Ada kalanya seorang sahabat hanya akan menjadi seorang pendengar yang baik, namun juga sebagai penonton yang baik. Kita tidak akan selamanya membeberkan suatu rahasia pada sahabat, dan membagi dengannya. Kadang kala kita membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menguatkan hati, untuk membaginya.
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
ASAM ASIN MANIS PAHIT
Chapter 4
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
“Sasuke!? Apa... Kau juga menyukaiku?” Tanya Sakura ragu-ragu. Hatinya bergemuruh tidak tenang. Cemas dengan jawaban yang akan diutarakan Sasuke.
“Tidak...” Jawab Sasuke singkat. Berniat menggoda Sakura.
“Tapi aku sangat mencintaimu.” Lanjut Sasuke. Dia sangat malu mengatakannya, memindahkan semua egonya, ia menuturkan kata-kata sakral itu pada sakura. Tak ingin Sakura melihat wajah meronanya, ia pun membenamkan kepalanya di antara perut dan paha Sakura.
Tes... Tes... Tes...
Air mata Sakura pun akhirnya tumpah ruah hingga mengenai pipi Sasuke. Namun bukan air mata kesedihan seperti yang tadi, akan tetapi air mata kebahagiaan.
“Aku pikir kamu mau menikahiku hanya karena merasa bersalah dan rasa tanggung jawabmu.”
“aku sudah pernah bilangkan. Aku akan belajar mencintaimu dan sekarang aku sudah benar-benar mencintaimu.”
“Tidak...” Jawab Sasuke singkat. Berniat menggoda Sakura.
“Tapi aku sangat mencintaimu.” Lanjut Sasuke. Dia sangat malu mengatakannya, memindahkan semua egonya, ia menuturkan kata-kata sakral itu pada sakura. Tak ingin Sakura melihat wajah meronanya, ia pun membenamkan kepalanya di antara perut dan paha Sakura.
Tes... Tes... Tes...
Air mata Sakura pun akhirnya tumpah ruah hingga mengenai pipi Sasuke. Namun bukan air mata kesedihan seperti yang tadi, akan tetapi air mata kebahagiaan.
“Aku pikir kamu mau menikahiku hanya karena merasa bersalah dan rasa tanggung jawabmu.”
“aku sudah pernah bilangkan. Aku akan belajar mencintaimu dan sekarang aku sudah benar-benar mencintaimu.”
.
.
.
.
.
Pair: SasuSaku
Rate: T
Genre: Romance & Hurt/Comfort
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
.
.
~Happy Reading~
.
.
.
.
.
Mentari telah tiba menggantikan pekerjaan sang bulan untuk menerangi dunia. Semua tumbuhan bahkan hewan pun merasa senang akan kedatangan sang raja siang. Bunga-bunga tampak bermekaran menyambut pagi bahkan burung-burung pun ikut bernyanyi mengiringi semangat baru bagi makhluk hidup yang lain. Pagi yang tampak indah bukan? Namun, sepertinya keindahan pagi ini tak sampai membuat dua insan manusia ini untuk segera bangun dari mimpi indah mereka. Mereka lebih bersemangat untuk terus berada di dunia mimpi dari pada menyambut pagi yang cerah ini. Bahkan sinar mentari yang menyinari wajah mereka pun tak dihiraukan. Mereka tetap saja tidur dan memposisikan diri agar lebih nyaman. Hingga suara getaran ponsel milik Sakura membuat mimpi indah mereka terpaksa harus berakhir.
Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali agar terbiasa dengan sinar matahari yang tepat mengenai wajahnya. Badannya terasa sangat nyaman berada di dalam pelukan Sasuke membuat dirinya enggan untuk segera beranjak dari sana.
Dia sangat menyukai kebersamaan mereka saat ini. Rasanya dia sudah seperti seorang istri. Istri yang amat disayangi oleh suaminya. Lihat saja pelukan posesif dari laki-laki itu, seakan Sakura akan meninggalkannya jika saja tangannya terlepas dari tubuh Sakura dan Sakura sangat menyukai pelukan itu. Peukan yang menyatakan bahwa dirinya sangat dibutuhkan oleh seseorang dan sangat dicintai oleh seseorang.
Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali agar terbiasa dengan sinar matahari yang tepat mengenai wajahnya. Badannya terasa sangat nyaman berada di dalam pelukan Sasuke membuat dirinya enggan untuk segera beranjak dari sana.
Dia sangat menyukai kebersamaan mereka saat ini. Rasanya dia sudah seperti seorang istri. Istri yang amat disayangi oleh suaminya. Lihat saja pelukan posesif dari laki-laki itu, seakan Sakura akan meninggalkannya jika saja tangannya terlepas dari tubuh Sakura dan Sakura sangat menyukai pelukan itu. Peukan yang menyatakan bahwa dirinya sangat dibutuhkan oleh seseorang dan sangat dicintai oleh seseorang.
...
Suara dengkuran halus membuat Sakura mengalihkan atensinya ke asal suara itu.dibalikkan badannya dan melihat seorang yang memiliki sudara dengkuran itu. Sudut bibirnya terangkat kala sosok pria yang tengah tertidur sambil memeluknya. Hatinya kembali bersemi kala mengingat kalimat yang Sasuke ungkapkan padanya semalam. Kalimat singkat namun begitu bermagna hingga membuatnya tersenyum terus.
Tidak pernah Sakura bayangkan dalam dua puluh dua tahun hidupnya, dia akan mengalami kehidupan seperti ini. Entah itu adalah sebuah kesialan atau sebuah keberuntungan yang nantinya akan membimbingnya menuju kebahagian.
Dimulai dari bertemu dengan seorang pria karena sebuah tragedi hingga membuatnya jatuh terpuruk dalam kesedihan yang berlarut bahkan nyaris gila. Selanjutnya dirinya diharuskan untuk belajar mencintai pria itu hingga akhirnya dia benar-benar merasakan perasaan itu tulus tanpa dibarengi oleh sebuah belenggu keterpaksaan dan untungnya pria itu ternyata juga mencintanya.
Ia Uchiha Sasuke.
Pria yang biasa memancarkan aura dingin namun begitu hangat, memiliki pesona yang tidak bisa diabaikan oleh banyak orang yang lantas dia izinkan untuk mengisi kekosongan hatinya, dan sebagai pelengkap, laki-laki itu adalah ayah bagi janin yang berada dalam perutnya.
Dan sekarang laki-laki itu tertidur seperti seorang pangeran yang menanti seorang putri untuk membangunkannya. Wajah yang dihiasi dengan mata, hidung, dan bibir yang pas dengan rambut raven sebagai bingkai juga ditambah dengan pesona yang sering membuat wanita terkagum-kagum padanya sungguh benar-benar mengambarkan sosok seorang pangeran. Tangan Sakura kemudian terjulur dan menyentuh wajah itu, membelainya penuh kasih merasakan lembutnya wajah laki-laki itu.
Sakura teringat kembali kejadian-kejadian yang telah mereka alami selama ini. Awal pertemuan mereka, hingga kebersamaan mereka─ walaupun hanya sedikit waktu untuk setiap pertemuan mereka namun meninggalkan debar-debar kecil yang menyengat─ dan pengakuan mereka semalam yang benar-benar membuat kebahagiaannya terasa lengkap.
Drrrrrtr.... Drrrrrt.... Drrrrrt....
Kembali ponsel Sakura bergetar, menyadarkan dia dari lamunannya. Dia berbalik dan mengambil ponselnya di atas meja nakas samping tempat tidurnya.
Ino calling....
“hhh... Ternyata Ino” gumamnya. Sakura kemudian menggeser icon hijau pada layar ponselnya tidak mau mengganggu tidur lelap Sasuke lantas dijawabnya panggilan dari sahabatnya itu. “Ya, ada apa Ino?” Suara Sakura masih serak akibat baru bangun tidur.
“Hei… Sakura, sampai kapan kau mau tidur terus, he? Kau tidak lihat jam berapa sekarang? waktu satu minggumu itu berakhir sekarang.”
“Hn… aku tahu itu. Tapi jadwalku itu jam 9.00 pagi.” Jawab Sakura malas.
“Heh, kau masih belum bangun yah jidat? Lihat jam sekarang!? Kau pikir ini sudah jam berapa?”
Sakura melirik jam yang tergantung pada dinding kamarnya. “Hn, ini masih jam 7.45 Ino, aku masih punya banyak waktu untuk kesana. Lagipula jarak rumah sakit dengan apartemenku hanya lima belas menit.” Balas Sakura dan tak beranjak dari posisinya. Dirinya merasa lebih nyaman berada dalam pelukan posesif Sasuke.
“Aku juga tahu jidat, tapi kau ditunggu sensei sekarang─ dia mencarimu. Yah mungkin kau akan diberikan tugas lagi atau mungkin kau akan di tes. Selama kau izin aku sudah dua kali menjalani ujian. Dan sekarang, angkat pantatmu dan cepatlah kemari, kalau kau masih ingin menyelesaikan kuliahmu…”
“Yah... baiklah, arigato Ino-pig, aku akan siap-siap”
“Hei tung─”
Pip....
Sakura mematikan ponselnya sepihak, tidak ingin mendengar omelan Ino yang mungkin akan bertahan selama satu jam dan membuat kupingnya sakit dan malah membuat dirinya terlambat ke rumah sakit. Disimpannya kembali ponsel itu, kemudian beralih menghadap Sasuke dan perlahan melepaskan dekapan Sasuke dari pinggangnya agar tidak membangunkan laki-laki itu.
Namun bukannya mengendur, dekapan Sasuke malah mengencang.
“Hei… Sasuke-kun bangunlah…!” Ucapnya lembut. Namun tak ada respon dari Sasuke. Sepertinya ia masih belum bangun.
“Sasuke-kun, bangunlah! Aku harus ke rumah sakit sekarang.”
“Hn..” Gumam Sasuke
“Ayolah Sasuke! Bangunlah! Aku harus ke Rumah Sakit. Sensei mencariku.” Bujuk Sakura berharap Sasuke melepaskannya.
“Bilang saja pada ba-san, kau bersamaku” kata Sasuke. Masih enggan membuka matanya.
“Tidak bisa Sasuke-kun, aku ada tes hari ini.” Ucapnya masih berusaha lepas dari kukungan Sasuke.
Bukannya membebaskan Sakura ia malah membenamkan wajahnya di daerah perpotongan leher dan bahu Sakura. “Tapi aku masih ingin bersamamu.” Ucapnya manja.
“Iih... Sasuke-kun... Kenapa kau jadi manja begini sih? Aku harus ke rumah sakit sekarang, jadi tolong lepaskan. Lagipula bukankah kau juga harus masuk kantor. Kau tidak ingin di cap sebagai pemimpin malaskan karena terlambat oleh bawahanmu? Sebentar juga kita masih bisa bertemukan?”
Sasuke mendengus sebal dan melepaskan dekapannya pada Sakura. Lalu membalikkan tubuhnya tanda dia sedang ngambek. Namun bukannya Sakura membujuk Sasuke dia malah beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.
...
*~........~*
...
“Ino, apa Sakura masih lama?” Tanya seorang dokter kepada Ino. Dokter itu memiliki rambut berwarna kuning dan dikuncir dua. Dokter yang terlihat awet muda walau diusianya yang sudah menginjak kepala lima itu adalah Tsunade, pemilik Rumah Sakit Konoha International. RS itu sering dikunjungi banyak pasien dari luar Negara karena terkenal dengan dokter-dokter yang ahli di bidangnya masing-masing. Selain itu fasilitas yang tersedia juga sangat lengkap.
Ino yang ditanya menghentikan kegiatannya sebentar dan menatap sensei-ya. “Katanya sebentar lagi dia akan ke sini, sensei.” jawabnya. Ino dan Sakura adalah murid dari dokter itu, selain mereka dinas, mereka juga belajar ilmu kedokteran dari Tsunade dan mereka sudah diperbolehkan untuk menangani seorang pasien.
“Baiklah, kalau begitu. File-file yang kau bawa, simpan saja di rak penyimpanan file-ku!” Titah Tsunade kemudian beralih ke dokumen-dokumen di atas mejanya.
“Baik sensei.” Jawabnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Setelah dianggap telah beres, Ino membungkuk hormat sebelum keluar dari ruangan itu. “Saya permisi sensei!” Ucapnya sambil berlalu keluar dari ruangan itu.
Tak ada tanggapan dari sensei-nya itu, karena fokusnya masih pada dokumen-dokumen yang berada di atas mejanya. Ino meraih handle pintu dan bergerak untuk membukanya. “Oya, Ino!”
Gerakan Ino terhenti karena panggilan sensei-nya dan beralih menatap sensei-nya yang masih terpaku pada dokumen-dokumen yang sedang dia kerjakan. “Ya sensei, apa ada yang sensei butuhkan lagi?” Tanya Ino masih bergeming di tempatnya.
Tsunade menghentikan kegiatannya lantas beralih menatap Ino. Menimang-nimang untuk menanyakan sesuatu yang sudah beberapa waktu yang lalu membuat pikirannya tidak tenang. “Apa Sakura sedang ada masalah? Maksudku.. Kau tak merasa aneh terhadap perilaku Sakura akhir-akhir ini?”
Ino mengernyit bingung, “maksud sensei?”
“Kau adalah temannya bukan? Apa terjadi sesuatu pada Sakura? Dia sedikit berubah, maksudku banyak perubahan terhadap dirinya, beberapa kali ku perhatikan, baik sikap maupun perilakunya agak sedikit berubah? Ini memang bukan sesuatu yang harus aku urusi, tetapi kalian adalah murid-muridku, murid-murid yang aku percayai dan sangat ku banggakan, aku menaruh harapan besar pada kalian. Apalagi tiga bulan yang lalu saat meminta izin. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya waktu itu dan setelah itu kinerja kerjanya menurun derastis, dia banyak melakukan kesalahan, yah walau tidak fatal namun sebagai seorang calon dokter dia di tuntut tidak melakukan suatu kesalahan. Kau tahukan apa maksudku.” Kata Tsunade sambil bersandar pada sandaran kursi kerjanya dan mengingat kejadian yang sudah lampau.
“Maaf sensei, aku juga tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa padaku. Beberapa kali kutanyakan, tapi ia tetap diam tidak memberiku alas an dan dia malah makin bersedih jadi aku tidak bertanya lagi. Dan sekarang... Yah… kupikir karena akhir-akhir ini Sakura tampak bahagia, jadi aku tidak membahas masalah itu lagi.” Jelas Ino, namun tak dapat dipungkiri sesuatu dalam hatinya terasa miris, sedih ketika sahabat yang dia sayangi tidak mempercayai ataupun membagi masalahnya. Padahal dia ingin sekali membantu Sakura, mengurangi─setidaknya─ sedikit beban sahabatnya itu.
‘Kenapa aku merasa takut.’ pikirnya
“Hn” Tsunade mengangguk. “Baiklah. Ku harap dia baik-baik saja.” Sambungnya.
“Yah. Ku harap juga demikian sensei.” Sahut Ino pelan yang mungkin tidak bisa di dengar oleh sensei-nya dan tidak menatap sensei-nya. Dipikirannya sekarang adalah tentang semua sikap Sakura yang sangat berbeda. Ia lebih banyak diam dan hanya mejawab seperlunya, tak ada lagi keceriaan yang selalu dia tampakkan seperti dulu, tidak ada omelan dan adu mulut yang biasa mereka lakukan, semua seolah terhempas bagai debu yang diterbangkan oleh angin. Entah kemana diri Sakura yang dulu yang telah digantikan oleh sikap diam dan dingin Sakura.
“Hah” Tsunade menghela nafas berharap sebagian bebannya terangkat. Selain masalah rumah sakit, entah kenapa dia juga merasa bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi oleh salah satu muridnya yang berbakat. Sakura. Haruno Sakura. Entahlah, dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Sebenarnya bukan karena akan berdampak pada cara kerja Sakura dan kesia-siaan bakat yang dimilikinya, namun sesuatu yang menyangkut dari dalam dirinya sendiri. Entahlah, dia tidak mengerti dan tak ada kata yang bisa digunakan untuk menggambarkannya. Dan semoga apa yang dipirkannya salah.
“Ino!” Tak ingin berlarut dalam rasa penasarannya yang sudah over dan menjadi beban pikirannya, dia pun bertanya. Ingin mengetahui kejelasan apa yang ada dipikirannya selama ini. “Apa Sakura sedang dalam masa peningkatan berat badan?”
Kata-kata sensei-nya mengalihkan dia dari lamunannya dan beralih menatap sensei-nya. “Ya sensei?” Sahut Ino yang menunjukkan raut wajah kebingungan walau dalam hati ia mengerti maksud senseinya.
“Apa Sakura sedang dalam masa peningkatan berat badan?” Tanya Tsudane sekali lagi. “Terakhir kali tepatnya seminggu yang lalu, dia tampak lebih berisi.” Sambungnya.
DEG
‘Berisi?’ Ulangnya dalam hati. Kecurigaannya selama ini terhadap Sakura, ternyata disadari juga oleh senseinya. ‘Kami-sama semoga apa yang kupikirkan selama ini tidak benar. Ku harap Sakura baik-baik saja’ batinnya berdoa.
“Ah... Sensei juga menyadarinya? Aku juga merasa heran padanya. Badannya semakin berisi. Hehehe.─” kekehnya. Mencoba menyembunyikan perasaannya. Perasaan sesak yang sejak tiga bulan lalu menggerogoti hatinya. “─yah ku pikir dia begitu karena merasa depresi dan melampiaskannya pada makanan, akhir-akhir ini tugas dari dosen semakin banyak, walau kami sudah tidak memiliki mata kuliah lagi.” sambungnya ketika melihat ekspresi wajah sensei-nya menunjukkan ketidakpercayaan pada penjelasannya.
“Aku tahu kau menyembunyikan kecemasanmu dengan mengatakan itu Ino. Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang, karena pemikiran kita hampir sama. Aku adalah seorang dokter yang sudah sangat berpengalaman Ino dan kau pun juga sangat sering menghadapi seseorang yang mengalami ciri-ciri seperti Sakura.”
DEG
Ketakutan Ino makin bertambah dengan pernyataan senseinya itu. “Tapi sensei, kita tidak mungkin mengambil kesimpulan dengan bukti kecil seperti itu, lagi pula dia belum pernah bercerita padaku tentang masalahnya. Yah, biasanya dia akan bercerita jika punya masalah. Dan ku pikir semua yang terjadi pada Sakura akibat tugas akhir kami sensei. Jadi sikapnya juga berubah.”
‘Kami-sama, kumohon. Jangan membenarkan ini’ doa Ino dalam hati.
“Baiklah, kalau begitu. File-file yang kau bawa, simpan saja di rak penyimpanan file-ku!” Titah Tsunade kemudian beralih ke dokumen-dokumen di atas mejanya.
“Baik sensei.” Jawabnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Setelah dianggap telah beres, Ino membungkuk hormat sebelum keluar dari ruangan itu. “Saya permisi sensei!” Ucapnya sambil berlalu keluar dari ruangan itu.
Tak ada tanggapan dari sensei-nya itu, karena fokusnya masih pada dokumen-dokumen yang berada di atas mejanya. Ino meraih handle pintu dan bergerak untuk membukanya. “Oya, Ino!”
Gerakan Ino terhenti karena panggilan sensei-nya dan beralih menatap sensei-nya yang masih terpaku pada dokumen-dokumen yang sedang dia kerjakan. “Ya sensei, apa ada yang sensei butuhkan lagi?” Tanya Ino masih bergeming di tempatnya.
Tsunade menghentikan kegiatannya lantas beralih menatap Ino. Menimang-nimang untuk menanyakan sesuatu yang sudah beberapa waktu yang lalu membuat pikirannya tidak tenang. “Apa Sakura sedang ada masalah? Maksudku.. Kau tak merasa aneh terhadap perilaku Sakura akhir-akhir ini?”
Ino mengernyit bingung, “maksud sensei?”
“Kau adalah temannya bukan? Apa terjadi sesuatu pada Sakura? Dia sedikit berubah, maksudku banyak perubahan terhadap dirinya, beberapa kali ku perhatikan, baik sikap maupun perilakunya agak sedikit berubah? Ini memang bukan sesuatu yang harus aku urusi, tetapi kalian adalah murid-muridku, murid-murid yang aku percayai dan sangat ku banggakan, aku menaruh harapan besar pada kalian. Apalagi tiga bulan yang lalu saat meminta izin. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya waktu itu dan setelah itu kinerja kerjanya menurun derastis, dia banyak melakukan kesalahan, yah walau tidak fatal namun sebagai seorang calon dokter dia di tuntut tidak melakukan suatu kesalahan. Kau tahukan apa maksudku.” Kata Tsunade sambil bersandar pada sandaran kursi kerjanya dan mengingat kejadian yang sudah lampau.
“Maaf sensei, aku juga tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa padaku. Beberapa kali kutanyakan, tapi ia tetap diam tidak memberiku alas an dan dia malah makin bersedih jadi aku tidak bertanya lagi. Dan sekarang... Yah… kupikir karena akhir-akhir ini Sakura tampak bahagia, jadi aku tidak membahas masalah itu lagi.” Jelas Ino, namun tak dapat dipungkiri sesuatu dalam hatinya terasa miris, sedih ketika sahabat yang dia sayangi tidak mempercayai ataupun membagi masalahnya. Padahal dia ingin sekali membantu Sakura, mengurangi─setidaknya─ sedikit beban sahabatnya itu.
‘Kenapa aku merasa takut.’ pikirnya
“Hn” Tsunade mengangguk. “Baiklah. Ku harap dia baik-baik saja.” Sambungnya.
“Yah. Ku harap juga demikian sensei.” Sahut Ino pelan yang mungkin tidak bisa di dengar oleh sensei-nya dan tidak menatap sensei-nya. Dipikirannya sekarang adalah tentang semua sikap Sakura yang sangat berbeda. Ia lebih banyak diam dan hanya mejawab seperlunya, tak ada lagi keceriaan yang selalu dia tampakkan seperti dulu, tidak ada omelan dan adu mulut yang biasa mereka lakukan, semua seolah terhempas bagai debu yang diterbangkan oleh angin. Entah kemana diri Sakura yang dulu yang telah digantikan oleh sikap diam dan dingin Sakura.
“Hah” Tsunade menghela nafas berharap sebagian bebannya terangkat. Selain masalah rumah sakit, entah kenapa dia juga merasa bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi oleh salah satu muridnya yang berbakat. Sakura. Haruno Sakura. Entahlah, dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Sebenarnya bukan karena akan berdampak pada cara kerja Sakura dan kesia-siaan bakat yang dimilikinya, namun sesuatu yang menyangkut dari dalam dirinya sendiri. Entahlah, dia tidak mengerti dan tak ada kata yang bisa digunakan untuk menggambarkannya. Dan semoga apa yang dipirkannya salah.
“Ino!” Tak ingin berlarut dalam rasa penasarannya yang sudah over dan menjadi beban pikirannya, dia pun bertanya. Ingin mengetahui kejelasan apa yang ada dipikirannya selama ini. “Apa Sakura sedang dalam masa peningkatan berat badan?”
Kata-kata sensei-nya mengalihkan dia dari lamunannya dan beralih menatap sensei-nya. “Ya sensei?” Sahut Ino yang menunjukkan raut wajah kebingungan walau dalam hati ia mengerti maksud senseinya.
“Apa Sakura sedang dalam masa peningkatan berat badan?” Tanya Tsudane sekali lagi. “Terakhir kali tepatnya seminggu yang lalu, dia tampak lebih berisi.” Sambungnya.
DEG
‘Berisi?’ Ulangnya dalam hati. Kecurigaannya selama ini terhadap Sakura, ternyata disadari juga oleh senseinya. ‘Kami-sama semoga apa yang kupikirkan selama ini tidak benar. Ku harap Sakura baik-baik saja’ batinnya berdoa.
“Ah... Sensei juga menyadarinya? Aku juga merasa heran padanya. Badannya semakin berisi. Hehehe.─” kekehnya. Mencoba menyembunyikan perasaannya. Perasaan sesak yang sejak tiga bulan lalu menggerogoti hatinya. “─yah ku pikir dia begitu karena merasa depresi dan melampiaskannya pada makanan, akhir-akhir ini tugas dari dosen semakin banyak, walau kami sudah tidak memiliki mata kuliah lagi.” sambungnya ketika melihat ekspresi wajah sensei-nya menunjukkan ketidakpercayaan pada penjelasannya.
“Aku tahu kau menyembunyikan kecemasanmu dengan mengatakan itu Ino. Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang, karena pemikiran kita hampir sama. Aku adalah seorang dokter yang sudah sangat berpengalaman Ino dan kau pun juga sangat sering menghadapi seseorang yang mengalami ciri-ciri seperti Sakura.”
DEG
Ketakutan Ino makin bertambah dengan pernyataan senseinya itu. “Tapi sensei, kita tidak mungkin mengambil kesimpulan dengan bukti kecil seperti itu, lagi pula dia belum pernah bercerita padaku tentang masalahnya. Yah, biasanya dia akan bercerita jika punya masalah. Dan ku pikir semua yang terjadi pada Sakura akibat tugas akhir kami sensei. Jadi sikapnya juga berubah.”
‘Kami-sama, kumohon. Jangan membenarkan ini’ doa Ino dalam hati.
“Hn…” Tsunade sedikit berfikir. Penjelasan Ino memang ada benarnya, namun dia tetap tidak bisa menerima penjelasan itu. Tsunade sudah berulang kali melihat bahkan menghadapi masalah seperti ini, walau dia adalah dokter bedah namun beberapa kali pasien meminta dia untuk memeriksanya.
“Mmm... Sensei apa masih ada lagi yang akan sensei ingin katakan?” Tanyanya ragu-ragu. Dia ingin segera keluar dari ruangan itu, dia tidak ingin mendengar pertanyaan atau pernyataan sensei-nya yang bisa membuatnya semakin sesak dan semakin membenarkan pikiran gilanya. ‘tidak mungkin Sakura mengalami hal itu.’ pikirnya optimis mencoba meneguhkan dirinya tetap mempercayai sahabatnya.
“Ah… tidak ada. Baiklah, kau boleh pergi!” sahutnya tanpa memandang muridnya.
“Hai’ sensei.” Ino berbalik meninggalkan sensei-nya yang diam dalam pikirannya.
Sepeninggal Ino, Tsunade menghembuskan nafas kuat-kuat, kembali termenung memikirkan murid-murid didikannya terutama Sakura. Ia tahu bahwa gadis itu sedang dalam masalah, masalah yang sangat berat. Namun ia juga tak bisa bertanya lebih lanjut, ia tak berhak mencampuri semua urusan muridnya, sekali pun teramat... sayang.
Usai mandi Sakura merasa sangat segar dan ringan. Pikiran-pikiran buruk tentang perasaannya yang tak terbalas terhadap Sasuke telah menguap. Setelah semalam mereka jujur akan perasaan masing-masing. Perasaan yang tersembunyi akibat kabut hitam bernama keraguan dan rasa takut kehilangan.
Selama ini Sakura mengira semua perhatian Sasuke adalah karena tanggung jawabnya dan hanya dirinya yang merasakan perasaan cinta itu dan untunglah semua perkiraannya salah. Sasuke juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Bahagia dan haru, tentu saja. Walau masih ada beberapa masalah yang harus dia selesaikan terutama kebohongannya pada orang-orang terdekatnya. Namun itu semua tidaklah menjadi masalah yang besar. Sakura yakin mampu menyelesaikannya, walau dalam waktu yang sedikit lama.
Sakura segera memakai handuk, tak ingin membuat Sasuke semakin lama menunggunya apalagi sensei-nya juga sudah mencarinya. Ia tak ingin membuat sensei-nya semakin geram terhadapnya. Sudah cukup kebaikan yang diterimanya dari sensei-nya, seminggu waktu yang diberikan untuknya berlibur─menenangkan pikiran─sudah cukup untuknya.
Sakura kemudian melangkahkan kaki-kaki jenjangnya keluar dari kamar mandi, tanpa menghiraukan apa yang dikenakannya saat ini dan orang yang sedang menunggunya dalam kamarnya.
Sakura menyerngit bingung mendapati Sasuke yang duduk di atas tempat tidur dalam diam tak bergeming dengan mulut yang mengap-mengap sambil menatapnya tanpa berkedip.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?” Tanya Sakura bingung tanpa menyadari pakaian yang saat ini dikenakannya juga penampilan yang akan membangunkan singa yang saat ini sedang tertidur. Dengan handuk yang hanya bisa menutupi sebagian dada dan pahanya juga tatanan rambutnya yang diikat asal sehingga leher jenjangnya terlihat. Sakura nampak sangat... Seksi sekarang.
“Sakura!?” Ucap Sasuke serak sambil mendekati Sakura. “Kau sedang menggodaku Sakura? Apa kau ingin kita melakukannya, hm?” Bisik Sasuke serak sambil memeluk Sakura dari belakang Sakura. Tak lupa mengelus-elus perut Sakura yang sedikit membuncit.
Mendengar ucapan Sasuke, Sakura jadi merinding. Hembusan nafas Sasuke yang menerpa lehernya membuat sesuatu dari dalam dirinya bergejolak aneh, seakan menginginkan Sasuke, namun tidak mengerti apa yang benar-benar dia inginkan dari Sasuke. “A... Apa maksudmu Sasuke? To.. Tolong lepaskan tanganmu!” ucap Sakura tergagap berusaha melepaskan diri dari lengan kokoh Sasuke. ia tampak risih dengan kelakuan Sasuke itu namun juga merasa senang. Entahlah.
Gerakan Sakura yang mencoba melepaskan diri dari Sasuke semakin meningkatkan gairah Sasuke, yang lantas membuat Sasuke semakin mengeratkan dekapannya. “Kau yang membuatku seperti ini Sakura. Kau memancingku dengan tampilan seksimu sayang.” Bisiknya serak di telinga Sakura.
“Sa... Ssu... Keh.. Ku.. mohonh..” desah Sakura akibat ulah Sasuke yang semakin menjadi. Mengecup leher Sakura dan sesekali menggigitnya lembut membuat Sakura merasakan gelenyar-gelenyar aneh dalam tubuhnya.
“Kau harus bertanggung jawab Sakura! Kau membuat adikku terbangun.” Ucap Sasuke dengan seringainya dan semakin gencar mencium tengkuk Sakura.
“A.. Apa maksudmu sa..ssuke..? Ku mohon lepaskan aku. Aku harus ke rumah sakit sekarang.” Rengeknya
“Tidak!” tolaknya mentah-mentah.
“Sasuke! Aku akan dimarahi sensei kalau telat. Sensei sangat mengerikan jika marah. Aku sudah mengambil izin selama seminggu. Tadi Ino menghubungiku kalau sensei sedang mencariku. Jadi ku mohon lepaskan aku. Aku tidak ingin dikeluarkan sebelum menyelesaikan dinasku.”
“Cih” dengusnya kesal dan segera melepaskan tangannya.
Dirasa sudah tidak ada lagi lengan Sasuke yang menahannya, Sakura tak menyia-nyiakan kesempatan itu lantas segera melepaskan diri dan menuju lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya.
Sakura menyerngit dan menghentikan gerakannya, kemudian berbalik dan menatap Sasuke yang tak kunjung keluar dari kamarnya. “Loh, Sasuke. Kenapa masih di sini? Aku mau pakai baju. Keluarlah!” lantas bergerak menuju Sasuke dan menariknya keluar kamar.
Sasuke menghentikan tindakan Sakura dan memegang kedua tangan Sakura dengan lembut, “ganti saja di situ! aku malas keluar kamar. Di luar suhunya dingin!” ujar Sasuke dan beranjak naik ke tempat tidur.
“Sasuke, keluarlah! Aku tidak ingin kau ada di dalam kamar. Aku mau ganti baju.” Rengek Sakura dan berusaha menarik Sasuke turun dari tempat tidur agar bisa membawanya keluar kamar.
“Aku sudah bilang aku tidak mau keluar. Kau saja yang keluar, atau pakai saja di situ. lagipula kenapa malah malu, toh sebentar lagi kita akan menikah dan itu berarti aku juga akan sering melihatmu seperti itu.” Bantah Sasuke, “Lagipula─” Sasuke sengaja menjeda untuk menggoda Sakura “aku sudah melihatnya dulu.” Lanjutnya diserta dengan seringai.
BLUSH
Pipi Sakura merona akibat ucapan Sasuke, “A…a…apa ma..maksudmu?” Ucapnya gagap, “aaaaahh.....Sudahlah! Cepat keluar!” Rengeknya sambil mendorong tubuh tegak ayah dari calon anaknya itu.
Sasuke menghentikan gerakan Sakura dengan menahan kedua tangan Sakura yang mendorongnya. “Aku masih mengingatnya loh.” Imbuhnya kemudian menyeringai.
“Sa... Sssu..ke... Ap─” gugu Sakura, “a..aa..ahh... Sudahlah Sasuke! Aku harus bersiap, kalau tidak sensei akan memarahiku.” Lama-lama digoda Sasuke membuat Sakura semakin dongkol. Ia mendorong Sasuke semakin kuat hingga membuat Sasuke terjerembat dan nyaris mencium dinding kamar Sakura.
“Astaga Sakura. Kau itu perempuan bukan sih. Aku hampir saja mencium tembok. Kamu mau bibir bekas tembok?” Sungut Sasuke dan mengelus-elus dadanya kaget.
Sakura yang melihat tingkah Sasuke hanya bisa tersenyum. Tingkah laki-laki itu sangat berbeda pada orang lain yang selalu menampakkan aura intimidasi, dingin serta muka datar hingga membuatnya sulit bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Dan di depannya sekarang, laki-laki itu terlihat kekanakan dan lebih hangat bahkan tadi sempat menunjukkan kemesumannya juga.
“Kenapa malah tersenyum? Kau senang jika aku mencium tembok, hm?” Sasuke semakin dongkol melihat tingkah Sakura yang malah tersenyum melihatnya menderita. Dia tidak lagi memedulikan penampilan Sakura sekarang.
“Maaf yah Sasuke-kun!? Kau lucu sekali tadi.” Kekeh Sakura pelan. Dalam lubuk hati Sakura merasa bahagia, karena merasa sifat Sasuke sekarang ini hanya diperlihatkan padanya atau mungkin juga kepada keluarganya.
“Apa!?” Seru Sasuke sambil meloloti Sakura dan membuat Sakura semakin terkikik. Dia memang kesal dengan tingkah Sakura namun hati Sasuke terasa hangat melihat Sakura yang tersenyum. Senyum tulus tanpa beban apapun dan Sasuke berharap senyum itu tak akan pernah pudar dan hilang darinya.
“Hm... bukan apa-apa Sasuke-kun. Sebaiknya Sasuke-kun keluar dan membersihkan diri. Kau bau sekali.” Canda Sakura sambil menutup hidung dan mengibaskan tangannya.
Sasuke yang dikatakan seperti itu lantas mendengus bau badannya sendiri. “Hhh, baiklah..” dirasanya badannya memang agak berbau, Sasuke akhirnya mengalah dan melangkahkan kakinya keluar kamar Sakura, namun sebelum benar-benar keluar kamar dengan gerakan tiba-tiba Sasuke mengecup bibir Sakura.
“Ah... Sasuke!” Seru Sakura tertahan. Kaget namun sangat bahagia mendapat perlakuan seperti itu dari Sasuke. ‘Ya Tuhan semoga kami bisa seperti ini selamanya. Aamiin’ doa Sakura dalam hati lantas sunggingkan seulas senyum.
“Hhh” desah sakura melihat pantulan dirinya di kaca. “Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin selamanya seperti ini?” Gumamnya sambil mengelus-elus perutnya. “Sayang apa yang harus ibu lakukan?” Ucapnya kemudian lantas menatap nanar pada perutnya.
Sakura berjalan ke ruang tengah tempat biasa Sasuke menunggunya namun tidak mendapati siapapun di sana. Gadis itu lantas menuju ruang pantry, mungkin saja laki-laki itu menunggunya di sana dan benar saja, Sasuke tengah duduk santai sambil menyesapi kopi hitamnya, di temani dua piring roti bakar dan segelas susu yang ia yakini untuknya.
“Sasuke, apa kau yang membuat ini semua?” Tanyanya sedikit takjub melihat sarapan di depannya. Bukan karena sarapannya enak atau tampilannya yang mengunggah selera, namun karena si pembuatnya. Selama ini dia pikir Sasuke adalah pria yang hanya bisa menyuruh pelayannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ternyata dia salah. ‘Don’t judge a book by the cover’ pikirnya.
“Makanlah Sakura. Kau tahu apa jawabannya tanpa perlu ku jawab.” Jawabnya tak acuh sambil meminum kopinya tanpa memperhatikan Sakura yang mendengus sebal padanya.
“Kita sudah sampai Sakura.” ucap Sasuke tiba-tiba dan membuat lamunan Sakura terhenti. Sepanjang perjalanan mereka tadi, tak satupun ada yang buka suara. Sasuke memilih diam dan focus pada jalan dan Sakura dengan lamunannya.
“Ah.. oh... eh, maaf aku tidak sadar.” Sakura tergugu menyadari kebodohannya yang terlalu asik dalam dunianya hingga tak menyadari mereka telah sampai.
“Jangan banyak pikiran Sakura! kau tahukan di dalam tubuhmu sekarang ada calon anak kita dan aku tidak mau terjadi sesuatu padanya.” Kata-kata Sasuke tepat menyentak kesadaran Sakura. Sasuke benar, dalam tubuhnya ada calon anak mereka yang harus ia jaga. Betapa bodohnya ia tidak memikirkan kondisi janinnya itu dan egois malah memikirkan dirinya sendiri.
Sakura mengelus perutnya dengan lembut, “maafkan ibu yah sayang, apa kamu baik-baik saja di dalam sana?” Emeralnya kemudian digulirkan menatap onix pria di sampingnya. “Aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku Sasuke!?” Ucapnya dengan sorot mata penuh penyesalan.
Sasuke tidak menjawab malah merengkuh Sakura, membawa dalam pelukannya Membelai rambut Sakura serta memberikan kecupan lembut di puncak kepala Sakura. “Jangan memikirkan sesuatu yang berat Sakura! Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian berdua. Aku sangat mencintai kalian berdua.” Tutur Sasuke lembut masih mendekap Sakura.
Mendengar penuturan Sasuke membuat Sakura semakin merasa bersalah, digenggam erat kerah kemeja Sasuke dan membenamkan wajahnya di dada laki-laki itu. Setetes air mata jatuh dari sudut emerald, mendongak menatap Sasuke, “Arigato, Sasuke-kun. Aishiteru.” Gumam Sakura terdengar lirih.
Sasuke tersenyum lalu mengecup kedua mata Sakura. “Jangan menangis Sakura, tiap tetesan air mata yang kau keluarkan akan memberikan luka di hatiku.” Ucap Sasuke tulus.
