Fly with your imajination

Monday, April 28, 2025

ANAK TOKO - Sultan Abal-Abal

 


Sangat disarankan memberi kritik dan saran.

Main : Tini, Mila, Mulyadi, Agus, Ridho
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139




SUMMARY :

Kisah para kacung alias anak toko yang ditempatkan di minimarket desa. Desa itu agak sepi, apalagi saat malam. Rata-rata aktivitas di lakukan saat pagi hingga jam delapan malam. Di sana tidak ada hiburan. Jadi, hiburan satu-satu nya anak toko adalah ketika pembeli datang ke toko.

~happy reading~




Siang itu Mulyadi sedang menjaga kasir sambil sesekali mengunyah keripik. Hari itu, toko sepi sampai hanya ada suara jangkrik yang terdengar.

Sampai beberapa menit kemudian seseorang memarkirkan mobilnya di parkiran. Seorang laki-laki paruh baya dengan kacamata hitam, baju bercorak bunga, dan gelang emas berkilauan. Aura “sultan-nya” terpancar jelas.

"Selamat datang di April Mart."

Laki-laki itu hanya mengangguk membalas sapaan Mulyadi dan mulai berjalan keliling toko sambil sesekali memasukkan barang ke keranjang.

Mulyadi, yang masih mengunyah keripik, setengah bingung juga setengah kagum. Pasalnya, laki-laki itu sudah memenuhi sampai empat keranjang belanja. Tumben sekali ada pelanggan yang belanja sampai sebanyak itu.

"Belanja bulanan, Pak?" tanyanya, sambil setengah bercanda.

Pria itu hanya tersenyum kecil, lalu lanjut belanja. Ia bahkan menunjuk susu bayi seharga Rp 400.000, "Itu, tiga kaleng."

"Oke, Pak. Ada tambahan lain, Pak."

Laki-laki itu mengambil snack pajangan di depan kasir. "Ini satu dos, yah."

Mulyadi berubah semangat. Dalam hati dia membayangkan mendapat komisi bulan ini.

Sampai akhirnya semua barang belanja sudah terscan semua. "Totalnya jadi, Rp 5.758.000, Pak."

Pria itu mengangguk bijak, merogoh kantong belakangnya... dan mengeluarkan dompet kulit tebal.

Mulyadi bersiap mengambil kartu yang disodorkan. Namun, bukannya ATM yang Mulyadi dapat melainkan ... kartu nama.

"Loh?"

"Maaf ya, Mas, saya ke sini cuma survei dulu. Ini kartu nama saya, nanti kalau bos saya setuju, saya balik lagi."

Mulyadi terpaku. Keripik yang tadi dikunyah nyaris tersedak.

Saat pria itu melenggang keluar dengan anggun, Mulyadi hanya bisa menatap kosong sambil membaca tulisan di kartu nama:
"Asep, Freelance Survei Harga."

"Bangsat!" Maki Mulyadi. Dirinya hanya bisa menatap kosong barang belanja di hadapannya sambil memikirkan alasan yang bisa atasannya terima untuk pembatalan semua barang belanja itu.

Mickey139


Share:

Under the Rain

Main : Rin, Nara
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC, typo.




🚌🚌🚌

Hujan turun deras sore itu, menghapus jejak-jejak langkah di trotoar sekolah. Rin duduk sendirian di halte kecil, tasnya dipeluk erat di dada. Ia menunggu reda, padahal di dalam hatinya ada sesuatu yang jauh lebih ribut daripada suara hujan: perasaannya pada Nara.

Nara, teman sekelasnya yang selalu duduk satu bangku di belakang. Orang yang selalu punya senyum paling santai, tapi kata-katanya sering membekas lama di kepala Rin. Sudah lama ia ingin mengaku, tapi setiap kali Nara menatap dengan mata cokelat teduh itu, Rin memilih diam.

Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat. Rin mendongak — Nara berdiri di depannya, payung biru tua di tangan.

“Kamu belum pulang?” tanya Nara, setengah berteriak badai melawan hujan.

Rin menggeleng, lalu cepat-cepat menunduk. “Nunggu reda aja…”

Nara tersenyum kecil. “Aku bawa payung. Mau bareng?”

Rin hanya bisa mengangguk, jantungnya berdegup tak karuan. Mereka berjalan berdua, berbagi payung yang terlalu kecil untuk menampung dua orang sepenuhnya. Bahu Rin sesekali menyentuh Nara, dan setiap sentuhan membuat wajahnya semakin panas.

