Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.
Terima kasih 😊.
"Memang apa lagi?"
"Tidak ada pendekatan?"
"Kau sudah tahu bagaimana aku kan?"
"Tapi aku tidak berdebar-debar seperti novel yang sering kubaca."
"Jantungku yang mau melompat Sakura."
Oh astaga, inikah kata-kata gombalan milik Uchiha Sasuke?
"Kau mau?"
"Kalau tidak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu saja memaksamu."

.
"Ambilkan laporan penjualan pada bagian kearsipan."
Ini bercandakan? Aku disuruh naik lantai lima belas dari lantai lima hanya untuk turun ke lantai lima lagi?
Terus, apa gunanya sekertaris yang ada di depan ruangannya itu? Apa gunanya telepon yang ada di mejanya? Dia kan bisa meminta bagian kearsipan untuk membawakannya. Kenapa harus aku?
Karena dia hanya ingin melihatmu menderita.
"Maaf, Pak, bukannya Bapak bisa menyuruh bagian kearsipan untuk membawakannya, yah?" kuberanikan diriku bertanya. "Atau ada Bu Karin yang bisa mengkonfirmasikan pada bagian kearsipan."
Sasuke menghentikan ketikannya hanya untuk menatapku tajam. "Karin sudah menginformasikan ke mereka, tapi mereka sibuk dan belum bisa membawanya naik ke sini sementara aku sudah sangat membutuhkannya. Sedangkan Karin harus menyelesaikan laporan bulanan untuk meeting besok, jadi tidak bisa ke mana-mana." jelasnya.
Dan kenapa harus aku? Banyak karyawan lain kan yang bisa. Aku juga punya pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini.
"House keeper kan juga bisa, Pak." Lagi-lagi aku protes.
"Tidak bisa. Mereka tidak boleh membawa laporan sepenting itu."
Apa masalahnya? Mereka juga tidak mungkin membawa kabur setumpuk kertas tidak berguna yang tidak bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat, bukan?
"Tapi─"
"Tidak usah banyak protes. Ambilkan saja, dari pada kau membuang waktu tidak berguna di sini."
Astaga. Tidak berguna, katanya. TIDAK BERGUNA? Andai memotong kepala orang tidak berdosa, aku dengan senang hati akan melakukannya pada orang ini.
Untung tampan.
"Baiklah. Apa ada yang lain, Pak?" tanyaku lagi, tidak mau disuruh untuk yang kesekian kalinya.
"Untuk sementara tidak ada."
Yah 'untuk sementara', artinya akan ada lagi sebentar.
Shiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!
Kukeraskan rahangku hanya untuk tidak memakinya saat ini juga. Heran, kok punya GM begini amat yah sama bawahannya. Di mana hati dan prikemanusiaannya?
"Kalau begitu saya permisi."
"Hn."
Aku menghembuskan nafas lelah, lalu undur diri dari hadapan laki-laki diktator itu.
"Ini laporan yang Bapak minta." kataku sambil menyerahkan laporan penjualan bulan kemarin yang dibungkus dengan map hitam kepada Sasuke.
Sasuke menerima lalu memeriksanya. Belum ada kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya. Ia hanya diam sambil mengamati.
"Hn."
Yesssssss!
Akhirnya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku.
"Buatkan kopi hitam. Jangan yang kemasan, ada biji kopi yang sudah di siapkan."
What?
Mataku melotot. Apa-apaan dia?
"Ada house keeper kan, Pak?" lagi aku menanyakan ke mana house keeper milik perusahaan.
"Lama. Lagipula kau ada di depanku sekarang dan lebih menghemat waktu dari pada memanggil mereka."
Triple shiiiiiit!
Seharusnya ia bilang dari tadi supaya aku bisa menyuruh HK untuk membuatkannya.
"Tapi, saya juga punya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak. Hari ini." kataku kesal.
"Hanya menginput laporan, kan. Itu tidak membutuhkan waktu yang lama." sahut Sasuke tidak mau mengalah.
Hell, dia kira laporan harian itu tidak banyak? Aku juga masih baru kan, jadi, jari-jemariku masih belum terlalu fasih.
"Tapi─"
"Lebih menghemat waktu jika kau membuatkanku sekarang. Lagipula itu tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya lima belas menit kurang, kopiku selesai." katanya dengan nada final.
Aku menunduk, keluar ruangannya sambil menyeret langkahku.
"Tidak usah berpura-pura. Aku tahu kau pasti senang kan di panggil terus oleh Tuan Uchiha?"
Aku mendelik pada Karin sekertarisnya Sasuke.
Dasar bodoh.
Apa matanya sudah buta hingga tidak melihat bagaimana wajahku sekarang? Bagaimana kondisiku sekarang? Bagian mana dari diriku yang senang dengan kelakuan Sasuke?
"Kau mau gantian?"
Karin mengangguk antusias. "Tentu saja."
"Kalau begitu buatkan dia kopi hitam sekarang." kataku.
Raut wajah Karin berubah masam. "Tidak bisa. Kali ini kau saja yang buatkan. Dia menyuruhku menyelesaikan laporan dan tidak membiarkanku istirahat sebelum menyelesaikannya."
Kali ini rautku yang berubah masam. Dan tanpa konfirmasi pada Karin aku langsung pergi ke pantry dan membuatkan pesanan laki-laki arogan itu.
"Kau boleh kembali ke ruanganmu."
Akhirnya Tuhan.
"Bapak tidak memerlukan sesuatu lagi, kan?" tanyaku hati-hati. Biasanya ini hanya sementara sebelum dia menyuruhku lagi.
"Tidak. Kau boleh kembali ke ruanganmu."
Wow.
Apa kopi buatanku bisa merubah mood orang jadi baik?
"Kalau begitu saya permisi." ucapku girang.
Dia menatapku heran namun tidak kupedulikan, aku meneruskan langkahku.
Akhirnya.
Semoga hari ini aku pulang lebih cepat.

"Sakura, ke ruangan GM sekarang. Laporan yang kemarin kau input katanya salah."
Keningku mengerut ketika Kuren mengatakan itu. Bukankah, yang seharusnya memeriksa laporan itu adalah kepala devisiku lalu mengatakan salah padaku sendiri dan menyuruhku mengubahnya sebelum diserahkan pada GM? Dan kenapa GM bisa mengetahui yang mana hasil kerjaku?
Uh, aku yakin ini hanya akal-akalannya lagi untuk mengerjaiku. Padahal lima belas menit yang lalu dan sebelum-sebelumnya juga ia sudah memanggilku, tetapi tidak memberitahuku apa-apa. Ternyata benar, ini tidak akan selesai sabelum jam empat, sama seperti yang lalu-lalu.
"Iya baiklah." sahutku malas. Capek sebenarnya. Naik-turun dari lantai lima belas dan lima itu bukan seperti jalan lima meter langsung sampai. Meski naik lift, tetapi liftnya terletak lumayan jauh, ditambah aku menggunakan high heels makin membuatku capek dan pegal.
Ah, padahal pekerjaanku belum selesai. Baru juga sepuluh menit yang lalu disuruh kembali, sekarang dipanggil lagi.
"Lagi?"
Aku melirik Ino dan mengangkat bahu, "Kau bisa melihatnya sendiri." sahutku.
"Sepertinya dia tidak bisa tidak melihatmu barang lima menit." kekehnya sambil menopang dagu melihatku.
Aku bersungut-sungut dan menatap Ino jengkel. "Dia psikopat." lalu tanpa menunggu balasan darinya aku kembali meneruskan langkah.
Tiba di ruangannya, aku menemukan dirinya bersama dengan seorang klien wanita. Cantik dan seksi, tipekal pria-pria zaman sekarang yang menamai diri mereka sebagai pencinta wanita.
"Permisi, Pak."
Mereka mengalihkan perhatian mereka padaku.
"Ada─"
"Satu mokachino dan kopi hitam, lima belas menit dari sekrang." katanya tanpa basa-basi.
"Apa?"
"Sekarang."
Arrrrgghhhh... Sasuke brengsek. Sialan. Pantat ayam. Menyebalkan. Apa gunanya house keeper kalau staf admin yang disuruh.
Lagipula, dia bilang lima belas menit. Memang dasar, dia hanya ingin menyiksaku. Mana bisa dalam waktu segitu selesai? Belum perjalanan, proses pembuatan, dan antrian. Semua itu memakan waktu setidaknya dua puluh menit bahkan sampai setengah jam. Dasar tidak berperikemanusiaan.
Dengan langkah gontai dan makian buat Sasuke aku menuju kafe dekat hotel dan membelikan pesanan mereka. Untung saja aku sudah menyimpan kontak salah satu pelayannya, jadi bisa menghemat waktu.
"Ini pesananmu Sakura. Satu mokachino dan kopi hitam."
"Terima kasih, Yukimaru."
"Sama-sama."
Aku melirik jam di pergelangan tangan. Rupanya sudah dua belas menit berlalu, dan sekarang waktuku hanya tersisa tiga menit. Bisa gawat jika aku terlambat. Taring dan tanduknya akan muncul.
Segera kubawa kakiku secepat yang kubisa menuju kantor GM. Meski sulit, karena selain memakai heels setinggi tujuh senti meter juga harus melewati padatnya karyawan karena istirahat.
Sampai di kantornya, aku dibuat tercengang, rupanya wanita tadi sudah tidak ada. Jadi, apa gunanya aku bersusah payah membelikan mereka minuman ini? Apa bayaran dari usahaku?
Tatapan tajam milik Sasuke Uchiha.
Dia menatapku setajam tatapan singa yang menatap tikus malang yang terpojok. Padahal hanya telat lima menit, masa iya langsung dihadiahi tatapan seperti itu? Dia kira aku wonder women yang bisa bergerak cepat ya?
"Lima menit."
Aku mendesah, menyesal sekaligus kesal. "Maaf, Pak. Banyak antrian tadi." jelasku berharap ia masih punya hati nurani untuk memaklumiku kali ini.
"Lima menit itu bisa membuat kerugian besar perusahaan."
Tidak ada hubungannya kan.
"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya."
"Usaha?" Aku mengangguk mantap. "Tapi aku tidak bisa melihat usahamu. Ini adalah kali keempat kau terlambat dan membuat clientku duduk dengan tenggorokan kering."
Lalu itu apa? batinku saat tanpa sengaja mataku melirik bekas minuman di atas mejanya yang belum sempat dibereskan oleh house keeper.
"Ya sudah. Taruh itu dan kerjakan kembali laporan itu."
Tatapanku kualihkan pada map kuning di atas meja. "Baik, Pak." kemudian aku mengambilnya. "Kalau begitu saya permisi." sahutku sebelum melangkah meninggalkan ruangan yang bikin sesak ini.
"Siapa bilang kau mengerjakannya di ruanganmu?"
Ha?! Lalu di mana? Di toilet? Semakin lama, GM ini semakin mengesalkan.
"Kerjakan di sini."
Loh! Maksudnya?
Dia bercanda kan?
"Kenapa?" dia bertanya. Tatapannya terlihat tegas, sarat tak boleh diprotes. Tapi mana bisa? Yang ada aku tidak bisa bergerak karena aura intimidasinya terlalu besar untukku.
"Aku harus kerjakan di sini?" sekali lagi aku memastikan.
"Hn."
Aku yakin itu artinya ya.
"Tapi komputerku kan tidak bisa dipindahkan, Pak."
"Pakai flash dan kerjakan di lapotopku."
"Tapi, programnya kan tidak bisa di copy."
"Semua program yang ada di perusahaan sudah ada di laptopku."
Mengesalkan.
"Tapi─"
Aku menghentikan ucapanku ketika melihat tatapannya yang berubah semakin tajam.
"Baiklah." sahutku lemas.
Hah, untung tampan.
Kurang lebih dua jam aku mengerjakan pekerjaanku di kantornya dan selama itu pula, perasaanku tidak enak. Benar-benar tidak enak. Bagaimana bisa rileks bekerja kalau selama kukerjakan laporanku tatapannya itu tak pernah lepas dari gerak gerikku? Bagaimana bisa aku bergerak leluasa kalau diperhatikan seperti itu?
Ada satu waktu, ketika aku menggaruk kepala karena gatal, dia berdehem dan menatapku tidak suka, katanya dia tidak suka ada ketombe dan rambut rontok di sofanya. Ada lagi, gerakan tanpa sadar yang kulakuan dan ia lagi-lagi protes. Katanya dia tidak suka bekerja dalam satu ruangan dengan perempuan yang jorok. Padahal aku hanya menaruh bolpoin di antara hidung dan bibirku yang kumanyunkan. Di mana letak kejorokannya? Memang dasar hanya ingin menegurku saja dia.
Dan untungnya semua kesabaranku terbayar. Pekerjaanku selesai dan ia menyuruhku kembali ke keruanganku. Itu pun ketika waktu sudah menunjukkan angka empat, satu jam sebelum jam kantor selesai. Seperti yang lalu-lalu. Bukankah ia seperti iblis? Padahal pekerjaanku yang besok harus kukumpulkan harus selesai hari ini.
"Aku permisi." pamitku.
"Hn."
Yah 'hn', apalagi?
Terima kasih?
Jangan bercanda.