Sakura terkesiap mendengar kalimat Sasuke yang seolah sedang merayunya segera di dongakkan kepalanya lalu menatap Sasuke yang tengah merona. “Apa kau sedang merayuku Sasuke-kun?” Sakura sunggingkan seulas senyum karena sesuatu yang sangat langkah terjadi. Ditatapnya Sasuke dengan pandangan jenaka yang tentu saja tidak akan disadari karena Sasuke yang enggan menatap Sakura.
Sasuke gulirkan onix-nya menatap ke sembarang arah asal tidak pada Sakura. Dirinya sudah cukup malu karena kata-kata yang dia ucapkan barusan. “Ayo kita turun Sakura, ku rasa sensei-mu tak bisa menunggu terlalu lama. Kau tidak ingin dia semakin marahkan.” Ucap Sasuke tenang, menutupi kegugupannya.
Dengan tidak rela Sakura lepaskan rengkuhan Sasuke dan kembali menatap pria itu sebal. “Kau merusak suasana Sasuke-kun. Tapi kau memang benar. Ayo kita turun.” Ucapnya dan segera keluar, tidak ingin ucapan Sasuke sampai terjadi.
...
Mereka berdua berjalan bersisian dan membuat banyak pasang mata yang memperhatikan mereka iri namun juga penasaran. Sakura yang cantik dan Sasuke yang tampan. Selama ini baik Sakura maupun Sasuke tak pernah terlihat jalan bersama apalagi sekarang mereka tampak akrab. Banyak dari orang-orang yang di rumah sakit yang menggosipkan mereka namun tak sedikitpun dipedulikan. Bagi mereka, suara dari orang-orang itu seperti bunyi burung yang biasa tidak diacuhkan.
“Hei Forehead...!” Teriak Ino, yang langsung dihadiahi tatapan deathglare dari Sakura sedang Sasuke yang mendengarnya tampak menyerngit bingung dengan panggilan Sakura yang seperti penghinaan.
“Ya Ino-pig, aku sudah datang sekarang.” Jawab Sakura malas. “Ngomong-ngomong kenapa sensei mancariku?” Tanya Sakura seraya meneruskan langkahnya ketika Ino sudah bersisian jalan dengannya.
Ino mengendikkan bahu. “Aku juga tidak tahu, dia belum memberitahuku. Dia hanya menyuruhku menghubungimu.” Sahut Ino santai. Kemudian digulirkan aquamarine-nya pada Sasuke. “Oh.. Ya, dia siapa?” tanyanya berpura-pura tak acuh padahal dalam hati sudah teriak kegirangan karena bisa jalan bersisian dengan seorang seperti Sasuke.
“Dia Sasuke” jawab Sakura cuek. Dia tahu maksud Ino apa, tetapi pura-pura tidak tahu. Saat ini dia lagi malas meladeni Ino yang mungkin akan menghujaninya berbagai macam pertanyaan.
“Aku tahu itu, aku sering melihatnya di televisi, bahkan di sini, di rumah sakit ini. Yang ku maksud kenapa kalian bisa bersama dan tampaknya kalian saling mengenal?” Tanya Ino curiga dan menatap Sasuke dalam.
“Entahlah.” Sahut Sakura cuek. Sekarang prioritas utamanya adalah menemui sensei-nya dan menyelesaikan urusannya dengan sensei-nya.
Jawaban Sakura disambut dengan kebingungan Ino lantas beralih menatap Sasuke yang nampak tak acuh pada jawaban Sakura. Laki-laki tampan dengan pesona luar biasa itu tampaknya tidak tertarik dengan pembicaraan dirinya dengan Sakura dan terus berjalan dengan angkuh bersama mereka.
“Hai Sasuke, aku Yamanaka Ino, kau boleh memanggilku Ino. Ngomong-ngomong kapan kalian kenalan. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, bukannya sok tahu yah, aku dan Sakura sudah saling mengenal sejak kecil dan kami selalu bersama, semua teman-teman Sakura adalah temanku juga tapi kau... aku baru pertama kali melihatmu bersama Sakura.” Cerocos Ino sambil memperhatikan penampilan Sasuke. menyelidik juga mengagumi.
“Hn” balas Sasuke singkat dan hanya melirik Ino sekilas.
Ino mengerjap beberapa kali tak percaya mendapat balasan seperti itu dari Sasuke. Puluhan kata yang dia lontarkan untuk laki-laki itu namun dibalas dengan jawaban tak berselera seperti itu. Ya Tuhan sebegitu tidak pentingkah semua ucapan dari Ino. Baru kali ini ia bertemu dengan laki-laki seperti ini, dia sangat arogan dan sombong. Sial.
“Sakura, dari mana kau bertemu dengan laki-laki seperti ini?” aquamarine Ino beralih menatap Sakura penasaran. Agak kesal juga karena sikap laki-laki itu padanya dan melimpahkan kepada Sakura.
“Entahlah.” Sakura tidak terlalu memedulikan pertanyaan Ino dan terus berjalan. Dalam hati Sakura juga menyesal memperlakukan sahabatnya seperti itu, namun─ entahlah. Dia hanya merasa malas banyak bicara dengan orang lain termaksud sahabatnya sendiri, tetapi mungkin akan menjadi pengecualian pada Sasuke. Sakura malah ingin terus berdua dengan Sasuke dan menghabiskan waktu dengan mengobrol.
“Tch...~” Ino tak bertanya dan berjalan bersisian dengan mereka berdua. Hatinya miris melihat sikap Sakura yang masih tetap sama seperti terakhir kali bertemu, tidak lagi memedulikan ucapan ataupun ocehannya. Apakah Sakura yang dulu akan kembali? Ino jadi merindukannya.
Seolah mengerti keadaan sahabatnya, Sakura berucap “Kita bicarakan sebentar Ino, aku tidak ingin membuat sensei semakin lama menungguku, sudah cukup izin selama seminggu itu.” dan kembali menatap jalan tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Ino yang sedikit lega. Sebetulnya dia tahu bahwa Ino tadi terlihat sedih karena sikap tak acuhnya, makanya dia kembali berucap.
“Baiklah.” Sahut Ino tersenyum kecil. Walau terkesan datar namun ia tetap puas karena sahabatnya bisa berbicara panjang.
Dan sepanjang perjalanan mereka hanya diselingi dengan kesunyian. Ino yang selalu cerewet jadi diam dan tak sepatah kata pun dia lontarkan. Dia seolah terbawa arus yang diciptakan oleh Sasuke dan Sakura. Sekilas Ino melirik dua insan itu, ada rasa canggung yang menghinggapinya kala ingin menghilangkan suasana itu.
Tok…. Tok…. Tok….
“Masuk!” terdengar suara perintah di balik pintu.
CEKLEK. Pintu terbuka menampakkan ruangan serba putih namun ada sedikit hiasan yang terletak di sisi kanan-kiri tempat duduk pemilik ruangan itu. daun maple merah buatan dengan sulur-sulur akar yang tampak menggantung. Sedang pemiliknya tengah sibuk dengan dokumen-dokumen yang berada di atas mejanya. Ino. Sakura, dan Sasuke pun kemudian masuk ke dalam ruangan itu.
“Sa’─ Eh… Sasuke, kau─ ada apa kau datang kemari? Ah.. kau ingin melihat hasil pemerksaan Itachi? Lalu kenapa kau bisa bersama mereka? Kau mengenal mereka?” Tanyanya tanpa jeda
“Hn”
Tanpa perlu memberitahu lebih lanjut arti gumaman Sasuke, Tsunade sudah mengetahuinya. Sedikit digeser laci mejanya dan mengambil map kuning dan segera diserahkan pada Sasuke. “Itu hasil pemeriksaan Itachi selama seminggu ini.” jelasnya lalu beralih menatap kedua muridnya “dan kalian berdua, masuklah di ruang penyimpanan, ada map biru di atas meja. Itu adalah tugas untukmu Sakura.” Lanjutnya pada Sakura dan Ino.
“Baik” jawab Ino dan Sakura bersamaan. Tak menunggu lama Ino dan Sakura pun lekas menuju ruang penyimpanan yang dimaksud, berjalan dalam keheningan tanpa seorang pun yang buka suara. Sampai di sana, baik Ino maupun Sakura tetap sibuk dengan lamunan mereka masing-masing dan mencari map yang dimaksud dalam diam.
Hingga rasa penasaran Ino melebihi kapasitas otaknya. Langsung saja dia hampiri Sakura lalu bertanya, walau agak ragu. “Mm... Sakura!”
Sakura beralih menatap sahabatnya. Merasa aneh dengan tingkah sahabatnya yang jarang dia lihat. Mata Ino terlihat gusar menatapnya.
“Mmm... Sensei apa masih ada lagi yang akan sensei ingin katakan?” Tanyanya ragu-ragu. Dia ingin segera keluar dari ruangan itu, dia tidak ingin mendengar pertanyaan atau pernyataan sensei-nya yang bisa membuatnya semakin sesak dan semakin membenarkan pikiran gilanya. ‘tidak mungkin Sakura mengalami hal itu.’ pikirnya optimis mencoba meneguhkan dirinya tetap mempercayai sahabatnya.
“Ah… tidak ada. Baiklah, kau boleh pergi!” sahutnya tanpa memandang muridnya.
“Hai’ sensei.” Ino berbalik meninggalkan sensei-nya yang diam dalam pikirannya.
Sepeninggal Ino, Tsunade menghembuskan nafas kuat-kuat, kembali termenung memikirkan murid-murid didikannya terutama Sakura. Ia tahu bahwa gadis itu sedang dalam masalah, masalah yang sangat berat. Namun ia juga tak bisa bertanya lebih lanjut, ia tak berhak mencampuri semua urusan muridnya, sekali pun teramat... sayang.
...
*~........~*
...
Usai mandi Sakura merasa sangat segar dan ringan. Pikiran-pikiran buruk tentang perasaannya yang tak terbalas terhadap Sasuke telah menguap. Setelah semalam mereka jujur akan perasaan masing-masing. Perasaan yang tersembunyi akibat kabut hitam bernama keraguan dan rasa takut kehilangan.
Selama ini Sakura mengira semua perhatian Sasuke adalah karena tanggung jawabnya dan hanya dirinya yang merasakan perasaan cinta itu dan untunglah semua perkiraannya salah. Sasuke juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Bahagia dan haru, tentu saja. Walau masih ada beberapa masalah yang harus dia selesaikan terutama kebohongannya pada orang-orang terdekatnya. Namun itu semua tidaklah menjadi masalah yang besar. Sakura yakin mampu menyelesaikannya, walau dalam waktu yang sedikit lama.
Sakura segera memakai handuk, tak ingin membuat Sasuke semakin lama menunggunya apalagi sensei-nya juga sudah mencarinya. Ia tak ingin membuat sensei-nya semakin geram terhadapnya. Sudah cukup kebaikan yang diterimanya dari sensei-nya, seminggu waktu yang diberikan untuknya berlibur─menenangkan pikiran─sudah cukup untuknya.
Sakura kemudian melangkahkan kaki-kaki jenjangnya keluar dari kamar mandi, tanpa menghiraukan apa yang dikenakannya saat ini dan orang yang sedang menunggunya dalam kamarnya.
Sakura menyerngit bingung mendapati Sasuke yang duduk di atas tempat tidur dalam diam tak bergeming dengan mulut yang mengap-mengap sambil menatapnya tanpa berkedip.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?” Tanya Sakura bingung tanpa menyadari pakaian yang saat ini dikenakannya juga penampilan yang akan membangunkan singa yang saat ini sedang tertidur. Dengan handuk yang hanya bisa menutupi sebagian dada dan pahanya juga tatanan rambutnya yang diikat asal sehingga leher jenjangnya terlihat. Sakura nampak sangat... Seksi sekarang.
“Sakura!?” Ucap Sasuke serak sambil mendekati Sakura. “Kau sedang menggodaku Sakura? Apa kau ingin kita melakukannya, hm?” Bisik Sasuke serak sambil memeluk Sakura dari belakang Sakura. Tak lupa mengelus-elus perut Sakura yang sedikit membuncit.
Mendengar ucapan Sasuke, Sakura jadi merinding. Hembusan nafas Sasuke yang menerpa lehernya membuat sesuatu dari dalam dirinya bergejolak aneh, seakan menginginkan Sasuke, namun tidak mengerti apa yang benar-benar dia inginkan dari Sasuke. “A... Apa maksudmu Sasuke? To.. Tolong lepaskan tanganmu!” ucap Sakura tergagap berusaha melepaskan diri dari lengan kokoh Sasuke. ia tampak risih dengan kelakuan Sasuke itu namun juga merasa senang. Entahlah.
Gerakan Sakura yang mencoba melepaskan diri dari Sasuke semakin meningkatkan gairah Sasuke, yang lantas membuat Sasuke semakin mengeratkan dekapannya. “Kau yang membuatku seperti ini Sakura. Kau memancingku dengan tampilan seksimu sayang.” Bisiknya serak di telinga Sakura.
“Sa... Ssu... Keh.. Ku.. mohonh..” desah Sakura akibat ulah Sasuke yang semakin menjadi. Mengecup leher Sakura dan sesekali menggigitnya lembut membuat Sakura merasakan gelenyar-gelenyar aneh dalam tubuhnya.
“Kau harus bertanggung jawab Sakura! Kau membuat adikku terbangun.” Ucap Sasuke dengan seringainya dan semakin gencar mencium tengkuk Sakura.
“A.. Apa maksudmu sa..ssuke..? Ku mohon lepaskan aku. Aku harus ke rumah sakit sekarang.” Rengeknya
“Tidak!” tolaknya mentah-mentah.
“Sasuke! Aku akan dimarahi sensei kalau telat. Sensei sangat mengerikan jika marah. Aku sudah mengambil izin selama seminggu. Tadi Ino menghubungiku kalau sensei sedang mencariku. Jadi ku mohon lepaskan aku. Aku tidak ingin dikeluarkan sebelum menyelesaikan dinasku.”
“Cih” dengusnya kesal dan segera melepaskan tangannya.
Dirasa sudah tidak ada lagi lengan Sasuke yang menahannya, Sakura tak menyia-nyiakan kesempatan itu lantas segera melepaskan diri dan menuju lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya.
Sakura menyerngit dan menghentikan gerakannya, kemudian berbalik dan menatap Sasuke yang tak kunjung keluar dari kamarnya. “Loh, Sasuke. Kenapa masih di sini? Aku mau pakai baju. Keluarlah!” lantas bergerak menuju Sasuke dan menariknya keluar kamar.
Sasuke menghentikan tindakan Sakura dan memegang kedua tangan Sakura dengan lembut, “ganti saja di situ! aku malas keluar kamar. Di luar suhunya dingin!” ujar Sasuke dan beranjak naik ke tempat tidur.
“Sasuke, keluarlah! Aku tidak ingin kau ada di dalam kamar. Aku mau ganti baju.” Rengek Sakura dan berusaha menarik Sasuke turun dari tempat tidur agar bisa membawanya keluar kamar.
“Aku sudah bilang aku tidak mau keluar. Kau saja yang keluar, atau pakai saja di situ. lagipula kenapa malah malu, toh sebentar lagi kita akan menikah dan itu berarti aku juga akan sering melihatmu seperti itu.” Bantah Sasuke, “Lagipula─” Sasuke sengaja menjeda untuk menggoda Sakura “aku sudah melihatnya dulu.” Lanjutnya diserta dengan seringai.
BLUSH
Pipi Sakura merona akibat ucapan Sasuke, “A…a…apa ma..maksudmu?” Ucapnya gagap, “aaaaahh.....Sudahlah! Cepat keluar!” Rengeknya sambil mendorong tubuh tegak ayah dari calon anaknya itu.
Sasuke menghentikan gerakan Sakura dengan menahan kedua tangan Sakura yang mendorongnya. “Aku masih mengingatnya loh.” Imbuhnya kemudian menyeringai.
“Sa... Sssu..ke... Ap─” gugu Sakura, “a..aa..ahh... Sudahlah Sasuke! Aku harus bersiap, kalau tidak sensei akan memarahiku.” Lama-lama digoda Sasuke membuat Sakura semakin dongkol. Ia mendorong Sasuke semakin kuat hingga membuat Sasuke terjerembat dan nyaris mencium dinding kamar Sakura.
“Astaga Sakura. Kau itu perempuan bukan sih. Aku hampir saja mencium tembok. Kamu mau bibir bekas tembok?” Sungut Sasuke dan mengelus-elus dadanya kaget.
Sakura yang melihat tingkah Sasuke hanya bisa tersenyum. Tingkah laki-laki itu sangat berbeda pada orang lain yang selalu menampakkan aura intimidasi, dingin serta muka datar hingga membuatnya sulit bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Dan di depannya sekarang, laki-laki itu terlihat kekanakan dan lebih hangat bahkan tadi sempat menunjukkan kemesumannya juga.
“Kenapa malah tersenyum? Kau senang jika aku mencium tembok, hm?” Sasuke semakin dongkol melihat tingkah Sakura yang malah tersenyum melihatnya menderita. Dia tidak lagi memedulikan penampilan Sakura sekarang.
“Maaf yah Sasuke-kun!? Kau lucu sekali tadi.” Kekeh Sakura pelan. Dalam lubuk hati Sakura merasa bahagia, karena merasa sifat Sasuke sekarang ini hanya diperlihatkan padanya atau mungkin juga kepada keluarganya.
“Apa!?” Seru Sasuke sambil meloloti Sakura dan membuat Sakura semakin terkikik. Dia memang kesal dengan tingkah Sakura namun hati Sasuke terasa hangat melihat Sakura yang tersenyum. Senyum tulus tanpa beban apapun dan Sasuke berharap senyum itu tak akan pernah pudar dan hilang darinya.
“Hm... bukan apa-apa Sasuke-kun. Sebaiknya Sasuke-kun keluar dan membersihkan diri. Kau bau sekali.” Canda Sakura sambil menutup hidung dan mengibaskan tangannya.
Sasuke yang dikatakan seperti itu lantas mendengus bau badannya sendiri. “Hhh, baiklah..” dirasanya badannya memang agak berbau, Sasuke akhirnya mengalah dan melangkahkan kakinya keluar kamar Sakura, namun sebelum benar-benar keluar kamar dengan gerakan tiba-tiba Sasuke mengecup bibir Sakura.
“Ah... Sasuke!” Seru Sakura tertahan. Kaget namun sangat bahagia mendapat perlakuan seperti itu dari Sasuke. ‘Ya Tuhan semoga kami bisa seperti ini selamanya. Aamiin’ doa Sakura dalam hati lantas sunggingkan seulas senyum.
*~........~*
“Hhh” desah sakura melihat pantulan dirinya di kaca. “Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin selamanya seperti ini?” Gumamnya sambil mengelus-elus perutnya. “Sayang apa yang harus ibu lakukan?” Ucapnya kemudian lantas menatap nanar pada perutnya.
*~........~*
Sakura berjalan ke ruang tengah tempat biasa Sasuke menunggunya namun tidak mendapati siapapun di sana. Gadis itu lantas menuju ruang pantry, mungkin saja laki-laki itu menunggunya di sana dan benar saja, Sasuke tengah duduk santai sambil menyesapi kopi hitamnya, di temani dua piring roti bakar dan segelas susu yang ia yakini untuknya.
“Sasuke, apa kau yang membuat ini semua?” Tanyanya sedikit takjub melihat sarapan di depannya. Bukan karena sarapannya enak atau tampilannya yang mengunggah selera, namun karena si pembuatnya. Selama ini dia pikir Sasuke adalah pria yang hanya bisa menyuruh pelayannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ternyata dia salah. ‘Don’t judge a book by the cover’ pikirnya.
“Makanlah Sakura. Kau tahu apa jawabannya tanpa perlu ku jawab.” Jawabnya tak acuh sambil meminum kopinya tanpa memperhatikan Sakura yang mendengus sebal padanya.
...
...
...
“Kita sudah sampai Sakura.” ucap Sasuke tiba-tiba dan membuat lamunan Sakura terhenti. Sepanjang perjalanan mereka tadi, tak satupun ada yang buka suara. Sasuke memilih diam dan focus pada jalan dan Sakura dengan lamunannya.
“Ah.. oh... eh, maaf aku tidak sadar.” Sakura tergugu menyadari kebodohannya yang terlalu asik dalam dunianya hingga tak menyadari mereka telah sampai.
“Jangan banyak pikiran Sakura! kau tahukan di dalam tubuhmu sekarang ada calon anak kita dan aku tidak mau terjadi sesuatu padanya.” Kata-kata Sasuke tepat menyentak kesadaran Sakura. Sasuke benar, dalam tubuhnya ada calon anak mereka yang harus ia jaga. Betapa bodohnya ia tidak memikirkan kondisi janinnya itu dan egois malah memikirkan dirinya sendiri.
Sakura mengelus perutnya dengan lembut, “maafkan ibu yah sayang, apa kamu baik-baik saja di dalam sana?” Emeralnya kemudian digulirkan menatap onix pria di sampingnya. “Aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku Sasuke!?” Ucapnya dengan sorot mata penuh penyesalan.
Sasuke tidak menjawab malah merengkuh Sakura, membawa dalam pelukannya Membelai rambut Sakura serta memberikan kecupan lembut di puncak kepala Sakura. “Jangan memikirkan sesuatu yang berat Sakura! Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian berdua. Aku sangat mencintai kalian berdua.” Tutur Sasuke lembut masih mendekap Sakura.
Mendengar penuturan Sasuke membuat Sakura semakin merasa bersalah, digenggam erat kerah kemeja Sasuke dan membenamkan wajahnya di dada laki-laki itu. Setetes air mata jatuh dari sudut emerald, mendongak menatap Sasuke, “Arigato, Sasuke-kun. Aishiteru.” Gumam Sakura terdengar lirih.
Sasuke tersenyum lalu mengecup kedua mata Sakura. “Jangan menangis Sakura, tiap tetesan air mata yang kau keluarkan akan memberikan luka di hatiku.” Ucap Sasuke tulus.
Sakura terkesiap mendengar kalimat Sasuke yang seolah sedang merayunya segera di dongakkan kepalanya lalu menatap Sasuke yang tengah merona. “Apa kau sedang merayuku Sasuke-kun?” Sakura sunggingkan seulas senyum karena sesuatu yang sangat langkah terjadi. Ditatapnya Sasuke dengan pandangan jenaka yang tentu saja tidak akan disadari karena Sasuke yang enggan menatap Sakura.
Sasuke gulirkan onix-nya menatap ke sembarang arah asal tidak pada Sakura. Dirinya sudah cukup malu karena kata-kata yang dia ucapkan barusan. “Ayo kita turun Sakura, ku rasa sensei-mu tak bisa menunggu terlalu lama. Kau tidak ingin dia semakin marahkan.” Ucap Sasuke tenang, menutupi kegugupannya.
Dengan tidak rela Sakura lepaskan rengkuhan Sasuke dan kembali menatap pria itu sebal. “Kau merusak suasana Sasuke-kun. Tapi kau memang benar. Ayo kita turun.” Ucapnya dan segera keluar, tidak ingin ucapan Sasuke sampai terjadi.
...
Mereka berdua berjalan bersisian dan membuat banyak pasang mata yang memperhatikan mereka iri namun juga penasaran. Sakura yang cantik dan Sasuke yang tampan. Selama ini baik Sakura maupun Sasuke tak pernah terlihat jalan bersama apalagi sekarang mereka tampak akrab. Banyak dari orang-orang yang di rumah sakit yang menggosipkan mereka namun tak sedikitpun dipedulikan. Bagi mereka, suara dari orang-orang itu seperti bunyi burung yang biasa tidak diacuhkan.
“Hei Forehead...!” Teriak Ino, yang langsung dihadiahi tatapan deathglare dari Sakura sedang Sasuke yang mendengarnya tampak menyerngit bingung dengan panggilan Sakura yang seperti penghinaan.
“Ya Ino-pig, aku sudah datang sekarang.” Jawab Sakura malas. “Ngomong-ngomong kenapa sensei mancariku?” Tanya Sakura seraya meneruskan langkahnya ketika Ino sudah bersisian jalan dengannya.
Ino mengendikkan bahu. “Aku juga tidak tahu, dia belum memberitahuku. Dia hanya menyuruhku menghubungimu.” Sahut Ino santai. Kemudian digulirkan aquamarine-nya pada Sasuke. “Oh.. Ya, dia siapa?” tanyanya berpura-pura tak acuh padahal dalam hati sudah teriak kegirangan karena bisa jalan bersisian dengan seorang seperti Sasuke.
“Dia Sasuke” jawab Sakura cuek. Dia tahu maksud Ino apa, tetapi pura-pura tidak tahu. Saat ini dia lagi malas meladeni Ino yang mungkin akan menghujaninya berbagai macam pertanyaan.
“Aku tahu itu, aku sering melihatnya di televisi, bahkan di sini, di rumah sakit ini. Yang ku maksud kenapa kalian bisa bersama dan tampaknya kalian saling mengenal?” Tanya Ino curiga dan menatap Sasuke dalam.
“Entahlah.” Sahut Sakura cuek. Sekarang prioritas utamanya adalah menemui sensei-nya dan menyelesaikan urusannya dengan sensei-nya.
Jawaban Sakura disambut dengan kebingungan Ino lantas beralih menatap Sasuke yang nampak tak acuh pada jawaban Sakura. Laki-laki tampan dengan pesona luar biasa itu tampaknya tidak tertarik dengan pembicaraan dirinya dengan Sakura dan terus berjalan dengan angkuh bersama mereka.
“Hai Sasuke, aku Yamanaka Ino, kau boleh memanggilku Ino. Ngomong-ngomong kapan kalian kenalan. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, bukannya sok tahu yah, aku dan Sakura sudah saling mengenal sejak kecil dan kami selalu bersama, semua teman-teman Sakura adalah temanku juga tapi kau... aku baru pertama kali melihatmu bersama Sakura.” Cerocos Ino sambil memperhatikan penampilan Sasuke. menyelidik juga mengagumi.
“Hn” balas Sasuke singkat dan hanya melirik Ino sekilas.
Ino mengerjap beberapa kali tak percaya mendapat balasan seperti itu dari Sasuke. Puluhan kata yang dia lontarkan untuk laki-laki itu namun dibalas dengan jawaban tak berselera seperti itu. Ya Tuhan sebegitu tidak pentingkah semua ucapan dari Ino. Baru kali ini ia bertemu dengan laki-laki seperti ini, dia sangat arogan dan sombong. Sial.
“Sakura, dari mana kau bertemu dengan laki-laki seperti ini?” aquamarine Ino beralih menatap Sakura penasaran. Agak kesal juga karena sikap laki-laki itu padanya dan melimpahkan kepada Sakura.
“Entahlah.” Sakura tidak terlalu memedulikan pertanyaan Ino dan terus berjalan. Dalam hati Sakura juga menyesal memperlakukan sahabatnya seperti itu, namun─ entahlah. Dia hanya merasa malas banyak bicara dengan orang lain termaksud sahabatnya sendiri, tetapi mungkin akan menjadi pengecualian pada Sasuke. Sakura malah ingin terus berdua dengan Sasuke dan menghabiskan waktu dengan mengobrol.
“Tch...~” Ino tak bertanya dan berjalan bersisian dengan mereka berdua. Hatinya miris melihat sikap Sakura yang masih tetap sama seperti terakhir kali bertemu, tidak lagi memedulikan ucapan ataupun ocehannya. Apakah Sakura yang dulu akan kembali? Ino jadi merindukannya.
Seolah mengerti keadaan sahabatnya, Sakura berucap “Kita bicarakan sebentar Ino, aku tidak ingin membuat sensei semakin lama menungguku, sudah cukup izin selama seminggu itu.” dan kembali menatap jalan tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Ino yang sedikit lega. Sebetulnya dia tahu bahwa Ino tadi terlihat sedih karena sikap tak acuhnya, makanya dia kembali berucap.
“Baiklah.” Sahut Ino tersenyum kecil. Walau terkesan datar namun ia tetap puas karena sahabatnya bisa berbicara panjang.
Dan sepanjang perjalanan mereka hanya diselingi dengan kesunyian. Ino yang selalu cerewet jadi diam dan tak sepatah kata pun dia lontarkan. Dia seolah terbawa arus yang diciptakan oleh Sasuke dan Sakura. Sekilas Ino melirik dua insan itu, ada rasa canggung yang menghinggapinya kala ingin menghilangkan suasana itu.
....
Tok…. Tok…. Tok….
“Masuk!” terdengar suara perintah di balik pintu.
CEKLEK. Pintu terbuka menampakkan ruangan serba putih namun ada sedikit hiasan yang terletak di sisi kanan-kiri tempat duduk pemilik ruangan itu. daun maple merah buatan dengan sulur-sulur akar yang tampak menggantung. Sedang pemiliknya tengah sibuk dengan dokumen-dokumen yang berada di atas mejanya. Ino. Sakura, dan Sasuke pun kemudian masuk ke dalam ruangan itu.
“Sa’─ Eh… Sasuke, kau─ ada apa kau datang kemari? Ah.. kau ingin melihat hasil pemerksaan Itachi? Lalu kenapa kau bisa bersama mereka? Kau mengenal mereka?” Tanyanya tanpa jeda
“Hn”
Tanpa perlu memberitahu lebih lanjut arti gumaman Sasuke, Tsunade sudah mengetahuinya. Sedikit digeser laci mejanya dan mengambil map kuning dan segera diserahkan pada Sasuke. “Itu hasil pemeriksaan Itachi selama seminggu ini.” jelasnya lalu beralih menatap kedua muridnya “dan kalian berdua, masuklah di ruang penyimpanan, ada map biru di atas meja. Itu adalah tugas untukmu Sakura.” Lanjutnya pada Sakura dan Ino.
“Baik” jawab Ino dan Sakura bersamaan. Tak menunggu lama Ino dan Sakura pun lekas menuju ruang penyimpanan yang dimaksud, berjalan dalam keheningan tanpa seorang pun yang buka suara. Sampai di sana, baik Ino maupun Sakura tetap sibuk dengan lamunan mereka masing-masing dan mencari map yang dimaksud dalam diam.
Hingga rasa penasaran Ino melebihi kapasitas otaknya. Langsung saja dia hampiri Sakura lalu bertanya, walau agak ragu. “Mm... Sakura!”
Sakura beralih menatap sahabatnya. Merasa aneh dengan tingkah sahabatnya yang jarang dia lihat. Mata Ino terlihat gusar menatapnya.
“Ino, kau kenapa? Apa kau ingin ke toilet? Kau terlihat tidak tenang...” Kata Sakura khawatir. Mungkin saja sahabatnya itu merasa tidak enak untuk mengatakannya secara langsung dan meninggalkannya sendirian di sini. “Tidak perlu ragu-ragu mengatakannya Pig. Aku tidak apa-apa jika ditinggalkan sendirian, toh aku juga sudah tahu betul seluk beluk ruangan ini. Lagipula jika ingin ke toilet, pergi saja. Aku tidak mau kau sakit karena aku Pig.” Kekeh Sakura
Tak memedulikan perkataan Sakura, Ino kembali berucap. “Sakura, aku ini sahabatmukan?” ucap Ino menatap Sakura intens.
Merasa pandangan Ino agak aneh, Sakura jadi tidak enak sendiri. “Ada apa pig? Kau sangat aneh. Bicaralah yang jelas!”
“Baiklah, ceritakan semua yang terjadi padamu, kenapa sikapmu berubah selama ini? Kenapa tiga bulan lalu kau seperti orang gila dan mengurung diri terus menerus di dalam kamarmu? Dan laki-laki itu? Ceritakan semuanya.” Tuntut Ino seraya menatap Sakura lekat. Ini semua harus tuntas kalau tidak otaknya akan segera meledak karena penasaran juga rasa khawatirnya yang berlebihan pada sahabatnya itu.
Sejenak Sakura menghela nafas, bingung dengan jawaban yang akan dilontarkannya pada Ino. Dia ingin jujur, namun hatinya belum siap, jika harus mengulas kembali kejadian yang sudah membuat rencana masa depannya berubah, kejadian yang benar-benar membuatnya berada dalam keterpurukan bahkan hampir membuatnya gila, walau nyatanya laki-laki itu bertanggung jawab dan saat ini telah berhasil mengisi kekosongan hatinya.
Sakura memejamkan mata sekilas, menenangkan kekalutan masa lalunya yang pahit bersama dengan pria yang sekarang sangat dicintainya, “Maaf Ino, aku belum siap. Aku belum siap untuk membeberkan kejadian itu. Suatu saat jika hatiku sudah siap, aku akan menceritakanmu.” Sakura tahu dia salah sudah membuat sahabatnya sangat mengkhawatirkannya namun dia juga tak bisa berbuat apa-apa, memberitahunya sama saja membuatnya harus mengenang masa kelam itu dan dia tidak ingin. Hatinya belum siap untuk itu bisa saja dia kembali depresi dan menjadi seperti orang gila.
“Baiklah, jika kau belum siap. Aku akan menunggumu sampai kau mau membaginya padaku. ingatlah, kau adalah sahabatku dan sahabat akan selalu ada jika dibutuhkan. Aku akan selalu ada di sampingmu, kapanpun kau butuh jangan segan-segan memintanya padaku.” tutur Ino bijak. Namun dalam hati merasa miris karena Sakura masih belum bisa berbagi kesedihannya, Sakura masih belum sepenuhnya percaya padanya walau mereka sudah habiskan waktu bersama cukup lama. Entahlah. Dia merasa telah gagal menjadi seorang sahabat.
Sakura terdiam dalam kesunyian yang menyakitkan. Rasanya jantungnya seperti dihujam ribuan jarum. Perih. Dadanya begitu sesak melihat raut kekecewaan dari sahabatnya. “Terima kasih Ino.” Ucap Sakura lirih, sedetik kemudian setetes air mata jatuh dan mengaliri pipinya. Air mata yang mewakili kesedihan yang dia rasakan sekarang.
“Sudahlah, jangan bersedih Sakura. kau membuatku ikut bersedih.” Kata Ino sambil merengkuh Sakura dan kemudian mereka saling berpelukan. Ino tidak akan memaksa Sakura untuk memberitahu apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu, dia begitu teramat sayang pada Sakura dan ia tak ingin lagi melihat Sakura kembali bersedih. Sudah cukup ia melihat Sakura yang seakan kehilangan jiwanya beberapa bulan lalu, karena suatu kejadian yang tidak dia ketahui.
“Maaf Ino, aku hanya bahagia memiliki sahabat seperti kamu.” Balasnya sambil mengusap air matanya. Tetapi dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Ino tahu kalau dirinya tengah berbohong.
Tak memedulikan perkataan Sakura, Ino kembali berucap. “Sakura, aku ini sahabatmukan?” ucap Ino menatap Sakura intens.
Merasa pandangan Ino agak aneh, Sakura jadi tidak enak sendiri. “Ada apa pig? Kau sangat aneh. Bicaralah yang jelas!”
“Baiklah, ceritakan semua yang terjadi padamu, kenapa sikapmu berubah selama ini? Kenapa tiga bulan lalu kau seperti orang gila dan mengurung diri terus menerus di dalam kamarmu? Dan laki-laki itu? Ceritakan semuanya.” Tuntut Ino seraya menatap Sakura lekat. Ini semua harus tuntas kalau tidak otaknya akan segera meledak karena penasaran juga rasa khawatirnya yang berlebihan pada sahabatnya itu.
Sejenak Sakura menghela nafas, bingung dengan jawaban yang akan dilontarkannya pada Ino. Dia ingin jujur, namun hatinya belum siap, jika harus mengulas kembali kejadian yang sudah membuat rencana masa depannya berubah, kejadian yang benar-benar membuatnya berada dalam keterpurukan bahkan hampir membuatnya gila, walau nyatanya laki-laki itu bertanggung jawab dan saat ini telah berhasil mengisi kekosongan hatinya.
Sakura memejamkan mata sekilas, menenangkan kekalutan masa lalunya yang pahit bersama dengan pria yang sekarang sangat dicintainya, “Maaf Ino, aku belum siap. Aku belum siap untuk membeberkan kejadian itu. Suatu saat jika hatiku sudah siap, aku akan menceritakanmu.” Sakura tahu dia salah sudah membuat sahabatnya sangat mengkhawatirkannya namun dia juga tak bisa berbuat apa-apa, memberitahunya sama saja membuatnya harus mengenang masa kelam itu dan dia tidak ingin. Hatinya belum siap untuk itu bisa saja dia kembali depresi dan menjadi seperti orang gila.
“Baiklah, jika kau belum siap. Aku akan menunggumu sampai kau mau membaginya padaku. ingatlah, kau adalah sahabatku dan sahabat akan selalu ada jika dibutuhkan. Aku akan selalu ada di sampingmu, kapanpun kau butuh jangan segan-segan memintanya padaku.” tutur Ino bijak. Namun dalam hati merasa miris karena Sakura masih belum bisa berbagi kesedihannya, Sakura masih belum sepenuhnya percaya padanya walau mereka sudah habiskan waktu bersama cukup lama. Entahlah. Dia merasa telah gagal menjadi seorang sahabat.
Sakura terdiam dalam kesunyian yang menyakitkan. Rasanya jantungnya seperti dihujam ribuan jarum. Perih. Dadanya begitu sesak melihat raut kekecewaan dari sahabatnya. “Terima kasih Ino.” Ucap Sakura lirih, sedetik kemudian setetes air mata jatuh dan mengaliri pipinya. Air mata yang mewakili kesedihan yang dia rasakan sekarang.
“Sudahlah, jangan bersedih Sakura. kau membuatku ikut bersedih.” Kata Ino sambil merengkuh Sakura dan kemudian mereka saling berpelukan. Ino tidak akan memaksa Sakura untuk memberitahu apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu, dia begitu teramat sayang pada Sakura dan ia tak ingin lagi melihat Sakura kembali bersedih. Sudah cukup ia melihat Sakura yang seakan kehilangan jiwanya beberapa bulan lalu, karena suatu kejadian yang tidak dia ketahui.
“Maaf Ino, aku hanya bahagia memiliki sahabat seperti kamu.” Balasnya sambil mengusap air matanya. Tetapi dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Ino tahu kalau dirinya tengah berbohong.
.
.
.
.
.
Tbc
a/n : akhirnya update juga ni cerita. Setelah pertimbangan beberapa kali tentang alurnya dan hasilnya malah gaje kayak gini. Author juga gak tahu ni mengarah kemana, gak jelas. Author malah bingung sendiri buat alur ceritanya. Yang pasti author harap cerita ini bisa disuka dan bisa menghibur reader-san semua.
Akhir kata, author berterima kasih kepada semua reader yang sudah mau meluangkan waktu untuk membaca fict ini dan saya berharap kritik dan saran dari reader agar author bisa membuat fict yang lebih baik.
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment