Fly with your imajination

Thursday, May 22, 2025

Pelukanku untuk Arwahmu : 2. Abyasa

Main : Calista, Abyasa, Kanaya
Rate: T
Genre: Romance, Mistery
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



👻👻👻

BAB 2. Abyasa


Sejak pertemuan tak terduga di taman kampus, pikiran Calista dipenuhi oleh sosok Abyasa dan arwah perempuan yang selalu mengikutinya. Entah kenapa dirinya dipenuhi rasa penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut tentang mengapa arwah gadis itu tak pernah berbicara, hanya memandang dengan sorot mata yang sendu, seolah menanti sesuatu yang belum tersampaikan.

“Calista!”

Calista tidak mengetahui berapa lama ia melamun hingga ada seseorang yang menarik tasnya seraya memanggilnya dengan suara yang keras.

“Lo mau bunuh diri, apa gimana?”

“Ha?”

Dini, gadis yang sedari tadi berjalan di samping Calista hanya mendengus mendapat respon dari Calista.

“Lihat depan!” kata Dini malas.

“Ah!”

Calista terlonjak sedikit dan buru-buru melangkah mundur dari tepian trotoar, matanya membulat saat melihat sebuah motor melaju cepat hanya beberapa meter dari tempat ia tadi berdiri. Jantungnya masih berdetak kencang saat ia akhirnya bisa kembali fokus pada kenyataan.

“Lo dari tadi jalan kayak mayat hidup,” sentak Dini dengan gemas tapi matanya penuh kekhawatiran. “Gue udah manggil lo tiga kali. Apa sih yang lo pikirin?”

Calista menatap sahabatnya itu dengan wajah yang masih pucat. “Maaf, Din.”

“Ck, sejak kapan lo bisa melamun sampe nyaris ketabrak motor? Jangan bilang ini gara-gara Abyasa?”

Calista menunduk, menggenggam tali tasnya erat-erat. Dirinya masih syok dengan apa yang baru saja terjadi dan membiarkan pertanyaan Dini menggantung di udara. Selang beberapa detik Calista menarik napas lalu menghembuskannya perlahan dan mengangguk pelan. “Iya...” gumamnya lirih. “Dan... Cewek yang selalu ikut di belakangnya.”

Dini mendelik. “Maksud lo? Penguntit?"

Calista menggeleng, "Bukan."

"Setan?”

Calista mengangguk pelan. “Tepannya arwah. Gue nggak bisa berhenti mikirin kenapa arwah itu terus di dekat Abyasa. Tapi yang paling bikin gue bingung... dia nggak pernah ngomong apa-apa. Cuma mandangin Abyasa. Kayak... kayak dia nyimpan sesuatu yang nggak bisa disampaikan.”

Dini mendesah, menatap Calista dengan ekspresi antara prihatin dan lelah. Dia sudah lama tahu tentang kemampuan temannya ini, dan walau sudah terbiasa, tetap saja ia merasa tidak nyaman setiap kali pembicaraan itu muncul.

Bukan karena alasan tidak percaya, hanya saja dia tidak pernah melihat apa yang dilihat Calista, keterikatan yang sering arwah berikan ke Calista atau cerita apa yang sering arwah itu bagi lewat perasaan mereka. Jadi, dia tidak terlalu paham permasalahan cewek itu. Dan, itu yang membuatnya tak nyaman.

“Lo udah coba tanya Abyasa?” tanya Dini sekali lagi.

Calista menghela napas. “Belum.”

“Kenapa?”

“Gak berani.”

“Kok gitu?” Dini benar-benar merasa gemas terhadap temannya itu. Padahal tinggal ditanya, tetapi cewek itu malah menundanya.

Calista yang mendengar pertanyaan itu mendengus kemudian menjawab, “Ya kali. Coba bayangin, tiba-tiba ada orang yang lo gak kenal sebelumnya terus datang dan tanya, kamu gak ngerasa ada yang ikutin kamu? Atau punggung kamu berat, gak? Aku bisa lihat arwah, loh. Kan, aneh, Din.”

“Yah, emang aneh sih. Terus lo mau ngapain?”

Calista mengangkat bahu, “Gue juga gak tahu.”

“Atau, lo mau gak gue bantu. Maksud gue buat ngomong ke dia.”

Calista menggeleng, tentu saja dia tidak. Lagipula, dia dan Abyasa tidak saling kenal, dia juga bukan tipe KEPO akut yang mau tahu segalanya. Dirinya hanya penasaran karena baru kali ini dia menemukan sosok yang berbeda dari biasanya.

