SEBELUMNYA | SELANJUTNYA |
Princess of Frog
Story by Mickey_miki
Rate : T-M
Genre : Fiksi remaja, Fantasy, Mystery & Romance
WARNING : (miss) typo, EYD kurang, alur gaje (suka-suka Mickey), author masih perlu banyak belajar.
Mohon maaf jika ada kesamaan dalam cerita ini. cerita ini asli dari karangan author sendiri.
.
DON’T LIKE DON’T READ
.
.
~ Happy Reading ~
.
BAGIAN 3 : WHO IS HE?
Di bawah purnama aku berpijak manatap sekeliling yang tampak terang dengan pancaran sinar rembulan. Kutengadahkan kepala seraya menerawang angkasa tanpa bintang dan awan hanya ada langit kelam yang dihiaskan oleh satu buah manik. Ku lemparkan pandanganku ke depan tampak seorang tengah memainkan lira di tangannya di atas sebuah batu besar di tengah hamparan lautan.
Indah sampai mataku tak bisa berkedip. Dialah ciptaan paling mengagumkan yang pernah ku lihat. Suara dan caranya bermain lira membuatku tak bisa berpaling darinya. Namun mengapa suaranya sesedih itu? Bagai meluapkan penderitaannya lewat sebuah nyanyian, bahkan aku bisa merasakannya. Badanku menggigil lantaran kesakitan yang amat terasa pada nyanyiannya itu menusuk hingga ke dalam relurungku.
.
.
Princess of Frog
.
.
Gemuruh angin menerbangkan daun-daun kering hingga jatuh berguguran mengotori jalan setapak berbatu di taman. Langit terlihat semakin gelap walau waktu masih menunjukkan siang hari. Awan-awan kelabu mulai berkumpul dan membentuk gumpalan-gumpalan awan hitam yang siap menumpahkan cairan beningnya. Angin semakin kencang berhembus bahkan pohon-pohon bergoyang dan menimbulkan suara desisan yang seolah menyuruh untuk segera pulang ke rumah.
Orang-orang yang berada di taman sedikit demi sedikit sudah menjauh dari tempat itu guna mencari perlindungan. Mungkin hampir semua orang berfikiran sama untuk segera pulang ke rumah dan bergelut dalam selimut. Dan entah kenapa aku masih betah di sini menunggu sahabatku itu. Padahal tadi langit sangat cerah, bahkan awan pun sangat sedikit lantas mengapa tiba-tiba cuaca berubah? Dalam berita cuaca pun tak ada kabar yang menyatakan bahwa akan ada hujan. Hah... Aku tidak akan lagi percaya pada berita itu.
Aku kemudian melangkah, menjauhi taman itu setelah Rania mengirim pesan bahwa dia tidak bisa datang karena ibunya meminta dia untuk menemani pergi ke rumah neneknya. Langkahku semakin ku percepat karena tidak mau kehujanan sebelum tiba di rumah. Bisa-bisa orang rumah akan memarahiku.
Lagi pula kenapa Rania memberitahuku tidak dari tadi sebelum aku sampai ke taman? Padahal dia yang membuat janji malah dia juga yang membatalkan telat beritahu pula. Hah... Rania kau menyebalkan.
TES
Astaga. Ku mohon jangan dulu tumpahnya.
TES
Ah... tidak, jangan dulu. Aku belum dapat tempat teduh.
TES..
SRASH..
Hujan turun dengan deras tanpa kompromi, aku yang masih berlarian mencari tempat berteduh pun akhirnya basah juga. Aku terus berlari mencari tempat berteduh. Sebenarnya bisa saja aku menerobos hujan ini, namun pakaianku yang basah dan angin kencang yang menerpa membuat tubuhku menggigil membuat niatku itu terhenti.
Pencarianku terhenti di sebuah toko buku tidak jauh dari taman. Aku semakin memprcepat langkah kakiku agar bisa berteduh secepatnya di sana. Ah... Andai toko ini buka, ku pastikan aku akan masuk ke dalam berteduh sambil membaca novel sepuasnya tapi sayang, hari ini adalah hari libur dan toko-toko yang berada di tempatku tinggal tutup. Jadi orang hanya bisa berteduh di depan toko saja. Aku menyeka air hujan yang tadi mengenaiku dengan sapu tangan hijau kodokku dan sedikit mengibaskan rambut agar dapat mengurangi kebasahan rambutku serta dingin tubuhku.
“Ck.”
Aku berbalik karena suara decakan dari seseorang, ku rasa dia terkena percikan air dari rambutku.
“Ah... Maaf! WRO─” cepat-cepat ku tutup mulutku karena suara katak yang hampir ku keluarkan. Sedikit menyerngit ketika melihat orang itu, aku baru sadar sejak kapan orang itu sudah berada di sana? Bukankah hanya aku seorang yang tadi singgah berteduh di tempat ini? dan entah kenapa aku sepertinya pernah melihat orang ini tapi di mana? Seandainya saja dia membuka topinya wajahnya akan lebih jelas terlihat.
Tak ada jawaban dari dia namun tatapannya seolah mengartikan jika dia kesal karena ulahku. “Maaf!” Ucapku sekali lagi berusaha menekan suara katak itu.
Dan sekali lagi tak ada jawaban yang dia berikan malah mengalihkan tatapannya dariku seolah aku hanya angin yang ikut menemani hujan ini dan mungkin sangat mengganggu. Astaga... Orang ini sombong sekali dan sifatnya sangat mirip dengan orang yang pernah ku temui di taman tempo hari.
“Berhenti melihatku seperti itu!”
Aku tersentak ketika mendengar ucapannya yang seperti bentakan tertahan lantas mengalihkan perhatianku darinya. Hujan masih setia mengguyur kota ini dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda dalam waktu yang cepat.
“Hah...!” Ku hela nafas bosan. Nampaknya aku akan terjebak dengan orang ini dalam waktu yang lama. Aku pasti akan dilanda kebosanan tingkat dewa. Oh... Tuhan tidak cukupkah dengan suaraku ini, kenapa ditambah dengan terjebak dengan orang seperti dia. Well, walaupun dengan orang lain tidak jauh beda karena aku pasti tidak akan banyak bicara, tapi aura orang ini tidak mengenakkan. Inginnya menjauh dari dia.
Aku sedikit menggeser dari tempatku sekedar menjauh dari orang yang di sampingku─
CETAR
Aaaa....~
─Tapi tidak jadi. tubuhku malah semakin mendekat ke arahnya dan tanpa sadar tiba-tiba saja aku mendekap tangannya juga menyembunyika kepalaku di belahan ketiaknya.
“Hei, apa yang kau lakukan? Lepas!” Sentaknya membuat dekapanku terlepas terpaksa.
Aku menunduk malu dengan perbuatanku itu. Pipiku sepertinya sudah memerah sekarang. Padahal niatnya ingin menjauh, tapi malah mendekat karena suara gemuruh guntur yang disertai dengan kilatnya.
“Ma─”
CETAR
Aaaaa...~
Kembali aku memeluk tangannya, tak memedulikan protes laki-laki itu dan usahanya untuk membebaskan tangannya dariku. Aku tetap mendekap kuat lengannya dan menyembunyikan kepalaku. Mencari perlindungan dari suara mengerikan itu. Ah... Masa bodoh dengan rasa malu, toh bisa jadi kami hanya akan bertemu kali ini saja, duniakan sangat luas dan yang penting aku merasa terlindungi. Badanku jadi menggigil, bukan hanya karena suara petir dan guntur itu tapi karena angin dan basahnya bajuku.
Tuhan ku mohon cepat redakan hujan ini, aku tidak ingin semakin malu lagi. Aku ingin pergi menjauh dari dia.
Tak ada lagi pergerakan untuk membebaskan diri dariku, mungkin laki-laki ini merasa kasihan padaku, merasakan tubuhku yang menggigil ketakutan. Well, setidaknya dia bukanlah orang jahat yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
Selama beberapa menit kami terdiam dalam kesunyian menyesakkan, hanya ada suara hujan dan guntur yang menemani kami. Diam dan menunggu ketika hujan ini reda.
“A... Aku minta maaf sudah merepotkan, WRO...” ucapku lirih karena ketakutan akan suara gemuruh petir dan cepat-cepat mennutup mulut sebelum dia menyadari kebiasaanku ini.
Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Aku memberanikan diri menatap sosok laki-laki itu. dia memiliki wajah yang tampan dengan bibir seksi yang bagian bawahnya terbelah, hidung yang mancung, dan mata hijaunya yang mengingatkanku akan danau berwarna hijau bening ketika di terpa rembulan. Tapi kenapa rasanya semakin menatapnya aku malah merasa pernah melihat sosok ini?
“A... Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Aku memberanikan diri bertanya padanya sambil menatap keindahan matanya. Dia sangat tinggi dan aku harus mendongak agar bisa melihatnya dengan jelas.
Dia masih belum menjawab dan tak menghiraukan aku yang masih memeluk lengannya bahkan walaupun bajunya ikut basah karena ulahku. Pandangannya masih terfokus pada hujan di depan kami. Aku heran, kenapa setiap orang yang ku temui setelah tiga tahun terkurung dalam kamar bersifat seperti ini, dingin sekali dan tanpa ekspresi.
Aku ingat orang yang di taman tempo hari yang meminta maaf dengan wajah datar dan sekarang orang yang ku repotkan tidak merasa risih sama sekali dengan ulahku. Padahal aku orang asing dan seenaknya memeluk lengannya juga membasahi sebagian bajunya.
Drrrtt.... drrrrrtt.... drrrrrtt.....
Getaran ponsel di saku celana mengharuskanku kembali pada dunia nyata. Aku mengambilnya dengan sebelah tangan masih memeluk orang ini.
Kau ada dimana sekarang? kakak akan menjemputmu.
Pesan dari kak Devan membuatku menyunggingkan senyum, walau masih ketakutan sebenarnya. Kak Devan walau menyebalkan dia tetap menyayangiku dan memperhatikanku. Aku mengetik beberapa pesan untuk membalasnya dan berharap dia cepat datang kemari.
Aku ada di depan toko buku, tidak jauh dari taman.
Hujan mulai reda, suara guntur pun tak terdengar lagi. Aku melepaskan tangannya lantas menghadapnya takut-takut. Perasaan tidak enak masih ku rasakan walau tak menatap matanya. Perlahan aku mendongak dan mata kami saling bertemu dan untuk ketiga kalinya aku terhipnotis akan keindahan matanya.
Dia menatapku dalam diam namun rautnya seolah mengatakan ketidasukaannya dengan tindakanku yang terus menatapnya.
Cepat-cepat aku menundukkan kepala, rasa malu mendatangiku dan rona merah di wajahku dengan tidak tahu dirinya mewarnai wajahku. “Te... Terima kasih sudah meminjamkan lenganmu dan maaf jika aku sudah mengganggumu.” Aku tergugu mengucapkan kalimat itu, malu dan rasa gugup membuatku tak bisa berbicara dengan nada normal seperti biasa.
Beberapa detik tak mendapatkan sahutan, aku mendongak dan mendapati kekosongan di depanku. Orang itu hilang seperti sebuah air yang menetes membasahi tanah. Cepat menyerap namun meninggalkan bekas yang tidak lama ikut menghilang. Sama seperti diriku yang masih termenung memikirkannya ketika dia sudah tiada di depanku dan entah sampai kapan aku memikirkannya.
Tin... Tin... Tin...
Suara klakson mobil menyadarkan aku dari lamunanku. Kakak turun dari mobil dan menghampiriku, mendekapku lalu memakaikan aku jaketnya. Kakak membopongku memasuki mobil lantas mendudukkan aku di kursi penumpang samping pengemudi.
“Kenapa tidak menghubungi kakak tadi?” suara kakak memecah kesunyian kami setelah beberapa menit terdiam dalam kesunyian.
Aku menatap kakak setengah kesal, “Ada yah kak, orang bisa berfikir saat dia sedang ketakutan? WROOG...” Cibirku dan dibalas jitakan oleh kak Devan.
“Well, setidaknya kamu menghubungi kakak sewaktu Rania tidak bisa datang di janji kalian. Untung saja Rania menghubungi kakak, kalau tidak kamu mungkin akan di sana sepanjang waktu. Meringkuk ketakutan sambil menangis dan menyebutkan nama ibu dengan suara katak-mu itu.” balasnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku membayangkan apa yang kak Devan katakan. Sebenarnya lucu namun juga kesal. Membayangkan diriku yang sedang menangis sambil memanggil ibu disertai suara katak. Apa yang akan orang lain pikirkan jika mendengar kata ibu yang dipadukan dengan suara katak? Kak Devan benar-benar gila. Di saat dia menolongku di saat itu pula dia mengejekku habis-habisan.
“Kak Devan, WROOG... menyebalkan sekali?” dengusku lantas berpaling menatap jalan sambil menyilangkan tangan di dada.
Sepanjang jalan kak Devan terus mengejekku dan aku tidak bisa membalasnya. Kutukanku menjadi bahan hiburan yang menarik untuknya. Sebenarnya aku ingin marah namun tidak jadi. Di mata kakak aku melihatnya juga merasakan apa yang selama ini ku rasakan. Kebebasan dan kehidupan normalku hilang karena kutukan ini. dia tersenyum juga tertawa namun ku tahu semua itu hanya topeng yang menutupi kesedihannya.
...
“Astaga, Lili. kamu sudah besar, kenapa malah main hujan?” cerocos ibuku ketika melihatku menggigil dalam bekapan kak Devan.
“Ibu, sudahlah. Lili harus istirahat. Aku akan mengantarnya ke kamar.” Bela kak Devan dan membawaku pergi sebeum ibu kembali dengan ocehannya.
“Terima kasih, Kak.” Ucapku setelah sampai di dalam kamar. Aku segera memasuki kamar mandi dan berendam dalam bathup. Air hangat ini sangat membantuku menghangatkan tubuhku apalagi dengan aroma lavender yang sudah ku tuangkan dalam kamar mandi membantuku untuk rileks.
Aku kembali teringat dengan laki-laki yang sudah meminjamkan lengannya ketika berteduh tadi. kenapa dia menghilang begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata? Dia bukan hantukan atau makhluk hayalanku yang ketakutan karena suara guntur tadi. lagi pula suara decakan dan bentakan tertahannya itu nyata juga aura dingin yang dia keluarkan juga ku rasakan.
Ah... sudahlah. Lebih baik aku menikmati suasana berendam ini.
....
“Iya, Nek. Aku masih sementara mengerjakan penelitian. Mungkin bulan enam nanti aku sudah menyelesaikan studiku.”
“Apa kau mau melanjutkan studimu untuk gelas master?”
“Rencana memang begitu, Nek. Aku masih mencari informasi tentang beasiswa. Yah... tidak enak saja jika mengandalkan uang ayah. Aku ingin mandiri, Nek.”
Dari suara percakapan itu, aku yakin nenek pasti datang. Aku ingin menghampiri mereka dan bergabung dalam percakapan itu tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Kejadian tiga tahun yang lalu membuatku takut untuk bertemu dengannya. Kutukanku dia anggap adalah sebuah ancaman yang akan membawa kehancuran bagi keluargaku.
“Dia adalah pembawa sial. Kalian harus membuangnya, jika tidak keluarga kita akan terkena kesialan terus menerus.” Katanya tegas dan penuh penekanan sambil menunjukku yang meringkuk di dalam dekapan ibuku. Matnya menunjukkan kemarahan dan kebencian yang amat mendalam padaku seolah aku ini adalah iblis pembawa bencana dan pernah menghancurkan sebuah kota.
Air mataku yang sedari tadi ku tahan di pelupuk mata mengalir membasahi pipi dan menetes di lantai. Sungguh ini sangat menyakitkan. Aku tidak pernah menyangka nenek yang paling ku sayangi, yang biasa memanjakanku berkata seperti itu. dadaku sesak penuh dengan gejolak amarah juga kekecewaan padanya.
Aku menatapnya dengan tatapan getir. bulir air mata tak mau berhenti mengalir dari mataku. Ibu berusaha menenangkanku sedang kedua kakakku dan ayah berusaha membujuk nenek untuk tidak percaya tahayul itu, namun tetap tak ada perubahan.
“Nek, tolong jangan percaya dengan takhayul seperti itu. tidak mungkin Lili adalah anak iblis pembawa sial. Dia adalah adik kami, lahir di rahim yang sama seperti kami.” Ucap kak Cristal tidak terima pada perkataan nenek yang menganggapku adalah seorang anak iblis. Entah kemana sifat lembut kakak.
“Cristal, jaga bicaramu. Apa ayah dan ibumu tidak pernah mengajarimu bicara sopan pada nenek?” balas nenek tak terima mendengar kak Cristal berbicara kasar pada nenek.
“Aku─”
“Devan, bawa kakakmu keluar!” ucap ayah memotong perkataan kak Cristal.
“Ayah aku setuju dengan kak Cristal, ne─”
“Devan!! Kau tidak dengar ayah?”
Sekali lagi ayah memotong. Kak Devan tidak melanjutkan perkataannya dan membawa kak Cristal keluar.
Aku menatap mereka dengan tatapan nanar. Seumur-umur kami tidak pernah mendengar bentakan ayah yang sekeras itu. sakit sekali rasanya melihat kakak dan ayah seperti itu hanya karena aku.
“A... Ayah....” ucapku serak menatap ayah dengan sedih.
“Ibu, Lili adalah anakku, darah dagingku. Di dunia ini tidak ada orang tua yang sanggup membuang putrinya, Bu. Termasuk kami. Dia adalah anugrah yang sudah Tuhan titipkan pada kami, hanya karena dia tidak sempurna bukan berarti aku harus membuangnya. Aku tidak peduli jika dia nantinya akan membawa kesialan bagi keluargaku, karena bagi kami melihatnya tumbuh dan berkembang adalah kebahagiaan tersendiri.” Ucap ayah tegas pada nenek. Raut wajah ayah tidak seperti biasanya yang selalu tenang dan mampu menghadapi semuanya dengan baik namun sekarang aku bisa melihat rahangnya yang mengeras dengan mata nyalang menatap nenek. Aku tahu ayah tidak bermaksud tidak menghormati nenek, tetapi kata-katanya sudah sangat keterlaluan.
Dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi mau menemuinya. Perkataan dan tatapan bencinya itu sungguh membuat dadaku pecah, bagi kaca yang sudah dilempar dan tak bisa lagi kembali utuh seperti semula.
Aku kembali melangkah meninggalkan ruang keluarga dengan perasaan sesak. Nenek kolot yang paling ku sayangi membuatku semakin jatuh terpuruk. Air mata yang selalu ku sembunyikan pun akhirnya perlahan mengalir membasahi pipiku.
...
Suara deburan ombak yang berbenturan dengan bebatuan besar masuk ke gendang telingaku begitu tiba di tempat ini. Bagiku suara ini sangat menenangkan. Suasana yang sepi dan jauh dari keramaian pantai membuatku bisa menenangkan diri dari perasaan sesak yang sejak seminggu yang lalu ku rasakan.
Nenek yang ku pikir akan segera kembali setelah kunjungan sehari, ternyata tetap menetap hingga saat ini dan tidak memberikan ketenangan untukku barang sehari pun. Segala ocehan dan cibiran yang menusuk harus ku dengarkan walau ayah dan ibuku berada di depannya. Dan aku tidak peduli, ocehan dan cibirannya ku anggap hanya angin pengganggu yang akan semakin mengotori telingaku jika di pedulikan.
Aku mengangkat kalung yang beberapa waktu lalu ku temukan saat piknik bersama kak Devan dan Rania di pantai tak bernama. Kalung dengan manik kristal berbentuk tetesan air dengan titik kecil di dalamnya bercahaya ketika terkena sinar matahari. Entah siapa pemiliknya.
Aku menurunkan kalung itu ketika mendengar suara samar air bergemericik di antara deburan ombak yang menghantam karang. Penasaran dengan penyebab suara itu perlahan ku gerakkan kakiku menuju sumber suara itu. suaranya semakin mengeras di gendang telingaku ketika aku melihat sebuah batu besar. Jantungku bergemuruh takut desertai adrenalin yang semakin memuncak saat semakin mendekati batu itu. Mungkin karena keseringan menonton film horor aku seperti seorang korban yang akan menemui ajal namun tak menyadari apa-apa lantaran memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi.
