SEBELUMNYA | CH LENGKAP | SELANJUTNYA |
Pulang sekolah, setelah memberikan surat pink ke cewek-- lupa namanya siapa-- aku langsung ke rumah. Tapi, itu sih niat awalnya karena ketika melewati kompleks perumahan sepi yang tidak jauh dari sekolah, aku mendengar suara teriakan cewek ketakutan karena mungkin dikasari.
Awalnya, aku tidak mau menghampiri karena itu bukan urusanku. Yah, paling-paling mereka itu sepasang kekasih yang lagi bertengkar. Wajar kan pertengkaran disetiap hubungan. Kata kebanyakan anak-anak muda, kalau masalah itu bisa diselesaikan hubungan mereka akan semakin erat. Lagipula, aku juga malas mengurusi sesuatu yang merepotkan.
Yah, itu awalnya. Sayangnya, pemikiranku langsung berubah ketika terdengar suara lengkingan disertai debuman keras. Otakku langsung berkelana. Banyak adegan yang terlintas di kepala. Dan semua adegan itu berakhir buruk. Aku sebagai manusia apalagi cowok, tentu saja tidak bisa lagi diam dan membiarkan hal itu.
Aku punya mama. Aku punya kakak perempuan, sepupu perempuan, nenek, dan memikirkan mereka berada di posisi itu membuat kepalaku memanas. Tiba-tiba saja ada luapan emosi yang bergerak memenuhi dada.
Ponsel yang bergetar di saku celana, membuatku sadar. Harusnya aku juga menghubungi teman-teman. Karena tidak menuntut kemungkinan kalau di sana bukan hanya ada seorang bangsat saja yang melakukan kekerasan itu. Tidak memperhatikan nama kontak, aku buru-buru mengangkatnya.
"Lo sudah kasi--"
"Jalan pintas di komplek cempaka blok A, dekat sekolah. Sekarang! Panggil juga yang lain." Lalu aku mematikan ponsel tanpa memedulikan reaksi di seberang sana. Perasaanku benar-benar tak nyaman. Bahkan melebihi ketika ketahuan guru BP manjat dinding untuk bolos sekolah atau ketahuan mama nonton film bok*p di kamar.
Namun, saat tiba di sana, jantungku seperti jungkir balik. Dadaku panas bahkan kepalaku pun rasanya mau meledak. Pemandangan di hadapanku itu benar-benar membuat aku tak bisa berkata apa-apa. Persis seperti saat celana dalam tetangga jatuh di atas kepalaku dan tidak bisa berdalih. Ya, mana ada yang percaya kalau kubilang anjingnya sendiri yang membuang celana dalam itu dari atas pagar dan kebetulan jatuh di atas kepalaku saat aku sedang bersembunyi di sana.
"Cut! Cut! Cut!"
Aku berkedip beberapa kali sembari mengumpulkan jiwa yang masih tercecer. Melihat satu per satu orang-orang di sana, cewek yang tadi kudengar suaranya juga laki-laki yang memegang balok kayu, dan beberapa orang yang sedang kerja di belakang kamera.
Sial.
"Woi! Iya, kita tau lo ganteng, tapi kita lagi gak butuh figuran sekarang. Jadi, jangan ganggu, oke."
Arrrrgh, sumur mana?
"Idih, ngapain lo masih bengong di sana? Kalau mau nonton, ke sono, bukan di situ."
Dan aku tersadar. "Ah, sori ..." Lalu menyingkir.
Buset, niat awal mau nolongin jadinya malu-maluin. Bego, bego.
Belum reda rasa maluku, dari balik tembok aku mendengar suara jejak kaki terburu-buru dan aku tahu siapa orang-orang yang tengah berlari itu.
"Oi ... buru napa! Lelet amat sih."
Lalu aku berlari. Mencegah mereka agar tak sampai di tempat shoting anak-anak komunitas itu dan membuatku semakin malu.
"Mana bangsat-bangsat itu?"
Ada sumur gak sih di sini? Belum juga aku menenangkan diri dari rasa malu. Joan langsung menubrukku dengan pertanyaan menjengkelkan.
"Gak ada." kataku datar berusaha untuk tetap mempertahankan image.
"Apanya yang gak ada? Suara lo tadi panik begitu."
Kalau tidak ingat aku ini cowok, mungkin aku akan memukuli kepala Rian lalu berlari sambil menangis. Aish, tolol banget sih. Kenapa juga tadi aku sok-sokan mau jadi pahlawan kesiangan? Harusnya aku memeriksanya dulu sebelum panik. Sekarang begini kan jadinya. Aku sendiri yang rugi. Lalu bagaimana menjelaskan pada mereka tentang ini? Aku juga tidak mungkin mengatakan kebenarannya. Mereka bakal mengejekku sampai tamat sekolah bahkan mungkin sampai rambut mereka ubanan.
"Ha? Emang iya? Perasaan biasa-biasa aja deh?" Aku pura-pura polos. Berjalan menjauh seolah-seolah kejadian memalukan barusan tidak pernah terjadi.
"Biasa-biasa gimana? Suara lo tadi kayak lagi diburu rombongan anak sekolah sebelah. Kalau biasa-biasa aja tuh gak mungkin kita yang masih renang sampe lari kayak begini."
Aku berpura-pura tertawa. Tawa ngakak. "Kenna kan. Gue cuma ngeprank. Kok."
"Alah lo kira kita--"
"Ampun! Tolong, tolong berhenti ... jangan pukul lagi, tolong!"
"--Eh, itu suara cewek, bukan?"
Mampus.
"Gue gak dengar apa-apa." kataku berusaha tidak terlihat panik. "Mana ada cewek yang mau datang di kompleks kosong kayak gini. Perasaan lo aja kali."
"Ampun!"
"Lah itu suaranya ada lagi. Kalian dengar, kan?"
"Iya."
"To, tolong!"
"Anjir, itu bukan perasaan gue doang. Itu emang cewek."
"Gila! Dia dipukuli?"
"Wah cowok bangsat! Gak bisa dibiarkan ini."
Lalu tak butuh beberapa detik, mereka langsung melesat ke arah suara itu. Dan tentu saja aku langsung menghentikan mereka.
Namun, sayangnya jiwa keperkasaan mereka lebih cepat bertindak dibanding gerakan tangan dan mulutku. Mereka melesat, melewati tembok, dan ... tentu saja mereka juga tiba-tiba diam membatu ketika tiba di sana.
Ah, aku yakin, setelah ini hari-hari damaiku akan berakhir.
Tidak mau mempermalukan diri lebih lama, aku langsung kabur dari sana. Masa bodohlah sama mereka. Toh, aku yakin diam dan menunggu mereka di sini atau pulang ke rumah sama saja. Sama-sama akan diejek karena ketololanku ini.
SEBELUMNYA | CH LENGKAP | SELANJUTNYA |
Tes
ReplyDelete