“Nggak usah.”

“Yakin?”

Calista mengangguk mantap. “Yakin.”

“Oke. Tapi, kalau ada yang lo rasa aneh, kasi tahu gue.”

“Oke.”

Setelah percakapan singkat itu mereka kembali melanjutkan langkah, kembali pulang ke kos. Meski siang itu terik, pohon-pohon di sekitar jalan kampus membuat udara di sekitar mereka terasa sejuk. Tidak ada sampah berserakan karena para tukang bersih selalu rajin datang pagi-pagi untuk membersihkan area kampus. Jadi, tidak ada pemandangan yang membuat mata gatal dan betah untuk berjalan kaki.

Namun, entah semesta yang tak mengijinkan Calista untuk beristirahat dengan tenang hari itu atau karena memang hari itu bukan hari keberuntungannya, Calista malah dipertemukan dengan orang yang ingin dia hindari, meski mereka tak kenal.

Calista mengambil ancang-ancang. Bersiap untuk mengambil langkah seribu. Sayangnya, mulut Dini bergerak lebih cepat. Cewek manis dan tomboy itu malah memanggil Abyasa. “Yasa!” dengan panggilan akrab yang bahkan tidak pernah Calista dengar sebelumnya.

Dan, sebelum Calista bergerak, Abyasa sudah mendekat dengan senyum hangat ciri kasnya. Calista jadi merasa tak enak menghilang ketika cowok itu sudah berada di depan mereka.

“Kok lo manggil?” sergah Calista setengah jengkel. Terlebih ketika ia melihat arwah cewek yang mengikuti Abyasa masih setia mengikuti cowok itu. Ada sesuatu yang selalu menarik dirinya untuk ingin membantu permasalahan arwah cewek itu, padahal dia benar-benar tak ingin berhubungan dengan Abyasa dan Arwah itu.

“Ah, reflek.” jawab Dini sambil menyengir. “Kebiasaan sih.”

“Kebiasaan?” sahut Calista sambil mendengus. “Atau sengaja?”

Dini menyengir. “Beneran. Kebiasaan sejak kecil. Abyasa kan sepupu gue.”
Calista berdecak. Betul-betul merasa tak nyaman sekarang. Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menghela. Dan lagi kenapa dia baru tahu kalau Dini dan Abyasa itu sepupu? Padahal mereka sudah 2 tahun berteman.

“Tenang aja. Dia gak makan orang kok."

Calista memilih diam, tak ingin menanggapi candaan Dini. "Mau gue bicara sama dia?”

“Din!” geram Calista dengan suara rendah.

“Ck, kenapa lo suka sekali bikin ribet diri lo sendiri, sih?”

“Nggak ribet kok.”

Dini memutar bola matanya sambil menjawab, “Cuma bikin pusing sendiri.”

Obrolan mereka terpotong ketika Abyasa sudah berada di depan mereka. Masih dengan senyum hangat yang membingkai wajah laki-laki itu, dia menyapa Dini, “Lo mau pulang ke kos.”

Dini mengangguk. “Yaps." Kemudian menyerngit ketika melihat penampilan laki-laki itu yang agak berantakan. Keringat yang memenuhi wajahnya, bajunya yang agak basah, dan wajah kuyu yang membuat tangan Dini gatal untuk membasuh wajah sepupunya itu. "Muka lo kenapa kusut amat?"

"Motor gue bannya kempes."

Dini mengangguk, "Oh. Btw, kenalin ini teman kelas gue. Calista.”

Abyasa tersenyum melihat Calista kemudian mengulur tangannya yang disambut ragu-ragu oleh Calista.

“Abyasa.”

“Ca … Calista.”

Abyasa mengangguk. Lesu yang tadi mereka lihat sudah tak ada lagi dan berganti senyum. Sayangnya, Calista tak memedulikan itu. Dia justru lebih memedulikan pada sosok di belakang Abyasa.

Sesekali Calista melirik arwah itu yang tetap tak mengindahkan dirinya dan terus memandang Abyasa dengan tatapan sendu. Dan itu membuatnya tak nyaman. Lebih dari ketika bertemu arwah cerewet yang meminta bantuannya.

“Kita kemarin ketemu, kan?” tanya Abyasa tiba-tiba.

Tatapan Calista kembali fokus pada Abyasa dan mengangguk. “I... iya." Padahal mereka selalu ketemu namun tak pernah bersapa. Calista ingin sekali mengatakan itu, tetapi ia lebih memilih mengatakan yang lain. "Maaf kalau itu bikin kamu nggak nyaman.”