Dengan rasa gugup, takut, dan penasaran aku melongokkan kepala ke balik bebatuan itu. semakin ke depan dengan perlahan hingga melihat seseorang merintih sambil mencoba melepaskan sesuatu di tubuh bagian bawahnya namun aku tidak melihatnya karena yang ku lihat hanya bagian atas tubuhnya dari samping. Aku masih belum menampakkan tubuhku secara keseluruhan karena rasa takut yang mendera masih belum menghilang dan malah semakin bertambah. Aku menarik kepalaku kembali dan berusaha menormalkan rasa takutku. Ku hela nafas dan menarik kuat-kuat hingga perasaanku kembali tenang.
Kembali ku longokkan kepala menuju orang itu namun ketika tubuhku secara keseluruhan berada di balik batu, orang yang ku lihat tadi sudah menghilang. Aku menengok ke kanan dan ke kiri mencari orang tadi yang sepertinya membutuhkan pertolongan, mencarinya di balik batu lain namun tetap tak ku temukan.
PUK
Aaaahhh....
Aku terlonjak kaget ketka seseorang menepuk bahuku. Refleks tubuhku berbalik dan menatap orang itu.
Mata hijau sebening danau hijau yang diterpa rembulan, bibir terbelah dengan warna pink muda, hidung mancung, dan rambut coklat tembaga yang menghiasi wajahnya.
DEG
Orang ini bukankah orang yang pernah ku temui di taman? Orang dengan wajah datar tanpa ekpresi dengan tatapan dingin yang meminta maaf padaku? Apa yang ia lakukan di sini?
“Apa yang kau lakukan di sini?” aku menghentikan tindakan mengaguminya diam-diam ketika suara baritone itu dia keluarkan. dan entah kenapa aku bisa melihat di matanya nampak kekhawatiran─entah karena apa─walau wajahnya datar seperti kaca.
“Aku tadi melihat seseorang yang butuh pertolongan.” Sahutku sambil menengok kanan kiri untuk mencari orang tadi.
“Pulanglah! Di sini berbahaya.” Perintahnya dengan ekspresi datar. Aku tidak menghiraukan perkataannya dan terus mencari orang yang butuh pertolongan tadi. aku sangat yakin tadi melihatnya sedang berusaha melepaskan sesuatu di tubuhnya, mungkin dia terjelat jaring ikan nelayan dekat sini.
“Hei!!!” serunya sambil mencekal pergelangan tanganku dan menyentaknya agar berhadapan dengannya. “Kau tidak dengar ucapanku tadi? aku menyuruhmu kembali. Di sini berbahaya bagi gadis sepertimu. Kau tidak lihat banyak bebatuan besar di sini dan kau bisa celaka.” Ucapnya menatapku dingin penuh intimidasi.
“Aku harus menolong orang tadi. dia terlhat kesusahan. Sepertinya dia terkena jarring nelayan.” Protesku namun dia masih belum melepaskan cekalan pada lenganku malah mengeratkan genggamannya.
“Aw... Heh lepaskan tanganku! Kau menyakitiku.” Rintihku namun tak dia tetap tidak melepaskan tanganku.
Aku kemudian memberontak berusaha melepaskan diri dari cekalannya. Bergerak liar sambil menedang kedua kakinya hingga dia merintih kesakitan dan terpeleset karena bebatuan kecil di kakinya hingga membuatnya terjatuh dalam air beserta diriku yang masih memegang tanganku.
BYUUUURRRR
Entah aku masih sadar atau sudah tenggelam dalam dunia mimpi, aku melihat seorang lebih tepatnya seekor merman yang tengah berenang menuju ke arahku. Pandangan kami bertemu dan kami saling menatap lama. Aku mengerjapkan mataku secara perlahan untuk melihatnya lebih jelas saat pandanganku mulai perih dan mengabur. Dan entah kenapa dalam pandangan mataku dia terlihat sangat mirip dengan laki-laki yang baru saja ku temui. Perlahan kedua mataku mulai menutup hingga kegelapan menguasaiku.
TBC
a/n ; sepertinya untuk chapter ini sudah jelakan? Tapi untuk konfliknya masih belum, well masih untuk neneknya itu masih belum termasuk konflik.
hehehe...
kritik dan saran, yah.
SEBELUMNYA | SELANJUTNYA |
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment