Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.
Terima kasih 😊.
SEBELUMNYA | CH LENGKAP |

Gelap.
Mac merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung, tubuhnya terasa ringan, hampir seperti mengapung tanpa berat. Suara ombak yang biasanya terdengar begitu jelas, kini hanya berdesir samar di telinga, seperti datang dari kejauhan.
Tapi kemudian, ada sesuatu yang menariknya ke permukaan. Sesuatu yang hangat. Perlahan, ia merasakan sentuhan air di wajahnya. Suara-suara kembali memudar dan akhirnya menggantikan kekosongan dengan bisikan lembut.
"Mac…"
Suara itu. Adrea. Suara yang selalu terdengar begitu tajam, kini terdengar begitu dekat, hampir seperti sebuah pelukan di tengah gelap.
Mac merasakan tubuhnya diguncang pelan. Ia membuka mata dengan susah payah. Sekelilingnya samar, namun ia bisa melihat bayangan Adrea yang menggantung di atasnya, wajahnya tegang dan penuh rasa cemas.
"Adrea?" suara Mac serak, hampir seperti berbisik, tapi ia tahu Adrea mendengarnya.
"Mac…" Adrea menarik napas panjang. "Kau hampir mati, idiot. Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau memaksakan diri?"
Mac hanya tersenyum tipis, matanya masih setengah terpejam. "Aku tidak mau kehilangan satu-satunya kesempatanku untuk kembali."
Adrea menggelengkan kepala. "Kalau kau mati, kau tidak akan kembali."
Mac menahan tawa, meskipun tubuhnya terasa seperti hancur. "Aku tahu. Tapi, aku masih hidup."
Adrea mengangkatnya perlahan, meletakkan tubuh Mac di atas sebuah batu karang besar yang muncul dari permukaan laut. Cahaya samar mulai meresap dari atas, menunjukkan bahwa mereka sudah berada di zona yang lebih dangkal.
"Ya, kalau begitu, jangan harap aku akan menyelamatkanmu lagi," jawab Adrea dengan nada menggoda, meski Mac bisa melihat kegelisahan di matanya.
Mac memejamkan mata, mencoba mengatur pernapasannya. Tubuhnya nyaris kosong dari mana—ia tahu bahwa sihir yang ia gunakan tadi sangat membebani tubuhnya. Bahkan sekarang, energi sihir yang tersisa terasa seperti sebuah nyala api kecil yang hampir padam.
"Apa… bagaimana dengan Seleris?" tanya Mac dengan suara yang hampir tak terdengar.
Adrea mengangguk. "Aku sudah pastikan, makhluk itu takkan bangun lagi dalam waktu dekat." Ia mengeluarkan benda kecil berkilau dari kantungnya. Sebuah sisik besar yang berwarna perak kemerahan. "Ini, hadiah untuk kerja sama kita."
Mac menatapnya lemah, lalu tersenyum dengan penuh rasa syukur. "Aku… senang… kita berhasil."
Adrea mendekatkan dirinya, menatap Mac dengan serius. "Kau tak akan bisa lagi bertarung dalam keadaan seperti ini. Kita harus beristirahat di sini sampai keadaanmu pulih."
Mac hanya mengangguk lemah. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sebuah perasaan yang berbeda. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar keberhasilan dalam misi mereka. Meskipun ia hampir mati, dan meskipun tubuhnya hancur, perasaan yang paling kuat yang ia rasakan adalah…
Kepercayaan.
Kepercayaan bahwa, dalam dunia yang kejam ini, mereka masih punya satu sama lain.
"Adrea…" bisik Mac, matanya mulai terpejam lagi. "Terima kasih…"
Adrea menatapnya, lalu menepuk lembut kepala Mac. "Kita masih punya banyak perjalanan, Mac. Istirahatlah."
"Baiklah," jawab Mac dengan pelan, "aku ... akan tidur sebentar."
Adrea tertawa kecil, namun suara tawa itu terdengar begitu nyata dan hangat di telinga Mac.
Mereka berada di desa Ko'tren sekarang, dan meskipun badai sebelumnya telah berlalu, mereka tahu perjalanan mereka masih panjang. Tapi untuk saat ini, di kedalaman lautan yang luas dan misterius, mereka bisa beristirahat sejenak, bersandar satu sama lain dalam keheningan yang nyaman.
🧜🏻♀️🧜🏻♀️🧜🏻♀️
Air asin masih melekat di kulit Mac saat ia perlahan terbangun di dalam sebuah ruangan yang asing. Atap dari kulit kerang besar dan dinding-dinding batu karang berkilau samar oleh cahaya bioluminesen. Udara lembap dan dingin, tapi terasa aman. Aroma laut begitu kental, namun tak sepekat bau darah dan debu sihir yang menempel dalam ingatannya.
“Dia bangun.”
Suara berat itu datang dari sudut ruangan. Seorang pria bertubuh besar dengan kulit bersisik kemerahan, mengenakan mantel dari sisik-sisik ikan langka, melangkah mendekat. Matanya, sepasang mutiara hitam pekat, menatap Mac dengan rasa ingin tahu.
“Mac, ini Kepala Suku Ko’tren. Kau aman sekarang,” kata Adrea, berdiri di sisi tempat tidur dari anyaman rumput laut kering. Rambutnya masih basah, dan ada bekas luka memanjang di pipinya. Tapi matanya tampak lebih tenang daripada sebelumnya.
Mac mencoba duduk, tapi rasa nyeri menghantam tulangnya seperti palu. Ia meringis.
“Jangan paksakan dirimu,” tegur Adrea cepat. “Tubuhmu belum pulih. Dua hari kau tak sadarkan diri.”
“Dua… hari?” Mac mencoba mengingat kembali, tapi semuanya terasa kabur. Hanya kilatan cahaya, suara raungan Seleris, dan wajah Adrea yang bersimbah air laut dan darah yang tersisa.
Ko’tren menatap mereka bergantian. “Kau menggunakan Mana Dalam. Itu bukan sihir yang bisa digunakan sembarangan. Kami telah menenangkan energi itu dalam tubuhmu, tapi efeknya tidak bisa dihapus begitu saja.”
“Mana Dalam…” Mac memutar kepalanya perlahan, menatap tangan kanannya. Ada urat gelap samar seperti luka bakar yang belum sembuh, membelit pergelangan hingga ke siku.
“Kalau kau menggunakannya lagi… bisa-bisa tubuhmu retak dari dalam,” lanjut Ko’tren. “Bahkan tanpa ada musuh yang menyentuhmu.”
Adrea diam. Ia sudah tahu itu. Ia menyaksikan tubuh Mac kejang, darah keluar dari hidung dan telinganya, saat sihir itu meluap. Ia menyesal tidak menghentikan Mac lebih awal. Tapi di saat itu, hanya Mac yang bisa menahan Seleris cukup lama untuk menyelamatkan mereka semua.
Mac menarik napas dalam-dalam. “Aku tak menyesalinya.”
Adrea memalingkan wajah, menahan sesuatu yang tidak ingin ditunjukkan di depan kepala suku.
“Karena kalau aku tak lakukan itu,” lanjut Mac, “kau yang akan terluka. Dan aku… tak bisa menerima itu.”
Sunyi sejenak.
Ko’tren mengangguk perlahan. “Kau bodoh. Tapi keberanian seperti itu… langka di zaman ini.”
Ia berdiri dan berjalan keluar, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan lembut. Adrea duduk di samping Mac, menatapnya lama.
“Kalau aku tahu, aku mungkin akan menghentikanmu.”
“Dan membiarkan kau dirobek Seleris? Tidak.” Mac tersenyum samar. “Kau adalah kesempatanku. Satu-satunya harapanku agaraku bisa kembali ke lautan.”
Adrea tak menjawab. Ia hanya menatap Mac. Tahu bahwa laki-laki itu tengah diburu waktu. Ia tahu dari kepala suku bahwa Mac sebenarnya adalah seekor mermain dan sudah melakukan hal terlarang. Mengubah ekornya menjadi kaki. Dan, sekarang laki-laki itu itu tengah diburu waktu sebelum lautan memanggilnya kembali dan berubah menjadi buih.
Adrea tidak merasa penasaran dengan kisah laki-laki itu, atau pun tertarik dengan alasananya, hanya saja Mac sudah menolongnya dan sebagai kesatria yang tahu diri, ia perlu membalas Mac. Mereka punya tempat tujuan yang sama, jadi Adrea akan memastikan mereka akan tiba di sana dengan aman.
Mereka duduk lama dalam diam, hanya ditemani suara riak kecil dari luar gua karang.
"Kita akan bergerak ketika tubuhmu sudah pulih sepenuhnya."
Mac mengangguk patuh. Tubuhnya sangat lemah sekarang dan ia tidak bisa membantah perkataan Adrea. Ia memang tengah diburu waktu, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan kondisinya dan membuat dirinya menjadi beban.
Adrea berdiri tidak lama kemudian dan pamit bersama kepala suku Ko'tren “Aku akan kembali lagi. Dan kau harus menghabiskan obat itu baru kemudian istirahat.” kata Adrea sambil menunjuk kerang di samping tempat tidur Mac.
Mac kembali mengangguk. "Baiklah."
Adrea mengangguk pelan kemudian pergi meninggalkan Mac sendiri di ruangannya.
Setelah mereka pergi Mac memaksakan tubuhnya untuk duduk. Meski tubuhnya bergetar ia memaksa mengangkat kerang dan meminum ramuan yang ada di dalamnya. “Istirahat, katanya, harusnya ia membantuku dulu minum obat sebelum pergi."
SEBELUMNYA | CH LENGKAP |
tes
ReplyDelete