Fly with your imajination

Thursday, June 26, 2025

RESTART [1/3]

Sequel SELEEPING BEAUTY

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.


SUMMARY
"Hanya begini saja?" sekali lagi aku bertanya.
"Memang apa lagi?"
"Tidak ada pendekatan?"
"Kau sudah tahu bagaimana aku kan?"
"Tapi aku tidak berdebar-debar seperti novel yang sering kubaca."
"Jantungku yang mau melompat Sakura."
Oh astaga, inikah kata-kata gombalan milik Uchiha Sasuke?
"Kau mau?"
"Kalau tidak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu saja memaksamu."


.
.
.

WARNING
UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR DILARANG MENDEKAT, MEMBACA APALAGI MENCONTEKNYA.
DILARANG KERAS MENGKOPI PASTE DAN MEREPOSNYA DI TERMPAT LAIN.



Bagian 1


"Ambilkan laporan penjualan pada bagian kearsipan."

Ini bercandakan? Aku disuruh naik lantai lima belas dari lantai lima hanya untuk turun ke lantai lima lagi?

Terus, apa gunanya sekertaris yang ada di depan ruangannya itu? Apa gunanya telepon yang ada di mejanya? Dia kan bisa meminta bagian kearsipan untuk membawakannya. Kenapa harus aku?

Karena dia hanya ingin melihatmu menderita.

"Maaf, Pak, bukannya Bapak bisa menyuruh bagian kearsipan untuk membawakannya, yah?" kuberanikan diriku bertanya. "Atau ada Bu Karin yang bisa mengkonfirmasikan pada bagian kearsipan."

Sasuke menghentikan ketikannya hanya untuk menatapku tajam. "Karin sudah menginformasikan ke mereka, tapi mereka sibuk dan belum bisa membawanya naik ke sini sementara aku sudah sangat membutuhkannya. Sedangkan Karin harus menyelesaikan laporan bulanan untuk meeting besok, jadi tidak bisa ke mana-mana." jelasnya.

Dan kenapa harus aku? Banyak karyawan lain kan yang bisa. Aku juga punya pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini.

"House keeper kan juga bisa, Pak." Lagi-lagi aku protes.

"Tidak bisa. Mereka tidak boleh membawa laporan sepenting itu."

Apa masalahnya? Mereka juga tidak mungkin membawa kabur setumpuk kertas tidak berguna yang tidak bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat, bukan?

"Tapi─"

"Tidak usah banyak protes. Ambilkan saja, dari pada kau membuang waktu tidak berguna di sini."

Astaga. Tidak berguna, katanya. TIDAK BERGUNA? Andai memotong kepala orang tidak berdosa, aku dengan senang hati akan melakukannya pada orang ini.

Untung tampan.

"Baiklah. Apa ada yang lain, Pak?" tanyaku lagi, tidak mau disuruh untuk yang kesekian kalinya.

"Untuk sementara tidak ada."

Yah 'untuk sementara', artinya akan ada lagi sebentar.

Shiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!

Kukeraskan rahangku hanya untuk tidak memakinya saat ini juga. Heran, kok punya GM begini amat yah sama bawahannya. Di mana hati dan prikemanusiaannya?

"Kalau begitu saya permisi."

"Hn."

Aku menghembuskan nafas lelah, lalu undur diri dari hadapan laki-laki diktator itu.

💢💢💢

"Ini laporan yang Bapak minta." kataku sambil menyerahkan laporan penjualan bulan kemarin yang dibungkus dengan map hitam kepada Sasuke.

Sasuke menerima lalu memeriksanya. Belum ada kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya. Ia hanya diam sambil mengamati.

"Hn."

Yesssssss!

Akhirnya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku.

"Buatkan kopi hitam. Jangan yang kemasan, ada biji kopi yang sudah di siapkan."

What?

Mataku melotot. Apa-apaan dia?

"Ada house keeper kan, Pak?" lagi aku menanyakan ke mana house keeper milik perusahaan.

"Lama. Lagipula kau ada di depanku sekarang dan lebih menghemat waktu dari pada memanggil mereka."

Triple shiiiiiit!

Seharusnya ia bilang dari tadi supaya aku bisa menyuruh HK untuk membuatkannya.

"Tapi, saya juga punya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak. Hari ini." kataku kesal.

"Hanya menginput laporan, kan. Itu tidak membutuhkan waktu yang lama." sahut Sasuke tidak mau mengalah.

Hell, dia kira laporan harian itu tidak banyak? Aku juga masih baru kan, jadi, jari-jemariku masih belum terlalu fasih.

"Tapi─"

"Lebih menghemat waktu jika kau membuatkanku sekarang. Lagipula itu tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya lima belas menit kurang, kopiku selesai." katanya dengan nada final.

Aku menunduk, keluar ruangannya sambil menyeret langkahku.

"Tidak usah berpura-pura. Aku tahu kau pasti senang kan di panggil terus oleh Tuan Uchiha?"

Aku mendelik pada Karin sekertarisnya Sasuke.

Dasar bodoh.

Apa matanya sudah buta hingga tidak melihat bagaimana wajahku sekarang? Bagaimana kondisiku sekarang? Bagian mana dari diriku yang senang dengan kelakuan Sasuke?

"Kau mau gantian?"

Karin mengangguk antusias. "Tentu saja."

"Kalau begitu buatkan dia kopi hitam sekarang." kataku.

Raut wajah Karin berubah masam. "Tidak bisa. Kali ini kau saja yang buatkan. Dia menyuruhku menyelesaikan laporan dan tidak membiarkanku istirahat sebelum menyelesaikannya."

Kali ini rautku yang berubah masam. Dan tanpa konfirmasi pada Karin aku langsung pergi ke pantry dan membuatkan pesanan laki-laki arogan itu.

💢💢💢

"Kau boleh kembali ke ruanganmu."

Akhirnya Tuhan.

"Bapak tidak memerlukan sesuatu lagi, kan?" tanyaku hati-hati. Biasanya ini hanya sementara sebelum dia menyuruhku lagi.

"Tidak. Kau boleh kembali ke ruanganmu."

Wow.

Apa kopi buatanku bisa merubah mood orang jadi baik?

"Kalau begitu saya permisi." ucapku girang.

Dia menatapku heran namun tidak kupedulikan, aku meneruskan langkahku.

Akhirnya.

Semoga hari ini aku pulang lebih cepat.

source : pinterest



Sly Vs Tsundere © Mickey_Miki
Pair: Sasuke dan Sakura
Rate: M
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING: AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey)



"Sakura, ke ruangan GM sekarang. Laporan yang kemarin kau input katanya salah."

Keningku mengerut ketika Kuren mengatakan itu. Bukankah, yang seharusnya memeriksa laporan itu adalah kepala devisiku lalu mengatakan salah padaku sendiri dan menyuruhku mengubahnya sebelum diserahkan pada GM? Dan kenapa GM bisa mengetahui yang mana hasil kerjaku?

Uh, aku yakin ini hanya akal-akalannya lagi untuk mengerjaiku. Padahal lima belas menit yang lalu dan sebelum-sebelumnya juga ia sudah memanggilku, tetapi tidak memberitahuku apa-apa. Ternyata benar, ini tidak akan selesai sabelum jam empat, sama seperti yang lalu-lalu.

"Iya baiklah." sahutku malas. Capek sebenarnya. Naik-turun dari lantai lima belas dan lima itu bukan seperti jalan lima meter langsung sampai. Meski naik lift, tetapi liftnya terletak lumayan jauh, ditambah aku menggunakan high heels makin membuatku capek dan pegal.

Ah, padahal pekerjaanku belum selesai. Baru juga sepuluh menit yang lalu disuruh kembali, sekarang dipanggil lagi.

"Lagi?"

Aku melirik Ino dan mengangkat bahu, "Kau bisa melihatnya sendiri." sahutku.
"Sepertinya dia tidak bisa tidak melihatmu barang lima menit." kekehnya sambil menopang dagu melihatku.

Aku bersungut-sungut dan menatap Ino jengkel. "Dia psikopat." lalu tanpa menunggu balasan darinya aku kembali meneruskan langkah.

Tiba di ruangannya, aku menemukan dirinya bersama dengan seorang klien wanita. Cantik dan seksi, tipekal pria-pria zaman sekarang yang menamai diri mereka sebagai pencinta wanita.

"Permisi, Pak."

Mereka mengalihkan perhatian mereka padaku.

"Ada─"

"Satu mokachino dan kopi hitam, lima belas menit dari sekrang." katanya tanpa basa-basi.

"Apa?"

"Sekarang."

Arrrrgghhhh... Sasuke brengsek. Sialan. Pantat ayam. Menyebalkan. Apa gunanya house keeper kalau staf admin yang disuruh.

Lagipula, dia bilang lima belas menit. Memang dasar, dia hanya ingin menyiksaku. Mana bisa dalam waktu segitu selesai? Belum perjalanan, proses pembuatan, dan antrian. Semua itu memakan waktu setidaknya dua puluh menit bahkan sampai setengah jam. Dasar tidak berperikemanusiaan.

Dengan langkah gontai dan makian buat Sasuke aku menuju kafe dekat hotel dan membelikan pesanan mereka. Untung saja aku sudah menyimpan kontak salah satu pelayannya, jadi bisa menghemat waktu.

"Ini pesananmu Sakura. Satu mokachino dan kopi hitam."

"Terima kasih, Yukimaru."

"Sama-sama."

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Rupanya sudah dua belas menit berlalu, dan sekarang waktuku hanya tersisa tiga menit. Bisa gawat jika aku terlambat. Taring dan tanduknya akan muncul.

Segera kubawa kakiku secepat yang kubisa menuju kantor GM. Meski sulit, karena selain memakai heels setinggi tujuh senti meter juga harus melewati padatnya karyawan karena istirahat.

Sampai di kantornya, aku dibuat tercengang, rupanya wanita tadi sudah tidak ada. Jadi, apa gunanya aku bersusah payah membelikan mereka minuman ini? Apa bayaran dari usahaku?

Tatapan tajam milik Sasuke Uchiha.

Dia menatapku setajam tatapan singa yang menatap tikus malang yang terpojok. Padahal hanya telat lima menit, masa iya langsung dihadiahi tatapan seperti itu? Dia kira aku wonder women yang bisa bergerak cepat ya?

"Lima menit."

Aku mendesah, menyesal sekaligus kesal. "Maaf, Pak. Banyak antrian tadi." jelasku berharap ia masih punya hati nurani untuk memaklumiku kali ini.

"Lima menit itu bisa membuat kerugian besar perusahaan."

Tidak ada hubungannya kan.

"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya."

"Usaha?" Aku mengangguk mantap. "Tapi aku tidak bisa melihat usahamu. Ini adalah kali keempat kau terlambat dan membuat clientku duduk dengan tenggorokan kering."

Lalu itu apa? batinku saat tanpa sengaja mataku melirik bekas minuman di atas mejanya yang belum sempat dibereskan oleh house keeper.

"Ya sudah. Taruh itu dan kerjakan kembali laporan itu."

Tatapanku kualihkan pada map kuning di atas meja. "Baik, Pak." kemudian aku mengambilnya. "Kalau begitu saya permisi." sahutku sebelum melangkah meninggalkan ruangan yang bikin sesak ini.

"Siapa bilang kau mengerjakannya di ruanganmu?"

Ha?! Lalu di mana? Di toilet? Semakin lama, GM ini semakin mengesalkan.

"Kerjakan di sini."

Loh! Maksudnya?

Dia bercanda kan?


"Kenapa?" dia bertanya. Tatapannya terlihat tegas, sarat tak boleh diprotes. Tapi mana bisa? Yang ada aku tidak bisa bergerak karena aura intimidasinya terlalu besar untukku.

"Aku harus kerjakan di sini?" sekali lagi aku memastikan.

"Hn."

Aku yakin itu artinya ya.

"Tapi komputerku kan tidak bisa dipindahkan, Pak."

"Pakai flash dan kerjakan di lapotopku."

"Tapi, programnya kan tidak bisa di copy."

"Semua program yang ada di perusahaan sudah ada di laptopku."

Mengesalkan.

"Tapi─"

Aku menghentikan ucapanku ketika melihat tatapannya yang berubah semakin tajam.

"Baiklah." sahutku lemas.

Hah, untung tampan.

💢💢💢

Kurang lebih dua jam aku mengerjakan pekerjaanku di kantornya dan selama itu pula, perasaanku tidak enak. Benar-benar tidak enak. Bagaimana bisa rileks bekerja kalau selama kukerjakan laporanku tatapannya itu tak pernah lepas dari gerak gerikku? Bagaimana bisa aku bergerak leluasa kalau diperhatikan seperti itu?

Ada satu waktu, ketika aku menggaruk kepala karena gatal, dia berdehem dan menatapku tidak suka, katanya dia tidak suka ada ketombe dan rambut rontok di sofanya. Ada lagi, gerakan tanpa sadar yang kulakuan dan ia lagi-lagi protes. Katanya dia tidak suka bekerja dalam satu ruangan dengan perempuan yang jorok. Padahal aku hanya menaruh bolpoin di antara hidung dan bibirku yang kumanyunkan. Di mana letak kejorokannya? Memang dasar hanya ingin menegurku saja dia.

Dan untungnya semua kesabaranku terbayar. Pekerjaanku selesai dan ia menyuruhku kembali ke keruanganku. Itu pun ketika waktu sudah menunjukkan angka empat, satu jam sebelum jam kantor selesai. Seperti yang lalu-lalu. Bukankah ia seperti iblis? Padahal pekerjaanku yang besok harus kukumpulkan harus selesai hari ini.

"Aku permisi." pamitku.

"Hn."

Yah 'hn', apalagi?

Terima kasih?

Jangan bercanda.


💢💢💢

Mickey139



Share:

Tuesday, June 24, 2025

Bukan Gulali


Judul Cerita : Bukan Gulali
Bahasa Asli: Indonesia
Status: Ongoing
Genre: Romance




♥♥♥

Ringkasan:


Sean terbangun tanpa ingatan, hanya satu hal yang ia yakini—Hana adalah wanita yang ia cintai. Tapi dunia nyatanya tak sesederhana itu. Hana adalah kekasih Regan, kakak laki-lakinya sendiri.

Demi menjaga Sean yang rapuh, Regan dan Hana memilih menyembunyikan kebenaran. Namun ketika semuanya terungkap, luka, kemarahan, dan pengkhianatan menyelimuti hubungan saudara itu.

Di tengah keluarga yang selalu bertengkar, cinta yang terluka, dan rahasia yang terbongkar, Regan dan Hana memilih menikah diam-diam, membangun hidup dari awal. Tapi bisakah cinta bertahan saat masa lalu terus menghantui?

Ini bukan kisah cinta yang manis. Ini kisah tentang memilih, mengalah, dan bertahan—meski pahit.

DAFTAR CHAPTER
Share:

THE MERMAID - LIMA

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP



THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)


🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Adrea terus berenang sembari membawa Mac bersamanya. Arus laut yang kuat beberapa kali menghempas mereka, beberapa kali juga mereka terbawa arus hingga jarak mereka dengan jalur ke Zerzura semakin jauh. Dan akhirnya, perjuangan mereka tidak menjadi sia-sia ketika mereka tiba di jalur Zerzura yang pernah Adrea tutup.

Sayangnya, pintu masuk menuju jalur Zerzura telah hancur. Adrea tidak tahu kenapa terumbu karang di sekitarnya hancur berkeping-keping bahkan sulur-sulur rumput laut telah lenyap dan menyisakan bebatuan tanpa kehidupan.

Adrea mencoba menghubungi Dolphin melalui telepati namun ia tidak menerima respon. Bahkan ketika ia berkonsentrasi penuh untuk mendengarkan hewan-hewan di sekitarnya, ia juga tidak mendengar apapun.

"Apa yang terjadi?" Adrea bergumam pelan sambil tetap berkonsentrasi.

Mac yang melihat tidak ada respon melihat Adrea panasaran. Bibirnya terbuka, namun tak ada suara apapun yang keluar. Ia menahan rasa penasaran itu untuk tidak mengganggu konsentrasi Adrea.

Dan ketika Adrea membuka mata, Mac tak lagi bisa menahan suaranya.

"Ada apa?"

"Pintu menuju Zersura lenyap. Koneksiku dengan temanku juga terputus. Bahkan aku tidak mendengar satu pun suara hewan laut di sekitar sini."

Jantung Mac berdegub lebih cepat. Tubuhnya terasa gemetar oleh perasaan putus asa. Ia benar-benar sangat berharap bisa kembali ke lautan, ke rumahnya, ke istananya. Ia sudah tidak memiliki waktu. Masa hidupnya sebagai manusia sebentar lagi selesai dan kemudian ia akan berubah menjadi buih lalu menghilang.

Mac menatap Adrea penuh harap. Berharap Adrea memiliki solusi sebab ia tak bisa kembali lagi ke permukaan.

"Masih ada jalur lain, tapi jalur ini tidak cocok untuk manusia dan mermaid."
Mac hanya fokus pada kesempatan lain yang diucapkan oleh Adrea. Untuk saat ini satu-satunya keinginan Mac adalah kembali. Hanya itu. Lagipula, ia yakin mereka pasti bisa melewati bahaya yang akan mereka hadapi nanti. Adrea kuat begitu pula dirinya. Meski saat ini Mac masih dalam wujud manusia.

"Kita tidak punya pilihan lain, bukan? Hanya itu kesempatan kita." Mac menatap Adrea dengan tatapan penuh keyakinan. Ia tahu kalau duyung itu tak yakin dengan kemampuannya. Terlebih ketika mereka melewati penghalang pusaran air tadi dan hampir membuatnya terhempas.

"Aku bisa menjaga diri, kalau itu yang membuatmu ragu." Sekali lagi Mac berusaha meyakinkan Adrea. "Dan aku tidak akan menjadi beban." tandasnya.

Adrea tidak bisa menutupi keraguan di matanya. Selain karena ia masih meragukan identitas Mac, ia juga tak mau laki-laki itu menjadi beban untuk dirinya atau bahkan mungkin menjebaknya. Tetapi, Adrea juga tak bisa mengabaikan tatapan penuh keyakinan dari laki-laki itu. Entah kenapa ada secuil perasaan yang mengatakan kalau ia bisa sedikit mempercayai laki-laki itu.

"Baiklah."

Pada akhirnya ia pun setuju untuk membawa Mac bersamanya.

🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Mac tidak tahu sudah berapa lama mereka berenang sampai kelelahan sudah mulai dirasakan tubuhnya. Gerakan tubuhnya mulai melambat akibat dari mana-nya yang sudah hampir habis karena terus menggunakan sihir untuk melindungi tubuhnya. Tetapi, ia tak bisa mengatakannya pada Adrea. Kata-kata yang sudah ia ucapkan sebelumnya tidak bisa ia tarik kembali.

"Aku masih belum bisa mendeteksi ikan di sekitar sini. Kita belum boleh beristirahat. Terlalu beresiko."

Mac tidak menjawab, ia hanya fokus mengikuti Adrea. Energinya sudah hampir mencapai batas dan ia tak mau Adrea menganggapnya sebagai beban.

Tiba-tiba Adrea berhenti. Ia tampak fokus ketika melihat di sekeliling mereka.

"Aku merasakan kehadiran ikan di sekitar sini. Agak samar." Ia melihat Mac yang sudah terlihat sangat kelelahan. Tetapi, Adrea tidak memedulikannya. Lagipula ia yakin Mac tidak suka dikasihani dan di tempat itu pun masih sangat rawan. Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal lain selain bertahan hidup. Lalu ia bergerak mengikuti kehadiran samar yang ia rasakan.

Mac memaksakan dirinya menyelam lebih dalam, mengikuti bayangan Adrea yang melesat ke depan. Pandangannya mulai buram karena tekanan air dan kelelahan, tapi ia tetap harus bertahan. Mac semakin fokus, meski sulit, ia berusaha merasakan mana di air dan menyerapnya perlahan.

Beberapa menit kemudian, Adrea memperlambat laju renangnya dan memberi isyarat dengan tangan untuk berhenti. Ia menunjuk ke arah bebatuan karang besar yang menghalangi sebagian pandangan mereka. Dari celahnya, tampak siluet makhluk bersisik yang besar, perlahan-lahan bergerak. Sisiknya berkilau keperakan seperti cermin retak di bawah cahaya laut.

"Sial! Itu Leviathan!" bisik Adrea lewat sihir komunikasi air. Suaranya terdengar langsung di kepala Mac.

Mac mengerjap, mencoba fokus. "Itu bukan cuma satu..." katanya pelan. "Ada dua...."

Adrea mengangguk, matanya tajam. "Iya. Untungnya mereka hanyalah anakan Leviathan yang tercipta dari mana Leviathan."

Meski anakan, Leviathan itu tak bisa dianggap lemah. Sisiknya sekeras baja, sangat sulit ditembus kecuali menggunakan senjata yang dirancang khusus atau senjata sihir. Aumannya bisa menggetarkan air dan memberi tekanan kuat hingga menghasilkan gelombang kejut yang bisa menghancurkan kumpulan karang. Dan yang lebih mengerikan, beberapa anakan Leviatan bisa menghasilkan racun mematikan yang bisa melelehkan apa saja.

"Lalu apakah mereka yang kau maksud?"

Adrea menggeleng, matanya masih fokus memperhatikan para Leviathan itu. "Bukan mereka. Tetapi kehadiaran mereka sudah sangat jelas. Aku yakin, mereka ada di sekitar sini."

Adrea meraih pisau sihir di pinggangnya, ujungnya berpendar hijau. Indah, namun mematikan karena terdapat racun di bilah pisaunya yang terbuat dari darah Silabus yang beracun. Ia menoleh pada Mac.

“Aku mungkin bisa mengalahkan mereka seandainya tombakku masih bersamaku, namun sekarang hanya senjata ini yang kupunya. Kau bisa bantu dengan mengalihkan perhatian mereka?”

Mac menelan ludah. Sisa mana-nya hampir tidak cukup, tapi ia tahu ini kesempatan satu-satunya. Ia mengangguk.

“Aku bisa. Tapi kau harus cepat.”

Adrea mengangguk, lalu menyelam ke samping, mencari sudut serang yang lebih tersembunyi. Sementara Mac memejamkan mata, menggumamkan mantra hingga sebuah cahaya kecil muncul dari telapak tangannya kemudian ia lemparkan di sisi lain dari tempat Adrea bergerak. Cahaya itu bergerak perlahan dan membentuk gerakan seperti makhluk lain.

Makhluk-makhluk bersisik itu bereaksi. Namun, tidak bergerak menuju cahaya itu. Salah satu Leviathan menyemburkan gelombang air menuju cahaya yang dibuat Mac dan langsung melenyapkan cahaya itu.

Mac tidak berhenti, ia membuat cahaya lain. Meski dadanya semakin sakit, ia berhasil membuat tiga cahaya yang bergerak dan membuat salah satu Leviathan sibuk mengejar cahaya itu.

Adrea mengambil kesempatan, ia meluncur secepat panah, pisau di tangan siap menusuk ke titik lemah di bawah kepala sang monster. Tapi saat ia mendekat— tiba-tiba, laut di sekitar mereka bergetar.

Salah satu Leviathan yang tadi hanya diam kini membuka mulutnya, mengeluarkan gelombang yang mengguncang tulang. Tekanan luar biasa yang membuat tubuh membeku tak bisa bergerak.

Mac terlempar ke belakang, kehilangan kendali. Gelembung pelindungnya hampir pecah, namun untungnya ia bisa kembali mengontrol sihirnya lalu bersembunyi di balik karang. Tubuhnya terasa seperti dicabik-cabik.

Adrea, yang berada paling dekat, terpaku sesaat. Ia menggertakkan gigi dan melesat maju menembus gelombang mana yang membuat air di sekelilingnya terasa seperti lendir kental yang menggenggam setiap gerakan. Pisau sihirnya berpendar makin terang, dan dalam satu gerakan tajam, ia mengarahkannya ke bagian bawah kepala Leviathan.

Tapi sebelum bilah itu menyentuh kulit makhluk itu, sesuatu menghantamnya dari samping.

Leviathan yang tadi sibuk dengan cahaya Mac kembali dan menyambar Adrea hingga menabraknya ke dinding karang. Karang itu retak dan mengeluarkan gemuruh bawah laut yang membuat pecahan karang nyarismenghantam Mac.

Darah mengambang perlahan di air.

Mac melihatnya. Meski pandangannya sudah berbayang hitam dan sekujur tubuhnya nyaris lumpuh karena kehabisan mana, naluri untuk bertindak menendang dirinya dari dalam. Ia tak bisa membiarkan Adrea mati. Tidak sekarang. Tidak setelah sejauh ini.

Dia memaksakan dirinya, mencoba kembali fokus dan merapalkan satu mantra terakhir—mantra yang biasanya tak berani ia gunakan karena terlalu berat untuk tubuhnya: "Cebral", mantra pengikat jiwa-air, sihir kuno yang bisa mengubah tubuh pengguna menjadi saluran mana murni.

Tubuh Mac berpendar biru keperakan. Rambutnya melayang seperti asap di dalam air. Retakan cahaya menjalar dari tangannya ke seluruh permukaan kulitnya, dan seketika air di sekitarnya mulai bergerak mengikuti kehendaknya.

Dengan teriakan dalam hati, ia mengirimkan pusaran tajam ke arah Leviatha yang menyerang Adrea. Makhluk itu terlempar jauh, dan Adrea, yang tubuhnya sudah dipenuhi luka, mulai tenggelam perlahan, tak sadarkan diri.

Leviathan lain menggeram dan menoleh ke arah Mac, matanya yang seperti cermin mulai berkilat merah.

Mac tahu tubuhnya hanya akan bertahan beberapa detik lagi.

Ia mengepalkan tangan, lalu memusatkan semua energi ke telapak tangannya. Ia menembakkan satu tembakan murni mana, tepat ke tengah dahi makhluk itu—tempat di mana kelemahan Leviathan.

Kilatan cahaya meledak dalam senyap.

Makhluk itu menggeliat liar, lalu mulai melambat… dan akhirnya diam.

Mac tak tahu apakah tembakannya berhasil menembus, atau hanya membuat makhluk itu pingsan. Tapi ia tak sempat memastikan. Dunia mulai memudar di sekitarnya.

Sebelum kesadarannya benar-benar lepas, ia merasakan tangan hangat menyentuh pundaknya. Lalu bayangan wajah Adrea yang bergerak di atasnya.

"Mac… Bertahanlah."

Lalu semuanya gelap.

🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️
Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP

Share:

Thursday, June 5, 2025

SCHOOL OF MAGIC : DUNIA BARU


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read




🌕🌕🌕

Lorong goa itu begitu gelap membuat mata Aleia tak bisa melihat apapun. Meski dia sudah menggunakan sihir penerangan, sihir itu tidak begitu berguna. Beberapa kali dia tersandung karena lorong goa tidak memantulkan cahaya. Aleia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dia berada di dalam goa. Ingatan terakhirnya adalah ketika dia tidak sengaja menemukan beberapa orang bertudung sedang melakukan ritual, lalu ketika dia membuka mata, keadaan Aleia sudah seperti itu.

Aleia tidak tahu sudah berapa lama dia bergerak yang jelas tubuhnya sudah mulai kelelahan, kakinya juga sudah tidak sanggup bergerak. Hingga ketika tubuhnya hampir jatuh, sebuah cahaya tiba-tiba muncul dan memerangkap dirinya.

Saat Aleia membuka mata, Aleia sudah berada di sebuah bangunan yang sangat dia kenali. Tubuhnya kini menjadi anak kecil berumur tujuh tahun. Badannya berada di lantai dengan baju basah karena keringat. Tubuhnya terasa panas dengan tenggorokan yang kering. Meski Aleia tahu kalau apa yang dia alami saat ini adalah halusinasi, tetapi sensasi panas yang dirasakan tubuhnya terasa nyata. Rasa sakit pada sekujur tubuhnya bukan hanya halusinasi.

Aleia mencoba bergerak. Tubuh ringkihnya perlahan menggerakkan tangannya untuk mengambil air minum, tetapi dia terjatuh. Beberapa kali pun dia berusaha tubuh kecilnya kesulitan. Pada akhirnya Aleia pingsan karena kelelahan. Tubuhnya kembali berbaring di lantai keramik yang dingin.

Dulu, Aleia pikir hidupnya tidak akan lebih buruk ketika orang tuanya meninggal akibat kecelakaan mobil beberapa bulan sebelum dia masuk ke dalam panti asuhan itu. Tetapi, setelah sebulan berlalu, orang-orang yang dia pikir keluarga juga pergi meninggalkan dirinya bersama dengan warisan orang tuanya.

Aleia harus menjalani kerasnya kehidupan diusia belia. Tinggal di panti asuhan tidaklah menyenangkan. Dia dipaksa hidup mandiri, dikucilkan, bahkan tidak jarang dia pun dipukuli kalau tidak sengaja melakukan kesalahan.

Teman-teman panti tidak bisa membantu, karena sebagian dari mereka juga turut membully-nya. Dan, ketika di sekolah penderitaan Aleia tidak hilang.

Aleia sering menjadi samsak, bahkan tak jarang tubuhnya lebam-lebam ketika pulang ke panti. Di sekolah dia tidak punya teman, di panti pun dia dikucilkan. Hidupnya benar-benar menyedihkan.

Aleia tidak tahu berapa lama dia tertidur karena kepalanya masih berdenyut dan badannya masih terasa panas ketika seseorang menyiram tubuhnya dengan air dingin.

"Kau pikir ini sudah jam berapa, ha?"

Dia Maria, salah satu pengurus panti tempat Aleia tinggal setelah kedua orang tua dan saudaranya meninggal karena kecelakaan.

"Maaf, Bu. Tolong biarkan aku istirahat beberapa menit lagi. Badanku sakit sekali."

"Jangan banyak alasan. Cepat bangun!"

Aleia memaksa tubuh kecilnya bergerak. Meski beberapa kali tubuhnya terhuyung Aleia lebih memilih bekerja.

"Minggir!"

Dan sekali lagi tubuh Aleia terhuyung, namun dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Badannya Pada akhirnya, dia terjatuh, lalu semuanya menjadi gelap.

🌕🌕🌕

Ketika Aleia membuka mata, beberapa wajah asing berdiri di depannya. Tampak seperti menyambut dirinya dengan raut bahagia.

Alea merasa mereka sangat familiar. Tetapi, ketika dia ingin bersuara, mulutnya tidak mampu mengeluarkan sepatah kata. Yang dia dengar malah suara bayi yang mengoceh tak jelas.

Aleia kembali berusaha bersuara, namun lagi-lagi tak ada yang jelas dari ucapannya.

Mata Aleia terpaku pada tangannya yang tidak sengaja dia lihat. Tangannya begitu mungil seperti bayi. Dan ketika seseorang menggendongnya barulah Aleia sadar kalau saat itu dirinya kembali menjadi bayi.

"SΦαίνεται ότι η δεσποινίς είναι πεινασμένη, ναι?" kata seseorang yang berbaju hitam seperti pelayan.

Namun, Aleia tidak mengerti bahasa yang dia gunakan dan bahkan tidak pernah mendengar bahasa itu sebelumnya.

"Ανν, τελείωσε το γάλα της δεσποινίδας Αλείας;"

"Ναί."

Seorang pelayan menyodorkan susu ke mulut Aleia, tetapi Aleia berusaha menolaknya. Harga dirinya tidak mengijinkan dia meminum susu itu. Usianya sudah remaja dan tidak ada remaja yang meminum susu dengan dot. Sayangnya, perutnya tidak bisa berkompromi. Jadi, dengan terpaksa dia menerima dot itu.

Beberapa saat ketika Aleia sedang meminum susu, rasa kantuk yang luar biasa mendatanginya. Sekuat tenaga dia berusaha melawan. Tetapi, Aleia tidak sanggup menang. Pada akhirnya, Aleia jatuh dalam tidurnya.

🌕🌕🌕

Alea merasa dia baru saja tertidur, namun ketika dia membuka mata tubunya tengah ditarik oleh seseorang. Mereka mencoba kabur dari sesuatu yang Alea tidak tahu, sampai akhirnya mereka berhenti karena kelelahan.

"Nona, bisakah nona tunggu di sini? Tapi, nona tidak boleh bersuara. Apapun yang nona lihat atau dengar, jangan pernah keluar atau bersuara."

Alea ingat kejadian ini. Meski sudah berlalu selama lebih satu dekade, Alea tak pernah lupa.

Suara-suara di luar begitu memekakkan telinga. Bau anyir darah dan barang terbakar bercampur di udara. Namun, Alea hanya bisa meringkuk sembari menuruti perkataan sosok yang baru saja meninggalkannya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alea menahan napas, berusaha tidak membuat suara. Sosok yang menarik tubuhnya muncul kembali, kali ini dengan ekspresi serius dan penuh tekad.

"Nona, kita harus pergi sekarang," bisik sosok itu dengan suara rendah namun tegas. Sosok itu perlahan mulai tampak jelas. Dia adalah Sarah, pelayan pribadinya yang sudah menjaganya sejak masih balita. Pelayan setia yang selalu melindunginya dan memberikan kasih melebihi orang tuanya. "Jangan membuat suara apapun, Nona."

Alea hanya bisa mengangguk, meskipun dia ingin memberontak, tubuhnya tak bisa dan hanya bergerak persis seperti yang dia ingat dulu. Sarah mulai menariknya dengan lembut namun cepat, membawa Alea keluar dari tempat yang entah di mana itu.

Mereka melewati lorong-lorong sempit yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu-lampu yang menempel di dinding-dinding. Bau lembab mengudara dan membuat pernapasan Alea tak nyaman. Setiap langkah terasa berat bagi Alea, namun begitu dia tetap berusaha mengikuti sosok itu dengan sekuat tenaga.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu besar yang tampak kokoh. Sarah berhenti sejenak, menoleh ke arah Alea, dan memberikan isyarat agar ia tetap diam. Dengan hati-hati, sosok itu membuka pintu tersebut, mengungkapkan cahaya terang yang menyilaukan.

"Kita hampir sampai," bisik sosok itu. "Aku akan menjaga Nona sampai ke tempat yang aman."

Alea hanya bisa mengangguk.

Namun, sesaat setelah pintu gerbang terbuka dan orang-orang berdatangan dan menggerubungi dirinya Sarah kemudian ambruk, meninggalkan Alea dengan tangis tanpa suara. Sarah tergeletak di hadapannya dengan darah mengalir dari punggungnya.

🌕🌕🌕

Kendari, 6 Juni 2024

Mickey139



Share:

Monday, June 2, 2025

ANAK TOKO - Pelanggan Genit

Sangat disarankan memberi kritik dan saran.


Main : Tini, Mila, Mulyadi, Agus, Ridho
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139




SUMMARY :

Kisah para kacung alias anak toko yang ditempatkan di minimarket desa. Desa itu agak sepi, apalagi saat malam. Rata-rata aktivitas di lakukan saat pagi hingga jam delapan malam. Di sana tidak ada hiburan. Jadi, hiburan satu-satu nya anak toko adalah ketika pembeli datang ke toko.

~happy reading~




Siang itu suasana Minimarket agak ramai. Ada sekitar 4 orang pelanggan yang sedang mencari barang dan satu pelanggan sedang dilayani Mila.

Pelanggan itu berbeda dari pelanggan biasa yang dilayani Mila. Tetapi, bukan karena cara pakaiannya yang mirip om-om seperti sinetron tahun 90-an, atau keranjang penuh snack yang tidak sesuai dengan umurnya- yang kalau dilihat sudah hampir mencapai setengah abad. Hanya saja, pelanggan itu betul-betul membuat Mila risih.

Pelanggan itu seolah tak sadar umur atau memang tak peduli. Kalimat-kalimat godaan yang keluar dari mulut pelanggan itu membuat Mila ingin sekali menampol mulutnya dengan botol kecap yang sedang promosi di sampingnya. Untungnya, Mila masih ingat gajinya. Jadi, dia masih bisa bersikap profesional dan meladeni secukupnya pelanggan itu.

"Dek, jangan pasang muka cemberut. Sayang sekali muka cantiknya. Senyum dong." kata pelanggan itu dengan nada menggoda.

Mila mendengus dalam hati Berusaha tetap fokus dan membalasnya dengan profesional. "Terima kasih, Pak. Muka saya memang sudah begini."

"Gak apa-apa. Mukamu tetap cantik, kok."

Tanpa menghiraukan kata-kata pelanggan itu, Mila kemudian bertanya. "Ada lagi, Pak yang bisa saya bantu?"

"Bantu hangatkan ranjangku, boleh dek? Eh, maksudku hangatkan hatiku. Aduh, kadang-kadang mulutku asal bicara. Hehehe... Tapi, kalau adeknya mau, aku sih yes aja ya."

Oh, astaga. Seumur-umur Mila kerja di toko barusan dia dapat pelanggan yang kurang ajar seperti ini. Mila betul-betul ingin menjajali mulut pelanggan itu dengan cabe carolina reaper sekilo, biar lambungnya hancur sekalian.

Mila menarik napas samar, menenangkan dirinya dari rasa marah, kemudian tersenyum ke pelanggan itu dan menjalankan SOP lainnya. "Pulsa sekalian, Pak?" tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Mila, pelanggan itu kembali berbicara. "Punya pacar gak dek? Kalau nggak, bisa dong kita jalan. Hehehe...."

Wajah Mila sudah mulai meredup, tetapi dia tetap berusaha sabar. "Makasih, Pak. Tapi, saya lebih suka jalan dengan laki-laki yang kalem dan gak banyak bicara, Pak. Apalagi sampai menggoda kasir."

Pelanggan itu tertawa kecil tak peduli dengan sindiran Mila.

"Aduh, jangan gitu dong, nanti aku jadi malu. Kalau kamu lagi nggak sibuk, kita nongkrong yuk. Aku jamin, bisa bikin hari kamu lebih seru!"

Mila yang sudah mulai merasa agak terganggu tapi tetap menjaga profesionalisme menjawab dengan santai, "Maaf ya, Pak. Mending nongkrong sama teman-teman bapak aja. Kalau sama saya, bisa-bisa nanti ngobrolnya cuma soal stok barang dan diskon aja."

"Ah, nggak apa-apa kok. Saya bisa menyesuaikan."

Mila tertawa tetapi matanya sudah menunjukkan aura ingin membunuh pelanggan di depannya itu. "Sayanya, Pak yang tidak bisa menyesuaikan. Tahu kan pak, biasanya anak muda dan bapak-bapak punya topik beda." katanya sembari lanjut men-scan barang tanpa melihat wajah pelanggan di depannya itu.

Pelanggan itu tersenyum, tapi seolah tak mau tahu maksud Mila dia melanjutkan godaannya. "Nah, saya suka nih yang pintar-pintar kayak kamu."

Mila betul-betul sudah muak. Dia angkat kepalanya dan menatap pelanggan itu. Tapi, bukan ekspresi ingin membunuh yang dia kasi melainkan senyum sopan yang ramah. "Terima kasih, Pak. Total belanjanya Rp 575.700,- Pak."

"Oh, i... iya. Terima kasih ya cantik. Lain kali aku datang lagi yah."

Mila tidak menyahut dan hanya memberikan senyum sopan. Tetapi dalam hati menyahut, 'jangan kembali lagi, Pak. Takutnya saya nggak kuat dan langsung melempari bapak dengan rak pajangan'.
Mickey139



Share:

Thursday, May 22, 2025

Pelukanku untuk Arwahmu : 2. Abyasa

Main : Calista, Abyasa, Kanaya
Rate: T
Genre: Romance, Mistery
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



👻👻👻

BAB 2. Abyasa


Sejak pertemuan tak terduga di taman kampus, pikiran Calista dipenuhi oleh sosok Abyasa dan arwah perempuan yang selalu mengikutinya. Entah kenapa dirinya dipenuhi rasa penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut tentang mengapa arwah gadis itu tak pernah berbicara, hanya memandang dengan sorot mata yang sendu, seolah menanti sesuatu yang belum tersampaikan.

“Calista!”

Calista tidak mengetahui berapa lama ia melamun hingga ada seseorang yang menarik tasnya seraya memanggilnya dengan suara yang keras.

“Lo mau bunuh diri, apa gimana?”

“Ha?”

Dini, gadis yang sedari tadi berjalan di samping Calista hanya mendengus mendapat respon dari Calista.

“Lihat depan!” kata Dini malas.

“Ah!”

Calista terlonjak sedikit dan buru-buru melangkah mundur dari tepian trotoar, matanya membulat saat melihat sebuah motor melaju cepat hanya beberapa meter dari tempat ia tadi berdiri. Jantungnya masih berdetak kencang saat ia akhirnya bisa kembali fokus pada kenyataan.

“Lo dari tadi jalan kayak mayat hidup,” sentak Dini dengan gemas tapi matanya penuh kekhawatiran. “Gue udah manggil lo tiga kali. Apa sih yang lo pikirin?”

Calista menatap sahabatnya itu dengan wajah yang masih pucat. “Maaf, Din.”

“Ck, sejak kapan lo bisa melamun sampe nyaris ketabrak motor? Jangan bilang ini gara-gara Abyasa?”

Calista menunduk, menggenggam tali tasnya erat-erat. Dirinya masih syok dengan apa yang baru saja terjadi dan membiarkan pertanyaan Dini menggantung di udara. Selang beberapa detik Calista menarik napas lalu menghembuskannya perlahan dan mengangguk pelan. “Iya...” gumamnya lirih. “Dan... Cewek yang selalu ikut di belakangnya.”

Dini mendelik. “Maksud lo? Penguntit?"

Calista menggeleng, "Bukan."

"Setan?”

Calista mengangguk pelan. “Tepannya arwah. Gue nggak bisa berhenti mikirin kenapa arwah itu terus di dekat Abyasa. Tapi yang paling bikin gue bingung... dia nggak pernah ngomong apa-apa. Cuma mandangin Abyasa. Kayak... kayak dia nyimpan sesuatu yang nggak bisa disampaikan.”

Dini mendesah, menatap Calista dengan ekspresi antara prihatin dan lelah. Dia sudah lama tahu tentang kemampuan temannya ini, dan walau sudah terbiasa, tetap saja ia merasa tidak nyaman setiap kali pembicaraan itu muncul.

Bukan karena alasan tidak percaya, hanya saja dia tidak pernah melihat apa yang dilihat Calista, keterikatan yang sering arwah berikan ke Calista atau cerita apa yang sering arwah itu bagi lewat perasaan mereka. Jadi, dia tidak terlalu paham permasalahan cewek itu. Dan, itu yang membuatnya tak nyaman.

“Lo udah coba tanya Abyasa?” tanya Dini sekali lagi.

Calista menghela napas. “Belum.”

“Kenapa?”

“Gak berani.”

“Kok gitu?” Dini benar-benar merasa gemas terhadap temannya itu. Padahal tinggal ditanya, tetapi cewek itu malah menundanya.

Calista yang mendengar pertanyaan itu mendengus kemudian menjawab, “Ya kali. Coba bayangin, tiba-tiba ada orang yang lo gak kenal sebelumnya terus datang dan tanya, kamu gak ngerasa ada yang ikutin kamu? Atau punggung kamu berat, gak? Aku bisa lihat arwah, loh. Kan, aneh, Din.”

“Yah, emang aneh sih. Terus lo mau ngapain?”

Calista mengangkat bahu, “Gue juga gak tahu.”

“Atau, lo mau gak gue bantu. Maksud gue buat ngomong ke dia.”

Calista menggeleng, tentu saja dia tidak. Lagipula, dia dan Abyasa tidak saling kenal, dia juga bukan tipe KEPO akut yang mau tahu segalanya. Dirinya hanya penasaran karena baru kali ini dia menemukan sosok yang berbeda dari biasanya.

“Nggak usah.”

“Yakin?”

Calista mengangguk mantap. “Yakin.”

“Oke. Tapi, kalau ada yang lo rasa aneh, kasi tahu gue.”

“Oke.”

Setelah percakapan singkat itu mereka kembali melanjutkan langkah, kembali pulang ke kos. Meski siang itu terik, pohon-pohon di sekitar jalan kampus membuat udara di sekitar mereka terasa sejuk. Tidak ada sampah berserakan karena para tukang bersih selalu rajin datang pagi-pagi untuk membersihkan area kampus. Jadi, tidak ada pemandangan yang membuat mata gatal dan betah untuk berjalan kaki.

Namun, entah semesta yang tak mengijinkan Calista untuk beristirahat dengan tenang hari itu atau karena memang hari itu bukan hari keberuntungannya, Calista malah dipertemukan dengan orang yang ingin dia hindari, meski mereka tak kenal.

Calista mengambil ancang-ancang. Bersiap untuk mengambil langkah seribu. Sayangnya, mulut Dini bergerak lebih cepat. Cewek manis dan tomboy itu malah memanggil Abyasa. “Yasa!” dengan panggilan akrab yang bahkan tidak pernah Calista dengar sebelumnya.

Dan, sebelum Calista bergerak, Abyasa sudah mendekat dengan senyum hangat ciri kasnya. Calista jadi merasa tak enak menghilang ketika cowok itu sudah berada di depan mereka.

“Kok lo manggil?” sergah Calista setengah jengkel. Terlebih ketika ia melihat arwah cewek yang mengikuti Abyasa masih setia mengikuti cowok itu. Ada sesuatu yang selalu menarik dirinya untuk ingin membantu permasalahan arwah cewek itu, padahal dia benar-benar tak ingin berhubungan dengan Abyasa dan Arwah itu.

“Ah, reflek.” jawab Dini sambil menyengir. “Kebiasaan sih.”

“Kebiasaan?” sahut Calista sambil mendengus. “Atau sengaja?”

Dini menyengir. “Beneran. Kebiasaan sejak kecil. Abyasa kan sepupu gue.”
Calista berdecak. Betul-betul merasa tak nyaman sekarang. Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menghela. Dan lagi kenapa dia baru tahu kalau Dini dan Abyasa itu sepupu? Padahal mereka sudah 2 tahun berteman.

“Tenang aja. Dia gak makan orang kok."

Calista memilih diam, tak ingin menanggapi candaan Dini. "Mau gue bicara sama dia?”

“Din!” geram Calista dengan suara rendah.

“Ck, kenapa lo suka sekali bikin ribet diri lo sendiri, sih?”

“Nggak ribet kok.”

Dini memutar bola matanya sambil menjawab, “Cuma bikin pusing sendiri.”

Obrolan mereka terpotong ketika Abyasa sudah berada di depan mereka. Masih dengan senyum hangat yang membingkai wajah laki-laki itu, dia menyapa Dini, “Lo mau pulang ke kos.”

Dini mengangguk. “Yaps." Kemudian menyerngit ketika melihat penampilan laki-laki itu yang agak berantakan. Keringat yang memenuhi wajahnya, bajunya yang agak basah, dan wajah kuyu yang membuat tangan Dini gatal untuk membasuh wajah sepupunya itu. "Muka lo kenapa kusut amat?"

"Motor gue bannya kempes."

Dini mengangguk, "Oh. Btw, kenalin ini teman kelas gue. Calista.”

Abyasa tersenyum melihat Calista kemudian mengulur tangannya yang disambut ragu-ragu oleh Calista.

“Abyasa.”

“Ca … Calista.”

Abyasa mengangguk. Lesu yang tadi mereka lihat sudah tak ada lagi dan berganti senyum. Sayangnya, Calista tak memedulikan itu. Dia justru lebih memedulikan pada sosok di belakang Abyasa.

Sesekali Calista melirik arwah itu yang tetap tak mengindahkan dirinya dan terus memandang Abyasa dengan tatapan sendu. Dan itu membuatnya tak nyaman. Lebih dari ketika bertemu arwah cerewet yang meminta bantuannya.

“Kita kemarin ketemu, kan?” tanya Abyasa tiba-tiba.

Tatapan Calista kembali fokus pada Abyasa dan mengangguk. “I... iya." Padahal mereka selalu ketemu namun tak pernah bersapa. Calista ingin sekali mengatakan itu, tetapi ia lebih memilih mengatakan yang lain. "Maaf kalau itu bikin kamu nggak nyaman.”

Abyasa menggeleng cepat, “Tidak kok. Tapi, aku cuma aneh saja.”

Calista mengangguk, “Aku juga kalau ada yang datang tiba-tiba kayak kemarin, pasti ngerasa aneh.”

“Bukan, bukan aneh kayak gitu.” Abyasa buru-buru membantah perkataan Calista. “Gue cuma penasaran. Kenapa lo tiba-tiba hampiri gue?”

Calista diam sejenak, dia melirik Dini di sampingnya yang memberikan kode untuk bicara dan mengalihkan pembicaraan. Tetapi gadis itu hanya diam. Calista tak bicara apa-apa. Dia benar-benar tak ingin mengatakan kebenaran tentang kemampuannya. Dia tidak ingin dianggap aneh seperti ketika sekolah dulu.

"Itu, m, aku kira kamu temanku dulu."

"Bohong!" Sentak Dini membuat Abyasa menatap Dini dengan kening berkerut heran sekaligus penasaran. Kemudian tatapannya beralih pada Calista untuk meminta jawaban namun bukan tuntutan yang wajib Calista jawab, karena dia tahu Dini seperti apa. Cewek itu tentu saja suka menggoda temannya, terlebih ketika berdekatan dengan dirinya.

"Din, apaan sih."

"Calista, mending lo jujur deh. Yasa juga gak bakal nge-judge lo kok."

Calista benar-benar kesal pada Dini. Dia menatap Dini seolah ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

"Kalian bicara apa?" tanya Abyasa yang tampangnya benar-benar kebingungan namun juga penasaran.

"Calista Indogo." Sentak Dini, membuat Calista sebentar lagi meledak. "Dan, dia juga lihat ada yang ngikutin lo."

"DIN! Apa-apaan sih lo?"

"Oh?"

"Ah, pantas saja." kata Abyasa tiba-tiba. "Kemarin kayaknya lo ragu-ragu mau bilang apa. Itu gue heran, tapi pas gue mau nanya, elo sudah hilang. Emang lo lihat siapa? Khodam gue." kelakar Abyasa.

Lain halnya dengan Calista, cewek itu tak memedulikan candaan Abyasa. Dia menatap laki-laki itu agak ragu kemudian menyahut, "Itu yang ngikutin kamu cewek. Cantik."

Abyasa menyerngit, "Lo bisa kasi gambarannya?"

Calista mengangguk. "Cewek, putih, rambut hitam panjang sepunggung. Ada tahi lalat di bawah mata kirinya."

Abyasa tiba-tiba terdiam. Pikiran laki-laki itu seolah melayang dan membuat Calista dan Dini heran.

"Yasa?"

"Ah, astaga gue lupa Tio minta flashdisk-nya dikembalikan. Ntar kita lanjut ya Din. Gue duluan."

Calista dan Dini saling berpandangan, pikiran mereka tiba-tiba sama. Sama-sama berpikir kalau cowok itu punya masalah dengan arwah cewek yang dilihat Calista.

TBC
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com