Sementara itu, Nara mencuri pandang ke arah Rin. Di dalam hatinya, ia memarahi dirinya sendiri — sudah berapa lama ia menahan perasaannya? Sudah berapa banyak momen seperti ini yang hanya berakhir dalam diam?
“Aku…” Nara membuka mulut, tapi kata-katanya menggantung.

Rin menoleh, menunggu, deg-degan.

“Aku suka hujan,” kata Nara akhirnya, menarik napas lega meski itu bukan kata-kata yang sebenarnya ingin ia keluarkan.

Rin tertawa pelan, lega sekaligus kecewa. Ia menunduk lagi, mengencangkan pegangan pada tali tasnya. “Aku juga,” balasnya pelan.

Mereka terus berjalan, suara hujan menjadi latar musik yang menyembunyikan kegugupan mereka. Dalam hati, keduanya sama-sama menahan kata-kata yang ingin sekali terucap: Aku suka kamu.

Tiba di persimpangan jalan, tempat mereka biasa berpisah, Rin memberanikan diri.

“Nara…” panggilannya, setengah berbisik.

Nara berbalik, masih memegang payung di atas kepala mereka berdua. “Ya?”

Hujan menetes dari ujung rambut Rin. Ia mengangkat wajah, dan di tengah gemuruh hujan dan detak jantungnya yang mengalahkan segalanya, ia berkata, “Makasih… udah selalu ada.”

Nara tersenyum, senyum kecil yang penuh makna. Ia mengangguk pelan.

“Sama-sama, Rin.Selalu,” jawabnya.

Meskipun tak ada kata cinta yang diucapkan hari itu, hujan tahu — dua hati yang menyembunyikannya sudah saling mengerti.

🚌🚌🚌

Sejak hari itu, Rin dan Nara merasakan lebih canggung. Di kelas, mereka masih ngobrol seperti biasa, bercanda ringan, saling ejek tentang hal-hal kecil. Tapi di balik semua itu, ada ketegangan manis yang menggelayut di udara — sesuatu yang belum terucapkan, namun semakin sulit diabaikan.

Hujan datang lagi seminggu kemudian, sama derasnya, sama tiba-tibanya. Rin sedang merapikan buku di loker saat suara langkah cepat Nara mendekat.

“Hei,” sapannya, sedikit terengah-engah.

Rin menoleh dan tersenyum. “Hei.”

Nara mengangkat payung biru tua yang sama. “Mau bareng lagi?”

Tanpa ragu kali ini, Rin mengangguk.

Mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, berdua di bawah payung kecil itu. Sepanjang jalan, tidak banyak kata yang keluar. Yang ada hanya suara rintik hujan dan detak jantung yang serasa terlalu keras untuk diabaikan.

Di sebuah taman kecil dekat rumah Rin, Nara tiba-tiba berhenti. Rin ikut berhenti, bingung.

“Ada apa?” tanyanya, pelukan kepala.

Nara memegang gagang payung lebih erat, lalu menghela napas panjang.

“Aku capek,” katanya tiba-tiba.

Rin menatapnya. “Capek kenapa?”

Nara menunduk, membiarkan hujan membasahi ujung sepatunya.

“Capek pura-pura biasa aja.Capek sembunyi,” katanya lagi, suaranya berat, bergetar pelan. Ia mengangkat dan menatap Rin dalam-dalam. “Aku suka kamu, Rin.”

Dada Rin seolah meledak. Hujan di sekelilingnya, hanya suara itu yang menggema di kepalanya.

Ia menggigit bibir bawah, menahan senyuman yang mengancam pecah. Tangannya gemetar saat dia menjawab, “Aku juga suka kamu, Nara.”

Nara tertawa kecil, lega bercampur bahagia. Ia menurunkan payung, membiarkan hujan membasahi mereka sepenuhnya. Rin memejamkan mata, merasakan dinginnya hujan dan hangatnya perasaan itu memenuhi dirinya.

Dalam hujan yang turun tanpa henti, dua remaja itu berdiri — basah kuyup, tapi hati mereka kering karena semua ketakutan.

Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.

🚌🚌🚌
source image by pinterest
Share:

Dia Siapa?

 


👻👻👻

Hotel Teent yang sudah sangat terkenal di Kota X saat ini sedang merayakan ulang tahun yang ke-30. Seluruh area hotel sudah dihias dengan dekorasi mewah, balon berwarna gold dan putih, serta meja makan yang dipenuhi makanan lezat.

Namun, karena baru saja di promosikan menjadi supervisor, Alya tak langsung ikut perayaan itu. Ada beberapa pekerjaan yang harus dia harus selesaikan di ruangan adminisstratif agar bisa ikut dalam acara itu tanpa dibawayangi pekerjaan.

Suasana kantor cukup sepi, rata-rata orang administrasi pergi menikmati acara itu dan di dalam ruangan yang tertata beberapa meja kantor hanya ada dirinya yang lembur. Kebanyakan lampu di ruangan itu pun sudah dimatikan dan menyikan satu lampu yang hanya menyinari tempatnya.

Sesekali Alya mendengar suara dari lantai atas. Suara tawa, musik, dan suara langkah kaki yang memenuhi ballroom tempat acara berlangsung sedikit membuat kakinya ingin ke sana juga. Sayangnya, Alya hanya berharap agar acara itu belum selesai ketika pekerjaannya selesai dia kerjakan. Namun, semakin malam, suara itu mulai memudar, berganti dengan keheningan yang sangat mencekam. Dan, pekerjaannya belum
selesai.

Tak lama setelah itu, Alya mendengar suara langkah kaki yang datang dari lorong kantor yang gelap. Pikirnya, mungkin itu rekan kerja yang sedang menuju ruangannya, namun saat dia menoleh ke arah pintu, tidak ada siapa-siapa. Langkah kaki itu semakin dekat, dan Alya merasa ada yang mengawasi dari balik pintu.

Kemudian, terdengar suara wanita berbisik pelan di belakangnya, "Alya…". Alya terlonjak dan berbalik, namun hanya ada kegelapan di sana. Tidak ada orang.

"Siapa?" Bisiknya.

Cemas, Alya mencoba menenangkan dirinya sendiri dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Tetapi, rasa takut mulai merayap. Ketika hendak pergi ke ruang arsip, Alya merasa suhu ruangan tiba-tiba berubah dingin. Saat membuka pintu ruang arsip, Alya terkejut melihat bayangan hitam melintas cepat di dalam ruangan. Alya menutup pintu dengan panik dan lari ke ruang kerjanya.

Tiba-tiba, lampu kantor berkedip-kedip dan komputer di mejanya mati. Alya mencoba menyalakan komputer, tetapi monitor hanya menampilkan gambar gelap dan kosong. Ketika dia melihat ke atas, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya dipompa kencang: sebuah foto lama tergantung di dinding, foto hitam-putih para pendiri hotel, tetapi ada satu wajah yang terlihat kabur dan mengerikan—seorang wanita yang tampak sedang tersenyum dengan bibir yang terlalu lebar. Matanya pun terlalu besar daripada mata orang normal.

Dengan jantung yang berdebar, Alya, yang sudah hampir gila karena ketakutan, akhirnya memutuskan untuk keluar dari kantor dan menuju lantai utama untuk mencari teman-temannya. Saat dia melangkah ke lorong yang gelap, dia melihat wanita itu lagi—wanita berpakaian serba putih yang tadi dia lihat di ujung lorong. Alya bisa merasakan jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya.

Wanita itu berdiri di sana, di tengah lorong yang sepi, membelakangi Alya. Suasana begitu sunyi, hanya suara detakan jantung Alya yang terdengar jelas di telinganya. Dia menggigit bibir, mencoba untuk tidak berteriak. Perlahan, dia melangkah maju, dan begitu hampir dengan wanita itu, dia terpaksa memanggilnya dengan suara yang parau, "Pe ... Per ... Permisi, Mbak...."

Wanita itu perlahan-lahan berbalik. Alya siap untuk melihat wajah yang mengerikan—mungkin wajah penuh luka dan berdarah atau mata kosong yang menakutkan. Tapi yang dia lihat justru sesuatu yang jauh lebih aneh….

Wanita itu… tersenyum lebar. Hingga membuat sesuatu yang seperti kulit kering mengelupas dan jatuh.

"Aaaaa...." Alya tentu saja berteriak. Jantungnya benar-benar ingin lepas rasanya.

Lalu suara cekikikan terdengar dan membuat Alya semakin ketakutan hingga kakinya terasa lemas. Dia terjatuh di lantai. Rasanya air matanya sudah akan mengalir kalau katabselanjutnya tidak keluar dari mulit setan itu.

"Sumpah, kamu lucu sekali, Alya. Ya, ampun harusnya aku abadikan momen ini."

"Tika?"

Tika hanya cengengesan di tempat. Masker wajahnya makin berjatuhan ke lantai.

"Tika!!! Dasar kurang ajar. Hampir saja aku kenna serangan jantung, gila!"

"Hehehe, maaf yah." Tika menyahut sambil mengulurkan tangannya. "Ini prank."

"Kenapa kamu nyamar jadi hantu?!"

Ini kan ulang tahun kantor, ada yang bikin acara horror-horror gitu, aku pikir buat seru-seruan aja."

Alya hanya bisa menatap Tika dengan tatapan jengkel, dan hampir marah. "Prank? Prank apa yang bikin orang sampai nyaris pingsan? Aku kira kamu beneran hantunya! Sial, aku kira aku bakal mati di sini."

Tika malah makin tertawa. "Hahaha, maaf, maaf. Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu beneran percaya! Aku cuma mau kasih kejutan. Tadi aku denger kamu lagi ngerjain laporan, jadi aku pikir, 'Kenapa nggak sekalian kasih kejutan horor?' Eh, ternyata malah takut setengah mati."

Alya mendelik, sambil sedikit tertawa kesal. Legah juga. "Ck, jangan main-main gitu dong! Aku kira beneran ada yang ngikutin aku dari tadi."

Tika yang masih ngakak mencoba menenangkan Alya. "Iya, iya. Gak ada kok yang ngikutin kamu. Lagian kan kita lagi merayakan ulang tahun kantor, harus seru dong! Sekarang kita ke atas yuk, liat acara ulang tahunnya yang mulai beres. Gimana, siap nggak jadi hantu juga?"

Dengan malas, Alya menghela napas dan akhirnya ikut tertawa. "Ya sudah, deh. Tapi abis ini, aku cabut duluan ya! Aku nggak mau lagi kalau ada ‘hantu’ lagi yang ngerjain aku. Aku udah trauma!"

Akhirnya, mereka berdua kembali ke ruang perayaan yang sudah mulai sepi. Tamu-tamu sudah mulai pulang, dan para staf sibuk membereskan dekorasi ulang tahun. Alya menghela napas lega, meskipun dia tahu, kejadian tadi akan menjadi cerita seru yang bakal dia bagi di grup karyawan.

Tapi saat dia melangkah ke ruang perayaan, tiba-tiba ada satu sosok yang berdiri di tengah ruangan—seorang pria berjaket hitam dengan topi, wajahnya tertutup oleh bayangan. Alya, yang sudah mulai sedikit paranoid, langsung menatap Tika dan berbisik, "Tika, apa itu lagi…?"

Tika menatap pria itu dengan tatapan bingung, lalu tersenyum. "Tenang, Alya, itu cuma Pak Tutu, cleaning service-nya. Dia memang suka main-main di akhir acara, kadang berpura-pura jadi hantu juga. Jangan kaget, ya!"

Alya menatap pria itu, yang kemudian membuka topinya dan tersenyum lebar. "Hai, Alya! Kaget, ya? Ha-ha, aku cuma lagi testing kostum buat Halloween nanti."

Alya, yang mulai kehilangan sabar, cuma bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Oke, kalian semua mau bikin aku stres, ya? Besok aku nggak kerja deh, kalian udah terlalu banyak nge-prank!"

Tetapi, hanya berselang beberapa menit kejengkelan Alya berubah jadi rasa penasaran. "Ngomong-ngomong, siapa yang manggil aku di kantor tadi? Menjengkelkan banget."

Kening Alya mengerut, bingung. "Aku nggak lihat siapa-siapa tadi. Pak Tutu lihat, nggak?"

Pak Tutu menggeleng. "Saya dari tadi tidak lihat siapa-siapa yang naik."

"Setahuku juga cuma kamu yang masih betah di kantor sih."

"Tamu?"

"Gak mungkin, Alya. Karena saya dari tadi jagain di pos masuk kantor karyawan."

Bulu kudu Alya seketika meremang. Apalagi, ketika potret wajah mengerikan yang dia lihat di kantor tadi terbayang di kepalanya dan dia seolah bisa mendengar suaranya yang berkata, "Itu saya yang manggil."

