Main : Rin, Nara
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC, typo.
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC, typo.

🚌🚌🚌
Hujan turun deras sore itu, menghapus jejak-jejak langkah di trotoar sekolah. Rin duduk sendirian di halte kecil, tasnya dipeluk erat di dada. Ia menunggu reda, padahal di dalam hatinya ada sesuatu yang jauh lebih ribut daripada suara hujan: perasaannya pada Nara.
Nara, teman sekelasnya yang selalu duduk satu bangku di belakang. Orang yang selalu punya senyum paling santai, tapi kata-katanya sering membekas lama di kepala Rin. Sudah lama ia ingin mengaku, tapi setiap kali Nara menatap dengan mata cokelat teduh itu, Rin memilih diam.
Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat. Rin mendongak — Nara berdiri di depannya, payung biru tua di tangan.
“Kamu belum pulang?” tanya Nara, setengah berteriak badai melawan hujan.
Rin menggeleng, lalu cepat-cepat menunduk. “Nunggu reda aja…”
Nara tersenyum kecil. “Aku bawa payung. Mau bareng?”
Rin hanya bisa mengangguk, jantungnya berdegup tak karuan. Mereka berjalan berdua, berbagi payung yang terlalu kecil untuk menampung dua orang sepenuhnya. Bahu Rin sesekali menyentuh Nara, dan setiap sentuhan membuat wajahnya semakin panas.
Sementara itu, Nara mencuri pandang ke arah Rin. Di dalam hatinya, ia memarahi dirinya sendiri — sudah berapa lama ia menahan perasaannya? Sudah berapa banyak momen seperti ini yang hanya berakhir dalam diam?
“Aku…” Nara membuka mulut, tapi kata-katanya menggantung.
Rin menoleh, menunggu, deg-degan.
“Aku suka hujan,” kata Nara akhirnya, menarik napas lega meski itu bukan kata-kata yang sebenarnya ingin ia keluarkan.
Rin tertawa pelan, lega sekaligus kecewa. Ia menunduk lagi, mengencangkan pegangan pada tali tasnya. “Aku juga,” balasnya pelan.
Mereka terus berjalan, suara hujan menjadi latar musik yang menyembunyikan kegugupan mereka. Dalam hati, keduanya sama-sama menahan kata-kata yang ingin sekali terucap: Aku suka kamu.
Tiba di persimpangan jalan, tempat mereka biasa berpisah, Rin memberanikan diri.
“Nara…” panggilannya, setengah berbisik.
Nara berbalik, masih memegang payung di atas kepala mereka berdua. “Ya?”
Hujan menetes dari ujung rambut Rin. Ia mengangkat wajah, dan di tengah gemuruh hujan dan detak jantungnya yang mengalahkan segalanya, ia berkata, “Makasih… udah selalu ada.”
Nara tersenyum, senyum kecil yang penuh makna. Ia mengangguk pelan.
“Sama-sama, Rin.Selalu,” jawabnya.
Meskipun tak ada kata cinta yang diucapkan hari itu, hujan tahu — dua hati yang menyembunyikannya sudah saling mengerti.
🚌🚌🚌
Sejak hari itu, Rin dan Nara merasakan lebih canggung. Di kelas, mereka masih ngobrol seperti biasa, bercanda ringan, saling ejek tentang hal-hal kecil. Tapi di balik semua itu, ada ketegangan manis yang menggelayut di udara — sesuatu yang belum terucapkan, namun semakin sulit diabaikan.
Hujan datang lagi seminggu kemudian, sama derasnya, sama tiba-tibanya. Rin sedang merapikan buku di loker saat suara langkah cepat Nara mendekat.
“Hei,” sapannya, sedikit terengah-engah.
Rin menoleh dan tersenyum. “Hei.”
Nara mengangkat payung biru tua yang sama. “Mau bareng lagi?”
Tanpa ragu kali ini, Rin mengangguk.
Mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, berdua di bawah payung kecil itu. Sepanjang jalan, tidak banyak kata yang keluar. Yang ada hanya suara rintik hujan dan detak jantung yang serasa terlalu keras untuk diabaikan.
Di sebuah taman kecil dekat rumah Rin, Nara tiba-tiba berhenti. Rin ikut berhenti, bingung.
“Ada apa?” tanyanya, pelukan kepala.
Nara memegang gagang payung lebih erat, lalu menghela napas panjang.
“Aku capek,” katanya tiba-tiba.
Rin menatapnya. “Capek kenapa?”
Nara menunduk, membiarkan hujan membasahi ujung sepatunya.
“Capek pura-pura biasa aja.Capek sembunyi,” katanya lagi, suaranya berat, bergetar pelan. Ia mengangkat dan menatap Rin dalam-dalam. “Aku suka kamu, Rin.”
Dada Rin seolah meledak. Hujan di sekelilingnya, hanya suara itu yang menggema di kepalanya.
Ia menggigit bibir bawah, menahan senyuman yang mengancam pecah. Tangannya gemetar saat dia menjawab, “Aku juga suka kamu, Nara.”
Nara tertawa kecil, lega bercampur bahagia. Ia menurunkan payung, membiarkan hujan membasahi mereka sepenuhnya. Rin memejamkan mata, merasakan dinginnya hujan dan hangatnya perasaan itu memenuhi dirinya.
Dalam hujan yang turun tanpa henti, dua remaja itu berdiri — basah kuyup, tapi hati mereka kering karena semua ketakutan.
Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.
🚌🚌🚌

source image by pinterest
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Tes
ReplyDelete