Abyasa menggeleng cepat, “Tidak kok. Tapi, aku cuma aneh saja.”

Calista mengangguk, “Aku juga kalau ada yang datang tiba-tiba kayak kemarin, pasti ngerasa aneh.”

“Bukan, bukan aneh kayak gitu.” Abyasa buru-buru membantah perkataan Calista. “Gue cuma penasaran. Kenapa lo tiba-tiba hampiri gue?”

Calista diam sejenak, dia melirik Dini di sampingnya yang memberikan kode untuk bicara dan mengalihkan pembicaraan. Tetapi gadis itu hanya diam. Calista tak bicara apa-apa. Dia benar-benar tak ingin mengatakan kebenaran tentang kemampuannya. Dia tidak ingin dianggap aneh seperti ketika sekolah dulu.

"Itu, m, aku kira kamu temanku dulu."

"Bohong!" Sentak Dini membuat Abyasa menatap Dini dengan kening berkerut heran sekaligus penasaran. Kemudian tatapannya beralih pada Calista untuk meminta jawaban namun bukan tuntutan yang wajib Calista jawab, karena dia tahu Dini seperti apa. Cewek itu tentu saja suka menggoda temannya, terlebih ketika berdekatan dengan dirinya.

"Din, apaan sih."

"Calista, mending lo jujur deh. Yasa juga gak bakal nge-judge lo kok."

Calista benar-benar kesal pada Dini. Dia menatap Dini seolah ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

"Kalian bicara apa?" tanya Abyasa yang tampangnya benar-benar kebingungan namun juga penasaran.

"Calista Indogo." Sentak Dini, membuat Calista sebentar lagi meledak. "Dan, dia juga lihat ada yang ngikutin lo."

"DIN! Apa-apaan sih lo?"

"Oh?"

"Ah, pantas saja." kata Abyasa tiba-tiba. "Kemarin kayaknya lo ragu-ragu mau bilang apa. Itu gue heran, tapi pas gue mau nanya, elo sudah hilang. Emang lo lihat siapa? Khodam gue." kelakar Abyasa.

Lain halnya dengan Calista, cewek itu tak memedulikan candaan Abyasa. Dia menatap laki-laki itu agak ragu kemudian menyahut, "Itu yang ngikutin kamu cewek. Cantik."

Abyasa menyerngit, "Lo bisa kasi gambarannya?"

Calista mengangguk. "Cewek, putih, rambut hitam panjang sepunggung. Ada tahi lalat di bawah mata kirinya."

Abyasa tiba-tiba terdiam. Pikiran laki-laki itu seolah melayang dan membuat Calista dan Dini heran.

"Yasa?"

"Ah, astaga gue lupa Tio minta flashdisk-nya dikembalikan. Ntar kita lanjut ya Din. Gue duluan."

Calista dan Dini saling berpandangan, pikiran mereka tiba-tiba sama. Sama-sama berpikir kalau cowok itu punya masalah dengan arwah cewek yang dilihat Calista.

TBC
Share:

Monday, May 19, 2025

NOT PERFECT#21

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Main : Yoga, Nayla
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



💝💝💝

Yoga tidak mengerti kenapa perasaannya seperti roller coster sekarang. Tadi dia merasa senang dan sekarang perasaannya justru tak nyaman melihat kehadiran laki-laki lain yang tampak begitu nyaman berbicara dengan Nayla.

Setidaknya sudah ada lima belas menit laki-laki itu berbicara dengan Nayla dan seolah melupakan kehadiran Yoga di samping mereka.

Teman Nayla itu kentara sekali kalau menyukai Nayla. Dan, entah Nayla sadar atau tidak, gadis itu seolah membuat dinding yang tidak boleh dilewati. Yoga tahu, karena selama ini ia melakukan hal yang sama terhadap keluarga atau rekan kerjanya yang ingin mendekat atau sekedar ingin memanfaatkan dirinya.

Yoga melihat jam tangannya dan secara sengaja mengalihkan pandangan dua orang di depannya itu. "Nay..." sapanya hingga membuat Nayla teralihkan padanya.

"Astaga, Mas. Maaf, aku lupa kalau mas sibuk. Mau pergi sekarang?"

Lalu teman Nayla melihat Yoga dan memberikannya senyum. Yoga tahu, di balik senyum itu ada rasa tak suka sekaligus iri, tetapi Yoga tidak peduli. Dan, entah kenapa ada sisi lain dari dirinya yang senang melihat reaksi teman Nayla.
"Dia siapa, Nay?" Pria itu melirik Yoga penasaran. "Lo sama siapa?"

Nayla berpaling pada temannya lalu tersenyum, "Pacar." Dan kembali menatap Yoga dan memberikan kode kalau dia butuh bantuan itu. "Dia pacar gue."

Senyum laki-laki itu hilang berubah sendu. Ia menatap Yoga penuh penilaian, kemudian berpaling pada Nayla.

"Jadi itu beneran?"

Nayla menggeleng penuh penyesalan, "Maaf. Tapi gue harap kita masih temenan."

Sementara Yoga yang menjadi penonton hanya mengamati saja. Awalnya, ia sebenarnya kaget karena tidak ada bayangan kalau Nayla akan menyebutnya sebagai pacar, tetapi kemudian dia sadar, Nayla hanya memainkan peran.

Yoga tahu, menolak cinta dari orang yang kekeh itu lebih sulit daripada menyatakan cinta pada idola. Karena butuh keberanian dan hati keras untuk menolaknya.

"Gue Andika, mantan calon pacar Nayla."

Jika Yoga tak ingat sedang membantu Nayla, ia pasti akan terbahak dengan jawaban konyol tapi berani itu.

"Saya Yoga." Dan sebenarnya bukan pacar Nayla. Setidaknya untuk saat ini belum, Yoga menambahkan dalam hati.

"Lo gak marah, gue bilang Nayla calon pacar gue?"

Bagaimana bisa Yoga marah, sementara ia belum mempunyai hak?

"Tidak. Karena Nayla sudah memilihku. Artinya Nayla sudah memberikan hatinya hanya untuk saya."

Jawaban penuh percaya diri Yoga membuat Andika berdecih, tetapi hanya sesaat sebelum ia tersenyum lalu menepuk bahu Yoga. "Kalau gitu, gue titip Nayla." Selanjutnya ia bergerak menjauh.

"Kok aku merasa kayak baru dilepas mama?"

Yoga terkekeh mendengar keluhan itu. "Setidaknya dia sudah ikhlaskan kamu."

"Iya sih. Betewe, maaf mas. Aku bilang pacar tanpa bilang dulu."

"Tidak masalah. Serius juga aku senang."

"Bercandanya."

"Beneran loh. Mau jadi pacar beneran gak?"

Dan wajah Nayla langsung berubah merah padam. Gadis itu menunduk lalu mendahului Yoga untuk duduk.

Sepertinya Yoga sudah melewati percobaan pertama.

💝💝💝
Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Thursday, May 15, 2025

Pelukanku untuk Arwahmu : 1. Tatapan Pertama

Main : Calista, Abyasa, Kanaya
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



👻👻👻

BAB 1. Tatapan Pertama

Langit sore itu diselimuti awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan Calista yang tengah diliputi kegelisahan. Mahasiswi semester empat jurusan Teknik Kimia ini berjalan menyusuri koridor kampus dengan langkah cepat, berharap bisa segera sampai di perpustakaan untuk menenangkan pikirannya.

Sejak kecil, Calista memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain: ia bisa melihat arwah. Kemampuan ini sering kali membuatnya merasa terasing dan kesepian.

Saat melewati taman kampus, pandangan Calista tertumbuk pada seorang pria yang duduk sendirian di bangku taman. Pria itu adalah Abyasa, mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur yang populer di fakultas mereka. Tidak hanya itu ia juga dikenal karena ketampanan, kecerdasan, dan sikapnya yang ramah. Namun, yang membuat Calista terkejut bukanlah kehadiran Abyasa, melainkan sosok perempuan pucat yang berdiri di belakangnya.

Sosok perempuan itu mengenakan gaun putih selutut yang sudah menguning juga tak mengenakan alas kaki. Gadis itu menatap Abyasa dengan ekspresi sedih dan Calista sadar bahwa perempuan itu adalah arwah.

Penasaran, Calista mendekati Abyasa dan mulai menyapa, "Maaf.”

Abyasa menoleh dengan ekspresi bingung. "Ya? Gue?”

Calista mengangguk kemudian melirik sejenak pada gadis itu, namun gadis itu hanya diam dan terus menatap Abyasa. “Kamu … “ Calista ragu sejenak sebelum sadar apa yang sudah dia lakukan, "Ah, tidak apa. Mungkin aku salah. Maaf." Setelah mengatakan itu Calista buru-buru pergi dari sana.

Gadis itu seperti lupa sejenak bahwa laki-laki itu adalah laki-laki popular di fakultasnya. Laki-laki yang tidak seharusnya dia dekati karena gossip gampang beredar di sekitar laki-laki itu. Dan dia tak ingin kehidupan damainya terancam. Sudah cukup dirinya dipusingkan oleh hantu-hantu yang terus saja berusaha meminta perhatiannya.

Namun rasanya ada yang aneh. Berbeda dengan arwah lain yang sering Calista temui, arwah gadis tadi tak berusaha menarik perhatiannya. Dia justru mengabaikannya. Seolah Abyasa adalah magnet yang membuatnya tak bisa berpindah.

Calista benar-benar penasaran dengan arwah tadi. Apa yang membuatnya tak bisa pergi dan masih menetap di dunia ini. Lalu yang lebih membuatnya penasaran adalah apa yang sudah Abyasa lakukan hingga gadis itu mengikutinya.

Calista menggeleng saat pikiran negative tentang laki-laki itu terlintas sejenak di pikirannya. Jadi, dia memutuskan untuk cepat tiba di perpustakaan untuk menyelesaikan tugasnya.

Di sisi lain, berbeda dengan Calista, Abyasa justru merasa aneh sekaligus penasaran dengan Calista. Laki-laki itu tak merasa jika gadis yang baru saja menghampirinya itu mencoba mendekatinya seperti gadis lain. Gadis itu seolah hanya ingin memastikan sesuatu dan tahu sesuatu yang tidak dia ketahui.

Namun, ketika dia ingin menghampiri gadis itu, gadis itu telah hilang dari pandangannya. Alhasil, dia tidak bisa melakukan itu dan menunggu sampai mereka bertemu kembali.

TBC
Share:

Wednesday, May 14, 2025

Pacarku, Si Sultan Hemat


👝👝👝

Aku pernah punya pacar. Seorang pria istimewa—istimewa karena berhasil mengubah kata “hemat” jadi “gaya hidup ekstrem”. Namanya Perta. Tetapi kepanjangannya bukan Pertamina. Kalau iya, mungkin aku bisa dapat gratis isi bensin tiap nge-date.

Kami pertama kali dekat karena sama-sama suka baca buku. Aku pikir dia tipe cowok intelek yang perhatian. Ternyata, dia lebih intelek ngitung pecahan kembalian daripada ngasih perhatian manis.

Contohnya, nge-date pertama kami:

“Sayang, aku ajak kamu dinner mewah ya.”

Aku semangat. Kupakai baju paling cantik. Sampai di tempat... ternyata “mewah” versi Perta adalah warteg yang baru dicat ulang.

“Liat dong, sekarang meja makannya ada taplak, Bi.”

Bi? Dikira babi kali. Aku ingin sekali mengatakan itu. Sayangnya, mulut masih kutahan. Aku lalu mengangguk pelan sambil menatap tumis kangkung di atas meja tanpa minat.

Malam itu kami makan dengan ditemani lagu dangdut yang suara bas-nya bikin gelas di meja getar kayak adegan film Jurassic Park. Untungnya aku cinta, jadi masih bisa kumaklumi.

Meski begitu, bukan berarti Petra tak pernah traktir. Dia pernah ngajak makan sushi. Aku semangat, pikiranku sudah membayangkan salmon melt di lidah. Tapi begitu sampai restoran, Petra keluarkan kupon diskon buy 1 get 1.

“Pesan yang ini aja ya, yang masuk promo. Yang lain kan overprice.”

Dan kami pun makan sushi... satu piring berdua.

Semakin lama, hubunganku terasa seperti program hemat bulanan. Aku bahkan jadi merasa bersalah setiap minta traktir kopi. Petra akan menatapku seolah aku baru saja mengajukan pinjaman KPR.

Tapi puncaknya adalah saat ulang tahunku. Aku berharap ada sesuatu yang spesial. Bukannya berharap pesta kejutan, tapi setidaknya mungkin kue atau makan di tempat yang bukan dekat SPBU.

Tiba-tiba dia bilang, “Aku udah siapin sesuatu buat kamu. Lusa kita ke puncak, yah?”

Wah, aku mulai terharu. Mungkin dia mau ngajak aku ke puncak, lihat matahari terbit, terus ngasih kejutan atau sesuatu yang manis.

Kami muncak dari pagi, capek tapi aku bahagia. Aku benar-benar semangat menantikan hal romantis apa yang akan dia lakukan. Sampai di atas, dia melebar tikar, buka tas carrier-nya... dan mengeluarkan kompor portable.

Aku masih memperhatikan dia dengan jantung berdebar sambil sesekali menikmati pemandangan gunung dan bukit.

Matahari semakin tenggelam dan untungnya aku sudah memasang tenda dan dia juga sudah mengumpulkan kayu bakar. Sisanya hanya menunggu dia menyelesaikan apa yang dia lakukan.

“Tunggu bentar ya, Sayang. Ini spesial ulang tahun kamu.”

Aku mengangguk. Jantungku masih deg-degan. Mungkin dia masak steak? Atau sup jamur ala café? Atau kita makan sambil menikmati matahari terbenam? Aku tidak sabar.

Dan ternyata... Indomie rebus. SATU bungkus. DIBAGI DUA pula.

“Sayang, ulang tahunmu harus hangat. Nih, rasa soto spesial, pakai telur! Tapi telurnya satu juga ya, kita bagi dua biar adil.”

Aku terdiam. Antara mau ketawa atau minta sinyal darurat.

“Kalau kamu ngambek, nanti ku kasih bonus kerupuk. Aku bawa dua, cuma sudah expired kemarin.”

Kukira itu lelucon. Ternyata bukan.

Malam itu, di bawah bintang-bintang dan aroma bumbu instan, aku sadar. Perta bukan hemat. Dia level dewa dalam ilmu pelitologi. Dia bisa bikin liburan romantis terasa kayak acara bertahan hidup.

Tapi anehnya... aku ketawa. Dia memang absurd, tapi tulus. Walau pelit, dia masak sendiri, bawa air naik gunung demi satu mangkuk mie, dan tetap nyanyi lagu “Happy Birthday” dengan suara kayak kucing kesleo.

Beberapa bulan kemudian, kami putus. Bukan karena mie instan, tapi karena dia ngasih aku hadiah Valentine berupa... coklat yang tanggal kadaluarsanya besok.

“Temanku kasi kemarin. Daripada dia buang, mending aku yang ambil. Kan masih bisa dimakan. Ya, kan?”

Dipikir perutku seperti tong sampah yang bisa diisi apa saja.

Tapi sekarang, setiap makan Indomie, aku selalu senyum sendiri. Karena pernah, di puncak gunung yang dingin, aku merayakan ulang tahun dengan mie rebus, kerupuk kedaluwarsa, dan cowok yang lebih cinta saldo e-wallet daripada candlelight dinner.


👝👝👝

Share:

Tuesday, May 13, 2025

Tiga Puluh Surat Pengunduran diri

 

Main : Alina, Nathan
Rate: T
Genre: Slice of Life, Metrop
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.



👠👠👠

Namaku Alina. Dua puluh delapan tahun dengan gelar sarjana komunikasi dan satu gelar tak resmi dalam kesabaran tingkat dewa. Gelar yang kudapat selama tiga tahun menjadi asisten pribadi Nathan Minoru—bos paling menyebalkan sejagat perkantoran modern yang sayangnya tampan.

Nathan, atau lebih tepatnya Lucifer, adalah CEO di perusahaan kontaktor alat berat di tempatku bekerja. Jangan ditanya bagaimana penampilannya. Sebagai pria usia tiga puluh lima tahun yang ditunjang perpaduan Jepang dan Indonesia, tentu saja dia tampan. Dan, jangan lupakan bentuk tubuh bak dewa Yunani kuno yang dia miliki yang sering membuat para karyawati berfantasi liar. Perpaduan yang gila, kan? Oh, kalau kalian berpikir hanya itu, tentu saja tidak. Dia juga tajir. Bahkan menurut gosip yang beredar, dia adalah cucu pemilik dari perusahaan ini. Mau tahu yang lebih gila lagi. Seolah tak cukup dengan penampilan dia juga punya otak yang cerdas. Sialan!

From: Nathan Minoru
Subject: Urgent

Alina, saya tidak mau lihat kopi saya lebih dari 10 menit setelah saya sampai. Hitam. Satu sendok gula. Jangan lebih apalagi kurang.

PS: Tolong belikan baterai jam meja saya. Kalau bisa, yang awet. Saya benci hal yang cepat habis.

Aku baru saja menyalakan komputer ketika pesan itu menggantung di layar monitor. Padahal ini belum jam delapan pagi. Dan masih satu jam sebelum jam masuk kantor dimulai. aku sudah duduk di balik meja, mencoba menenangkan diri setelah membaca email pagi darinya.

Aku mendengus. “Dikira aku suka gitu sama bos yang kesabarannya cepat habis.” gumamku.
Aku mengambil sticky note dari laci dan menuliskan: Surat pengunduran diri ke-30. Alasan: Tidak tahan dimarahi hanya karena salah beli merek baterai yang dia suka. Lalu kutempelkan di sisi monitor, bergabung dengan tumpukan dua puluh sembilan surat pengunduran diri imajiner lainnya yang sudah kubuat sejak hari pertama bekerja dengannya.
👠👠👠

Pertemuan pertama kami mungkin akan seperti di drama percintaan, kalau saja sifatnya tidak menyebalkan dan membuat pertemuan itu seperti mimpi buruk. Aku datang terlambat lima menit karena ban bocor, dan dia—baru pulang dari luar negeri dan anehnya bukan istirahat di rumah dia malah memilih langsung masuk kantor. Mungkin kalau atasan yang lain bisa memberikan toleransi. Sayangnya, dia tidak. Yang ada dia malah memandangku seperti aku sudah menginjak reputasinya.

“Alina, kan?” tanyanya sambil memindai penampilanku dari kepala hingga kaki.

Meski tak nyaman, aku memberikan senyum manis terbaikku. “Ya, Pak.” jawabku dengan sopan.

“Mulai besok, jangan datang kalau tak bisa datang tepat waktu. Saya tidak mau bekerja dengan orang yang jamnya lebih lambat daripada jam di meja saya.”

Senyumnya tipis, pedas, dan… menggoda, kalau saja ucapannya tidak begitu menyebalkan.

Senyumku hilang seketika dan sejak hari itu, dimulailah kehidupan perkantoran bak serial drama dengan genre: komedi gelap.

👠👠👠

Hari-hariku diisi dengan perintah dadakan seperti:
“Ada noda di sepatu saya. Bersihkan! Dan simpan di walk-in closet saya di rak nomor tiga.
“Saya lupa password laptop. Reset tanpa hapus file saya.
“Kenapa ada burung merpati di halaman kantor? Singkirkan. Merusak estetika."
"Cari tahu kenapa cuaca akhir-akhir ini nggak mendukung meeting saya."
“Alina, kenapa kamu bernapas terlalu keras?

Yang terakhir membuatku berpikir untuk melemparnya dengan jam kesayangannya yang ada di atas mejanya. Memangnya gara-gara siapa aku terkena flu dan membuat hidungku tersumbat? Sudah tahu sedang hujan tetapi memaksa mengambil file yang dia lupa di cafe tidak jauh dari perusahaan. Lagipula, kenapa dia membawa file penting ke cafe?

Tapi, seperti biasa, aku bertahan. Karena gaji bagus, tunjangan kesehatan premium, dan… entah kenapa, aku penasaran sampai kapan aku bisa bertahan sebelum akhirnya benar-benar meledak.

👠👠👠

Sampai suatu hari, titik kesabaranku akhirnya tercapai. Aku meledak.

Pagi itu, aku datang seperti biasa. Membawa kopi hitam satu sendok gula tepat 5 menit setelah dia duduk di kursinya. Tapi baru saja aku masuk ke ruangannya, aku mendapati Nathan sedang duduk dengan ekspresi kesal sambil menatapku dan jam mejanya yang mati secara bergantian.

“Alina,” katanya datar. “Jam ini masih mati.”

Lalu?

“Sudah saya ganti baterainya, Pak. Tadi sudah bagus kok jamnya. Mungkin jamnya yang rusak.” sahutku dengan nada biasa sembari menahan kedongkolan

“Bukan jamnya. Kamu pasti salah beli baterai.”

Aku menghela napas. Rasanya sesuatu yang panas pelan-pelan memenuhi kepalaku dan sebentar lagi akan meledak. “Ini baterai AA, persis seperti yang Bapak minta.” jelasku. Masih dengan nada penuh pengertian.

Dia berdiri. Mengambil baterainya, lalu membaca bungkusnya. “Ini AA. Benar. Tapi mereknya bukan yang biasa saya pakai.”

Dan saat itulah, aku meledak.

"Bapak tahu tidak?” kataku sambil menahan gemetar. “Saya ini sudah bertahan tiga tahun mendampingi Bapak. Membelikan kopi, menyiapkan bahan meeting, membersihkan sepatu, bahkan tega mengusir merpati di halaman padahal mereka tidak salah apa-apa. Dan saya tetap bertahan. Tapi saya bukan paranormal! Saya tidak bisa tahu merek baterai yang Bapak suka kalau Bapak tidak bilang! Saya manusia, bukan mesin pengingat Bapak!”

Aku menghempaskan dokumen di meja. “Saya capek, Pak. Saya benar-benar capek. Jadi kalau hari ini Bapak mau marah hanya karena merek baterai, silakan. Tapi setelah ini, saya keluar. Ini surat pengunduran diri saya.” Aku mengeluarkan amplop putih yang selama ini hanya jadi ancaman, dan meletakkannya di mejanya.

Ruangan hening.

Lalu, Nathan menatapku lama. Untuk pertama kalinya, ekspresinya tidak menyebalkan. Tidak angkuh. Tidak sinis.

Lalu dia tertawa. Pelan. Rendah. Tulus?

Ha? Mataku pasti salah lihat. Si Lucifer yang hanya tahu bagaimana caranya membuat orang jengkel tak mungkin tahu caranya tersenyum tulus. Ini pasti halusinasi karena terlalu emosi.

“Akhirnya kamu lepas juga,” katanya.

Aku tertegun. “Maksud Bapak?”

“Setiap hari saya lihat sticky note kamu. Surat pengunduran diri ke-1 sampai 29. Kamu pikir saya nggak lihat?”

Pipiku memanas. “Itu… cuma lelucon.”

Dia mengangguk. “Tapi kamu tetap bertahan. Dan saya pikir, orang sekuat kamu pasti punya alasan untuk tetap di sini. Ternyata, memang akhirnya kamu nyerah juga.”

Aku menggigit bibir. “Saya bukan nyerah. Saya… realistis.”

Dia menarik napas panjang. “Kamu tahu, Alina, kenapa saya begitu keras ke kamu?”

Aku menatapnya curiga. Tidak mungkin dia menaruh hati padaku, kan?

“Karena Bapak penyuka drama?” jawabku ragu.

Dia tertawa lagi. “Karena kamu pintar. Dan saya takut kamu terlalu nyaman. Saya butuh asisten yang tajam, cepat, dan berani. Dan kamu punya semua itu. Tapi saya juga lupa satu hal.”

“Apa?”

“Saya lupa kalau kamu manusia juga.”

Untuk pertama kalinya, aku melihat Nathan sebagai manusia. Bukan hanya bos menyebalkan dengan segudang ekspektasi mustahil.

Dia menatap surat pengunduran diriku. Lalu menggesernya kembali ke arahku.

“Ambil lagi surat ini.”

“Apa?” Aku memicingkan mata. Curiga.

“Berikan saya kesempatan untuk jadi bos yang lebih baik.”

Aku nyaris tak percaya. “Bapak belum puas mengerjai saya?”

“Sebenarnya ya. Tapi, bukan karena itu." Aku memandangnya tak percaya. "Kamu asisten terbaik yang pernah saya punya. Dan saya tidak ingin kehilangan kamu hanya karena… merek baterai.”

Aku ingin tertawa. Ingin marah. Tapi juga… merasa lega. Ada bagian dari diriku yang senang mendengar pengakuan itu.

“Apa jaminannya Bapak tidak akan menyuruh saya mengusir merpati lagi minggu depan?”

Dia tersenyum. “Saya akan menyewa petugas keamanan khusus anti-merpati.”

Memangnya ada? Aku memikirkannya dalam hati, tapi tak ingin dikira tak update aku menahan mulutku dan mencari jaminan lain yang membuatku tak akan kerepotan nanti.

"Saya juga tidak mau menjadi peramal dadakan yang bisa tahu kapan cuaca tidak bagus yang tidak mendukung meeting Bapak."

Sekali lagi dia tersenyum. Senyum yang bisa melelehkan gunung es di kutub. Senyum menawan yang hampir membuatku terpesona kalau tak ingat sifatnya yang mirip Lucifer. "Saya punya kenalan untuk itu."

Aku mendesah. Tidak tahu apakah ini karena pengaruh senyum yang dia tampilkan atau membayangkan tak ada lagi transferan masuk ke rekeningku kalau resign, aku menyerah. “Baiklah. Saya pertimbangkan.”

“Deal,” katanya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. “Kita mulai dari awal?”

Aku menjabat tangannya. “Mulai dari awal. Tapi kali ini, saya akan taruh sticky note nomor tiga puluh satu kalau Bapak nyebelin lagi.”

Dia tertawa. “Saya tunggu sticky note nomor seratus.”

Dan entah kenapa, aku juga tertawa.

Mickey139

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com