasnya hingga menciptakan lubang di dasana, dan menghasilkan rasa sakit yang sangat. Siapapun pasti akan merasakan sakit, ketika orang yang dicintai mengaku jika dia mencintai orang lain. Bahkan melakukan apapun hanya untuk menarik perhatian dari orang yang dia cintai.

“Aku juga menjadi seorang penguntit─ ah. Sial. Aku bahkan menjadi seorang seperti psyco yang mencari tahu mangsanya. Apa yang dia suka, apa yang dia benci, kebiasaannya, apa yang menjadi favoritnya, makanan, minuman, dan segala hal tentangnya. Tapi sepertinya itu adalah suatu kebodohan, kebodohan yang dilakukan seseorang yang terjerat oleh cinta.”

Cinta adalah sesuatu yang aneh.

“Dan saat ini aku kembali menyaksikan dirinya dengan kekasihnya. Bahkan walau ditempat banyak orang seperti ini mereka tetap bermesraan. Rasanya sakit sekali─”

Cukup.

Aku tidak suka dia seperti ini.

Kuraih kedua bahunya dan membawanya dalam pelukanku. Dia kaget. beberapa saat dia menghentikan tangisnya walau sedikit sesengukan.
“Menangislah sepuasmu dan sesudah itu lupakan semuanya. Mulailah dengan cerita yang baru, cobalah lupakan dia. Dia yang sudah membuatmu seperti ini. Banyak hal yang bisa kau lakukan dari pada terus terpuruk karena patah hati. Aku yakin kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia. Dia yang tidak sadar akan kehadiranmu, dia yang menganggapmu hanya hembusan angin sore. Lebih baik dilupakan.”

“Tapi aku tidak yakin─”

“Yakinlah. Kamu pasti bisa. Jika kamu yakin bisa, maka kamu pasti akan bisa, karena keyakinan akan membentuk sebuah tindakan.” Sama sepertiku, aku yakin bisa dekat denganmu dan akhirnya aku bisa.

“Lalu dengan siapa aku harus memulai? Apa kau tahu jika cinta yang tumbuh selama bertahun-tahun tidak bisa memudar? Apa kamu─”

“Aku.” Aku segera memotong ucapannya karena tidak ingin mendengar kelanjutannya. Aku tahu cinta yang dipupuk sekian tahun tidak akan mudah untuk hilangkan, apalagi dengan seorang perempuan yang memulai. Perempuan yang memiliki hati yang sensitif. “Aku yang akan membuatmu melupakan sosoknya, aku yang akan membantumu melukiskan kisah dilembaran barumu.” Lanjutku mantap. Mungkin ini bisa disebut dengan memanfaatkan situasinya. Atau mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku supaya bisa berdekatan dengannya.

“Kau─” Matanya membulat ketika mendongak melihatku. Kata-katanya terhenti. Mata kami saling menatap, mengunci dan menyelami masing-masing.

“Kenapa?”

“Karena aku menyukaimu.” Ucapku lembut sambil membelai pipinya. Sesuatu yang dahulu hanya ada dalam anganku, akhirnya bisa kuraih.

“Kenapa?” Sekali lagi dia bertanya. Pertanyaan sama yang baru saja dia ucapkan.

“Karena aku menyukaimu.”

“Bukan itu. Bukankah kamu sudah memiliki kekasih? Bukankah Dania adalah kekasihmu?” Aku sedikit menyerngit, bingung menatapnya. “Kenapa kamu mau membantuku, jika kamu sudah memiliki kekasih. Bukankah itu sama saja kamu mau mempermainkanku.”

“Dania? Kamu kenal dengan sepupuku itu? Dan kekasih? Apa kamu menganggap dia adalah kekasihku?” Ucapku sedikit terkekeh setelah menyadari maksudnya.

“Ja... Jadi di... Dia, maksudku Dania bukan kekasihmu?”

“Bukan. Jadi apa kamu bisa memulainya denganku?” Tanyaku berharap dia menerimanya. Ini adalah salah satu usahaku untuk selalu dekat dengannya dan juga agar dia melupakan orang yang sudah membuatnya sesedih itu.

“Apa kamu tahu siapa orang yang sudah membuatku seperti ini?” Dia bertanya, memandangku dengan tatapan.... emosi, legah..... dan senang? Mungkin aku salah mengartikannya.

Aku tidak ingin tahu siapa dia. Aku mungkin tidak akan menahan diriku untuk memberinya hadiah. Hadiah yang setimpal dengan apa yang dia lakukan pada Clarika.

“Kamu.”

“Aku?”

“Yah, kamu. Kamu yang membuatku seperti orang idiot. Kamu yang membuatku seperti seorang psyco, dan kamu yang membuatku merasakan cinta yang tidak tersampaikan. Apa kamu tahu, lukisan yang aku pajang di galeri pameran oleh anak kesenian? Lukisan padang rumput dengan sebuah pohon rindang yang dibawahnya terdapat sebuah bangku yang diduduki oleh seorang perempuan yang tengah memandang seorang laki-laki yang tengah berbaring di tengah padang rumput itu?” aku mengangguk. Lukisan yang membuatku membayangkan jika yang duduk dibangku itu adalah aku dan yang tengah berbaring itu adalah Clarika. Lukisan yang menceritakan tentang seseorang yang mencintai dalam diam.

“Itu adalah lukisan yang menceritakan tentang diriku dan seseorang yang kusukai. Cinta diam-diam.”

Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya, “Siapa?”

“Kamu. Orang yang kuceritakan tadi juga adalah kamu. Kamu yang membuatku seperti ini, kamu─”

“Kenapa kamu tidak bilang? Apa kamu tahu mencintai diam-diam itu tidak enak, apalagi ketika dia tak sedikitpun mengenalimu. Seperti berusaha menadah air dengan saringan. Tak akan ada yang bisa tertampung. Apa kamu tahu bagaimana rasanya cemburu pada orang yang kamu sukai padahal kamu tahu dia tak sedikitpun mengenalmu? Itu seperti memberi gula pada air laut. Sebanyak apapun yang kamu beri air laut itu tidak akan berubah manis.” Ucapku sedikit kesal namun sangat bahagia. Aku kembali memeluknya. Kali ini bukan untuk menenangkannya namun untuk diriku sendiri. Aku tidak mengira bahwa apa yang menjadi keyakinanku selama ini akan terwujud. Kecemburuan yang selama ini kurasakan adalah untuk diriku sendiri yang mana orang ku sukai ternyata menyukaiku. Orang yang selama ini kucemburui.

“Apa menurutmu kita ini bodoh?” Tanyanya setelah kami diam dan menyelesaikan kebodohan kami.

“Mungkin.”

“Seandainya aku memiliki keberanian untuk mendekatimu, mungkin kita tidak akan seperti ini. salah paham dan mencemburui sesuatu yang jelas, hahaha...”

“Yah seharusnya aku juga berani.”

Dan inilah akhir dari penantianku. Mendapatkan seseorang yang sudah lama kusukai, ah.. maksudku ku cintai. ternyata cinta itu memang membutuhkan suatu keberanian. Berani bertindak.

Tak selamanya cinta diam-diam berakhir dengan patah hati. Keyakinan, usaha, dan mimpi adalah hal yang mendorong orang untuk meraih sesuatu. Keyakinan membuat kita untuk berusaha dan mimpi mendorong kita untuk mewujudkannya. Dan lihatlah ketika kita mengalahkan bayangan kegagalan yang menghampiri, tak ada yang tidak bisa kita raih.

Inilah kisahku.

END.

*semoga kalian menyukainya....
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com