hai... hai... minna kembali lagi dengan saya.
moga untuk chapter kali ini tidak membosankan.
hehehehe...
Sebelumnya : chapter 1
Story by
________________________________________
“Hahahaha....” Tawa mereka berbarengan. “rasakan itu. Itu akibatnya jika kau mendekati salah satu pangeran kami.” Ujar salah satu di antara mereka sebelum meninggalkan Hinata di sana. Sendirian.
“Tolong buka pintunya! Tolong buka!” Ucap Hinata sambil menggedor-gedor pintu gudang itu. Tangisnya semakin pecah tatkala melihat keadaan di dalam gudang itu. Gelap tak ada cahaya sedikit pun yang menerangi tempat itu. Ia takut. Ingatan masa lalunya kembali menghantuinya, pengalamannya yang mengerikan.
“Tolong!” Teriaknya frustasi. Ia menangis, meraung di dalam gelapnya gudang itu. “Naruto-kun tolong aku!” Lirihnya sebelum jatuh pingsan.
“Hinata!” Teriak Naruto memanggil Hinata. Hanya nama itu yang langsung terpikirkan olehnya.
Tak ada jawaban yang di dapatinya. Ia kemudian berjalan menuju gudang mengikuti percikan bekas air got di tanah. Penglihatannya berhenti di satu titik, yaitu gudang sekolah yang sudah tak terpakai lagi.
“Hinata!” Panggilnya lagi.
Naruto kemudian mendobrak pintu itu. “Hinata!” Sekali lagi ia berteriak untuk memastikan. Dan lagi-lagi tak ada jawaban yang di dapatkannya. Ia kemudian menendang pintu itu keras sehingga salah satu pintu gudang itu terlepas dari engselnya.
Pintu gudang itu terbuka, menyisakan gelapnya dalam gudang itu. Perlahan kaki jenjangnya memasuki gudang itu, berusaha mencari satu sosok yang terus membayangi kepalanya. Ditelusurinya gudang itu, namun ia tak juga menemukan sosok yang dia maksud. Ia kemudian berbalik untuk pulang ke rumahnya. Namun ketika ia akan keluar dari gudang itu, matanya menemukan sesuatu di balik salah satu pintu gudang itu. Matanya terbelalak ketika melihat satu sosok yang sedang terbaring lemah. Sosok yang telah ia cari-cari. Ia kemudian mengangkatnya dan membawanya keluar gudang itu.
Hatinya berdenyut nyeri ketika melihat penampilan Hinata. Lebih parah dari tadi pagi. Wajahnya penuh luka lebam, masih menempel bekas darah di sudut bibirnya, bahkan di jidatnya pun terdapat luka dan masih mengeluarkan darah.
Naruto membawa Hinata ke apartemen miliknya. Kebetulan ia tinggal sendiri di apartemen itu. Dengan telaten ia membersihkan tubuh Hinata, mengganti pakaiannya, juga merawat luka-luka gadis itu.
Awalnya Naruto sulit untuk melakukannya, bagimanapun juga dia adalah seorang laki-laki normal. Yang akan bereaksi ketika melihat pemandangan wanita yang hanya berbalut pakaian dalam di depannya. Namun, Dia masih sadar dan bisa mengendalikan diri untuk tak tergoda. Walau ada bagian dari dirinya yang menginginkan itu.
Ia terus menunggu Hinata sampai gadis itu tersadar. Namun sudah hampir dua jam Hinata belum juga tersadar.
Naruto pergi ke dapur untuk membuatkan Hinata sesuatu. Memasakkan bubur dengan menambahkan sedikit rempah obat agar Hinata dapat segera sehat. Naruto juga mencucikan baju kotor yang tadi digunakan Hinata walaupun dengan mesin cuci.
Anak laki-laki dengan rambut blonde itu berbalik dengan menampakkan cengiran khas-nya. “Boleh. Nanti kalau becal aku akan jadi cuami hina-chan.” Ujar Naru riang sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Angin sore membelai rambut blonde-nya hingga membuatnya bergerak-gerak seirama dengan hembusan angin tersebut.
“Ano... Caku juga mau. Caku juga mau punya anak kayak Hanabi-chan.” Gadis kecil lain dengan rambut sewarna permen kapas menimpali. Tak mau kalah dengan Hinata. “Cacuke-chan─!?” ia berbalik meraih tangan kecil di sampingnya dengan malu-malu. Bocah cilik dengan surai raven bertampang imut.
“Aku tidak mau. Saku-chan pendiam. Aku tidak suka cama anak yang pendiam kayak saku-chan.” Ujar anak laki-laki itu sebelum temannya melanjutkan perkataannya.
“Cacu-chan...!” Ucap Saku kecil dengan suara bergetar menahan tangis. Gadis berumur empat tahun itu sebentar lagi akan menangis.
Melihat temannya yang sebentar lagi akan menangis, anak laki-laki itu pun tak tega dan membelai rambut pink gadis kecil itu, diikuti dengan kedua temannya yang lain, menghampiri keduanya.
“Caku-chan jangan Cedih, aku juga jadi cedih. Casu-kun Cuma becando kok. Benal kan Cacu-chan?” Hibur Hinata kecil.
“Maaf! Tapi kalo Caku-chan kayak Hinata, aku mau kok jadi suami saku-chan nanti.” Tambahnya sambil membelai rambut gadis cilik itu.
“Caku-chan jangan cedih. Cacuke cudah bilang mau jadi cuami Caku-chan. Jadi jangan sedih lagi!” Imbuh laku-laki cilik yang lain. ia juga tak tega melihat temannya menangis tepat depan mereka.
Hari semakin sore, para jemputan mereka juga sudah tiba. Tak mau merepotkan keluarga mereka. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk segera pulang. Lagi pula mereka tak mau dimarahi oleh kakak-kakak mereka karena telah menunggu lama.
“Aku duluan yah teman-teman. Nii-chan-ku cudah mau pulang. Ja matte ne...! Becok kita main lagi yah!?” Ucap Hinata kecil seraya berlari menghampiri kakaknya.
...
“Bagaimana kondisi mereka sekarang yah? Kuharap mereka semua baik-baik saja. Aku sangat merindukan mereka. Teman pertama yang menerimaku.” Ucapnya lirih. Tak terasa air matanya merembes begitu saja.
Hinata dulunya memiliki 3 orang sahabat─teman masa kecil yang selalu menemaninya bermain. Mereka semua bertemu di play group karena kesibukan orang tua mereka, akhirnya mereka dititipkan di sana.
Awalnya mereka jauh dari kata dekat. Teman-temannya memiliki karakter tersendiri yang berbanding terbalik dengannya. Pendiam, cerewet, hiperaktif, dan sombong.
Waktu kecil dia adalah anak yang lembut, tetapi aktif. Berbeda jauh dengan sifatnya yang sekarang. Sifat aktif yang dimilikinya telah lenyap, namun masih tetap lembut dan cenderung pendiam. Mungkin karena masalah internal keluarganya. Akan tetapi, bukan berarti dia anak broken home.
Ia mengedarkan seluruh pandangannya di ruangan itu. Biru langit dan putih menjadi warna dominan kamar itu. Selain itu, wangi yang menguar dari kamar itu kontras dengan aroma khas lelaki yang dikenalnya. Citrus dan mint. Jelas sekali kalau ia tidak berada di dalam kamarnya sendiri dan berada di dalam kamar seorang lelaki.
Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dan duduk di ranjang itu dengan bantal sebagai alas sandarannya. Ia ingin berdiri dan mencari pemilik kamar itu, namun tubuhnya tak kuasa untuk digerakkan.
Tangan kanannya beralih memegang pelipisnya yang tadi terluka. Masih terasa sakit meski sudah diobati. Ia ingat kejadian tadi sore ketika pulang sekolah. Seharusnya ia berada di dalam gudang sekolah. Kenapa ia bisa berada di dalam kamar─yang pemiliknya entah siapa─itu? Kira-kira siapa yang sudah berbaik hati menolongnya?
OoO
Di dapur, Naruto yang sudah menyiapkan semuanya─bubur yang tadi dibuatnya serta air hangat untuk diminum Hinata─ kemudian kembali ke kamarnya untuk melihat keadaan gadis itu.
Gadis itu sekarang sudah sadar, ia tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan bantal sebagai tumpuannya.
Perlahan ia mendekati gadis itu. “Hinata!” Sapanya riang. Ia kemudian menyimpan nampannya di atas meja samping tempat tidurnya dan ikut duduk di samping gadis itu. “Bagaimana keadaanmu Hinata-chan?” Tanya Naruto senang. Tak bisa dipungkiri hatinya merasa sangat lega dan juga senang mendapati Hinata sadar.
“Naruto-kun,” ucap Hinata seraya melihat laki-laki itu. “Aku baik-baik saja. Apa Naruto-kun yang menolongku dan membawaku kemari?”
Naruto mengangguk. “Sebaiknya kau jangan banyak bergerak dulu makanlah!” Ucap Naruto lembut sambil mengambil bubur dan mulai menyuapkan pada Hinata.
“Arigato Naruto-kun, kau menolongku lagi” ucap Hinata sambil tersenyum tulus.
Naruto tertegun melihat senyum Hinata. Bubur yang akan disuapkan ke Hinata berhenti tepat di depan bibir Hinata. Lagi-lagi Hinata membuatnya merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Desiran hangat mulai merambah ke setiap tubuhnya.
Entah apa yang terjadi Setiap kali senyum Hinata terpancar. Senyum itu seakan mengikat kuat dada Naruto, merebut setiap nafas, dan menghentikan aliran darahnya. Namun aneh, senyum itu seakan memiliki magnet yang kuat terhadap Naruto, tak bisa dilepaskan, walau sekuat apapun dorong yang diberikan. Senyum yang selalu bisa menjerat hati Naruto hingga melupakan segalanya.
Senyum itu selalu ingin dia lihat. Bertengker manis di wajah ayu Hinata. Senyum kebahagiaan, bukan senyum getir yang biasa ia tebarkan. Dia ingin terus melihat wajah Hinata yang seperti itu tanpa ada derai air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.
“Naruto-kun!?” Panggil Hinata lembut, memecah lamunan Naruto.
Naruto sedikit tersentak dengan panggilan Hinata. “Mmm... Ada apa Hinata-chan?” Tanyanya lembut sambil menyuapi bubur Hinata.
Hinata diam sejenak, menghabiskan bubur yang masih ada di dalam mulutnya. “Kalau boleh tahu, siapa yang mengganti pakaianku?” Tanya Hinata dengan wajahnya yang memerah entah karena apa.
Melihat wajah Hinata merona membuat Naruto harus berusaha keras menahan gejolak di dadanya untuk segera mencium gadis di depannya itu. Aneh, padahal dengan Sakura saja ia tak pernah berpikiran seperti itu apalagi merasakan apa yang saat ini ia rasakan.
“Aku.” Ucapnya refleks tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
“Eh....!?”
Baik Hinata maupun Naruto sama-sama kaget dan malu, membuat wajah mereka merona bahkan wajah Hinata sudah melebihi warna kepiting rebus.
“Aa...a...ano, a...a..aku...bu..bukan.. Ma..ma...maksudku, bibi.. Yah... Bibi. Bibi Aku yang mengganti pakaianmu. Bibi yang biasa datang untuk membersihkan apartemenku.” Kilah Naruto terbata.
Entah apa yang akan dikatakan Hinata melihat dirinya yang seperti itu. Semoga saja Hinata tak menyadari kebohongannya dan menganggapnya lelaki mesum yang sering mencari kesempatan dalam kesempitan. Apalagi setelah kejadian di dalam UKS tadi.
Awalnya ia ingin meminta tolong pada tetangganya, tetapi ia tidak begitu akrab dengan tetangga-tetangganya. Pembantu yang kerjakan juga sudah pulang, jika sudah menjelang sore. Jadi terpaksa dia sendiri yang mengganti pakaian itu sambil menahan diri.
“Arigato Naruto-kun,” ucap Hinata, “aku mengerti.” Lanjutnya.
Naruto menggaruk belakang kepalanya. “Hehehe... Ya sudah! Kalau begitu kau harus memakan bubur ini, kalau perlu sampai habis supaya kau cepat sembuh. Oh ya. Maaf kalau rasa buburnya aneh. Tadi aku menambahkannya rempah-rempah. Itu salah satu resep keluargaku kalau-kalau ada yang sakit. Katanya bisa membuat tubuh jadi hangat dan mempercepat proses kesembuhan.” Papar Naruto sambil menyuapi Hinata.
Hinata menggeleng, “ini enak kok. Rasanya pas di mulutku. Arigato. Kau sudah baik padaku.” Ucap Hinata jujur.
“Itu sudah sewajarnya, kau kan teman sekelasku. Lagi pula kau begini juga karena sahabatku. Oh ya Hinata, ngomong-ngomong kau tinggal di mana? Aku akan mengantarmu pulang jika kau sudah baikan. Besokkan kita harus sekolah, lagi pula aku tidak memiliki pakaian untuk seorang siswi.” Lanjutnya kemudian.
Hinata menimbang-nimbang jawaban yang tepat untuk pertanyaan Naruto. Haruskah ia berbohong ataukah jujur. Jika Naruto orang baik ia pasti akan menyimpan rahasia. “a..aku tinggal di kompleks Hyuga.” Dalam hati Hinata berharap agar Naruto tak marah padanya karena sudah menyembunnyikan jati dirinya.
“Oh...” Naruto hanya mengangguk paham. Dan itu membuat Hinata merasa heran. Tak ada respon seperti dalam bayangannya.
Hinata mengerjap, “kau tidak curiga padaku?” Tanya Hinata penasaran.
“Curiga padamu?” Tanya Naruto mengulang pertanyaan Hinata.
Hinata mengangguk pelan.
“Kenapa harus curiga kau tinggal di kompleks itu? Apa ada yang salah dengan keluarga itu? Yah aku tahu kompleks itu khusus untuk keluarga Hyuga dan aku juga tahu kalau Hyuga itu adalah keluarga yang berpengaruh di kota ini. Terus apa yang harus dicurigai? Apa keluarga Hyuga itu keluarga teroris sehingga harus dicurigai? Apa mereka nanti akan menghancurkan kota ini dank au sebagai mata-matanya? Tidak-kan!?” Ucapnya polos
Angguk Hinata. Ia bingung dengan pikiran Naruto. Ia tahu Naruto itu memiliki kecerdasan yang lumayan, karena berhasil masuk kelas unggulan sama seperti dirinya dan Sasuke. Tidakkah laki-laki itu curiga padanya, ataukah Naruto itu adalah laki-laki polos? Jika ia mengatakan bahwa ia tinggal di kompleks Hyuga, itukan artinya ia adalah keturunan Hyuga jadi otomatis dirinya juga salah satu orang berpengaruh di kota itu.
“Naruto-kun sudah mengetahui siapa aku? Maksudku aku yang sebenarnya?” Tanya Hinata ragu.
“Tentu saja aku tahu siapa kamu. Hyuga Hinata kelas XI, teman sekelas Naruto Uzumaki, selalu menduduki peringkat 3 di kelas setelah sikamaru dan Sasuke. Ia selalu berada di kelas atau di perpustakaan jika jam istirahat. Ia juga adalah seorang gadis cupu dengan kaca mata bulat besar di wajahnya. Meski begitu dia memiliki wajah yang cantik dan melebihi gadis-gadis di sekolahnya. Dia juga memiliki Hidung mancung kecil dan dua bola mata yang seindah bulan. Bahkan si Namikaze saja sampai jatuh hati padanya...” Ungkapnya panjang lebar tanpa sadar menyuarakan apa yang ada di kepalanya dan itu membuatnya untuk diam sesaat.
Hinata tersipu malu, lagi-lagi Naruto memujinya. “Naruto-kun, Namikaze itu siapa? Aku belum pernah mendengar namanya di sekolah.
Apa aku pernah melihatnya? Kenapa dia menyukaiku?” Tanya Hinata polos.
Naruto tak percaya mendengar pertanyaan Hinata, “kau tidak tahu Namikaze itu siapa?”. Baru kali ini dia menemui orang yang tak tahu seorang Namikaze. Namikaze yang sangat terkenal seantero kota Konoha bahkan hingga di luar negeri.
Hinata mengangguk. “Aku memang pernah mendengar nama Namikaze dari oto-san, ta..tapi aku tidak pernah melihatnya, bahkan di sekolah pun rasa-rasanya tak ada anak yang menggunakan nama Namikaze.”
Yah tentu saja tidak akan dia temui secara, memang tidak ada yang menggunakan nama Namikaze di sekolah tapi tetap saja, walaupun tak digunakan, satu sekolah sudah tahu siapa anak itu. “Hhhh” Naruto mendesah. “Baiklah, kurasa kau memang benar-benar tak tahu siapa itu Namikaze.” Naruto tampaknya kecewa setelah mendengar penuturan dari Hinata, ternyata ada juga yang tak tahu siapa itu Namikaze.
Naruto tersentak. Tampak berpikir, memang kenapa kalau ada orang yang tak tahu dirinya, apa juga pedulinya. Seharusnya ia senang, bukankah itu membuktikan bahwa mungkin saja masih banyak orang yang tak tahu siapa dirinya. Jika memang begitu, mungkin saja ia tak akan mendengar teriakan-teriakan dari gadis-gadis jika sedang di jalan. Namun, ada sebagian sisinya yang tak suka, tak rela mendengar Hinata tak mengetahui siapa dirinya.
“Kalau begitu istirahatlah! Selesai mencuci ini aku akan mengantarmu. Mungkin sekarang bajumu sudah kering.” Titahnya. Ia pun kembali ke dapur untuk menyimpan kembali mangkuk bekas bubur tadi.
Lagi-lagi Hinata mengangguk.
OoO
Hari telah berganti. Pagi menyapa riang. Sinar hangat sang mentari mulai menyebar di seluruh sudut dunia. Seorang gadis berambut indigo pun terbangun menampilkan dua bola mata seindah bulan saat belaian sinar mengetuk kelopak matanya dan terbuka. Ia membuka tirai jendela dan membalas sapaan pagi dengan senyum. Perlahan, ia turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk segera membasuh wajahnya.
Di dalam kamar mandi Hinata terdapat sebuah cermin besar setinggi dirinya. Ia berhenti dan menghadap kaca yang tengah memantulkan dirinya. Ia terdiam memandangi wajahnya yang tanpa kaca mata.
“Dia memiliki wajah yang cantik dan melebihi gadis-gadis di sekolahnya.”
Ia menyentuh wajahnya. Wajah yang kemarin telah dipuji oleh Naruto. Orang yang sangat ia cintai.
“Dia juga memiliki Hidung mancung kecil”
Kembali ia memegang hidungnya.
Dia juga memiliki dua bola mata yang seindah bulan, bahkan si Namikaze saja sampai jatuh hati padanya”
Wajahnya memerah setelah mendengar pujian terakhir Naruto. Ia jadi tidak sabar untuk segera ke sekolah dan bertemu dengan pujaan hatinya itu. Namun ia sedikit penasaran, sebetulnya Namikaze itu siapa. Ia ingin bertanya, tetapi ia harus bertanya kepada siapa, secara satu sekolah menganggapnya seperti kuman penganggu. Andai saja, ia bisa ke sekolah tanpa harus berpenampilan seperti itu, apakah dirinya akan tetap dihina oleh mereka?
OoO
Hinata berjalan di halaman sekolah sendirian karena mendapat sebuah pesan yang katanya dari Naruto untuk menemuinya di belakang sekolah. Hinata yang senang mendapat pesan dari Naruto tak sedikit pun curiga.
Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai di tempat tujuannya, namun sebuah tangan menariknya paksa dan menghempaskan tubuhnya di tembok pagar belakang sekolah.
“Akh...” Rintihnya kesakitan.
Tiga orang siswi sedang mengelilinginya, “siapa yang mengeluarkanmu di gudang kemarin?” Tanya siswi berkaca mata salah satu dari siswi itu yang ditahunya bernama Karin dari tag name di bajunya.
Ia memandang mereka takut. “Pe..penjaga sekolah...” Bohongnya. Tak mau disiksa lebih parah lagi. Ia juga tak mau jika Naruto dianggap buruk oleh mereka karena sudah menolong gadis cupu seperti dirinya.
“Kau memberitahunya siapa yang mengurungmu?”
Hinata menggelang, “ti..tidak.” Jawabnya takut.
“Bagus! Jika sampai guru-guru mengetahui tentang ini, kau yang akan mendapat masalah. Mengerti!” Ancam Karin. Sedang teman-temannya hanya menganggukkan kepalanya.
Hinata mengangguk, sambil menunduk tak berani melihat mereka.
Ketiga siswi itu kemudian beranjak dan meninggalkan Hinata sendirian.
Lagi-lagi ia begitu, tak berani melawan dan hanya menerima perlakuan mereka. Hinata jatuh terduduk, merengkuh kedua dadanya dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. Ia kecewa, benci, juga marah pada dirinya sendiri.
Beberapa menit terlewat bahkan bel pergatian pelajaran sudah berbunyi dari tadi. Hinata kemudian melangkahkan kakinya untuk memasuki kelasnya. Di perjalanan ia bertemu dengan Naruto. Lagi-lagi semua perasaan sedihnya hilang begitu saja. Kakinya melangkah untuk mendekatinya, ingin menyapanya, namun diurungkan ketika melihat seorang gadis di sampingnya. Ia tahu siapa gadis itu. Gadis itu juga adalah teman sekelasnya Sakura Haruno dan orang yang disukai Naruto.
Dia kembali bersedih, padahal baru saja kesedihannya hilang. Sekarang muncul lagi.
Kebersamaan Naruto dan Sakura sangat berbeda. Mereka terlihat bahagia dengan Naruto yang seperti sedang menggoda gadis itu. Walau gadis itu tampak tak suka dengan ucapan da tingkah laku Naruto, namun dia tetap meladeninya dan tampak tersenyum walau tipis.
Hinata kemudian mengambil langkah memutar agar tak bertemu dengan mereka. Namun ternyata ia salah mengambil keputusan. Ia salah sudah mengambil jalan memutar itu, karena ia bertemu dengan biang dari semua masalahnya. Sasuke Uchiha sang iblis sekolah menurutnya tengah berjalan ke arahnya.
Hinata bingung, antara terus melanjutkan langkahnya atau berbalik dan bertemu dengan mereka berdua. Tanpa banyak berfikir lagi ia kemudian berbalik, lebih baik ia bertemu dengan mereka berdua dibandingkan dengan Sasuke itu.
Grep
Tanpa Hinata duga ternyata sang pangeran sekolah itu menangkap pergelangan tangan Hinata dan menghempaskannya ke dinding. Ia juga menghimpit tubuh Hinata dengan tubuhnya. Kedua tangan Hinata di pegangnya erat dan diletakkan di samping kanan kiri kepala Hinata.
“Kenapa kau menghindariku?” Tanya sasuke dengan nada dingin.
“A..aku.. Tidak...─”
“Apa kau takut padaku?” Potong sasuke yang semakin menghimpit Hinata.
Hinata hanya menunduk, ia takut melihat mata Sasuke. ‘ia bodoh’ sebetulnya gampang saja ia menjawab seperti itu, namun ia tak bisa. Ia terlalu takut pada pemuda itu.
“Sasuke apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Naruto heran melihat Sasuke.
Sasuke yang mendengar suara Naruto, menghentikan kegiatannya dan melepaskan Hinata.
“Loh Hinata. Kalian sebenarnya sedang apa?” Tanya Sakura berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dadanya sangat sesak mendapati orang yang sangat disukainya seolah ingin mencium Hinata.
Berkat pertanyaan Sakura, Sasuke melepaskan kukungannya dari Hinata.
Naruto yang melihat tiba-tiba diam. Tak ada kata-kata yang dia ucapkan, ia terlalu terkejut dengan penglihatannya saat ini. Desiran aneh tiba-tiba menggerogoti tubuhnya. Ia dapat merasakan jantungnya serasa dihujam meriam. Perih. Dadanya begitu sesak tak tertahankan, dan ia tak menyukai perasaan itu. Dengan refleks Naruto menarik lengan Hinata dan membawanya pergi dari tempat itu menyisakan dua orang yang terlihat kebingungan. Entahlah, Ia hanya tak suka melihat Hinata dekat dengan Sasuke.
“Na.. Naruto-kun ada apa?” Tanya Hinata. Wajahnya sekarang telah memerah.
Naruto mengentikan langkah kakinya di belakang sekolah, menghempaskan tubuh Hinata pada sebuah pohon, namun tidak sekasar ketiga gadis tadi dan menghimpitnya sambil mencengkran kuat kedua tangan Hinata. “Jangan pernah kau dekat-dekat dengan Sasuke!”
Hinata memiringkan kepalanya. Ia bingung dengan perkataan Naruto. “Ke..kenapa?” Tanya Hinata ragu. Diperlakukan seperti itu oleh Naruto bukan membuatnya takut atau khawatir malah ia merasa senang. Seolah Naruto cemburu melihat kedekatannya dengan Sasuke tadi.
“Aku tidak suka kau dekat dengannya” kata-kata itu refleks Naruto ucapkan. Ia juga tak tahu kenapa dia tak suka jika Hinata dekat dengan Sasuke. Detik itu juga semburat merah tipis menghiasi wajah tan Naruto usai mengucapkannya. Malu karena sikapnya sudah menunjukkan seakan-akan ia cemburu.
Hinata tersentak. Namun detik berikutnya ia tersenyum. “Kau salah paham Naruto-kun. Aku tidak pernah dekat dengannya, apalagi mencoba untuk dekat dengannya. Dia juga pasti tidak mau dekat-dekat denganku, diakan sangat membenciku. Jadi tidak mungkin kami bisa dekat. Naruto-kun pasti tahu bagaimana sikap Uchiha padaku. Jadi itu tidak akan mungkin terjadi.” Ungkapnya panjng lebar. Baru kali ini ia bisa berbicara sepanjang itu.
Hinata senang sekaligus bingung dengan sikap Naruto yang menyuruhnya menghindari Sasuke. Oke. Ia tahu, Sasuke akan menyiksanya lagi dan Naruto tak ingin sahabatnya melukai dirinya, tetapi Naruto itu terlihat terlalu peduli padanya dan seolah-olah Naruto itu adalah kekasihnya.
Aneh dan membingungkan untuknya. Bukankah Naruto menyukai Sakura, kenapa Naruto bertindak seakan-akan ia peduli bahkan terkesan cemburu dengan kedekatannya dengan Sasuke? Apa yang sebenarnya diinginkan Naruto darinya?
“Hinata kau harus menjauhi Sasuke?” ucap Naruto lebih menegaskan perkataannya.
Hinata mengangguk, “sebetulnya, kenapa sikap Uchiha-san seperti itu padaku? Apakah aku pernah berbuat kesalahan padanya?” Hinata menunduk, menyembunyikan semua kesedihannya. “Sepertinya ia sangat membenciku.” Lanjutnya lirih.
“Aku juga tidak tahu Hinata. Apa yang sebenarnya terjadi hingga ia selalu menyiksamu. Dia memang sahabatku, tapi dia tidak pernah menceritakan apapun padaku tentang masalah ini, mengapa ia sampai berbuat seperti itu padamu.” Jeda Naruto “Tapi yang jelas, kau harus menjauhinya! Apapun yang terjadi jangan pernah mendekatinya! Aku tidak mau kau kenapa-kenapa.”
“Wakatta...” Ucap Hinata tersenyum. Setidaknya ada orang yang mengkhawatirkan dirinya di sekolah ini.
“Arigato Naruto-kun. Terima kasih untuk semua kebaikanmu, tapi kurasa cukup sampai di sini saja kau menolongku. Aku tidak mau hubungan persahabatanmu dengan Sasuke berakhir apalagi sampai bermusuhan karena aku.” Ucap Hinata tulus. Ia memang sering dibully oleh murid sekolah itu karena Sasuke. Baik batin maupun fisiknya tersiksa, namun itu jauh lebih baik jika dibandingkan melihat hubungan persahabatan Naruto dan Sasuke berakhir dan membuat Naruto bersedih. Ia paling tidak suka melihat orang yang ia cintai bersedih apalagi penyebabnya adalah karena dirinya.
“Kau salah Hinata. Aku dan Sasuke memang bersahabat dan aku sebagai sahabatnya memiliki kewajiban untuk menyadarkannya. Aku tidak ingin melihatnya menyiksa orang lagi, apalagi orang yang ia siksa adalah orang yang sangat...” Naruto menghentikan ucapannya. Bingung harus melanjutkan dengan menggunakan kata seperti apa.
“Apa Naruto-kun?” Tanya Hinata penasaran. Ia kemudian menatap Naruto, bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan olehnya. Kenapa Naruto senang sekali membuatnya penasaran? Kata-katanya, sikap, maupun tindakannya semuanya membuat dirinya penasaran. Apa Naruto memang seperti ini? Selalu membuat orang penasaran atau hanya dirinya sendiri yang merasa seperti itu?
Tapi ia berharap, bahwa Naruto akan mengatakan ia adalah orang disukai pemuda blonde itu.
Masih terdiam, Naruto tak kunjung memberikan jawaban pada Hinata. Entah apa yang harus dilontarkan sebagai jawabannya. ‘Bukankah ini kesempatan untuk membat Hinata tak dibully lagi.’ Pikirnya.
“Aku mencintaimu Hinata.” Lantang, tegas, tampak tak terdengar keraguan saat kalimat singkat itu terucap.
Pair : Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
Cerita sebelumnya.
Tidak sampai di situ siksaan yang mereka berikan pada Hinata, mereka juga dengan teganya menyeret Hinata masuk ke dalam gudang tua dan menguncinya dari luar.
“Hahahaha....” Tawa mereka berbarengan. “rasakan itu. Itu akibatnya jika kau mendekati salah satu pangeran kami.” Ujar salah satu di antara mereka sebelum meninggalkan Hinata di sana. Sendirian.
“Tolong buka pintunya! Tolong buka!” Ucap Hinata sambil menggedor-gedor pintu gudang itu. Tangisnya semakin pecah tatkala melihat keadaan di dalam gudang itu. Gelap tak ada cahaya sedikit pun yang menerangi tempat itu. Ia takut. Ingatan masa lalunya kembali menghantuinya, pengalamannya yang mengerikan.
“Tolong!” Teriaknya frustasi. Ia menangis, meraung di dalam gelapnya gudang itu. “Naruto-kun tolong aku!” Lirihnya sebelum jatuh pingsan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sejak pertama kali kulihat dirimu, hal paling mendalam yang kurasakan adalah kehangatan, kejujuran, kebaikan yang terpancar dari wajahmu.
.
.
.
~Happy Reading~
.
.
.
Chapter 2 : Naruto and Hinata
Naruto awalnya berniat untuk pulang, namun diurungkannya karena sempat melihat beberapa murid yang berjalan dari arah gudang. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak, dalam kepalanya wajah Hinata yang menangis muncul. Ia kemudian menghampiri tempat itu. Bau menyengat langsung tercium di indra penciumannya. Ia juga melihat bekas air selokan di tanah. Pikirannya entah kenapa langsung mengarah ke Hinata.
“Hinata!” Teriak Naruto memanggil Hinata. Hanya nama itu yang langsung terpikirkan olehnya.
Tak ada jawaban yang di dapatinya. Ia kemudian berjalan menuju gudang mengikuti percikan bekas air got di tanah. Penglihatannya berhenti di satu titik, yaitu gudang sekolah yang sudah tak terpakai lagi.
“Hinata!” Panggilnya lagi.
Naruto kemudian mendobrak pintu itu. “Hinata!” Sekali lagi ia berteriak untuk memastikan. Dan lagi-lagi tak ada jawaban yang di dapatkannya. Ia kemudian menendang pintu itu keras sehingga salah satu pintu gudang itu terlepas dari engselnya.
Pintu gudang itu terbuka, menyisakan gelapnya dalam gudang itu. Perlahan kaki jenjangnya memasuki gudang itu, berusaha mencari satu sosok yang terus membayangi kepalanya. Ditelusurinya gudang itu, namun ia tak juga menemukan sosok yang dia maksud. Ia kemudian berbalik untuk pulang ke rumahnya. Namun ketika ia akan keluar dari gudang itu, matanya menemukan sesuatu di balik salah satu pintu gudang itu. Matanya terbelalak ketika melihat satu sosok yang sedang terbaring lemah. Sosok yang telah ia cari-cari. Ia kemudian mengangkatnya dan membawanya keluar gudang itu.
Hatinya berdenyut nyeri ketika melihat penampilan Hinata. Lebih parah dari tadi pagi. Wajahnya penuh luka lebam, masih menempel bekas darah di sudut bibirnya, bahkan di jidatnya pun terdapat luka dan masih mengeluarkan darah.
Naruto membawa Hinata ke apartemen miliknya. Kebetulan ia tinggal sendiri di apartemen itu. Dengan telaten ia membersihkan tubuh Hinata, mengganti pakaiannya, juga merawat luka-luka gadis itu.
Awalnya Naruto sulit untuk melakukannya, bagimanapun juga dia adalah seorang laki-laki normal. Yang akan bereaksi ketika melihat pemandangan wanita yang hanya berbalut pakaian dalam di depannya. Namun, Dia masih sadar dan bisa mengendalikan diri untuk tak tergoda. Walau ada bagian dari dirinya yang menginginkan itu.
Ia terus menunggu Hinata sampai gadis itu tersadar. Namun sudah hampir dua jam Hinata belum juga tersadar.
Naruto pergi ke dapur untuk membuatkan Hinata sesuatu. Memasakkan bubur dengan menambahkan sedikit rempah obat agar Hinata dapat segera sehat. Naruto juga mencucikan baju kotor yang tadi digunakan Hinata walaupun dengan mesin cuci.
...
...
...
...
“kata ka-can-ku nanti kalo becal, kita akan sepelti meleka. Nanti kita akan menikah, telus punya anak yang lucu-lucu kayak Hanabi-can. Aku ingin punya anak kayak Hanabi-can yang lucu.” Ujar bocah cilik berambut indigo pendek pada temannya. “Nalu-chan, nanti kalau becal mau tidak jadi cuamiku?” bocah cilik itu kemudian bertanya kepada temannya dengan wajah berharap, tanpa tahu arti dari kalimat yang ia ucapkan. Bocah itu kini tengah bermain di taman bersama dengan ketiga teman kecilnya yang lain sambil menunggu jemputan mereka.
Anak laki-laki dengan rambut blonde itu berbalik dengan menampakkan cengiran khas-nya. “Boleh. Nanti kalau becal aku akan jadi cuami hina-chan.” Ujar Naru riang sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Angin sore membelai rambut blonde-nya hingga membuatnya bergerak-gerak seirama dengan hembusan angin tersebut.
“Ano... Caku juga mau. Caku juga mau punya anak kayak Hanabi-chan.” Gadis kecil lain dengan rambut sewarna permen kapas menimpali. Tak mau kalah dengan Hinata. “Cacuke-chan─!?” ia berbalik meraih tangan kecil di sampingnya dengan malu-malu. Bocah cilik dengan surai raven bertampang imut.
“Aku tidak mau. Saku-chan pendiam. Aku tidak suka cama anak yang pendiam kayak saku-chan.” Ujar anak laki-laki itu sebelum temannya melanjutkan perkataannya.
“Cacu-chan...!” Ucap Saku kecil dengan suara bergetar menahan tangis. Gadis berumur empat tahun itu sebentar lagi akan menangis.
Melihat temannya yang sebentar lagi akan menangis, anak laki-laki itu pun tak tega dan membelai rambut pink gadis kecil itu, diikuti dengan kedua temannya yang lain, menghampiri keduanya.
“Caku-chan jangan Cedih, aku juga jadi cedih. Casu-kun Cuma becando kok. Benal kan Cacu-chan?” Hibur Hinata kecil.
“Maaf! Tapi kalo Caku-chan kayak Hinata, aku mau kok jadi suami saku-chan nanti.” Tambahnya sambil membelai rambut gadis cilik itu.
“Caku-chan jangan cedih. Cacuke cudah bilang mau jadi cuami Caku-chan. Jadi jangan sedih lagi!” Imbuh laku-laki cilik yang lain. ia juga tak tega melihat temannya menangis tepat depan mereka.
Hari semakin sore, para jemputan mereka juga sudah tiba. Tak mau merepotkan keluarga mereka. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk segera pulang. Lagi pula mereka tak mau dimarahi oleh kakak-kakak mereka karena telah menunggu lama.
“Aku duluan yah teman-teman. Nii-chan-ku cudah mau pulang. Ja matte ne...! Becok kita main lagi yah!?” Ucap Hinata kecil seraya berlari menghampiri kakaknya.
...
...
...
...
...
...
“Mimipi yah?” Gumam Hinata.
“Bagaimana kondisi mereka sekarang yah? Kuharap mereka semua baik-baik saja. Aku sangat merindukan mereka. Teman pertama yang menerimaku.” Ucapnya lirih. Tak terasa air matanya merembes begitu saja.
Hinata dulunya memiliki 3 orang sahabat─teman masa kecil yang selalu menemaninya bermain. Mereka semua bertemu di play group karena kesibukan orang tua mereka, akhirnya mereka dititipkan di sana.
Awalnya mereka jauh dari kata dekat. Teman-temannya memiliki karakter tersendiri yang berbanding terbalik dengannya. Pendiam, cerewet, hiperaktif, dan sombong.
Waktu kecil dia adalah anak yang lembut, tetapi aktif. Berbeda jauh dengan sifatnya yang sekarang. Sifat aktif yang dimilikinya telah lenyap, namun masih tetap lembut dan cenderung pendiam. Mungkin karena masalah internal keluarganya. Akan tetapi, bukan berarti dia anak broken home.
Ia mengedarkan seluruh pandangannya di ruangan itu. Biru langit dan putih menjadi warna dominan kamar itu. Selain itu, wangi yang menguar dari kamar itu kontras dengan aroma khas lelaki yang dikenalnya. Citrus dan mint. Jelas sekali kalau ia tidak berada di dalam kamarnya sendiri dan berada di dalam kamar seorang lelaki.
Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dan duduk di ranjang itu dengan bantal sebagai alas sandarannya. Ia ingin berdiri dan mencari pemilik kamar itu, namun tubuhnya tak kuasa untuk digerakkan.
Tangan kanannya beralih memegang pelipisnya yang tadi terluka. Masih terasa sakit meski sudah diobati. Ia ingat kejadian tadi sore ketika pulang sekolah. Seharusnya ia berada di dalam gudang sekolah. Kenapa ia bisa berada di dalam kamar─yang pemiliknya entah siapa─itu? Kira-kira siapa yang sudah berbaik hati menolongnya?
OoO
Di dapur, Naruto yang sudah menyiapkan semuanya─bubur yang tadi dibuatnya serta air hangat untuk diminum Hinata─ kemudian kembali ke kamarnya untuk melihat keadaan gadis itu.
Gadis itu sekarang sudah sadar, ia tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan bantal sebagai tumpuannya.
Perlahan ia mendekati gadis itu. “Hinata!” Sapanya riang. Ia kemudian menyimpan nampannya di atas meja samping tempat tidurnya dan ikut duduk di samping gadis itu. “Bagaimana keadaanmu Hinata-chan?” Tanya Naruto senang. Tak bisa dipungkiri hatinya merasa sangat lega dan juga senang mendapati Hinata sadar.
“Naruto-kun,” ucap Hinata seraya melihat laki-laki itu. “Aku baik-baik saja. Apa Naruto-kun yang menolongku dan membawaku kemari?”
Naruto mengangguk. “Sebaiknya kau jangan banyak bergerak dulu makanlah!” Ucap Naruto lembut sambil mengambil bubur dan mulai menyuapkan pada Hinata.
“Arigato Naruto-kun, kau menolongku lagi” ucap Hinata sambil tersenyum tulus.
DEG
Naruto tertegun melihat senyum Hinata. Bubur yang akan disuapkan ke Hinata berhenti tepat di depan bibir Hinata. Lagi-lagi Hinata membuatnya merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Desiran hangat mulai merambah ke setiap tubuhnya.
Entah apa yang terjadi Setiap kali senyum Hinata terpancar. Senyum itu seakan mengikat kuat dada Naruto, merebut setiap nafas, dan menghentikan aliran darahnya. Namun aneh, senyum itu seakan memiliki magnet yang kuat terhadap Naruto, tak bisa dilepaskan, walau sekuat apapun dorong yang diberikan. Senyum yang selalu bisa menjerat hati Naruto hingga melupakan segalanya.
Senyum itu selalu ingin dia lihat. Bertengker manis di wajah ayu Hinata. Senyum kebahagiaan, bukan senyum getir yang biasa ia tebarkan. Dia ingin terus melihat wajah Hinata yang seperti itu tanpa ada derai air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.
“Naruto-kun!?” Panggil Hinata lembut, memecah lamunan Naruto.
Naruto sedikit tersentak dengan panggilan Hinata. “Mmm... Ada apa Hinata-chan?” Tanyanya lembut sambil menyuapi bubur Hinata.
Hinata diam sejenak, menghabiskan bubur yang masih ada di dalam mulutnya. “Kalau boleh tahu, siapa yang mengganti pakaianku?” Tanya Hinata dengan wajahnya yang memerah entah karena apa.
Melihat wajah Hinata merona membuat Naruto harus berusaha keras menahan gejolak di dadanya untuk segera mencium gadis di depannya itu. Aneh, padahal dengan Sakura saja ia tak pernah berpikiran seperti itu apalagi merasakan apa yang saat ini ia rasakan.
“Aku.” Ucapnya refleks tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
“Eh....!?”
Baik Hinata maupun Naruto sama-sama kaget dan malu, membuat wajah mereka merona bahkan wajah Hinata sudah melebihi warna kepiting rebus.
“Aa...a...ano, a...a..aku...bu..bukan.. Ma..ma...maksudku, bibi.. Yah... Bibi. Bibi Aku yang mengganti pakaianmu. Bibi yang biasa datang untuk membersihkan apartemenku.” Kilah Naruto terbata.
Entah apa yang akan dikatakan Hinata melihat dirinya yang seperti itu. Semoga saja Hinata tak menyadari kebohongannya dan menganggapnya lelaki mesum yang sering mencari kesempatan dalam kesempitan. Apalagi setelah kejadian di dalam UKS tadi.
Awalnya ia ingin meminta tolong pada tetangganya, tetapi ia tidak begitu akrab dengan tetangga-tetangganya. Pembantu yang kerjakan juga sudah pulang, jika sudah menjelang sore. Jadi terpaksa dia sendiri yang mengganti pakaian itu sambil menahan diri.
“Arigato Naruto-kun,” ucap Hinata, “aku mengerti.” Lanjutnya.
Naruto menggaruk belakang kepalanya. “Hehehe... Ya sudah! Kalau begitu kau harus memakan bubur ini, kalau perlu sampai habis supaya kau cepat sembuh. Oh ya. Maaf kalau rasa buburnya aneh. Tadi aku menambahkannya rempah-rempah. Itu salah satu resep keluargaku kalau-kalau ada yang sakit. Katanya bisa membuat tubuh jadi hangat dan mempercepat proses kesembuhan.” Papar Naruto sambil menyuapi Hinata.
Hinata menggeleng, “ini enak kok. Rasanya pas di mulutku. Arigato. Kau sudah baik padaku.” Ucap Hinata jujur.
“Itu sudah sewajarnya, kau kan teman sekelasku. Lagi pula kau begini juga karena sahabatku. Oh ya Hinata, ngomong-ngomong kau tinggal di mana? Aku akan mengantarmu pulang jika kau sudah baikan. Besokkan kita harus sekolah, lagi pula aku tidak memiliki pakaian untuk seorang siswi.” Lanjutnya kemudian.
Hinata menimbang-nimbang jawaban yang tepat untuk pertanyaan Naruto. Haruskah ia berbohong ataukah jujur. Jika Naruto orang baik ia pasti akan menyimpan rahasia. “a..aku tinggal di kompleks Hyuga.” Dalam hati Hinata berharap agar Naruto tak marah padanya karena sudah menyembunnyikan jati dirinya.
“Oh...” Naruto hanya mengangguk paham. Dan itu membuat Hinata merasa heran. Tak ada respon seperti dalam bayangannya.
Hinata mengerjap, “kau tidak curiga padaku?” Tanya Hinata penasaran.
“Curiga padamu?” Tanya Naruto mengulang pertanyaan Hinata.
Hinata mengangguk pelan.
“Kenapa harus curiga kau tinggal di kompleks itu? Apa ada yang salah dengan keluarga itu? Yah aku tahu kompleks itu khusus untuk keluarga Hyuga dan aku juga tahu kalau Hyuga itu adalah keluarga yang berpengaruh di kota ini. Terus apa yang harus dicurigai? Apa keluarga Hyuga itu keluarga teroris sehingga harus dicurigai? Apa mereka nanti akan menghancurkan kota ini dank au sebagai mata-matanya? Tidak-kan!?” Ucapnya polos
Angguk Hinata. Ia bingung dengan pikiran Naruto. Ia tahu Naruto itu memiliki kecerdasan yang lumayan, karena berhasil masuk kelas unggulan sama seperti dirinya dan Sasuke. Tidakkah laki-laki itu curiga padanya, ataukah Naruto itu adalah laki-laki polos? Jika ia mengatakan bahwa ia tinggal di kompleks Hyuga, itukan artinya ia adalah keturunan Hyuga jadi otomatis dirinya juga salah satu orang berpengaruh di kota itu.
“Naruto-kun sudah mengetahui siapa aku? Maksudku aku yang sebenarnya?” Tanya Hinata ragu.
“Tentu saja aku tahu siapa kamu. Hyuga Hinata kelas XI, teman sekelas Naruto Uzumaki, selalu menduduki peringkat 3 di kelas setelah sikamaru dan Sasuke. Ia selalu berada di kelas atau di perpustakaan jika jam istirahat. Ia juga adalah seorang gadis cupu dengan kaca mata bulat besar di wajahnya. Meski begitu dia memiliki wajah yang cantik dan melebihi gadis-gadis di sekolahnya. Dia juga memiliki Hidung mancung kecil dan dua bola mata yang seindah bulan. Bahkan si Namikaze saja sampai jatuh hati padanya...” Ungkapnya panjang lebar tanpa sadar menyuarakan apa yang ada di kepalanya dan itu membuatnya untuk diam sesaat.
Hinata tersipu malu, lagi-lagi Naruto memujinya. “Naruto-kun, Namikaze itu siapa? Aku belum pernah mendengar namanya di sekolah.
Apa aku pernah melihatnya? Kenapa dia menyukaiku?” Tanya Hinata polos.
Naruto tak percaya mendengar pertanyaan Hinata, “kau tidak tahu Namikaze itu siapa?”. Baru kali ini dia menemui orang yang tak tahu seorang Namikaze. Namikaze yang sangat terkenal seantero kota Konoha bahkan hingga di luar negeri.
Hinata mengangguk. “Aku memang pernah mendengar nama Namikaze dari oto-san, ta..tapi aku tidak pernah melihatnya, bahkan di sekolah pun rasa-rasanya tak ada anak yang menggunakan nama Namikaze.”
Yah tentu saja tidak akan dia temui secara, memang tidak ada yang menggunakan nama Namikaze di sekolah tapi tetap saja, walaupun tak digunakan, satu sekolah sudah tahu siapa anak itu. “Hhhh” Naruto mendesah. “Baiklah, kurasa kau memang benar-benar tak tahu siapa itu Namikaze.” Naruto tampaknya kecewa setelah mendengar penuturan dari Hinata, ternyata ada juga yang tak tahu siapa itu Namikaze.
Naruto tersentak. Tampak berpikir, memang kenapa kalau ada orang yang tak tahu dirinya, apa juga pedulinya. Seharusnya ia senang, bukankah itu membuktikan bahwa mungkin saja masih banyak orang yang tak tahu siapa dirinya. Jika memang begitu, mungkin saja ia tak akan mendengar teriakan-teriakan dari gadis-gadis jika sedang di jalan. Namun, ada sebagian sisinya yang tak suka, tak rela mendengar Hinata tak mengetahui siapa dirinya.
“Kalau begitu istirahatlah! Selesai mencuci ini aku akan mengantarmu. Mungkin sekarang bajumu sudah kering.” Titahnya. Ia pun kembali ke dapur untuk menyimpan kembali mangkuk bekas bubur tadi.
Lagi-lagi Hinata mengangguk.
OoO
Hari telah berganti. Pagi menyapa riang. Sinar hangat sang mentari mulai menyebar di seluruh sudut dunia. Seorang gadis berambut indigo pun terbangun menampilkan dua bola mata seindah bulan saat belaian sinar mengetuk kelopak matanya dan terbuka. Ia membuka tirai jendela dan membalas sapaan pagi dengan senyum. Perlahan, ia turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk segera membasuh wajahnya.
Di dalam kamar mandi Hinata terdapat sebuah cermin besar setinggi dirinya. Ia berhenti dan menghadap kaca yang tengah memantulkan dirinya. Ia terdiam memandangi wajahnya yang tanpa kaca mata.
“Dia memiliki wajah yang cantik dan melebihi gadis-gadis di sekolahnya.”
Ia menyentuh wajahnya. Wajah yang kemarin telah dipuji oleh Naruto. Orang yang sangat ia cintai.
“Dia juga memiliki Hidung mancung kecil”
Kembali ia memegang hidungnya.
Dia juga memiliki dua bola mata yang seindah bulan, bahkan si Namikaze saja sampai jatuh hati padanya”
Wajahnya memerah setelah mendengar pujian terakhir Naruto. Ia jadi tidak sabar untuk segera ke sekolah dan bertemu dengan pujaan hatinya itu. Namun ia sedikit penasaran, sebetulnya Namikaze itu siapa. Ia ingin bertanya, tetapi ia harus bertanya kepada siapa, secara satu sekolah menganggapnya seperti kuman penganggu. Andai saja, ia bisa ke sekolah tanpa harus berpenampilan seperti itu, apakah dirinya akan tetap dihina oleh mereka?
OoO
Hinata berjalan di halaman sekolah sendirian karena mendapat sebuah pesan yang katanya dari Naruto untuk menemuinya di belakang sekolah. Hinata yang senang mendapat pesan dari Naruto tak sedikit pun curiga.
Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai di tempat tujuannya, namun sebuah tangan menariknya paksa dan menghempaskan tubuhnya di tembok pagar belakang sekolah.
“Akh...” Rintihnya kesakitan.
Tiga orang siswi sedang mengelilinginya, “siapa yang mengeluarkanmu di gudang kemarin?” Tanya siswi berkaca mata salah satu dari siswi itu yang ditahunya bernama Karin dari tag name di bajunya.
Ia memandang mereka takut. “Pe..penjaga sekolah...” Bohongnya. Tak mau disiksa lebih parah lagi. Ia juga tak mau jika Naruto dianggap buruk oleh mereka karena sudah menolong gadis cupu seperti dirinya.
“Kau memberitahunya siapa yang mengurungmu?”
Hinata menggelang, “ti..tidak.” Jawabnya takut.
“Bagus! Jika sampai guru-guru mengetahui tentang ini, kau yang akan mendapat masalah. Mengerti!” Ancam Karin. Sedang teman-temannya hanya menganggukkan kepalanya.
Hinata mengangguk, sambil menunduk tak berani melihat mereka.
Ketiga siswi itu kemudian beranjak dan meninggalkan Hinata sendirian.
Lagi-lagi ia begitu, tak berani melawan dan hanya menerima perlakuan mereka. Hinata jatuh terduduk, merengkuh kedua dadanya dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. Ia kecewa, benci, juga marah pada dirinya sendiri.
Beberapa menit terlewat bahkan bel pergatian pelajaran sudah berbunyi dari tadi. Hinata kemudian melangkahkan kakinya untuk memasuki kelasnya. Di perjalanan ia bertemu dengan Naruto. Lagi-lagi semua perasaan sedihnya hilang begitu saja. Kakinya melangkah untuk mendekatinya, ingin menyapanya, namun diurungkan ketika melihat seorang gadis di sampingnya. Ia tahu siapa gadis itu. Gadis itu juga adalah teman sekelasnya Sakura Haruno dan orang yang disukai Naruto.
Dia kembali bersedih, padahal baru saja kesedihannya hilang. Sekarang muncul lagi.
Kebersamaan Naruto dan Sakura sangat berbeda. Mereka terlihat bahagia dengan Naruto yang seperti sedang menggoda gadis itu. Walau gadis itu tampak tak suka dengan ucapan da tingkah laku Naruto, namun dia tetap meladeninya dan tampak tersenyum walau tipis.
Hinata kemudian mengambil langkah memutar agar tak bertemu dengan mereka. Namun ternyata ia salah mengambil keputusan. Ia salah sudah mengambil jalan memutar itu, karena ia bertemu dengan biang dari semua masalahnya. Sasuke Uchiha sang iblis sekolah menurutnya tengah berjalan ke arahnya.
Hinata bingung, antara terus melanjutkan langkahnya atau berbalik dan bertemu dengan mereka berdua. Tanpa banyak berfikir lagi ia kemudian berbalik, lebih baik ia bertemu dengan mereka berdua dibandingkan dengan Sasuke itu.
Grep
Tanpa Hinata duga ternyata sang pangeran sekolah itu menangkap pergelangan tangan Hinata dan menghempaskannya ke dinding. Ia juga menghimpit tubuh Hinata dengan tubuhnya. Kedua tangan Hinata di pegangnya erat dan diletakkan di samping kanan kiri kepala Hinata.
“Kenapa kau menghindariku?” Tanya sasuke dengan nada dingin.
“A..aku.. Tidak...─”
“Apa kau takut padaku?” Potong sasuke yang semakin menghimpit Hinata.
Hinata hanya menunduk, ia takut melihat mata Sasuke. ‘ia bodoh’ sebetulnya gampang saja ia menjawab seperti itu, namun ia tak bisa. Ia terlalu takut pada pemuda itu.
“Sasuke apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Naruto heran melihat Sasuke.
Sasuke yang mendengar suara Naruto, menghentikan kegiatannya dan melepaskan Hinata.
“Loh Hinata. Kalian sebenarnya sedang apa?” Tanya Sakura berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dadanya sangat sesak mendapati orang yang sangat disukainya seolah ingin mencium Hinata.
Berkat pertanyaan Sakura, Sasuke melepaskan kukungannya dari Hinata.
Naruto yang melihat tiba-tiba diam. Tak ada kata-kata yang dia ucapkan, ia terlalu terkejut dengan penglihatannya saat ini. Desiran aneh tiba-tiba menggerogoti tubuhnya. Ia dapat merasakan jantungnya serasa dihujam meriam. Perih. Dadanya begitu sesak tak tertahankan, dan ia tak menyukai perasaan itu. Dengan refleks Naruto menarik lengan Hinata dan membawanya pergi dari tempat itu menyisakan dua orang yang terlihat kebingungan. Entahlah, Ia hanya tak suka melihat Hinata dekat dengan Sasuke.
“Na.. Naruto-kun ada apa?” Tanya Hinata. Wajahnya sekarang telah memerah.
Naruto mengentikan langkah kakinya di belakang sekolah, menghempaskan tubuh Hinata pada sebuah pohon, namun tidak sekasar ketiga gadis tadi dan menghimpitnya sambil mencengkran kuat kedua tangan Hinata. “Jangan pernah kau dekat-dekat dengan Sasuke!”
Hinata memiringkan kepalanya. Ia bingung dengan perkataan Naruto. “Ke..kenapa?” Tanya Hinata ragu. Diperlakukan seperti itu oleh Naruto bukan membuatnya takut atau khawatir malah ia merasa senang. Seolah Naruto cemburu melihat kedekatannya dengan Sasuke tadi.
“Aku tidak suka kau dekat dengannya” kata-kata itu refleks Naruto ucapkan. Ia juga tak tahu kenapa dia tak suka jika Hinata dekat dengan Sasuke. Detik itu juga semburat merah tipis menghiasi wajah tan Naruto usai mengucapkannya. Malu karena sikapnya sudah menunjukkan seakan-akan ia cemburu.
Hinata tersentak. Namun detik berikutnya ia tersenyum. “Kau salah paham Naruto-kun. Aku tidak pernah dekat dengannya, apalagi mencoba untuk dekat dengannya. Dia juga pasti tidak mau dekat-dekat denganku, diakan sangat membenciku. Jadi tidak mungkin kami bisa dekat. Naruto-kun pasti tahu bagaimana sikap Uchiha padaku. Jadi itu tidak akan mungkin terjadi.” Ungkapnya panjng lebar. Baru kali ini ia bisa berbicara sepanjang itu.
Hinata senang sekaligus bingung dengan sikap Naruto yang menyuruhnya menghindari Sasuke. Oke. Ia tahu, Sasuke akan menyiksanya lagi dan Naruto tak ingin sahabatnya melukai dirinya, tetapi Naruto itu terlihat terlalu peduli padanya dan seolah-olah Naruto itu adalah kekasihnya.
Aneh dan membingungkan untuknya. Bukankah Naruto menyukai Sakura, kenapa Naruto bertindak seakan-akan ia peduli bahkan terkesan cemburu dengan kedekatannya dengan Sasuke? Apa yang sebenarnya diinginkan Naruto darinya?
“Hinata kau harus menjauhi Sasuke?” ucap Naruto lebih menegaskan perkataannya.
Hinata mengangguk, “sebetulnya, kenapa sikap Uchiha-san seperti itu padaku? Apakah aku pernah berbuat kesalahan padanya?” Hinata menunduk, menyembunyikan semua kesedihannya. “Sepertinya ia sangat membenciku.” Lanjutnya lirih.
“Aku juga tidak tahu Hinata. Apa yang sebenarnya terjadi hingga ia selalu menyiksamu. Dia memang sahabatku, tapi dia tidak pernah menceritakan apapun padaku tentang masalah ini, mengapa ia sampai berbuat seperti itu padamu.” Jeda Naruto “Tapi yang jelas, kau harus menjauhinya! Apapun yang terjadi jangan pernah mendekatinya! Aku tidak mau kau kenapa-kenapa.”
“Wakatta...” Ucap Hinata tersenyum. Setidaknya ada orang yang mengkhawatirkan dirinya di sekolah ini.
“Arigato Naruto-kun. Terima kasih untuk semua kebaikanmu, tapi kurasa cukup sampai di sini saja kau menolongku. Aku tidak mau hubungan persahabatanmu dengan Sasuke berakhir apalagi sampai bermusuhan karena aku.” Ucap Hinata tulus. Ia memang sering dibully oleh murid sekolah itu karena Sasuke. Baik batin maupun fisiknya tersiksa, namun itu jauh lebih baik jika dibandingkan melihat hubungan persahabatan Naruto dan Sasuke berakhir dan membuat Naruto bersedih. Ia paling tidak suka melihat orang yang ia cintai bersedih apalagi penyebabnya adalah karena dirinya.
“Kau salah Hinata. Aku dan Sasuke memang bersahabat dan aku sebagai sahabatnya memiliki kewajiban untuk menyadarkannya. Aku tidak ingin melihatnya menyiksa orang lagi, apalagi orang yang ia siksa adalah orang yang sangat...” Naruto menghentikan ucapannya. Bingung harus melanjutkan dengan menggunakan kata seperti apa.
“Apa Naruto-kun?” Tanya Hinata penasaran. Ia kemudian menatap Naruto, bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan olehnya. Kenapa Naruto senang sekali membuatnya penasaran? Kata-katanya, sikap, maupun tindakannya semuanya membuat dirinya penasaran. Apa Naruto memang seperti ini? Selalu membuat orang penasaran atau hanya dirinya sendiri yang merasa seperti itu?
Tapi ia berharap, bahwa Naruto akan mengatakan ia adalah orang disukai pemuda blonde itu.
Masih terdiam, Naruto tak kunjung memberikan jawaban pada Hinata. Entah apa yang harus dilontarkan sebagai jawabannya. ‘Bukankah ini kesempatan untuk membat Hinata tak dibully lagi.’ Pikirnya.
“Aku mencintaimu Hinata.” Lantang, tegas, tampak tak terdengar keraguan saat kalimat singkat itu terucap.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
Next............... chapter 3.
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment