Fly with your imajination

Showing posts with label fanfict Naruto : Hinata. Show all posts
Showing posts with label fanfict Naruto : Hinata. Show all posts

Thursday, September 20, 2018

Our Promise


Setiap kali kulihat senyummu. Senyum itu seakan mengikat kuat dadaku, merebut setiap nafasku, dan menghentikan aliran darahku.


Pair : Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, gaje dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by

Mickey139

Chapter 1 : Pertolongan Naruto

Byur....

Gadis itu terkejut bukan main ketika mendapatkan serangan tiba-tiba dari murid-murid SMA-nya padahal ia masih punya mata pelajaran setelah jam istirahat ini. Ia memejamkan mata, bau dari tubuhnya benar-benar menyengat. Ia jadi ragu baunya akan hilang dalam waktu sehari meskipun dengan banyak sabun yang ia pakai. Sepertinya air bekas pel yang mereka pakai sudah dicampur dengan air got atau mungkin kotoran binatang hingga memiliki bau menjijikkan yang menyakiti hidung.

Seragam sekolahnya yang tadi masih putih bersih pun jadi kotor. Kepangan rambut indigonya jadi basah dan lepek dipenuhi oleh bekas kotoran dari air pel. Kaca mata bulatnya juga memburam dan membuatnya sulit melihat. Mereka benar-benar tidak punya hati. Bisakah ia menyebut mereka sebagai setan atau mungkin iblis, karena seburuknya manusia, mereka masih bisa mengontrol perilaku, tidak seperti mereka.

Gadis yang menjadi korban itu adalah Hinata. Hyuga Hinata, gadis biasa dengan tampilan tidak biasa. Sebut saja ia sebagai seorang kutu buku atau seorang nerd karena gaya berpakaiannya yang sangat eksentris dibanding dengan murid-murid lain di Konoha Gakuen.

Dengan seragam putih yang terlihat kebesaran, serta kardigan berwarna hitam sebagai luaran dan rok hitam yang menjuntai hingga di bawah lutut juga sepatu putihnya yang sudah terlihat kusam menutupi kaki-kakinya, benar-benar membuat penampilannya berbeda dari pada murid lain.

Hinata terus terdiam, menunduk di tempatnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan perlakuan keji yang mereka lakukan. Ia tidak mengerti dan tidak tahu sebenarnya apa yang sudah ia lakukan hingga membuat dirinya berada dalam situasi mengerikan seperti ini. Menjadi salah satu korban bully dari murid di sekolahnya tak pernah sekalipun terbayang di kepalanya.

Hinata ingat, awal masuk sekolah semuanya baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun ia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya berada dalam situasi seperti ini. Ia sudah berusaha menjadi murid baik di sekolahnya, bahkan terkadang ia pun membantu teman sekelasnya untuk mengerjakan tugas jika mereka meminta bantuannya.

Lagipula dia hanya gadis biasa yang tidak akan pernah dilirik dua kali oleh siapapun, bahkan dia ragu kalau dirinya terlihat oleh yang lain. Lalu kenapa? Mereka juga tidak memberi penjelasan tentang apa salahnya. Tidak ada seorang pun yang memberitahunya.

Semua ini berawal ketika ia menginjak kelas XI, entah kenapa tiba-tiba ia menjadi salah satu target bully dan lebih parahnya lagi yang menjadi dalang dari semua itu adalah teman sekelasnya sendiri- salah satu dari− bisa disebut sebagai pangeran sekolahnya, laki-laki paling diincar dan diinginkan oleh kebanyakan gadis di sekolahnya. Laki-laki itu adalah Uchiha Sasuke. Laki-laki yang sudah dianugrahi wajah rupawan yang setara dengan Eros sang penakhluk hawa, dengan mata onix kelam yang selalu mengintimidasi, juga kecerdasan yang melebihi anak seusianya, ia juga berasal dari keluarga terhormat yang menjadi salah satu donator sekolahnya.

Hinata benar-benar tak tahu apa yang sudah ia lakukan pada Sasuke, hingga laki-laki itu menyuruh murid-murid di sekolahnya untuk mem-bully-nya. Ia bahkan tak pernah sekali pun merasa pernah mengobrol padanya. Hinata selalu menghindari berinteraksi dengan orang seperti dia. Lalu apa alasannya?

Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Dan seakan murid-murid itu hanyalah boneka tanpa jiwa yang dibuat oleh Sasuke, mereka menuruti apapun yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Terus dan terus menyakitinya, bahkan tidak sedikit dari mereka malah terlihat bahagia saat melihat dirinya tersiksa.



OoO

Hinata berlari menuju belakang sekolah. Jatuh terduduk tepat di bawah pohon (yang selalu disebut pohon keramat oleh murid-murid di sana) kemudian menumpahkan segala sesak yang bergerumul dalam dada yang tak bisa ia keluarkan sebelumnya.

Beberapa potongan kenangan menyakitkan terlintas dalam benak seperti potongan kaset rusak yang terus berulang. Bagaimana mereka memakinya, mengatainya jalang, melemparinya telur busuk yang hampir mengenai matanya, menjambak rambutnya hingga beberapa helai rambutnya tercabut, bahkan air kotor dengan bau menjijikkan pun disiramkan ke tubuhnya.

Mereka semua benar-benar jahat. Namun, semua kejahatan itu dilandasi oleh seseorang. Uchiha Sasuke, sang Devil Prince.

Hinata menghela nafas berat, seraya memejamkan mata. Gadis itu berupaya menghilangkan rasa sesak yang masih terus bergerumul dalam dada.

Hinata, kau harus kuat, mereka tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah kau alami. Bersabarlah! Kau pasti bisa. Titahnya pada diri sendiri.

Namun, entah rasa sakit itu sudah terlalu berlebihan ia tampung ataukah kebencian perlahan bangkit dari dalam dirinya, Hinata tetap tidak bisa menghilangkan rasa sesak yang ia rasa. Air matanya tetap mengucur dari mata almetish indahnya, menetes dan turut membasahi roknya yang sudah kotor.

Dan perasaan muak tiba-tiba muncul. Ia lelah terus menerima perlakuan semacam ini, Hinata tak kuat lagi untuk terus berpura-pura tegar, tetapi untuk memberontak pun ia tak punya nyali.

Setetes air mata lagi-lagi mengalir dari mata. Air mata yang mewakili perasaan putus asa, namun berusaha menguatkan hatinya yang rapuh.

Apa yang lebih buruk dari dibenci oleh orang yang tak pernah kita dekati sendiri?



OoO

Tap... Tap... Tap...

Hinata tetap bergeming di tempatnya, merenung dan meratapi apa yang sudah terjadi. Ia yang terlaru larut dalam pikirannya tidak menyadari jika seseorang sedang berjalan mendekatinya. Bahkan ketika langkah kaki itu kian mendekat, Hinata tetap bergeming. Sampai pada saat orang itu duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya barulah ia sadar jika di sana ia tak lagi sendiri.

“Hinata, kau tidak apa-apa?” tanya seseorang dengan nada khawatir yang kentara. Suara seorang laki-laki. Hinata tahu suara itu milik siapa, namun enggan untuk berbalik. Ia takut. Barangkali laki-laki itu bukan orang yang ia kenal dan mungkin saja laki-laki itu juga hanya ingin mengerjainya, lagi.

"Hinata?"

Hinata masih kekeh untuk tak berbalik. Ada rasa penasaran yang kian menelusuk namun perasaan takut lebih mendominasi. Hingga orang itu duduk di sampingnya, barulah Hinata mau berbalik.

“Na...Naruto-kun!” Hinata terpekik kala mengucapkan satu nama yang dirasanya terlalu mustahil untuk disapa. Dia adalah Uzumaki Naruto, salah satu murid yang mendapatkan titel sebagai pangeran sekolah sekaligus sahabat dari dalang siksanya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau juga ingin mengerjaiku?”

Sakit. Itu yang Hinata rasakan kala mengucapkan kalimat bernada pedas dengan sarkas kepada lelaki di sampingnya itu. Ia tahu, tak sekali pun Naruto pernah bersikap kasar padanya, bahkan laki-laki itu sendiri pun justru selalu ingin menolong Hinata, meski tak ada seorang pun yang tahu, kecuali dirinya sendiri.

“Tidak.” Naruto terlihat menghela. Tanpa menghiraukan perkataan Hinata, Naruto kembali bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” meski Naruto tahu, Hinata pasti akan ketakutan, mengingat ia siapa. Tapi, Naruto tetap bersih kukuh ingin menyapa sekaligus ingin tahu kondisi gadis itu.

Naruto tahu bahkan seluruh murid sekolah mereka juga tahu kalau dalang dari semua kekacauan yang dialami oleh Hinata adalah sahabatnya sendiri. Jadi, wajar saja kalau Hinata ketakutan setelah melihatnya berada dekat dengan dirinya.

Namun, diluar dugaan, Hinata malah mengangguk sebagai jawabannya. Meski lemah, tapi, Naruto tetap lega setidaknya Hinata tidak berpikir buruk.

"Aku baik-baik saja." sahut Hinata. Entah kenapa perasaan takut yang ia rasa tak pernah mau berlama-lama kala Naruto berada dekat dengannya. Naruto seolah memberinya kekuatan, entah bagaimana caranya.

"Terima kasih."

"Mmm..."



Lalu hening. Tak ada lagi suara yang keluar dari bibir mereka, hanya desau angin yang berhembus menghilangkan senyap yang terbentuk di antara mereka. Hening yang tampak menenangkan dan menyenangkan.

Naruto menunggu Hinata untuk berbicara. Biasanya orang yang sedih ingin menumpahkan sesaknya dan membutuhkan orang lain yang bisa mendengarkannya.

Sementara Hinata, gadis itu sedang bergelung dalam pikirannya sendiri. Menarka-nerka sebenarnya kesalahan apa yang sudah ia lakukan hingga ia bisa bernasib seperti sekarang.

“Naruto-kun boleh aku bertanya?” suara Hinata lirih dan bergetar. Rasa sesaknya tiba-tiba ingin tersalurkan. Ia ingin menumpahkan seluruh emosi yang sedari tadi bergelung dalam benak. Air matanya bahkan sudah menggenang di pelupuk dan saling mendesak untuk mengalir, tapi Hinata tidak bisa. Gadis itu tetap bertahan pada ketegarannya. Tak ingin orang yang dia sukai melihatnya dalam keadaan lemah.

“Hm. Silahkan.” Naruto menyandar di batang pohon yang digunakan Hinata untuk menangis, tak memedulikan jika bajunya yang putih bersih bakal kotor terkena sisa kotoran yang sudah menempel karena Hinata.

“Sebetulnya apa salahku? Kenapa Uchiha-san memperlakukanku seperti ini?” ujarnya lirih seraya terus menenggelamkan kepala di lekukan lutut da pahanya─ berupaya menyembunyikan perasaan sedih yang terus menggelayut hati.

Naruto bergeming. Ia terdiam beberapa saat─ tampak menyesal. “Maaf Hinata! Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa Teme melakukan itu padamu.” dan Naruto merutuki diri sendiri karena merasa sudah gagal menjadi seorang sahabat. Seharusnya ia bisa menyadarkan atau setidaknya mencegah sahabatnya untuk berbuat jahat. Sayangnya, ia tak bisa. Ego seorang Uchiha terlalu tinggi dan apa pun yang mereka lakukan adalah benar.

Dan satu hal yang paling disesali oleh Naruto adalah, ia pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Hinata. Hinata bukan siapa-siapanya dan ia pun tak mau dianggap sebagai pahlawan kesiangan dan menjadi musuh bagi sahabatnya.

"Jadi begitu."

"Maaf... Aku─"

"Ini bukan salahmu." cepat-cepat Hinata memotong ucapan Naruto. Ia tak ingin ada satu kalimat penyesalan yang meluncur dari bibir pemuda itu dan membuat hatinya tersengat rasa bersalah.

"Tapi, Hinata..."

Hinata menggeleng sebagai jawaban. "Tidak apa-apa."

Lalu hening. Naruto dan Hinata tak lagi berbicara. Mereka sibuk dengan apa yang ada di benak mereka.

“Naruto-kun," Hinata memulai obrolan kembali setelah beberapa lama mereka terdiam.

"Ada apa?" Naruto menangapi, pandangannya sudah berpaling pada Hinata.

Hinata tampak ragu, ia berusaha memantapkan hati kemudian menatap Naruto dengan mata almetishnya yang berkaca, "Boleh aku meminta sesuatu?” lalu kembali menundukkan kepala.

Sejujurnya, Hinata takut. Takut dengan kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin ia akan mendapatkan tolakan atau kata-kata kasar. Tapi, tak apa. Entah kenapa ia ingin bertindak egois untuk saat ini.

“Apa itu Hinata?” Naruto bertanya sedikit antusias. Apapun yang diinginkan Hinata, ia akan berusaha untuk memberinya. Asal gadis itu bisa merasa sedikit nyaman dan mengurangi sedikit rasa sedih yang ia rasa.

Hinata melirik Naruto sekilas, ada kejut yang terpantul dari binar matanya. Ada lega yang tersalurkan lewat desah nafasnya. Ia tak menyangka Naruto mau mengindahkan permintaannya, tidak memarahinya atau memakinya karena sudah serakah.

Hinata memejamkan mata, lalu menghembuskan nafas sebelum menatap safir bening di hadapannya. “Bolehkah aku memelukmu? Hanya untuk sekali ini saja. Mungkin ini permintaanku yang egois, Namun bolehkah aku?” pintanya lirih. Terdengar keraguan saat Hinata mengucapkan kalimat itu. Entahlah, Ia sendiri pun tak tahu kenapa tiba-tiba bibirnya menggumamkan kalimat itu pada Naruto. Padahal bukan itu yang ingin diucapkannya, ia hanya ingin sendiri dan tak ingin diganggu oleh siapapun, termaksud Naruto. Ia ingin menangis di sini, tanpa ada orang yang melihat kelemahannya dan membuat Sasuke Uchiha bertambah senang.

Naruto bungkam. Tak ada kata-kata yang ia lontarkan sebagai jawaban. Namun, tubuhnya malah mengindahkan permintaan Hinata. Ia meraih kedua pundak Hinata, merengkuhnya lalu membawanya dalam dekapan laki-laki itu. Yah, Naruto dengan kesadaran penuh memeluk Hinata. Laki-laki itu bahkan tak peduli dengan pakaian Hinata yang kotor dan bau. Dalam pikirannya hanya satu, yaitu agar Hinata bisa merasa nyaman, tak lagi merasa sesak─ meski itu hanya beberapa menit.

Naruto benar-benar merasa kasihan pada Hinata. Ia sangat yakin kalau Hinata tak pernah melakukan satu kesalahan pun pada Sasuke, menyapa saja tak pernah apalagi berbicara. Lalu bagaimana bisa Hinata melakukan kesalahan fatal sampai sahabatnya itu berbuat demikan?

Naruto sering memperhatikan Hinata. Bagaimana Hinata berinteraksi di dalam kelas, bagaimana Hinata menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan atau bagaimana saat Hinata mengerjakan tugas jika diminta oleh teman kelasnya. Itu seperti kebiasaan yang tanpa sadar dia lakukan. Lalu di antara semua kebiasaan yang gadis itu lakukan, tak satu pun ada yang bisa membuat seseorang tersinggung. Jadi, kenapa seorang Uchiha Sasuke yang terkenal tak peduli pada sesuatu menaruh dendam pada gadis itu dan melampiaskannya dengan cara mem-bully-nya─ meski bukan dengan tangannya sendiri?

Hati Naruto meringis, tat kala serpihan-serpihan kenangan buruk Hinata satu-per satu menampakkan diri di dalam kepalanya. Ketika Hinata dimaki, ketika Hinata dibuangkan sampah, ketika Hinata dibuangkan air kotor dan sederet siksa yang gadis itu terima karena perbuatan sahabatnya.

Dan Naruto benar-benar muak dengan keadaan sekolahnya, ia benar-benar muak dengan kelakuan murid-murid sekolahnya, dan ia benar-benar muak dengan sahabatnya sendiri yang mencetuskan pem-bully-an itu. Sayangnya, meski muak, Naruto tak memiliki rencana apa-apa untuk menghentikan itu.

Naruto menghela nafas, tanpa sadar malah mengeratkan pelukannya. Nanti, ia berjanji dalam hati. Akan tiba saatnya penderitaan Hinata akan hilang, dan untuk sekarang ia harus memikirkan rencananya.

Tapi, omong-omong, kenapa memeluk Hinata malah memunculkan satu perasaan nyaman? Terasa menyenangkan meski gadis itu bau. Dan terasa hangat meski baju mereka sudah basah. Niat awal ingin membantu Hinata agar sedikit lebih tenang, malah dirinyalah yang merasakan sebuah kenyamanan.

Sementara, Hinata yang di peluk seperti itu oleh orang yang sudah lama ia sukai merasakan sebuah kehangatan. Semua kesedihannya menguap entah kemana. Tak pernah ia duga sebelumnya, jika Naruto akan menerima permintaannya. Padahal ia sudah mempersiapkan batinnya kalau-kalau ia di tolak ataupun di maki. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Naruto malah memeluknya erat.

‘Naruto-kun, terima kasih untuk menjadi tempat sandaran, meski ini hanya sementara tapi kau sudah cukup menenangkanku dengan hangat dirimu. Kau bukan matahari pun cahaya, tapi kau bisa memberikan sinar pada langkahku.

‘Terima kasih karena sudah menjadi sosok laki-laki yang hadir dalam dinginnya duniaku, terima kasih karena sudah membantuku berlindung dari rinai hujan kepedihan. Kau membantuku tanpa peduli jika aku adalah orang yang dibenci oleh sahabatmu sendiri. Terima kasih...

‘Dan maaf, jika aku sudah lancang menyukaimu. Tapi, aku tidak bisa menahan diriku. Kau adalah lelaki yang sudah lama kutunggu, lelaki yang sudah lama kuinginkan. Dan hari ini kau datang padaku dan menawarkan setitik cahaya mentari di balik gelapnya duniakui. Terima kasih.

‘Mulai dari sekarang aku tidak akan lagi mengasihani diriku, aku akan berusaha.’ batinnya.

Hinata merasa nyaman dalam dekapan Naruto, kesedihan yang dia alami perlahan menguap menyisakan rasa bahagia yang menyeruak hingga ke relung hatinya. Perlahan kedua kelopak matanya tertutup, meresapi kebahagiaan singkatnya bersama dengan pemuda yang ia cintai. Hingga tanpa sadar dirinya sudah terlelap dalam dekapan pemuda itu.

“Hinata!” Naruto memanggil Hinata dengan nada yang lembut. Ia tak bisa terus berada dalam posisi seperti ini. Terlalu berbahaya untuk Hinata.

Tapi, tak ada jawaban yang didapatkan Naruto, Hinata tetap terdiam dalam posisinya seolah sedang meresapi kehangatan yang menguar dari tubuh Naruto.

Lalu perlahan Naruto melepaskan dekapannya untuk melihat keadaan Hinata. Ternyata, gadis itu rupanya sudah terlelap. Mungkin karena lelah. Lelah dengan semua siksaan yang diterima fisik maupun batinnya. Ia kemudian menggendong Hinata dengan gaya bridle style menuju UKS agar Hinata dapat beristirahat.



OoO

Sepanjang jalan banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Iri, kesal, benci, dilayangkan pada Hinata oleh sisiwi-siswi di sepanjang koridor. Bagaimana tidak, Hinata si gadis cupu, jelek, norak, dan orang yang selalu mereka bully digendong oleh salah satu pangeran sekolah, seperti dalam sebuah kisah dongeng. Layaknya kisah putri tidur, di mana sang pangeran menggendong seorang putri cantik yang tengah tertidur dan membawanya ke dalam istana. Namun Hinata bukanlah seorang putri cantik itu, ia lebih tepat disamakan sebagai tokoh beast dalam dongeng si cantik dan si buruk rupa.

Setelah sampai di UKS Naruto membaringkan Hinata di ranjang lalu menyelimutinya. Ia kemudian mengambil sebuah kursi dan duduk samping ranjang Hinata. Menjaga gadis itu kalau-kalau ada murid iseng yang ingin kembali mengerjai Hinata.

Tak ada guru yang biasanya menjaga UKS, hanya hening yang menyelingkupi ruangan itu. Di luar, para murid yang tadi menontonnya sudah kembali di kelas mereka masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi.

Naruto menatap nanar Hinata. Raut penyesalan terpatri di wajahnya. Ia benar-benar ingin menolong gadis itu, tapi ia pun tidak tahu bagaimana menolongnya.

Naruto mengelus pipi Hinata sambil menyingkirkan anak rambut di pipi gadis itu. Entah kenapa ia merasa sudah dekat dengan gadis itu. Apa mungkin ini karena pelukan yang mereka lakukan tadi, batinnya, seraya terus memperhatikan wajah Hinata. Wajah yang selalu ditemani dengan kaca mata bulatnya yang besar sampai menutupi sepertiga wajahnya. Naruto penasaran, bagaimana jika ia melepas kaca mata Hinata, bagaimana rupa asli gadis itu tanpa kacamata?

Perlahan, Naruto mengarahkan tangannya untuk menyentuh kacamata milik Hinata. Jujur selama mereka sekelas, tak pernah sekalipun ia melihat Hinata menanggalkan kaca matanya barang sedetik pun, bahkan saat di-bully pun ia tak juga melepaskan kaca matanya untuk dibersihkan. Jadi, selagi ada kesempatan, ia akan memanfaatkan kesempatan itu.

Seperti baru melihat pemandangan indah di hadapannya, Naruto tertegun melihat wajah asli Hinata tanpa kacamata. Dadanya berdesir, seperti ada hembusan hangat yang menerpa relung hatinya. Hinata benar-benar cantik, sangat cantik bahkan melebihi Sakura atau gadis di sekolahnya yang sudah di beri label cantik.

Andai semua orang melihat wajah Hinata seperti ini, dipastikan mereka akan menyesal sudah memperakukan Hinata seperti itu, bahkan akan berbalik memuja gadis itu.

Naruto terus mengelus pipi Hinata. Mengagumi setiap ukiran yang tercetak di wajah gadis itu. Dari mata hingga bibir gadis itu tak luput dari belaiannya.

Mata Hinata agak bengkak karena keseringan menangis. Walau demikian, mata itu masih terlihat indah. Saat ini mata Hinata masih tertutup, namun jika terbuka dipastikan akan ada suatu keindahan yang akan terpancar keluar dari mata itu. Hinata memiliki hidung yang mancung namun kecil, sangat cocok di wajahnya. Hinata juga memiliki bibir kecil dan berwarna merah muda walau tanpa di poles oleh pemerah bibir dan sangat menggoda untuk dikecup.

Tangan Naruto terus saja membelai bibir Hinata. Teksturnya lembut, sangat pas jika disandangkan dengan bibirnya. Dan tanpa sadar wajah Naruto sudah sangat dekat dengan wajah Hinata.

Naruto tersentak kala kesadaran menghampirinya. Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya, tak ingin meneruskan kegiatannya.

Namun, dasarnya manusia memiliki rasa penasaran, Naruto malah ingin merasakan bagaimana rasa bibir Hinata. Ia kemudian kembali menundukkan kepalanya agar semakin dekat dengan wajah Hinata.

Satu kecupan tepat mendarat di bibir mungil Hinata. Namun, laki-laki itu belum merasa puas. Ia pun mengecupnya lagi namun bukan sekali, tetapi berkali-kali.



OoO

Dalam kisah putri tidur, sang putri yang dikutuk oleh nenek sihir terbangun karena kecupan dari cinta sejatinya, yaitu dari pangeran yang bersusah payah menembus parit dan istana yang dijaga ketat oleh nenek sihir.

Tapi, dalam mimpi Hinata sosok pangeran itu malah terlihat sangat familiar, ia sangat mirip dengan Naruto. Tapi anehnya, kecupan itu tampak nyata ia rasa, seolah itu sungguhan, seolah Naruto memang tengah mengecupnya.

Perlahan kelopak mata Hinata bergerak. Hanya berselang beberapa detik, iris itu menampakkan sinarnya.

Untuk beberapa saat, Hinata masih bergeming, ia masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sampai ketika ia mendapati seorang laki-laki tengah memberikan kecupan-kecupan pada bibirnya, ia pun sadar. Matanya terbelalak kaget. Satu sentakan keras ia layangkan pada laki-laki itu hingga membuat dirinya terjengkang lalu jatuh ke belakang.

“Si... siapa─ Naruto-kun?”

OoO

Berusaha menyembunyikan kegugupannya, Naruto mencari kata yang tepat untuk menyamarkan kesalahannya. “A..Ah... Hime kau... kau sudah bangun. Syukurlah. Ternyata dongeng itu benar yah, jika sang pangeran mencium sang putri yang tengah tertidur, maka putri tersebut akan terbangun.” Kilah Naruto, suaranya agak bergetar.

“Na...Naruto-kun, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menciumku?” Hinata tergugu. Rasa sesak yang ia rasakan tadi entah menguap ke mana. Hanya rasa senang yang perlahan membuncah dari hatinya yang sekarang ia rasakan.

Tidak peduli pada kenyataan yang tersuguhkan di hadapannya. Tidak peduli jika Naruto sudah mencuri ciuman darinya. Tidak peduli jika Naruto sudah melakukan satu bentuk pelecehan, Hinata tetap merasa senang. Yang jelas ciuman pertamanya sudah diambil oleh Naruto, laki-laki yang sudah menempati sebagian dari hatinya.

Naruto diam, menyimak kata-kata Hinata. Kenapa Hinata tahu, kalau ia adalah Naruto? Bukankah Mata Hinata rabun?

“Loh... Hinata kau bisa melihatku? Ku pikir matamu rabun...”

Kening Hinata bertaut, ia bingung dengan pertanyaan Naruto. “A..apa maks─” Hinata tak melanjutkan perkataannya ketika ia meraba wajahnya. Ia tercengang ketika dirasanya kacamata yang selalu bertengger di wajahnya telah tiada. “A...ano... I..itu karena suara Naruto-kun.” Jawabnya asal.

Perasaannya jadi tidak karuan, ia benar-benar gugup mengetahui Naruto telah melihat wajahnya. Dan lagi, sebenarnya Hinata memiliki mata yang normal, ia memakai kacamata itu karena sebuah alasan.

Naruto mengangguk dan menerima begitu saja alasan Hinata tanpa menaruh curiga. Ia tak bisa berfikir karena wajah Hinata. Terlalu mempesona untuk diabaikan. “Oh... Tapi, Hinata kenapa kau memakai kacamata sebesar itu? Padahal banyak kacamata yang lebih kecil kan? Sayang sekali kalau wajah cantikmu itu harus kau sembunyikan.”

“I... itu...” mata Hinata menjelajah, ia tak tahu harus menjawab apa pada Laki-laki itu. “A... aku tak punya uang untuk membeli kacamata.”

“Kau mau aku membelikanmu kacamata?”

“Ti...tidak usah. Terima kasih. Kau sudah baik padaku.”

“Ya sudah.”



OoO

Di sisi lain, tanpa Naruto dan Hinata sadari, sedari tadi seseorang tengah mengintip kegiatan mereka dengan ekspresi wajah yang sulit terbaca. Dia adalah Sasuke Uchiha, orang yang selalu menyiksa Hinata.

Laki-laki itu mengepalkan tangannya karena menahan emosi. Ia kemudian segera menjauh dari tempat itu karena tak ingin ada orang lain yang melihatnya. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang sekarang.



Dan tanpa ia ketahui, seseorang juga tangah melihatnya dengan perasaan sedih. Ia kemudian berlari sambil menitikkan air mata.

Share:

Monday, August 1, 2016

Hinata 10

BACA : Chapter 9
Aku tidak ingin mengakhirinya dengan air mata kesedihan, karena kita memulainya dengan senyum dan tangis kebahagiaan.
...
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*

HINATA
Chapter 10
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
...
Cerita sebelumnya :

Naruto berniat menyapanya jika saja orang itu tidak berbalik dan melihatnya. Jantungnya berdegup, entah mengapa. Dalam pikirannya, dia membayangkan gadis yang dilihatnya itu adalah sesosok makhluk astral yang ditakutinya. Rambutnya panjang menjuntai hingga kepinggang dan ketika berbalik sebagian wajahnya tertutup oleh rambutnya dan karena menutupi cahaya, wajahnya jadi gelap.

Naruto baru akan beranjak dan mengambil langkah seribu dari tempat itu kalau saja dia tidak mendengar suara halus nan lembut yang sudah dia hapal.

Hinata

Dan masih dalam keterpakuannya gadis itu menyapanya.

“Naruto-kun!?”

...... ...
...

Pair : Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
...
...

~Happy Reading~
.
.
.

Chapter 10 : Kenyataan

Mugkin ini adalah jawaban dari harapannya selama ini. Dipertemukan dengan Naruto dengan keadaan tanpa seorang─ yang bisa mengganggu mereka. Seperti semalam. Tapi bukannya berbicara Hinata malah terdiam. Bingung mau bicarakan apa. Pasalnya laki-laki dihadapannya itu sudah beberapa hari yang lalu menghindarinya tanpa diberi alasan.

“Naruto-kun!?”

Dan jadilah hanya itu yang bisa dia ucapkan. Rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan semua kata-kata yang ada dikepalanya.

“Maaf...”

Entah itu efek suara yang dia dengarkan dari suara-suara alam atau memang itu adalah suara yang dikeluarkan dari bibir Naruto. Tetapi itu terlalu kecil, saking kecilnya, suaranya bahkan jadi tersamarkan oleh suara-suara yang ada di sana.

Matahari makin beranjak naik, hewan-hewan di sana mulai keluar satu per satu untuk mencari makan, namun mereka masih hening. Tak ada yang bersuara, mereka masih betah dalam kesunyian itu. Hingga Hinata memberanikan diri untuk melangkah mendekati Naruto.

Hanya inilah kesempatannya. Tuhan sudah memberikan kesempatan ini untuknya dan dia tidak boleh menyia-nyiakan. Satu kejelasan harus dia dapatkan, kenapa Naruto menghindarinya dan seolah menganggap dia adalah kuman yang tidak boleh di dekati. Memang dia punya salah apa hingga dia diperlakukan begitu?

“Hinata..”

“Naruto-kun, bisakah kita bicara, sebentar?” Tanyanya setelah langkahnya yang kian mendekati Naruto. Jantungnya berdetak cepat, ia gugup dan ia merasa seolah menjadi gadis yang ingin menyatakan cintanya pada laki-laki. Padahal mereka adalah sepasang kekasih.

“Hinata...”

Sedang Naruto. Ia masih menatap Hinata. Pandangannya syarat akan banyak penyesalan. Yah, dia memang salah, sudah mengombang ambingkan perasaan gadis itu dan sekarang tentu gadis itu akan menuntut kejelasan padanya.

Dan entah mengapa tiap derap langkah gadis itu seolah akan membawanya menuju jurang penyesalan dan rasa bersalah. Jujur, dia tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang sudah dia lakukan. Dan─ yah─ dia memang belum siap.

Dia belum siap untuk dibenci oleh gadis itu, dia belum siap untuk dijauhi oleh gadis itu, dia belum siap kehilangan senyum gadis itu, dan dia belum siap jika harus benar-benar kehilangan Hinata. Gadis yang secara perlahan sudah mengisi kekosongan hatinya dan menggantikan posisi gadis kecilnya.

Naruto masih bergeming dalam keadaan semunya. Semua kata-kata yang sudah disusunnya hilang, berganti bisu yang menyakitkan.

“Naruto-kun...”

Hingga langkah kaki Hinata sudah berjarak lima langkah dari hadapannya barulah Naruto sadar dari keadaan diamnya.

“Bolehkah?”

Sekali lagi Hinata bertanya. Naruto mengangguk tanda persetujuan. Tidak ada kata yang bisa diucapkan olehnya. Dirinya masih sibuk merangkai kata di dalam kepanya untuk bisa menjelaskan apa yang sudah dia lakukan agar gadis itu tidak terlalu sakit nantinya.

Tetapi seberapa baik pun untaian kata yang akan dia tuturkan. Dia tahu jika hasilnya akan sama. Gadis itu pada akhirnya akan merasa sakit.

Beberapa lama mereka masih dalam keadaan diam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha mencairkan suasana itu. Hinata memandangi Naruto. Dia jadi merasa ragu akan apa yang ingin bibirnya ucapakan, tetapi semakin lama dibiarkan, semakin lama pula rasa sakit dia rasakan. Penjelasan Naruto bagaikan obat dari rasa sakit itu.

Hinata menelan ludahnya susah payah, menguatkan dirinya dengan apa yang akan nantinya terjadi. Perlahan dia hembuskan nafasnya lalu kembali menatap Naruto, lalu “Naruto-kun, kenapa selama ini kau menghindariku? Apakah.... Apakah aku mempunyai kesalahan padamu?” Tanyanya. Ada gemuruh yang menyesakkan dadanya ketika mengeluarkan rentetan kata-kata itu. Tapi dia harus kuat. Apapun jawaban Naruto, dia akan tetap menerimanya. Bukankah, mencintai adalah harus menerima keadaan orang yang dicintai? Bahkan mungkin perasaan tertolak yang akan dia dapatkan.

“Maaf....!”

Deg

Kedua tangan Hinata saling meremas di belakang punggungnya, berusaha meredam gejolak sakit yang dia rasakan.

“Maafkan aku, Hinata. Aku sudah tidak bisa lagi?”

Jantung Hinata seraja dihujam ribuan pedang, membuatnya sesak dan sulit bernafas, “A...apa maksdumu, Naruto-kun?” Tanyanya. Ada nada getir yang kentara dalam suaranya. Dia tahu. Dia tahu apa maksud di balik kata-kata yang terucap dari bibir laki-laki itu namun dia berpura-pura tidak tahu dan sejujurnya dia tidak ingin tahu.



Naruto menarik nafas dalam-dalam, Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Dia tidak ingin mereka semakin terluka. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Hinata nanar. “Maaf…. Aku tidak bisa lagi Hinata. Hubungan kita... Aku tidak bisa lagi.” Ucapnya menyesal, kembali menundukkan kepalanya. Dia tidak bisa menatap wajah penuh kesedihan itu. Rasanya sungguh sakit.

“Tapi kenapa? Apa salahku?” Suara Hinata mulai serak.

Naruto menatap Hinata cepat. “Kau tidak salah, Hinata. Aku lah yang bersalah. Aku minta maaf. Seharusnya dulu, ketika aku menolongmu, bukan dengan cara seperti ini. Seharusnya aku bicara saja dengan Sasuke agar dia tidak mem-bulliy-mu, tapi aku... Aku... Aku minta maaf, Hinata.” Naruto tidak tahu apa lagi yang harus dia jelaskan. Dia kembali menunduk. Laki-laki itu tidak berani menatap Hinata.

Sakit, jelas jika dia juga rasakan, tapi mau bagaimana lagi. Jika dia tidak melakukan ini, rasa bersalahnya akan semakin besar dan dia tidak ingin mereka akan semakin sakit jika akhirnya Naruto bertemu dengan gadis kecilnya.

Sementara Hinata, walaupun gadis itu sudah menyiapkan dirinya. Walaupun dia sudah menguatkan dirinya, tetap saja rasa sakit itu lebih mendominasi. Hanya airmata, isakan, dan tatapan sendu yang mampu Hinata ‘suarakan’. Gadis benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Maafkan aku, Hinata.”

Tak ada satu patah kata pun yang diucapkan oleh Hinata. Ia tetap bertahan dalam kesunyian semunya. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Isakannya terdengar bagai pisau tumpul yang mengiris hati.

Naruto ingin sekali meraih gadis itu, memeluknya, menenangkannya, namun ia menahan dirinya. Jika ia melakukan itu, maka semua usahanya akan sia-sia. Dia pasti tidak akan melepaskan gadis itu dan janjinya pada gadis kecilnya yang dulu, akan dia abaikan kembali, lalu melupakannya dan membuat gadis kecilnya menunggunya semakin lama dan pada akhirnya mereka semua akan merasakan sakit yang lebih sakit dari pada ini.

Hinata mengusap air matanya. Ternyata apa yang pernah dia ragukan akhirnya terjadi. Rupanya Naruto hanya membantunya agar terlepas dari bully Sasuke, sahabatnya dan tidak benar-benar menyukainya.



Hinata mendongak menatap Naruto yang menunduk di hadapannya. Gadis itu masih belum mau bicara. Hatinya terlalu perih, bagai disayat lalu dibubuhi oleh air cuka. Sakitnya lebih sakit dibanding diabaikan oleh lelaki itu.

Dia kecewa, sangat... Sangat... Sangat kecewa dengan Naruto. Seharusnya dulu dia tidak mengatakan jika dia mencintai Hinata, seharusnya dulu Naruto tidak memintanya menjadi kekasihnya hanya untuk menolongnya, seharusnya dulu dia tidak menerima Naruto. Yah seharusnya. Dan ini tidak akan terjadi.

Dia tidak akan merasakan sakit seperti sekarang.

Lebih baik dia tetap di bully oleh Sasuke dibanding diberikan pengharapan tinggi oleh lelaki itu lalu dihempaskan kuat hingga menjadi kepingan kecil yang susah buat disusun kembali. Lelaki itu begitu jahat. Mencoba menjadi pahlawan namun nyatanya dia sendirilah yang menyakiti gadis itu.

Tapi meskipun begitu, Hinata tetap tidak bisa membenci lelaki itu. Hatinya seolah memberontak dan membiarkan hal itu.

Dan Hinata tahu, dia adalah gadis yang begitu bodoh dan naif yang tidak bisa membenci lelaki yang sudah menyakitinya.

“Baiklah.”

“Eh,” Naruto terkesiap ketika satu kata itu meluncur dari gadis yang baru saja dia sakiti. Tidakkah gadis itu merasa kecewa? Tidak. Naruto yakin gadis itu kecewa dan terluka karenanya. Tetapi gadis itu berusaha kuat untuk menerimanya.

Yah, Naruto tidak akan berkelit jika dikatakan sebagai lelaki yang jahat dan brengsek karena sudah menyakiti hati gadis sebaik Hinata.

“Jadi kita berakhir seperti ini, yah?” Kata Hinata lagi. Senyum simpul dia torehkan di wajahnya, walau bulir air mata terus mengalir.

“Hinata, aku minta maaf.” Dan Naruto. Tidak ada kata lain yang mampu bibirnya ucapkan selain permintaan maaf.

“Tapi...” Hinata menghentikan ucapannya, hanya untuk melihat reaksi Naruto. Naruto menatapnya. Ada tanya yang tersirat dalam binar mata lelaki itu, “Bisakah kita menjadi sepasang kekasih sampai kemah ini selesai.” Lanjutnya, berharap jika permintaannya itu dapat dikabulkan oleh lelaki itu.

Yah, walau pun dia merasa sedih tetapi dirinya tidak ingin hubungan mereka berakhir dengan air mata penyesalan dan rasa bersalah seperti sekarang, tetapi dia ingin hubungan mereka berakhir dengan kesan yang indah dan senyum menghias bibir.

Naruto memandang Hinata terkejut sekaligus takjub dengan apa yang gadis itu utarakan. Naruto tidak pernah berfikir jika gadis sepemalu Hinata berani mengatakan kalimat penawaran yang menurutnya sangat tidak cocok dengan kepribadian Hinata.

Namun dia tidak akan menyangkal, jika penawaran itu juga membuatnya sangat senang. Walau hanya tinggal dua hari termasuk hari ini, tetapi dia berjanji akan mengakhiri hubungan mereka dengan senyum tanpa air mata dan penyesalan.

“Baiklah.”

Dan kata itu sebagai penutup pembicaraan dengan topik menyedihkan mereka.


....

Sementara itu, di balik pohon ada seseorang yang menatap mereka dengan pandangan sedih. Ternyata apa yang dia takutkan terjadi juga. Laki-laki pirang itu akhirnya menyakiti Hinata. membuatnya kembali bersedih, bahkan kemungkinan kesedihan yang dia rasakan berpuluh kali lipat dari siksa bully Sasuke Uchiha, dulu.

Gadis buble-gum itu sebelumnya hanya ingin menikmati pemandangan matahari terbit yang pernah dia lihat dua tahun yang lalu saat masih di middle school, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara percakapan oleh dua orang dan ternyata mereka adalah Hinata dan Naruto. Sepasang kekasih yang menyembunyikan status mereka.

Gadis itu sebenarnya tahu mereka siapa. Yah, dia tahu mereka berempat siapa. Dia, Naruto, Hinata, dan... Sasuke. Walau pun sudah lama dan kemungkinan mereka sudah melupakan kenangan mereka saat berada di taman kanak-kanak tetapi dia masih ingat, bahkan janji anak kecil yang diucapkan oleh lelaki itu masih dia pegang─ walau pada akhirnya dilupakan.

Ada alasan yang membuatnya tidak mengatakan jika mereka sebelumnya saling mengenal. Satu sifat yang sampai sekarang masih melekat di dirinya. Sakura si pemalu. Dan dia tidak ingin dikatakan menjadi seorang sok kenal dengan mengatakan itu dan membuatnya malu atau bahkan dilempari tatapan aneh yang selalu membuatnya tidak nyaman.

Tetapi karena itu pulalah peristiwa bully oleh Sasuke terjadi dan sekarang lelaki pirang itu juga menyakiti gadis itu. Entah kenapa, dan akhirnya rasa bersalah serta penyesalan itu akhirnya mereka rasakan.

Sakura mengalihkan pandangannya dari mereka. Melihat sinar matahari yang semakin jelas, kemungkinan saat ini sudah pukul 06.30 pagi, itu artinya dia harus kembali, jika tidak ingin yang lain jadi cemas karena hilangnya dirinya saat yang lain belum terbangun.

Sebelum beranjak jauh dari sana, Sakura kembali melihat mereka. Samar-samar dia lihat Naruto tengah memeluk Hinata dan gadis itu tampak tersenyum. Entah itu senyum getir atau bahagia.

....

Saat Naruto dan Hinata sampai di tempat perkemahan, matahari sudah beranjak naik dengan sedikit terik. Semua murid sudah bangun dengan perlengkapan untuk eksplorasi. Mencari dan mengamati objek tumbuhan dan mengidentifikasinya. Jenis, perbedaan, persamaannya, manfaat, juga efek yang bisa ditimbulkan dari tanaman tersebut.

Naruto melepas genggamannya pada tangan Hinata dan menyuruhnya untuk bersiap. Mereka memang sekelompok bersama Sasuke, Sakura, juga Kiba si penyuka anjing, yang sudah bersiap dengan perlengkapannya.

Sasuke maupun Sakura menatap Hinata yang baru saja berlalu dihadapan mereka dengan pandangan yang berbeda. Jika Sakura menatap Hinata dengan sedih, maka lain dengan Sasuke yang menatapnya kasihan.

Mereka berdua tahu, apa masalah yang dihadapi oleh pasangan itu namun tidak bisa membantu.

Walaupun Sasuke berstatus sebagai sahabat Naruto, tetapi dia sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat Naruto ingin melepas Hinata, padahal setahunya dia sangat menyukai gadis itu.

“Mereka berdua dari mana? Dan kenapa bisa bersama?” Celutuk Kiba tiba-tiba, menatap penasaran pada dua anggota kelompoknya yang lain. Barangkali saja mereka tahu.

Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari Sasuke maupun Sakura, dan membuat Kiba mencebikkan bibirnya hingga beberapa centi ke depan. “Ah, kalian tidak seru.” Lanjutnya lalu terdiam dan kembali mengamati tugas kelompok yang harus mereka selesaikan.

“Kita tunggu mereka 15 menit.” Kata Sasuke beberapa menit kemudian setelah melepas pandangannya pada Hinata, lalu beralih pada anggota kelompoknya, Kiba. Entah kenapa setiap menatap Sakura atau mengajaknya bicara, gadis itu selalu mengalihkan pandangannya dan tidak ingin menatapnya.

Sasuke jelas tahu apa alasannya. Gadis itu mencoba menghindarinya karena sudah melupakan janji mereka─ yang sampai saat ini pun masih dia cari tahu janji seperti apa yang sudah dia ucapkan pada gadis itu.

Dia ingin bertanya pada Sakura, namun gadis itu selalu menghindarinya. Dan lagi egoisme sang Uchiha masih melekat setia pada dirinya yang membuatnya enggan bertanya.

Sasuke menghela nafas, mungkin nanti dia akan mendapatkan jawabannya. Dia kemudian membuka peta area tempat mereka akan melakukan eksplorasi. Menjelaskan apa saja yang harus dilakukan oleh teman kelompoknya.

“Kiba, carilah tanaman sejenis ini lalu klasifikasikan sesuai kelasnya.”

“Oke.... Apa? Tunggu, apa hanya aku saja yang akan mengerjakan ini?”

“Kau bersama Naruto.” Sasuke menjawab dengan nada bosan, tahu kalau teman kelompoknya ini lebih senang bermain ketimbang mengerjakan tugas mereka, dan sangat baik jika disandingkan dengan Naruto yang juga lebih senang bermain. Jadi Sasuke bisa memarahi mereka─ setidaknya mereka bisa dijadikan luapan emosinya.

Anggap saja saat ini Sasuke butuh pelampiasan karena masalahnya dengan Sakura dan mereka berdua sangat cocok untuk itu. Lagipula Sasuke benar-benar ingin menghajar Naruto yang membuat Hinata jadi sedih.

Walau pun dia tidak ada hubungannya dengan mereka, tapi rasa bersalahnya terhadap gadis itu masih ada dan dia tidak mau Hinata terluka lagi, apalagi karena gara-gara sahabatnya.

“Eh... aku tidak mau, Teme. Kalau aku bersama dengan dia, yang ada tugas kami tidak akan ada yang beres.” Naruto tiba-tiba datang dan memprotes membuatnya mendelik dengan tajam ke arahnya.

“Iya itu benar. Yah, walaupun aku juga ingin bermain dengan Naruto, tapi kalau tugas kami tidak ada yang beres kau pasti akan memarahi kami. Dan aku tidak mau.” Kiba juga menimpali.

Rupanya mereka sadar dengan rencana Sasuke.

“Aku ingin berpasangan dengan Hinata-chan , Teme dan biarkan aku berpasangan dengannya.”

Sasuke seketika menatap Naruto, tajam dan penasaran. Apa lagi yang akan dilakukan oleh Naruto? Tidak cukupkah dengan semua perlakuannya selama ini pada gadis itu dan sekarang dia coba dekati lagi?

“Tidak.” Jawab Sasuke tegas dan cepat.

“Eh... kenapa?”

“Kau hanya akan merepotkan Hinata.” Jawabnya lagi. Dia tahu sahabat blonde-nya itu akan terus meminta sampai permintaannya dikabulkan. “Kau tidak akan bekerja dan malah mengganggu Hinata.” Sasuke menatap Naruto, “Sebaiknya kau bersama Sakura.”

“Apa... tidak. Aku tidak mau. Kenapa bukan kau saja yang berpasangan dengan Sakura-chan dan aku dengan Hinata.” jawab Naruto tidak terima

Sasuke menatap jengah Naruto. “Tidak ada bantahan, Naruto.”

“Aku─”

“Aku, Hinata, dan Kiba akan bersama, terserah dengan kalian berdua mau bagaimana. Aku akan mengerjakan bagian ini─ pengklasifikasian bagian tumbuhan─ bagian yang kau suruhkan ke Kiba, di area ini.” kata Sakura tiba-tiba memotong ucapan Naruto yang hendak memprotes lagi.

Setelahnya menarik Hinata yang baru saja datang dengan raut bingung dan penasaran. “Ayo, Hinata, Kiba...” lalu berlalu meninggalkan mereka berdua. “Kiba, kau masih mau berada di situ atau ikut dengan kami?” Sakura berteriak memanggil Kiba yang tidak kunjung beranjak dari tempatnya.

Di sisi lain baik Sasuke juga Naruto masih terdiam di tempatnya. Menatap ketiga orang yang sudah berlalu dari hadapan mereka.

“Entah, itu hanya perasaanku saja atau memang Sakura-chan sedang menghindarimu, Teme. Apa kau sudah melakukan sesuatu pada Sakura-chan ?”

Sasuke diam, tidak menanggapi omongan Naruto. Dia masih sibuk menatap kepergian mereka sambil bertanya-tanya dalam kepalanya. Dia sendiri masih mencari tahu apa yang sebenarnya pernah dia janjikan pada gadis itu. Hingga gadis itu rela menunggunya yang bahkan tidak dia ingat sama sekali.

Kecelakaan itu benar-benar membuatnya lupa dengan kenangannya dulu. Seberapa keras pun dia coba ingat, kenangan itu tetap tidak bisa kembali sepenuhnya padanya.

Hanya samar dan perlahan.

Pernah sekali ingatan samar itu terlintas, ketika Sakura mengembalikan kalung Kristal dengan lambang Uchiha dan bunga Sakura yang mengelilinginya kepadanya yang katanya pernah dia berikan.

Ingatan tentang dua anak yang tengah bermain, tetapi dia tidak yakin jika itu adalah dirinya. Mereka tampak bahagia. Penuh senyum juga tawa. Di sekeliling mereka penuh warna ceria. Tidak ada air mata dan sedih.

“Woi…. Teme…”

Sasuke tersentak ketika suara cempreng milik Naruto terdengar di telinganya. Dia berbalik namun tidak menanggapi dan berlalu meninggalkan Naruto. Dirinya masih kesal dengan perbuatan laki-laki itu.

“Hoi… Teme, tunggu aku…”

…..

Walau awalnya Sakura, Hinata, dan Kiba sekelompok dalam pembagian kelompok tiba-tiba Sakura, kini kelompok itu sudah tidak lagi bersama. Entah kapan kelompoknya itu tercerai berai dan menyisakan Naruto dan Hinata bersama.

Mereka berdua tentu senang. Rencana yang tadi pagi terbuat akhirnya bisa terealisasi. Sambil menyelam minum air, mungkin itu pepatah yang cocok buat mereka− sebenarnya buat Naruto. Mengerjakan tugas sambil mencuri kesempatan bisa bersama Hinata.

Angin berhembus memainkan dedaunan-dedaunan kering yang mereka pijaki. Daun-daun dari pepohonan bergerak, menari dan menghasilakan irama alam. Burung juga ikut meriahkan daerah itu, seolah ikut berbahagian melihat kebersamaan mereka.

Naruto dan hinata menikmati suasana itu. Mereka masih mencari tumbuhan mana yang cocok untuk mereka klasifikasikan.

“Hinata-chan , coba lihat ini.” Naruto menarik hinata untuk melihat tumbuhan yang dilihatnya. Jamur dengan bentuk lebar mirip seperti daun telinga berwarna coklat kehitaman dan terlihat kenyal. Naruto menyentuhnya dan merasakan tekstur dari jamur itu.

“Bagaimana menurutmu dengan ini?” ucapnya sambil memainkan jamur itu, menekan-nekan dengan dua jarinya hingga menghasilkan suara.

“Baiklah. Tapi bi…bisakah, ka…kau tidak menyentuhnya seperti itu, Naruto-kun. Aku…aku merasa ge…geli…” ucap hinata sedikit terbata geli campur jijik seperti tengkuknya tengah ditelusuri dengan angin yang membuatnya geli tidak enak.

“Kenapa?” tanyanya. Matanya memandang Hinata polos, namun jari-jarinya semakin menekan-nekan jamur itu.

“Na… Naruto-kun, kumohon.” Hinata memelas membuat Naruto sedikit geli dengan tingkah gadis itu.

“Hehehe… Baiklah.” Ucapnya lalu menghentikan gerakan jahil jari-jarinya.

Hinata kemudian ikut berjongkok di sebelah Naruto, menyiapkan perlengkapan alat tulisnya lalu mengerjakan tugas mereka.

“Tahu tidak Hinata-chan , kenapa jamur ini bentuknya berbeda dengan jamur yang lain.” Kata Naruto tiba-tiba. Matanya memandang jamur itu dengan penuh minat, berbinar seperti anak kecil yang melihat hal baru.

Hinata menghentikan gerakannya sejenak, menggeleng lalu melihat Naruto, “Tidak. Naruto-kun tahu, mengapa bentuk dari jamur itu berbeda?”

Sejenak Naruto menatap Hinata. Pandangannya syarat akan banyak perasaan. Dia menghembuskan nafasnya pelan sebelum cerita. “Awalnya bentuk jamur ini sama dengan jamur yang lain, seperti payung yang dilebarkan untuk menahan air hujan.” Hinata diam menyimak, menatap Naruto yang tengah membayangkan sesuatu. “Tetapi dia berubah karena memiliki perasaan yang tidak boleh dimiliki oleh setiap jamur.”

“Apa itu?”

“Egois.”

“Hm...? Maksudmu?”

“Jamur itu mencintai hujan dan ingin memilikinya untuk dirinya sendiri, padahal dia tahu hujan sangat dibutuhkan oleh banyak makhluk dan bukan hanya dirinya. Dia ingin menikmati air hujan itu untuk seterusnya dan tidak perlu lagi menunggu musim hujan untuk bisa bertemu dengan hujan. Suatu ketika, hujan tidak datang-datang, satu hari, dua hari, bahkan berhari-hari dan membuat jamur itu merasa sedih. Banyak jamur yang mulai kering, layu, lalu mati. Hanya ada beberapa yang bertahan, termasuk dirinya. Dan akhirnya di pertengahan tahun hujan, saat awan-awan hitam bergumpal, angin kencang berhembus akhirnya hujan datang, membasuh bumi dengan airnya, membuat mereka bahagia, senang juga lega.

Jamur tersebut melakukan sesuatu terlarang, hal yang tidak boleh dilakukan oleh para jamur.” Sejenak Naruto menghentikan ucapannya, melirik ekpresi Hinata yang penasaran. Tangan yang tadi dia gunakan untuk mencatat klasifikasi tumbuhan jamur tersebut terhenti hanya untuk mendengar kelanjutan cerita Naruto tentang jamur kuping.

Hinata menatap Naruto, binar polos terpancar dari iris almetish milik gadis itu. “Apa itu?”

“Jamur itu membuka bagian tudungnya untuk menadah hujan. Hal itu adalah terlarang bagi jamur, sebab jika mereka membuka, maka proses reproduksi mereka akan terhenti. Di tudung mereka adalah letak spora yang harus mereka sebarkan untuk menghasilkan keturunan, jamur baru. Setelah dia mendapatkan air hujan, dia berniat untuk menutup kembali tudungnya. Akan tetapi, tudung tersebut tidak bisa menutup kembali. Jadilah bentuk jamur kuping seperti itu.” Jelas naruto. Ada kekehan yang keluar ketika melihat raut hinata yang tengah kebingungan karena cerita karangan dadakan yang dia buat.

Hinata menyerngit bingung, mendengar penjelasan naruto. Dahinya sedikit mengkerut, “Aku─”

“Apa kau sudah menyelesaikannya, Hinata-chan ?” Tanya Naruto memotong pertanyaan yang ingin dilontarkan oleh Hinata, sebab dia pun tidak akan tahu jawabannya.

“Sudah, Naruto-kun. apa─”

“Ayo, kita cari tumbuhan yang lain.” Katanya, setelah mengambil gambar jamur tersebut lalu bangkit dan menarik pelan tangan Hinata lalu menuntunnya mengikuti langkahnya.

Hinata terhenyak, darahnya berdesir dan menghasilkan perasaan hangat. Genggaman tangan Naruto terasa hangat, besar dan melingkupi jari jemarinya. Sangat pas, seperti memang sudah diciptakan untuk berpasangan.

“Selanjutnya, di mana lagi kita mencari. Kau membawa petanya kan, Hinata-chan ?” tanya Naruto, tetapi Hinata yang masih terpaku dengan perasaan hangat yang diakibatkan pautan jari jemari mereka dan tidak memberikan respon.

“Hinata-chan , kau tidak apa-apa?” Naruto menghentikan langkahnya katika tidak mendapatkan respon dari Hinata dan menatap gadis itu yang masih diam sambil menunduk.

“Ah─” Hinata terkesiap ketika merasakan sapan lembut membelai pipinya. Dia mendongak dan menatap sepasang iris seindah safir tengah menatapnya cemas, “Ak... Aku ti... tidak... apa-apa, Naruto-kun.”

“Kau yakin?”

“I...Iya, aku yakin. Kau tenang saja.” Hinata tersenyum, membuat Naruto menghela nafas. “Baiklah, kalau begitu kita istirahat saja dulu di dekat sungai.”

“Ta...tapi, kita baru mendapatkan satu tumbuhan─”

“Tidak apa-apa. Pasti Sasuke-Teme sudah mendapatkan banyak tumbuhan. Sakura-chan pasti juga sudah banyak.” Jelasnya dan menuntun Hinata untuk beranjak ke tepian sungai.

Udara berhembus membelai mereka berdua. Membuai menuju angan yang mungkin tidak bisa mereka dapatkan. Sinar matahari perlahan mengintip dari sela-sela daun menghasilkan pantulan cahaya indah pada permukaan sungai.

Naruto dan Hinata duduk di tepi sungai di atas bebatuan yang rendah dengan permukaan air. Alas kaki mereka sudah dilepas dan kaki mereka dicelupkan di dalam air sungai. Rasa dingin campur segar seketika menjalar di seluruh tubuh. Angin kembali membelai mereka membuat mereka merasakan kenyamanan.

Cak...

Hinata tersentak ketika merasakan percikan air mengenainya. Dilihatnya Naruto sudah mencelupkan dirinya di dalam air dengan seringainya ia kembali memercikan air dengan kedua tangannya pada Hinata.

“Kau dari tadi melamun terus Hinata-chan . Kemarilah, lebih segar dibanding hanya mencelupkan kaki.”

Hinata menggeleng keras, “Aku ti...tidak..─ Kyaaaaa─” teriak Hinata terkejut saat dia sudah berada di dalam air bersama Naruto. Dia berbalik dan mendapati Naruto berdiri di belakangnya dengan seringainya.

“Na... Naruto-kun.”

“Ahahaha....” Naruto tertawa mendapati wajah terkejut Hinata.

Cak...

Naruto menghentikan tawanya ketika merasakan percikan air oleh Hinata dan bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali.

Gadis itu terlihat bersemangat ketika menyiram Naruto. Ada tawa yang keluar ketika mendapati wajah memberenggut milik Naruto.

“Hahahaha... Kenna kau, Naruto-kun” Ucap Hinata sambil terus memercikkan air kepada Naruto.

Tak mau kalah, Naruto juga kembali memercik Hinata “Rasakan ini, Hinata-chan...”

Dan pada akhirnya, mereka saling menyiram hingga baju mereka basah barulah mereka menghentikan kegiatan itu.

Hinata kemudian berjalan menuju ke tepian, ingin kembali duduk di atas batu sambil menikmati udara segar yang berhembus. Namun karena menginjak bebatuan yang salah, kakinya tergelincir....

Buukk

Hinata terhenyak, tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu kencang melihat batu yang hanya beberapa centi saja dari kepalanya. Rasa takut masih menjalar, jantungnya berpacu cepat, berkali-kali tarikan nafas cepat dia lakukan. Tangannya kemudian mengeratkan pegangannya pada tangan Naruto yang masih mendekapnya dari belakang.

“Kau tidak apa-apa, Hinata-chan ?”

Tanya Naruto. raut khawatir sangat jelas terlihat dari wajahnya.

Hinata belum bisa menjawab, dia masih shock dengan kejadian barusan dan dirinya masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Hingga beberapa detik kemudian barulah kesadaran mulai merambai Hinata.

Posisi mereka masih sama, Hinata cepat-cepat melepaskan dekapan Naruto. Sedikit menjauh mencoba menenangkan dirinya sendiri. Wajahnya memerah campuran rasa takut dan malu. Naruto memerhatikan, dan itu membuat Hinata jadi salah tingkah.
“Kau tidak apa-apa?”

Sekali lagi Naruto bertanya. Raut khawatir masih terpatri di wajahnya. Sungguh jantungnya juga ikut terpacu ketika melihat peristiwa barusan. Andai dia tadi tidak menolong Hinata tepat waktu, mungkin dia tidak akan bisa lagi melihat wajah merona gadis itu.

“A..a...aku ba..baik saja, Naruto-kun. Ja..jangan khawatir.” kata Hinata sedikit terbata lantaran sisa ketakutan dan kekagetannya masih ada.

Naruto menghela nafas legah─ walau masih khawatir dan sedikit marah. Dia kemudian membantu Hinata untuk kembali duduk di atas bebatuan, kembali menikmati semilir angin yang berhembus, menyegarkan tubuh mereka selepas bermain air, dan meluapkan rasa takut yang sempat merajai mereka karena kecelakaan yang hampir melukai Hinata.

“Hina-chan , kita pasti akan bertemu kembali”

Kembali ingatan itu hadir, entah mengapa mengisi kepala mereka tiba-tiba.

Hinata tersenyum, janji anak kecil itu sudah terwujud. Bocah laki-laki itu sudah menemuinya, melindungi, dan menjaganya. Mereka bersama sekarang, walau mungkin hanya bersisa dua dengan hari ini. Tetapi dia akan tetap menikmatiya, memanfaatkan waktu kebersamaan mereka yang hanya bersisa sedikit.

Di lain pihak. Wajah Naruto berubah seketika, wajahnya muram tampak sedih dan menyesal, ketika mengingat kilasan memori itu. Janji yang dia ucapkan pada sahabat kecilnya, gadis yang dia janjikan untuk kembali, nyatanya belum bisa dia wujudkan.



Dia masih mencari, dan bahkan tidak tahu pasti akan wajahnya. Tetapi dia akan berusaha untuk mencari tahu, dimana dan bagaimana dirinya saat ini.

Dan untuk sekarang, ada hal lain yang perlu dia lakukan, yaitu memanfaatkan dan menikmati waktu kebersamaan mereka─ dia dan Hinata yang hanya bersisa sedikit.

Lalu bagaimana dengan perasaannya tadi yang sangat ketakutan ketika melihat Hinata akan celaka tepat di depan matanya? Raut ketakutan yang jelas terpatri di wajahnya dan jantungnya yang berdegup sakit. Bukankah hal sama akan dia dapatkan ketika waktu mereka akan selesai?

“Aku pasti akan merindukan suasana ini.” kata Hinata tiba-tiba. Naruto tersentak mendengar gumaman lirih yang keluar dari bibir gadis itu. Dan ada airmata yang mengalir pelan lewat sudut matanya. Ditemani senyuman yang terlukis di wajah gadis itu.

Yah, dia juga berpikiran seperti itu. Apakah mereka bisa merasakan suasana seperti ini? Bisakan mereka berpisah tanpa ada air mata? Bisakah dia tetap bersama gadis itu walaupun dia sudah temukan gadis kecilnya?

Dan Naruto hanya bisa berharap seperti itu. Mungkinkah itu terjadi?


.
.
.
.
.

TBC

a/n : Hai... hai... maap yeh, lama update-nya. Moga kalian masih mau baca fict GAJE ini. Hehehe... seperti biasa alasannya sudah BAssSI. Bassi sangat... yah, apalagi kalau bukan kesibukan dunia dan KHAYALAN,,,, (Lebay...) >_< , tapi memang itu alasannya. Kalian juga pasti punya kesibukan sendiri, iya kan?, ah... abaikan, yang penting sudah UPDATE, walau lama.

BTW, tengkyu yang sudah nunggu ini cerita,,, dan maap lagi karena ternyata ENDING-nya berada di atas chapter 10, ternyata PENYAKIT Mickey belum hilang. PLIN PLAN nya parah banget, ya/gak? Tapi kalau endingnya di chapter ini, alurya bakal kecepatan, dan lagi kalian pasti akan nanya-nanya. Kok bisa begini atau lah kenapa endingnya GAJE atau apalah yang buat kalian penasaran bin gak terima, Mungkin.

Oke, sudah cukup cuap-cuap gak pentingya. Jangan lupa review yah dan tengkyu buat yang sudah mem-fave dan meng-alert cerita ini.
See U next chapter.

Share:

Wednesday, May 18, 2016

Hinata (9)

Sebelumnya : Chapter 8
Pair: Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING: AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
DLDR
.
.
.
.


.
Chapter 9 : Sakit

Untuk kesekian kalinya Hinata menghela nafas. Laki-laki yang sedari tadi dia perhatikan tak sekalipun balik menatapnya. Laki-laki itu masih asik dengan apa yang dia kerjakan bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Namun, walau begitu, Hinata pun juga ikut tersenyum ketika ada hal konyol yang dilakukan oleh laki-laki itu.

Tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa sedihnya karena terus saja diabaikan oleh laki-laki itu.

Apakah kesalahan Hinata sangat berat sampai dia diabaikan terus oleh Naruto? Lalu sampai kapan Naruto akan mengabaikannya seperti itu? Tak tahukah dia bahwa perasaan perempuan itu sangat rapuh walau sekecil apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu pasti akan sangat berdampak pada perasaannya terlebih pada sikap tak acuh yang selalu ditujukan untuknya.

Ingin sekali Hinata pergi ke Naruto, menyeretnya, meminta penjelasan dan meluapkan segenap rasa kesal dan sesak yang telah tertimbun sejak beberapa hari yang lalu akibat perbuatan laki-laki itu. Tapi apa dengan begitu semua akan kembali seperti semula?

Tentu saja tidak. Malah kemungkinan besar akan semakin parah.



Hinata menggeleng pelan memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dia dapatkan jika berani menghampiri laki-laki itu dan membiarkan emosinya yang memimpin. Walau berat namun dia harus tetap bersabar karena tentu saja dia belum─ tidak─ sanggup jika harus putus dengan Naruto. Laki-laki yang sudah lama mencuri hatinya bahkan ketika mereka masih duduk di junior high─walau Naruto mungkin tak mengingatnya.

Sejenak dia hela nafas mencoba meredakan rasa sesak yang kian memupuk di hatinya. Jujur saja dia sudah tidak bisa lagi menahan luapan emosi perasaannya. Siapapun itu pasti akan merasa sakit jika dihadapkan dengan posisinya saat ini terlebih dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah dan mengembalikan keadaan seperti semula.

Hinata kembali memperhatikan kegiatan yang dilakukan Naruto. Laki-laki itu masih melakukan hal konyol, bahkan terkadang membuat Iruka-sensei juga ikut tertawa. Sementara para gadis sekelasnya juga sibuk memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa lebih dekat dengan Naruto. Hinata sedikit iri juga cemburu melihat Naruto yang memperlakukan gadis-gadis itu tak seperti biasanya saat di sekolah. Tapi sekali lagi dia tak bisa melakukan apa-apa dan inilah resiko yang dia dapatkan karena ketakutannya dan ketidakberanian dirinya mengambil sebuah keputusan.

“Naruto memang bodoh, dia akan menyesal.”

Hinata menatap laki-laki di sampingnya itu. Walau tak menatap Hinata tapi dia seakan tahu kondisi Hinata saat ini.

“Arigato, Sasuke-san.” Sahutnya.

“Ini─” Sasuke memberikan Hinata earphone yang sedari tadi dia dengar, “─Akan membuatmu lebih rileks.”

Hinata menerima earphone itu, “Arigato.” Ucapnya pada Sasuke lantas memakainya. Hinata sedikit terkejut ketika mendengarnya isi dari playlist musik milik Sasuke itu bukanlah lagu-lagu seperti dibayangannya, tetapi beberapa instrumen musik tanpa lirik. Tepatnya, isinya adalah musik-musik klasik yang memang bernada tenang dan benar saja perasaannya sedikit berubah, lebih tenang dan rileks. Angin sepoi yang berasal dari jendela bus yang dibuka Sasuke juga menambah relaksasi benaknya.

Hinata memejamkan mata menikmati setiap lantunan musik yang bersal dari earphone Sasuke dan benar-benar membuat perasaannya jadi lebih rileks.
“Apa perasaanmu sudah lebih baik?” Sasuke kembali bertanya, walau tanpa menatap Hinata.

Hinata membuka mata dan memiringkan sedikit tubuhnya pada Sasuke. Dia tersenyum, walau Sasuke tak melihatnya, “Sekali lagi arigato, Sasuke-san.”

“Hn.”

Dan Hinata terus menikmati lantunan musik itu hingga rasa kantuk itu mendominasi dirinya. Perlahan demi perlahan kesadarannya terbawa ke dalam dunia yang hanya dia saja bisa alami. Dunia yang penuh ketenangan juga kebahagiaan semu yang dia inginkan.


...

Di sisi lain, pemuda yang sedari tadi dipikirkan oleh Hinata malah semakin berulah dan menghasilkan tawa oleh teman-teman satu busnya.

Tetapi,

Walau terlihat senang dengan ulahnya, hati Naruto malah merasakan sebaliknya. Sepanjang perjalanan tak sedikitpun pikirannya teralihkan pada Hinata. Dia tahu, saat ini gadis itu tengah merasakan kesedihan yang sama dengannya atau bahkan lebih besar dari pada dirinya.

Bukan hal mudah untuk meninggalkan atau berpisah dengan orang yang dicintainya. Hanya saja dia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Janji yang dulu dia ucapkan kepada gadis kecilnya tak bisa dia abaikan begitu saja. Prinsip yang dia pegang teguh adalah salah satu penyebabnya.

Andai dia tidak berpegang teguh pada prinsipnya itu, saat ini dia pasti tengah bersenang-senang dengan Hinata. Melihat senyum yang merekah di bibir gadis itu, rona merah yang menghiasi pipinya, juga tawa merdu yang akan keluar dari mulut gadis manis indigonya karena ulah konyol yang dia lakukan atau godaan yang dia buat untuk gadisnya. Bukan malah melihat kesedihannya apalagi air matanya. Jujur, rasanya sangat menyesakkan ketika melihat orang yang dia cintai lagi-lagi harus merasakan kesedihan apalagi ini karena ulahnya. Ingin sekali, saat ini dia mendatangi gadis itu lalu membawa dalam dekapan hangatnya dan meminta maaf agar semuanya kembali seperti semula. Namun apa daya janji adalah janji, dia tidak bisa lagi membuat gadis kecilnya semakin lama menunggu kedatangannya─ walau dia tidak tahu bagaimana rupa gadis itu sekarang. Jadi sebisa mungkin dia akan mencoba untuk menghindari Hinata, menghilangkan sedikit demi sedikit perasaan yang sudah membuncah ruah dalam dirinya.

Walau dia tahu mereka akan semakin terluka karenanya.

Naruto sekali lagi melirik Hinata. Kerinduannya semakin membuncah kala melihat gadis itu tepat didepannya sekarang. Gadis manis itu tengah menikmati lantunan musik dari earphone miik Sasuke sambil memejamkan matanya. Hingga ia sadar jika gadis manis itu sudah terlelap dalam tidurnya.

Mimpi indah Hinata dan maaf sudah membuatmu terluka. Batin Naruto.


...

Hinata tidak pernah merasa sesenang ini saat menatap wajah laki-laki yang duduk di sampingnya saat ini dan sedang memegang kedua tangannya erat, kedua safir indahnya begitu intens menatapnya ada binar kerinduan yang begitu jelas dipancarkan dari kedua mata indah itu hingga menimbulkan rasa enggan yang besar untuk mengalihkan dari tatapan itu.

“Maaf yah, sudah membuatmu seperti ini.” Ungkapnya penuh sesal dan Hinata merasa ada aliran air yang membasahi pipinya, dadanya sesak penuh rasa lega dan bahagia yang bercampur hingga membuatnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata.

“Ku mohon Hinata, jangan menangis. Aku tidak bisa melihatmu menangis, dada ini─” Naruto membawa sebelah tangan Hinata menuju dadanya, “─terasa sesak.” Ungkapnya. Jari-jemarinya menelusuri pipi Hinata dengan lembut dan menghapus air matanya. Ada perasaan bahagia luar biasa ketika diperlakukan sebegitu lembut dan penuh perhatian oleh laki-laki itu dan membuat harapannya kian tumbuh.

Laki-laki itu tersenyum melihat reaksinya, matanya berbinar penuh cinta. Perlahan laki-laki itu memajukan wajahnya dan mengecup singkat bibirnya lalu menarik kepalanya menjauh. Ingin sekali Hinata meraih tubuh laki-laki itu, membawanya kedalam dekapan agar lelaki itu tak pernah lagi menjauhinya, namun lelaki itu hanya tersenyum dan semakin menjauh. Ia ingin mengucapkan sesuatu, menahan laki-laki itu agar tak beranjak pergi meninggalkannya lagi tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Lidahnya terlalu kelu untuk mengeluarkan sebuah kata.

Laki-laki itu semakin menjauh dan Hinata tak bisa menahan kesedihannya. Air matanya kini kembali mengalir dan dia sadar laki-laki itu tak akan lagi menghapusnya.

...

Guncangan lembut dilengannya membuat Hinata kembali terjaga dan menyadari apa yang baru saja dia alami hanyalah mimpi.

Mimpi yang tadinya dia harapkan berakhir dengan baik namun sama seperti apa yang sedang dia rasakan saat ini. Menyakitkan. Bahkan di dalam mimpinya pun berakhir dengan laki-laki itu meninggalkannya.

“Hinata, kita sudah sampai.”

Panggilan tersebut dengan mudah membawanya kembali dan menghentikan segala pemikirannya. Mimpi yang benar-benar─ sangat─ menyakitkan. Apakah nanti dia dan Naruto akan kembali seperti dulu lagi? Semoga saja apa yang dia harapkan itu bisa terkabul.

Perlahan dia membuka kedua kelopak matanya dan menemukan Sasuke yang memperhatikan dan menunggu reaksinya.

“Kita sudah sampai dan teman-teman yang lain sudah turun duluan.” Jelasnya memberikan kode secara tidak langsung pada Hinata agar segera bergegas dan ikut turun menuju teman-temannya.

“Ah... gomene Sasuke-san. Aku terlalu menikmati musiknya.” Perlahan Hinata bergerak dan beranjak dari kursi itu diikuti oleh Sasuke.

“Hinata.” Hinata menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Sasuke yang menatapnya dengan ekspresi datar namun dalam pancaran matanya terbesit rasa kasihan yang bahkan Hinata pun bisa menarasakannya, “Air matamu.... Hapus dulu air matamu.” Ucapnya dan diikuti oleh gerakan tangan Hinata menelusuri pipinya.

“Dobe, memang bodoh. Tapi percayalah dia pasti akan kembali padamu. Aku tahu dia juga memiliki perasaan yang sama seperti yang kau rasakan padanya.” Rasa kasihan sekaligus perasaan dibutuhkan secara refleks menggerakkan tangannya hingga tanpa sadar Sasuke juga ikut menyentuh pipi Hinata dan menghapus air mata di pipi gadis itu.

Dia tahu perasaannya pada gadis itu sudah tak ada dan dia pun tahu apa yang dia rasakan dulu hanyalah obsesi pada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman akan sikap tak acuh yang ditunjukan gadis itu dan untuk sekarang dia tahu apa yang dia rasakan adalah perasaan sebagai teman yang dibutuhkan. Walau dia juga sangat membutuhkan seseorang sebagai teman untuk mencurahkan semua isi kepalanya yang beberapa hari ini membuatnya tak nyaman.

“Argato, Sasuke-san.”

“Hn.”

Dan mereka pun kembali melanjutkan langkah kakinya.


...

“Apa kalian sudah lengkap?” Iruka-sensei berdiri di depan sebagai pembimbing mereka. Bukan hanya Iruka-sensei. Tiap wali kelas menjadi pembimbing masing-masing kelas yang mereka bimbing.

“Sebentar lagi kita akan menuju tempat perkemahan. Jangan sampai ada yang tertinggal!”

Hampir semua siswa merasakan kegembiraan pada acara kemah ini, tidak hanya pada acara-acara yang sudah disiapkan oleh panitia yang tentu saja sangat menarik, mereka juga bisa saling lebih mengenal terutama para gadis yang bisa lebih dekat dengan pangeran-pangeran sekolahnya itu.

Belum setengah perjalanan hampir semua murid mengeluh karena kelelahan terutama pada para gadis. Tidak seperti diawal saat baru akan mendaki─ yang penuh semangat, teriakan, juga lagu-lagu untuk menambah semangat─ kini mereka malah ingin kembali karena tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan itu.

Sama seperti Hinata. Gadis ini juga sangat kelelahan, bajunya bahkan lembab karena keringat yang terus mengalir dari pori-pori tubuhnya, namun demikian tak sekalipun dia melontarkan kalimat-kalimat keluhan seperti gadis-gadis lain. Sebaliknya, gadis yang berjalan di sampignnya, malah tidak sama sekali menampakkan raut kelelahan seolah dia sudah terbiasa jalan jauh atau mendaki gunung. Gadis manis buble gum itu malah terlihat bersemangat. Tak jarang dia memberinya semangat untuk tidak seperti gadis-gadis yang lain yang terus mengeluh dan tentu saja tindakan gadis itu membuat Hinata bingung sekaligus senang.

Hinata berfikir, mungkinkah gadis buble gum itu mengenalnya sebagai teman sepermainannya ketika mereka masih berada di dalam play group?

Hinata menggeleng akan pemikirannya itu. Hal itu sepertinya tidak mungkin, kalaupun dia mengenal Hinata seharusnya sedari awal dia menegurnya, bukan malah mengacuhkan Hinata─walau tidak ikut dalam pembulian.

“Semangatlah. Kita hampir tiba.” Sekali lagi Sakura memberi semangat pada Hinata. Senyum gadis itu pada akhirnya menulari Hinata dan juga ikut tersenyum walau otot-ototnya sudah tidak bisa lagi digerakkan karena kelelahan. “Arigato.”


Kurang lebih 25 menit, akhirnya mereka tiba di tempat kemah. Kesan pertama yang mereka rasakan adalah rindang dengan banyak pohon yang tumbuh. Segala rasa lelah yang mereka rasakan sebelumnya seolah telah tertelan dengan pemandangan yang disuguhkan oleh tempat yang mereka pijaki. Bagaimana tidak, tempat perkemahan mereka berada di pegunungan dengan banyak pohon yang rindang, beberapa meter di depan mereka adalah pemandangan bukit-bukit hijau yang dipadukan dengan langit cerah, juga awan-awan yang berbentuk bunga kol dengan banyak bentuk dan mereka juga bisa mendengar suara air yang berbenturan dengan batu yang artinya jika mereka menuruni beberapa tanjakan, mereka akan menemukan air terjun.

Siapa yang tak semangat bila mendengar suara riak air akibat berbenturan dengan bebatuan? Apalagi setelah menempuh perjalanan yang membuat banyak keringat bercucuran juga rasa lelah.

Hanya satu di dalam benak murid-murid sekolah Konoha High itu, yaitu mandi dengan air segar dari air terjun pegunungan dengan pemandangan alam di sekitar mereka. Bukankah itu memang sesuatu yang selalu dicari jika bepergian di daerah berhutan?

“Baiklah anak-anak, kalian boleh istirahat selama 20 menit, setelahnya kita akan membangun tenda.”

Suara dari masing-masing pembimbing hampir tak ada yang hiraukan. Mereka lebih memilih untuk beristirahat dan bercengkrama tentang rute yang telah mereka lalui. Yah jika memiliki seorang teman ataupun patner. Bagaimana dengan gadis yang satu ini yang sedari dulu tak memiliki teman, atau dia punya tetapi mereka semua menjauhinya. Entahlah─

Dia lebih memilih untuk menikmati udara segar yang berasal dari tempat itu, mendengarkan suara lantunan dari permainan musik alam yang dengan mudah merasuk hingga membuat batinnya lebih rileks.

Sambil memejamkan matanya dan menghirup udara yang segar, memanfaatkan kesempatannya saat ini. Udara di sini sangat berbeda dengan daerah tempat tinggalnya yang penuh dengan debu juga asap dari kendaraan beroda.

“Oke anak-anak, waktu istirahat sudah selesai. Kita akan membagi kelompok untuk pembuatan tenda dan penyiapan bahan makanan.......”

...

Dan setelah pembuatan tenda yang diselingi tawa juga keringat yang bercucuran mereka─para siswa─ harus mencari kayu untuk memasak juga sebagai api unggun untuk acara pembukaan malam nanti.

Tidak sulit mencari kayu sebagai bahan bakar di sana, toh tempat mereka berkemah adalah hutan yang banyak mempunyai kayu ataupun ranting yang bisa manfaatkan.

Sementara para siswi juga sudah menyelesaikan tugas mereka setelah kayu bakar dari para siswa sudah disiapkan.

Beberapa jam setelah kegiatan awal itu selesai, matahari perlahan turun dan menampilkan perubahan warna langit yang indah. Pencampuran warna yang sangat kontras dengan yang lain dan menghasilkan perpaduan warna lembut yang memanjakan mata. Namun.. sayangnya, para murid Konoha High harus menelan pil kekecewaan karena tak bisa menikmati terlalu lama perubahan warna tersebut akibat pembukaan kegiatan kemah yang tidak lama lagi mereka lakukan.

Api unggun menyala dengan anggunnya dan menghangati tiap siswa yang mengelilinginya. Setelah pembukaan yang cukup menyenangkan, kini mereka dibiarkan untuk bermain sesuka mereka. Ada yang mengobrol, bernyanyi, bahkan berjoged. Derai tawa membahana di hutan itu, menggema dan memantul. Sepertinya mereka semua sudah melupakan rasa lelah saat perjalanan ke tempat itu.

“Ingat, jangan terlalu larut bermain. Besok kalian harus bangun pagi.” Guru-guru yang lain megingatkan mereka. Namun tak ada jawaban dari para murid dan guru-guru memakluminya.

Hinata hanya bisa tersenyum lucu melihat tingkah dari teman-temannya. Dia tidak bisa ikut seperti yang lain bermain dan menari. Dia bukanlah tipe perempuan seperti itu, lagi pula tubuhnya masih terasa lelah. Dia juga tidaklah sama seperti beberapa tahun yang lalu. Perempuan yang energik─ periang dan semangat. Sejak kecelakaan itu dia berubah. Kecelakaan yang sudah merenggut sebagian cita-citanya.
“Hacchiii...”

Hinata tersenak ketika seseorang bersin di sampingnya.

“Ah... Maaf, yah. Apa aku membuatmu kaget?”

Hinata menggeleng pelan. “Ie...” suasanya jadi canggung. Hinata tidak tahu apa yang harus dia katakan. Padahal tadi dan hari-hari sebelumnya Hinata marah dengan laki-laki blonde yang saat ini duduk di sampingnya. Sudah banyak rangkaian kata yang sudah dia susun di kepala untuk diluapkan pada laki-laki itu. Namun, entah kenapa setelah berdekatan seperti itu tak ada yang bisa dia ucapkan. Seolah ada banyak tumpukan daun-daun kering yang menyumbat tenggorokannya, hingga kata itu tak bisa keluar.

Sedang Naruto sendiri juga bingung mau bilang apa pada Hinata. padahal tadi dia sudah susun banyak kata untuk diucapkan pada gadis itu dan entah kemana kata-kata itu hilang, sekarang suasananya benar-benar jadi kikuk.

Seharusnya jika ada sepasang kekasih yang lama tak ketemu─ dan akhirnya bertemu, mereka langsung meluapkan rindu satu sama lain. Saling berpelukan dan berbagi kasih. Namun ini lain cerita, mereka bahkan sering bertemu, walau tak saling menyapa, tapi status mereka masih ada. dan inilah jadinya jika sepasang kekasih ada yang seperti mereka─ satu menghindar dan yang lain tak berusaha menggapai. Suasananya benar-benar kikuk.
“Haaachii...”

Hinata berbalik ketika Naruto bersin. Ada rasa cemas yang menghinggapinya. “Kau tidak apa-apa, Naruto-kun?” tanyanya dan tanpa sadar tangannya sudah berada di kening laki-laki blonde itu. “Badanmu hangat. Sebaiknya kau kembali ke tenda dan beristirahat. Aku akan mengantarmu.” Lanjutnya seraya berdiri. Berniat memegang tangannya namun Naruto menghentikannya dan menarik Hinata untuk kembali duduk.

“Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya saja aku tidak tahan dingin.” Sanggahnya.

Hinata merasa ini seperti mimpi. Mimpi yang selalu datang saat dirinya terlelap. Mimpi yang endingnya selalu tidak menyenangkan. Dan dia tidak ingin mengalaminya lagi.

“Ta... Tapi, kau─”

“Aku hanya ingin mengobrol denganmu, Hinata-chan.”

“Ba...baiklah.” jantung Hinata serasa mau lepas dari tubuhnya. entah kenapa ada perasaan tak nyaman. Mungkinkah ini adalah akhir dari mereka atau ini hanya perasaan buruknya saja.

“Hinata... a...aku minta maaf... aku─”

“Eh... Naruto-kun... ayo ikut kami...”

Naruto tak sempat mengelak dan melanjutkan kata-katanya saat murid-murid perempuan mengerubuninya dan menariknya menjauh dari Hinata.
Hinata hanya bisa tersenyum masam saat mereka menjauhkan Naruto darinya namun di sisi lain dia juga legah. Lega karena jantungnya akhirnya berdetak normal kembali. Legah karena dia─ mungkin─ tak akan mendengar kelanjutan dari kata-kata Naruto yang ─mungkin─ akan kembali melukainya, bahkan lebih parah.

Well, tapi kepastian tentang mereka malah semakin jauh..


....

Pagi menjelang, namun matahari belum menampakkan dirinya dari balik horison. Udara masih dingin, bahkan sisa-sisa api unggun semalam tak membantu menghangati tubuh.

Naruto berjalan, tak bisa tidur semalam karena udara di sekitar hutan itu sangat dingin. Dia memang tak tahan dengan dingin. Teringat tentang masa lalunya, saat masih duduk di bangku junior high. Dia juga pernah datang ke sini untuk berkemah. Dulu, saat itu tak ada yang dipikirkannya selain bersenang-senang dan mencari gadis kecilnya namun sekarang malah seperti ini. Terjebak dengan perasaan dan janjinya.

Langkahnya semakin jauh dari perkemahan. Dia ingin ke tempat itu lagi. Tempat yang tidak sengaja dia temukan beberapa tahun yang lalu saat kemah.
Ah... Andai dia tak lagi sedang menghindari Hinata. Ingin sekali dia mengajak gadis itu ke sana. Dia pasti akan senang sekali. Sebenarnya dimana gadis kecilnya sekarang?

Naruto sampai di tempat itu. Sungguh siapapun yang melihatnya akan merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Pemandangan yang sangat memanjakan mata juga batinnya. Sang penguasa alam benar-benar hebat dalam menciptakan sesuatu. Taman bunga bak taman surga, ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dan bunga warna warni dan beraneka ragam. Tumbuh di perbukitan tinggi tempat kemah mereka yang hanya sedikit orang tahu termaksud dirinya. Matahari perlahan menunjukkan dirinya di balik horison, menghasilkan gredagrasi warna yang indah semakin mempercantik keindahan yang ada dibukit itu. Pantulan warna-warna yang terbuntuk, harum bau kas pegunungan juga harmonisasi nada-nada yang terbentuk dari alam mungkin ini adalah bentuk dari surga dunia yang sesungguhnya.

Naruto menutup matanya, meresapi apa yang disuguhkan di hadapannya. Perlahan dia buka matanya dan melangkahkan kakinya agar bisa merasakan sinar hangat sang mentari pagi. Namun, dia sedikit tertegun, langkah kakinya terhenti ketika melihat seseorang yang sudah duluan tiba di tempat itu. Dia─ orang itu─ tengah duduk tidak jauh di depannya, sambil membelakanginya─ menatap pemandangan itu. Rupanya bukan hanya dia seorang─ dari rombongannya─ yang tahu tempat itu.

Naruto berniat menyapanya jika saja orang itu tidak berbalik dan melihatnya. Jantungnya berdegup, entah mengapa. Dalam pikirannya, dia membayangkan gadis yang dilihatnya itu adalah sesosok makhluk astral yang ditakutinya. Rambutnya panjang menjuntai hingga kepinggang dan ketika berbalik sebagian wajahnya tertutup oleh rambutnya dan karena menutupi cahaya wajahnya jadi gelap.

Naruto baru akan beranjak dan mengambil langkah seribu dari tempat itu jika saja dia tidak mendengar suara halus nan lembut yang sudah dia hapal.

Hinata

Dan masih dalam keterpakuannya gadis itu menyapanya.

“Naruto-kun!?”
.
.
.
TBC
.
.
.

a/n : Chapter 9 sampai segini dulu, soalnya banyak kerjaan dan ide yang muncul barus segini. Saya juga mau minta maaf karena lama update-nya. Kalian juga pasti punya dan pastinya juga tahu kalau kesibukan di dunia nyata itu pasti banyak, sama halnya kayak saya. Yah seperti lagunya WALI – Pergi Pagi, Pulang Pagi, seperti itulah kegiatanku sekarang. Lagipula jaringan dirumahku itu jelek sekali, pergi ke warnetpun tidak mungkin karena sibuk. Dan terima kasih pada seseorang dari Grup Fanfict NaruHina di Facebook yang sudah memberitahuku cara publish fict lewat HP.

Dan untuk Reader semua, terima kasih karena masih menunggu cerita ini. maaf kalau saya gak bisa membalas review kalian satu-satu.

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com