"Wah, gila!" Alya berseru dan tanpa peringatan apapun, Alya langsung kabur, diikuti oleh Pak Tutu dan Tika yang juga ikut berlari dengan wajah kebingungan namun juga ketakutan.

👻👻👻
Share:

Friday, April 25, 2025

Teman




Sore itu, Lila tampak senang bermain di bawah pohon besar dekat rumah.

Ibunya terheran melihatnya, lalu bertanya. “Apa yang utama, sayang?”

"Ini bu." sambil menunjuk boneka barbie yang sudah didandani.

"Ini buatan kak Rani," Lila menunjuk lipstik merah yang sudah tergambar. "dan ini juga." selanjutnya menunjuk kepangan rambut rapih yang masih sulit dikerjakan anak lima tahun.

"Rani?" Ibunya bertanya heran.

"Iya. Sama Kak Rani. Dia baik-baik saja, suka cerita."

Ibunya tersenyum kemudian mengangguk. “Lalu, kak Raninya di mana, Sayang?”

Lila kemudian menunjuk dengan penuh semangat tepat di depannya. "Itu. Masa mama tidak lihat?"

Dan tiba-tiba rasa dingin perlahan menjalar ke seluruh tubuh ibu. Tanpa berbicara apa-apa, ibunya langsung memeluknya dan menjauh dari sana.
Share:

Thursday, April 24, 2025

Senyum yang Mengingatkan


.
.
.
.

Langit sore mulai beranjak gelap. Di sebuah taman kota yang sederhana, pria paruh baya itu duduk diam di bangku tua, mengenakan kemeja lusuh dan topi anyaman yang warnanya sudah pudar. Pandangannya terpaku pada sekelompok anak-anak yang berlarian, tertawa riang, tanpa beban dunia.

Tawa mereka bergema di antara pepohonan dan menyelinap masuk ke dalam hatinya—mengaduk-aduk kenangan yang selama ini coba ia kubur dalam diam.

Ia menutup mata sejenak. Hembusan angin membawa bayangan masa kecilnya kembali. Dulu, ia juga pernah berlari seperti itu. Di desa kecil yang sunyi, bersama kakaknya yang dua tahun lebih tua. Mereka bermain petak umpet, menangis karena rebutan permen, lalu tertawa lagi seolah tak pernah bertengkar.

Tapi semuanya berubah saat usianya delapan tahun. Ayah mereka meninggal mendadak. Ibunya yang tak sanggup menanggung beban hidup menitipkan mereka di panti asuhan.

Ia masih ingat perpisahan itu—ibunya berlutut di hadapannya, memeluk mereka erat, dan berbisik, “Maafkan Ibu. Kalau sudah waktunya, Ibu akan jemput kalian.”

Namun, waktu berjalan tanpa kabar. Satu per satu anak di panti diadopsi, kecuali dia. Kecuali adiknya. Sampai akhirnya mereka terpisah juga.

Pria itu membuka mata. Seorang bocah perempuan tertawa lepas sambil berlari ke arahnya. Di belakangnya, seorang ibu muda ikut berlari kecil, menggenggam sebotol air dan topi kecil.

"Raya! Jangan lari terus, nanti jatuh," seru ibu muda itu sambil tertawa.

Bocah itu berhenti tepat di depan pria tersebut. "Om sendirian, ya?"

Ia tersenyum, "Iya, Om cuma lihat-lihat. Kalian seru sekali mainnya."

Ibu muda itu mendekat, tersenyum sopan. “Maaf ya Pak, anak saya kadang terlalu ramah.”

"Tak apa," jawab pria itu cepat. Matanya masih menatap si kecil yang sekarang memamerkan tempelan stiker di tangannya.

Saat itu, mata pria itu menangkap sesuatu. Kalung di leher si ibu—liontin berbentuk bulan sabit kecil, dengan goresan huruf "R&D".

Dunia seolah berhenti.

“Itu... kalung itu...” katanya gugup, suaranya serak.

Ibu muda itu tampak kaget. “Oh... ini peninggalan ibu saya. Dulu katanya ini punya dia dan adiknya yang terpisah waktu kecil.”

Mata pria itu berkaca-kaca.

"Namamu siapa?" tanyanya nyaris berbisik.

“Ratih,” jawab si ibu. “Ratih Dewanti.”

Dunia benar-benar berhenti. Ia merasakan jantungnya berdetak seperti dulu—saat ia memeluk ibunya terakhir kali.

Dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku... aku Damar. Damar, adikmu."

Ratih terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Perlahan, air mata jatuh di pipinya. Bocah kecil di sampingnya hanya menatap bingung, tak paham kenapa orang dewasa bisa menangis hanya karena sebuah kalung.

Di tengah taman yang ramai oleh tawa anak-anak, dua saudara yang lama terpisah akhirnya dipertemukan. Bukan oleh surat. Bukan oleh takdir besar. Tapi oleh senyum kecil seorang anak yang datang tanpa rencana—mengantar masa lalu pulang ke pangkuan.
Share:

SEPASANG SEPATU KECIL


**

Hujan turun sejak pagi. Dingin menjalari rumah kecil di pinggir kota yang sudah dua tahun mereka sebut rumah. Alya duduk di depan lemari kayu, membuka laci paling bawah. Tangannya menyentuh sepasang sepatu bayi warna merah muda, masih terbungkus plastik bening. Kecil. Lembut. hasil rajutannya beberapa tahun silam.

Ia menatapnya lama, seperti bisa melihat masa depan yang dulu pernah mereka bayangkan.

“Harusnya hari ini kamu lahir,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tangannya mulai mengeluarkan sepasang sepatu kecil itu dari pembungkusnya. Menatapnya lama seperti yang lalu-lalu. "Malaikat kecilku." setelah mengatakan itu setitik air mata keluar dari matanya, namun tak sampai jatuh.

Kesedihan nampak jelas dari matanya, namun ketika membayangkan apa yang sudah menantinya dalam beberapa jam ke depan, hatinya tak lagi sedih. Alya justru menantikan dengan penuh suka cita.

Revan datang dari belakang, memeluknya perlahan. “Kamu yakin?” Meski ragu masih menyelimuti dirinya, namun melihat raut istrinya, membuat keraguan Revan perlahan memudar. Ia percaya istrinya, asalkan istrinya tak lagi memperlihatkan kesedihan yang bisa mengiris hatinya, ia akan menerimanya.

Alya mengangguk. “Kita sudah menunggu cukup lama.”

Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Hanya duduk bersama, membiarkan kenangan yang dulu pahit mengalir bersama bunyi hujan di luar. Dua tahun lalu, janin pertama mereka gagal bertahan. Sejak itu, rumah ini senyap, tapi penuh doa. Mereka sempat berhenti berharap, sempat saling menyalahkan. Tapi pada akhirnya saling menggenggam dan menguatkan.

Revan bangkit, mengambil koper kecil. Ia mengecek sekali lagi dokumen dalam map biru: akta, surat persetujuan, legalisasi notaris, dan … surat adopsi.

Mereka menatap sepatu kecil itu sekali lagi, lalu memasukkannya ke dalam plastik dan menutup lemari.

**

Sementara itu, di sebuah rumah sakit bersalin, seorang gadis muda mengelus perutnya yang sudah mengecil. Air matanya belum berhenti sejak semalam.

Di samping tempat tidurnya, sebuah nama tertera di amplop putih: Alya & Revan.

Bayi perempuan itu tertidur tenang di boks kaca. Dingin AC tak membuatnya menangis. Ia tenang… seperti sudah tahu, ia akan disayangi oleh orang yang menunggunya dengan penuh cinta.

Gadis muda itu mengelus pipi si kecil dan mengecupnya penuh cinta untuk terakhir kalinya.

“Lindungi dia, ya Tuhan,” bisiknya, lalu berdiri, sekilas melihat dokter yang menatapnya kasihan. "Aku pergi, Dok. Terima kasih untuk semuanya." Dokter itu mengangguk, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa kasihan terhadap gadis muda itu. "Ini sudah tugasku." balasnya. Gadis muda itu kemudian pergi meninggalkan separuh hatinya di ruang bersalin itu.

**

Di malam yang sama, Alya menggendong bayi itu untuk pertama kalinya. Tangisnya pecah, tak tertahan. Revan duduk di samping, memeluk dua orang terpenting dalam hidupnya sekarang.

Alya membungkuk, memakaikan sepatu kecil itu ke kaki mungil bayinya.

Akhirnya, sepatu itu punya pemilik.

Bukan dari rahimnya. Tapi dari takdir yang lain.

Yang tetap menyatukan mereka dengan cinta.


END
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com