Sebelumnya : Chapter 2
Genre: Romance & hurt, drama
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Because I Love You © Mickey_Miki
.
.
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita
.
DLDR
.
ENJOY THIS
.
.
.
Ket : font italic menandakan flashback
*** Second. ***
.
.
Naruto duduk di kursi, di samping tempat tidur Hinata dan termenung. Di atas ranjang di depannya tubuh Hinata masih terbaring, tak sadarkan diri. Sudah lebih tiga jam Hinata tak sadarkan diri. Dan sepanjang waktu itu juga Naruto terus mendampingi Hinata.
Dokter yang memeriksa Hinata sudah kembali beberapa waktu lalu setelah memeriksa kondisi Hinata. Dokter sekaligus neneknya itu sudah memberikan beberapa resep obat untuk Hinata. Dia mengatakan bahwa Hinata terlalu banyak pikiran dan itu menjadi penyebab besar akan pingsannya wanita itu. Dan sekarang gantian Naruto yang malah berfikir. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita itu, apakah tentang ia yang rela bertanggung jawab atas kehamilannya?
Oh God, jika itu benar, maka Naruto-lah yang patut disalahkan atas ini semua.
Ia kembali menatap Hinata dan membawa tangannya menggemgam tangan wanita itu. Ia kembali mengingat percakapan antara dia dan neneknya beberapa waktu lalu.
Tsunade─ nama dokter itu─ menghela nafas setelah memeriksa kondisi Hinata. dia berbalik dan menatap Naruto sedikit geram. “Apa yang kau lakukan pada istrimu, hah!? Apa kau tidak tahu, stres akan mengganggu kondisi janin dalam kandungannya?”
“A, apa maksudmu, Baa-san?” Naruto menyerngit, “Apa yang menyebabkan Hinata stres?” pandangannya mengarah pada neneknya dengan wajah penuh tanya. Dia sendiri pun tak tahu, mengapa Hinata banyak pikiran. Selama seminggu ini, dia selalu menemani Hinata bahkan permintaan ayahnya pun masih belum dindahkannya demi Hinata, lalu apa yang menyebabkan wanitanya seperti itu?
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, bukan malah kau, Naruto. Istrimu itu terlalu banyak pikiran. Kalau dia terus seperti ini─ aku tidak yakin kalian akan melihatnya lahir dalam keadaan baik atau bahkan kalian tidak akan sempat melihatnya.” Menghela nafas melihat wajah bersalah cucunya yang terlihat sangat tertekan. “Kau harusnya lebih memperhatikannya, Naruto. Kalian tidak ingin ada hal buruk menimpa anak kalian, bukan?” Katanya lantas memberikan resep obat yang sudah dia tulis untuk dibeli oleh Naruto.
Naruto mengangguk lemah. Benaknya berkelana mencoba mencari biang penyebab Hinata jadi seperti sekarang. “Baiklah, Baa-san. Arigato...” Jawabnya setelah beberapa saat jeda tanpa menatap Tsunade. Pandangannya menelusuri Hinata yang masih terbaring lemah.
Setelah memberikan resep, Tsunade membereskan perlengkapan yang tadi dia gunakan untuk memeriksa Hinata. “Usahakan jangan terlalu membuatnya memikirkan sesuatu yang berat apalagi sampai memaksanya untuk mengingat ... Masa lalunya. Aku tahu kau ingin dia segera mengetahui masa lalu kalian, tapi ... Kau tahu, itu akan mempengaruhi kondisi kandungannya. Jadi, ku harap kau tidak mengikuti egomu, Naruto. Kau tidak ingin kehilangan anakmu, kan?”
Naruto mengangguk lemah. Sejujurnya ia ingin sekali Hinata mengingat masa lalu mereka, kembali seperti dulu. Tetapi, jika itu akan mengakibatkan kesehatan Hinata memburuk, maka ia tidak akan melakukannya. Naruto akan menunggu.
Lagipula, bukankah ini jadi lebih menarik? Mereka bisa melakukan sesuatu yang baru, merasakan sensasi-sensai baru, kencan pertama misalnya. Naruto tersenyum sendiri membayangkannya. Dan lagi, ingat atau tidak, ia juga sudah memiliki Hinata dan tak ada siapa pun yang bisa memisahkan mereka.
Well, kecuali itu.
Mungkin ‘itu’ yang akan menyebabkan Hinata kembali meninggalkannya, dan pada saat itu, entah apa yang akan terjadi padanya bahkan ia tidak sanggup membayangkannya.
Senyum yang tadinya terbit, kini hilang dan berganti jadi getir. Andai, dulu dia berani menolak keinginan orang tuanya untuk kembali ke negara asal ayahnya dan tidak meninggalkan Hinata, semua ini tidak akan terjadi. Semua kesedihan ini tidak akan pernah ada, dan air mata yang sangat dia benci itu tidak akan pernah mengalir dari mata wanita yang sangat ia cintai itu.
Tapi sayang, waktu tidak akan pernah berbalik untuk mengembalikan keadaan yang sudah terjadi. Dan Naruto hanya bisa menyesali dan menjalani hasil dari penyesalan itu.
“... kau mengerti, Naruto?”
Naruto mengangguk, walau hanya mendengar samar-samar apa yang dikatakan oleh neneknya. “Baiklah. Aku mengerti.”
“Oh, aku hampir lupa. Ayahmu menyuruhmu berkunjung ke rumahmu dan ibumu juga sangat merindukanmu. Lagipula mereka juga ingin melihat istrimu─”
Naruto menghela nafas. Dipandanginya tubuh ringkih di depannya itu. “Baiklah... Tapi tidak dalam waktu dekat ini.” ucapnya. Naruto hanya berharap jika mereka bertemu nanti, kedua orang tuanya tidak membeberkan tentang masa lalu mereka berdua─dia juga Hinata. Itu akan memperburuk keadaan Hinata.
“Kalau begitu aku pergi. Jangan lupa obatnya dan ... Perhatikan istrimu Naruto. Jangan membuatnya memikirkan sesuatu yang berat.”
“Iya, baa-san.” Sahut Naruto sedikit dongkol. Neneknya itu walau usianya yang hampir kepala lima, cerewetnya masih tetap bertahan. Bahkan bertambah. Tetapi, kalau bukan karena sifat cerewet neneknya itu, dia tidak akan seperti sekarang─ mungkin dia masih terperangkap dengan perasaannya dulu.
“Nggh....”
Naruto tersentak dari lamunannya ketika mendengar lenguhan Hinata. perlahan kedua kelopak mata wanuta itu terbuka dan dengan sigap Naruto membantunya ketika Hinata mencoba duduk.
“Apa kau membutuhkan sesuatu?”
“Air....”
Hinata meminum air yang baru saja diberikan Naruto setengah. Ia menatap Naruto dengan rasa bersalah. Ia tahu, apa yang dilakukannya adalah salah. Salah karena memikirkan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya dan calon anak mereka.
“Maafkan aku ... aku─”
“Ssst ... sudahlah, jangan lagi memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak kau pikirkan.” Naruto menggenggam tangan Hinata dan menatapnya dalam. “Apapun yang ada di dalam kepala cantikmu itu, entah masalah apa. Kau bisa membaginya denganku.”
“Naruto...”
“Dan ingatlah, Hinata aku di sini, aku ada bersamamu. Dan kalaupun kau masih menganggap semua ini adalah kesalahanmu. Itu salah. Jangan pernah menganggap semua kejadian ini adalah salahmu atau apapun yang kau pikirkan. Aku bersamamu karena keinginanku sendiri. Dan ku mohon mulai saat ini belajarlah mencintaiku dan aku juga akan berusaha mencintaimu. Demi anak yang berada di dalam kandunganmu. Anak kita.”
Air mata Hinata keluar, mengalir dan membasahi kedua pipinya. Kata-kata Naruto seperti air hujan yang menolong kehidupan bunga yang hidup di padang gurun. Perlahan bertumbuh dan berkembang. Sama seperti hatinya yang terlalu banyak tergores luka perlahan menutup oleh obat yang bernama kasih sayang.
“Na, Naruto-kun ... a, aku─”
“Tidak apa-apa. Jangan katakan sesuatu yang bisa menghancurkan suasana ini. Kau cukup katakan ‘iya’ dan belajarlah mencintaiku, maka kita akan berakhir bahagia. Kau, aku, dan calon buah hati kita ini.” ucapnya lembut seraya mengelus perut Hinata yang masih tergolong rata.
Wajah Hinata memerah merasakan elusan tangan Naruto di perutnya, terlebih dengan kata-kata ‘indah’ yang baru saja terlontar dari mulut lelaki itu. Kata-kata yang mampu membuatnya percaya bahwa dirinya akan mendapatkan ending yang benar-benar bahagia.
“Terima kasih, Naruto-kun.” Ucapnya tersenyum diselingi dengan isak bahagia. Terima kasih telah menjadi malaikat yang sudah menyelamatkanku dari keputus-asaan, terima kasih telah menarikku dalam kegelapan dan memberiku cahaya baru. Terima kasih telah menjadi cahayaku. Lanjut Hinata dalam hati.
“Kalau begitu istirahatlah. Kau harus banyak-banyak istirahat demi ‘dia’. Aku akan memasakkanmu bubur. Apa kau membutuhkan sesuatu?”
Hinata menggeleng, “Tidak ada. Maaf, yah sudah merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa kerepotan Hinata, justru aku merasa senang ‘melayanimu’. Oh, ya. Apa kau membutuhkan sesuatu, sebelum aku pergi?” Hinata menggeleng. “Kalau begitu aku pergi dulu.” Naruto membantu Hinata kembali berbaring sebelum pergi dan mengecup singkat dahi Hinata singkat. Perlakuan yang kembali membawa rona merah di pipi Hinata.
.
.
.
.
.
.
TBC
Kun (君【くん】) adalah akhiran kecil: Gelar ini bisa digunakan juga oleh perempuan ketika menyebutkan laki-laki yang sangat berarti baginya atau dikenalnya sejak lama.
Chan (ちゃん) adalah akhiran kecil; gelar ini mengungkapkan bahwa si pembicara sedang berbicara pada orang yang dikasihi.
San (さん) ,kadang-kadang diucapkan han (はん) pada Dialek Kansai, adalah gelar kehormatan paling umum dan mempunyai arti hormat yang sama dengan "Tuan", "Nyonya", "Nona", dll.
Okaa-san (お母さん): Ibu, ata okaa-sama. dari haha (母).
Oba-san (伯母さん/小母さん/叔母さん 【おばさん】): Bibi (perempuan paruh baya). -san bisa diganti dengan -sama atau -chan.
Obaa-san (お祖母さん/御祖母さん/御婆さん/お婆さん 【おばあさん】): nenek. -san bisa diganti dengan -sama atau -chan.
Selanjutnya : Chapter 4
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment