Fly with your imajination

Thursday, January 24, 2019

PINK LETTER - SURAT PINK

CH LENGKAP SELANJUTNYA



TITTLE : PINK LETTER
BY
MICKEY139
SHORT STORY

PLEASE ENJOY

**************
.
.
.
BAGIAN 1 : SURAT PINK

"Dit, minta tolong, dong."

Aku mendengus, "Malas." sahutku sambil  memainkan game online di ponsel.

Tak menyerah, Rian duduk di sampingku lalu menggangguku dengan menggoyangkan pundakku. "Dit, tolongin."

Iuh, kalau tidak fokus ke game, aku mungkin sudah muntah mendengar suara manja manusia laknat itu. Apa ia tidak sadar bagaimana rupa dan kelakuannya itu bisa bikin orang lain jijik. 

"Diiiiit ...."

Bodo. Hero-ku lebih penting daripada meladeni manusia tidak tahu diri kayak Rian. HP musuh sudah merah, tinggal satu serangan lagi aku bisa dapat kill.

"Radiiiiiiit ...."

Bugh.

"Anj—"

Aku mengelus kepalaku yang baru saja terkena pukulan bantal dari Rian. Tapi, aku tidak peduli atas sikapnya itu. Tidak memaki, memukul atau menendangnya kembali. Aku lebih memilih mengamankan ponselku secepatnya.

Namun, 

You has been slam

Aku kalah. 

Aaaaarrhhh ... BANGSAT.

Kupandangi Rian dengan mata tajam yang menghunus, "Anjiiiiir. Bangsat banget ya lo. Lo kira berapa lama gue maen ini, ha!" makiku sambil menuding wajahnya. Rasanya urat-urat di dahi dan leherku muncul karena rasa geram luar biasa. Apalagi setelah mendengar kata defeat dari ponselku beberapa detik setelahnya.

Rian angkat bahu tak mau ambil pusing lalu tanpa minta maaf ia kembali menyodorkan sebuah amplop pink padaku.

"Lo kasi ini ke Vii, oke?" pintanya seolah tak melihat kekesalan yang sudah meletus di wajahku.

Dan meskipun aku menepis surat yang ada di tangannya, Rian tetap mengambil surat itu lalu dengan santai kembali menyodorkan padaku.

Aku semakin mendelik tak terima lalu memberinya tatapan mengintimidasi yang biasanya sangat efektif pada orang lain. Sayangnya, tatapanku itu tak berpengaruh sedikit pun untuknya. Ia malah memberiku seringai menjengkelkan yang mengundangku untuk memasukkan air comberan ke mulutnya. Benar-benar kurang ajar.

"Eh ... bangsat, sejak kapan gue setuju, ha?" sergahku lalu melemparnya dengan komik yang kudapat di atas meja. Lagipula, kenapa mesti pake surat segala? Warna pink pula. Kayak dia hidup di era tujuh puluhan saja. Lalu gunanya hape empat juta yang ia beli itu, apa? Bisa, kan ia mengirim pesan ke cewek itu sendiri tanpa harus merepotkan orang lain. Zaman sudah modern tapi pikirannya malah ketinggalan zaman.

"Gue gak butuh persetujuan lo." sahutnya masa bodoh lalu memasukkan surat pink itu ke dalam ranselku yang ada di atas kursi di sampingnya.

"Bodo." sergahku dongkol. Masih teringat kecolongan satu angka gara-gara ulahnya tadi. Apalagi, setelah itu timku malah ikut kalah.

"Lo taro di situ juga, emang lo pikir gue bakalan sampein ke cewek itu?" ucapku seraya memberinya senyum miring. "Bego."

"Oooh, gitu? Yah gak masalah sih." Setelah mengatakan itu, ia mengambil ponsel empat jutanya dari atas meja, mengotak-atiknya sebentar sebelum menunjukkan sesuatu padaku.

Gambar memalukan sewaktu umur lima tahun. Di mana ibuku memaksaku  memakai pakaian cewek di pesta ulang tahun sepupuku lalu ditambah dengan ciuman dari cewek cilik lain.

Ia kembali menggeser slide ponselnya, di sana terpampang jelas wajahku ketika aku tertidur di kelas dengan iler yang sudah membentuk pulau di atas meja.

Astaga, kapan Rian mengambilnya?

Kembali ia menggesernya, dan kali ini lebih memalukan dari sebelumnya. Di gambar itu, terlihat wajahku yang sedang ketakutan di atas pohon karena digonggongi anjing di bawahku. Sebenarnya itu tidak terlalu memalukan, hanya saja, ketika fokus gambar di alihkan ke arah lain, maka kalian akan melihat sesuatu yang lebih memalukan. Itu adalah sobekan celanaku yang menampilkan gambar Keroro, katak dalam anime Jepang. Dan parahnya, gambar itu justru diambil lebih jelas. Fokusnya sengaja diarahkan ke sobekannya.

Arrrrrgghhhh ....

Brengsek memang ini manusia.

"Dari mana lo ...."

Cengiran Rian makin lebar ketika melihat raut panik yang tidak sempat kusembunyikan.

"Hahaha ... gue gitu loh. Lo mau sampein apa kagak? Yah terserah sih. Tapi, gue juga gak bisa mastiin kalo gambar ini besok gak bakal ada dimading sekolah lo." ucapnya mengancam.

Dengan langkah seribu plus gerakan yang amat sangat cepat, aku segera menyergapnya dan menangkap tangannya. Tapi sayang, gerakannya lebih cepat dariku. Dia seperti belut yang susah sekali ditangkap tanpa jala.

Aku menghela nafas. Lebih lima menit aku berusaha, tapi tak ada hasil. Rian benar-benar mahir menghindar dan membuatku lelah.

"Nyerah?" tanyanya meremehkan.

"Bangsat lo ..." rutukku memakinya.

"So?"

Tuhan, waktu awal mula aku bertemu dengannya, sebenarnya bagaimana kondisiku? Apa aku kena ilmu pelet? Kenapa bisa-bisanya aku mau berteman dengan manusia seperti itu?

"Oke!" sahutku lantang penuh dongkol. Buku-buku jariku terasa sakit karena melampiaskan kemarahan lewat kepalan tangan yang kelewat kuat. "Tapi, lo harus ganti amplopnya. Malu-maluin tau."

"Gak. Amplopnya gak boleh diganti. Kata Tio, amplop warna pink itu manjur buat kita deketin cewek. Itu bukti kesungguhannya cowok karena rela merendahkan harga dirinya demi dapatkan cewek yang dia suka."

"Lo bego? Mau-maunya dibegoin sama Tio."

"Gak usah ngeles deh lo."

Cih.

"Terus lo pikir itu cewek bakal klepek-klepek sama lo? Lo ga mikir, dengan gue kasi dia surat ini, itu cewek bisa saja malah kepincut sama karisma gue."

"Gak bakal. Itu cewek kenal gue juga kok. Kita kenalan lewat Tinker, terus dia nantangin gue sesuatu yang jauh dari image cowok, kalau dia mau jadi pacar gue."

"Iya lo yang dapat enaknya, bangke!" Aku berteriak lantang. Jengkel sekali dengan manusia satu itu. "Tapi, ini bisa menjatuhkan image gue."

"Siapa yang bilang?"

"Gak dibilangin juga, ini surat sudah malu-maluin."

"Alah, gak bakalan. Percaya sama gue. Lo itu sudah dikenal sebagai cowok lembut, tapi bukan kayak Si Doni yang malam-malam berubah jadi sekong yang tongkrongannya di perempatan lampu merah dan manggil-manggil om-om genit." jelas Rian sembari mengangkat kedua tangannya dan membentuk tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah yang dia bengkokkan. "Lo lembut dalam artian lo respek sama cewek dan gak kasar kalo ngomong. Lo juga gak pernah goda-godain mereka. Gak kayak gue dan Leo."

"Ck, jadi maksud lo gue banci?" sergahku dengan dongkol, siap meleparnya dengan komik lain.

"Menurut lo aja deh. Yang jelas lo gak bakalan dicibir cewek-cewek atau sesama batangan. Mereka malah bakal muji lo. Percaya gue. Dan foto ini juga bakal aman dan damai dalam folder di hape tanpa ditahu orang."

Lempar orang dari lantai dua, dosa tidak yah? Aku mau mencobanya pada Rian. Barangkali kepalanya bisa terbentur dan membuatnya lupa dengan ini.

"Kalo gitu gue balik yah ...."

"Rian SETAAAAAAANN ...."

"Iya, gue tau lo sayang gue kok."

Uweeek
...

Salah satu dampak buruk memiliki teman tipe pemaksa adalah menyiksa diri, selain itu kita akan rentan terkena penyakit hati.

Dan beginilah nasibku, seperti tengah mencari anak gadisnya yang sudah hilang beberapa tahun silam sampai wujudnya pun tidak diketahui. Bahkan Rian tak mau repot-repot memberitahuku, cewek yang ia maksud itu kelas berapa atau ciri khusus yang hanya cewek itu miliki. Untung saja, aku memiliki otak encer jadi masalah seperti tidak membuatku terlalu kesusahan-- meski sangat merepotkan.

Viana Lestari Kusuma dari kelas XII IPA 1. Cewek popular dengan kepintaran yang seimbang dengan wajahnya yang cantik. Sayangnya, itu kata teman-teman kelasku dan bukan menurut pandanganku sendiri. Jadi, aku belum bisa mengatakan kalau ia cantik. Dan mengenai kemampuan IQ-nya, yah kuakui cewek itu lumayan karena berhasil masuk di kelas unggulan.

Kuamati kelas yang bertuliskan XII IPA 1 di hadapanku dengan ragu-ragu. Rasa gugup perlahan mengambil alih tubuhku hingga jantung berdegup lebih cepat dari normal. Kakiku seperti tak memiliki tenaga untuk bergerak ke dalam.

Bukan. Bukan karena aku takut mendapat menolakan dari cewek itu. Hell, yang benar saja, aku ke sini bukan berniat mau menembaknya atau menjadikan cewek itu pacarku. Hanya saja rasa malu yang akan kudapatkan ketika menyerahkan surat Rian padanya. Banyak pasang mata yang akan menatap kami, belum lagi gosip dengan bumbu masako yang akan beredar nanti.

Lalu satu cewek melintas, kemungkinan besar tujuannya akan memasuki kelas XII IPA 1 karena pandangannya yang mengarah ke sana. Cepat-cepat kuhampiri dia sebelum memasuki kelas.

Aku menepuk pundaknya karena tak tahu harus memanggilnya apa. Ia berbalik, raut terkejut bisa kulihat.

"Hai," sapaku.

"Oh, eh, ha ... hai," balasnya dengan canggung.

Sepertinya dia tipe cewek pemalu.

"Hai, kamu anak XII IPA 1, kan?" tanyaku sembari memberinya senyum.

Katanya senyum bisa mengurangi kecanggungan. Semoga saja berlaku untuk cewek di depanku.

"I, iya."

Yes. Semoga ia bisa membantuku untuk memberikan surat ini pada Vii.

"Ah, bisa tolong kasi ini ke Vii?" tanyaku lalu memberikan surat Rian padanya.

Tak menunggu waktu lama hingga ia menerima surat itu. Aku pun kembali tersenyum dan berucap "Terima kasih." sebelum pergi dan kembali ke kelas.

Masa bodoh pada surat Rian atau pun pada Rian sendiri, yang penting surat itu sudah berada pada teman kelas Vii, cewek yang Rian maksud.

Betewe, itu cewek kayaknya pernah kuliah deh. Tapi, dimana  kira-kira?

Aku menggeleng, kenapa malah memikirkan hal lain. Yang penting aku sudah menyampaikan surat itu, dan sisanya terserah ke Vii.

Tbc
22.07.2017

A/N : ini tugasku dulu ketika masih dalam grup kepenulisan. Ingin mengenang kembali 😍



 

Mickey139


CH LENGKAP SELANJUTNYA
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com