Princess of Frog
Story by Mickey_miki
Rate : T-M
Genre : Fiksi remaja, Fantasy, Mystery & Romance
WARNING : (miss) typo, EYD kurang, alur gaje (suka-suka Mickey), author masih perlu banyak belajar.
Mohon maaf jika ada kesamaan dalam cerita ini. cerita ini asli dari karangan author sendiri.
.
DON’T LIKE DON’T READ
.
.
~ Happy Reading ~
.
Aku berada di dalam air, namun anehnya aku bisa bernafas. Air itu berwarna biru gelap dengan sinar bulanlah sebagai sumber cahayanya.
Sekumpulan ikan nampak berenang ke arahku. Ikan dengan berbagai bentuk, jenis, dan warna yang berbeda namun mengeluarkan cahaya yang indah dipandang. Mereka berenang mengelilingiku, berputar hingga membentuk sepuah pusaran dengan aku sebagai intinya. Lalu membubarkan diri dan melakukan atraksi yang lain. Sebagian ada yang mengajakku menari namun aku bergeming tak tahu harus berbuat apa.
Aku hanya bisa mengagumi mereka. Sebagian melakukan seperti sedang membuat sebuah film dengan tema keindahan bawah laut. Mengelilingi bebatuan dan karang cantik, koral dan hewan sejenis kura-kura juga ikut menari. Mereka tampak bahagia dan menginfeksi diriku untuk terus tersenyum.
Tetapi ada satu jenis ikan yang membuatku berpaling dari atraksi ikan-ikan itu dan terus memperhatikannya. Ikan dengan bentuk kontras dari yang lain. Dia tidak melakukan atraksi seperti ikan-ikan yang lain dan sibuk melakukan sesuatu, seperti sedang mencari. Dia tidak nampak memiliki insang namun memiliki hidung. memiliki mata, juga rambut dan telinga layaknya seorang manusia. Dia adalah ikan yang paling indah yang pernah ku lihat.
Aku menghampirinya berniat untuk menyapa, namun tubuhku tak bisa bergerak. Seolah ada sebuah rantai yang membelenggu tubuhku kuat, bahkan meliuk pun tak bisa ku lakukan. Tubuhku kaku tiba-tiba, entah karena apa. Aku ingin berteriak, membuat kegaduhan agar perhatiannya teralih padaku namun bukannya suara yang keluar tetapi gelembung-gelembunglah yang tercipta setiap kali bibirku terbuka.
.
.
>>> Princess of Frog <<<
.
.
Aku terbangun dari tidur akibat mimpi aneh yang baru saja ku alami. Ku lirik ke arah jendela kamarku, matahari pagi masih jauh dari terbit, tapi ayam-ayam telah berkokok berusaha menyadarkan orang-orang dari dunia mimpinya. Aku merentangkan tanganku kuat-kuat di atas, meregangkan otot-ototku yang kaku setelahnya turun dari tempat tidur lantas menghampiri kamar mandi dan membasuh wajahku agar segar kembali.
Aku mendongak, kembali menatap refleksi diriku di cermin. “Hei... apa aku bisa sembuh? WROOG...” Tak ada jawaban dari bayanganku itu, “Sebenarnya apa yang sudah terjadi sebelum ini? kenapa hanya aku yang mendapatkan suara sialan ini? WROOG...” Tanyaku lagi. Setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mataku.
Selalu seperti ini. Kebiasaan yang biasa ku lakukan tiap kali terbangun. Entah sampai kapan pertanyaanku ini akan ku lakukan. Sebenarnya aku juga sudah bosan dengan keadaanku ini. setiap hari menebarkan senyum serta keceriaan palsu pada keluargaku agar mereka tak terlalu mengkhawatirkan aku namun setelah itu aku sendirilah yang menderita karena keadaanku ini.
Aku ingin sembuh.
Kalimat yang sering ku ucapkan ditiap doa yang ku panjatkan. Satu-satunya keinginan terbesarku selama ini, setelah tragedi tiga tahun yang lalu. Tak ada keinginan yang lain selain kembali pada kehidupan normalku. Aku capek terkurung terus dari dunia luar, aku bosan hanya bisa berinteraksi pada orang-orang terdekatku, dan aku sudah lelah melihat keluargaku merasa bersalah karena tak dapat melakukan sesuatu untuk kesembuhanku.
Aku melap wajahku dengan handuk kecil yang biasa ku gantung di dekat cermin. Keluar kamar dan berharap semua pikiranku bisa lenyap untuk sesaat.
Ku buka jendela, melihat setitik cahaya yang berasal di ufuk timur, sedikit demi sedikit mulai menyinari dunia bersama dengan embun yang berjatuhan. Ku rasakan hangatnya sang mentari yang perlahan menghantarkan kehangatan ke dalam kamarku.
Semangat baru untuk hari baru. Kata-kata yang biasa ku ucapkan sebagai penyemangat diri sendiri. Well, setidaknya itu sedikit berhasil tidak membuatku terlalu berlarut dalam kesedihan. Aku sadar bahwa terkadang hidup tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Menangis atau pun bersedih tidak akan merubah semua yang sudah terjadi malah akan membuat orang yang kita sayangi semakin bersedih. Aku percaya apa yang ku alami saat ini mungkin saja akan dibalas dengan limpahan kebahagiaan oleh Tuhan, untuk itu aku berupaya menjalaninya semampuku sambil berusaha mencari jalan keluar dari masalahku ini.
Aku memejamkan mata, menyanggah tanganku di kusen jendela. Menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya lalu menghembuskan perlahan melalui mulut. Cahaya mentari menerpa wajahku menghantarkan kehangatannya. Cara ini adalah yang paling ampuh untuk membuatku kembali berfikir jernih dan menghilangkan pikiran-pikiran negative yang berseliweran dalam benak. Aku selalu percaya pada saatnya nanti kehidupan normalku akan kembali. Entah butuh waktu berapa lama, aku akan menunggu.
Ku buka mata dan melihat pemandangan di sekitar rumahku. Beberapa kendaraan sudah mulai beroprasi bahkan tukang bersih jalanan pun sudah banyak yang menyelesaikan pekerjaannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.15, waktu yang selalu ku gunakan untuk membereskan tempat tidur. Aku mengambil selimut lalu menyibakkannya.
PRAK
Sesuatu terjatuh saat ku sibakkan selimutku. Sebuah kalung dengan manik kristal berbentuk tetesan air berwarna biru bening yang di dalamnya terdapat titik-titik putih menyerupai sebuah rasi bintang tergeletak. Ah.. Aku jadi ingat benda itu. Kalung indah yang ku temukan di pantai kemarin saat mencari kerang.
Aku kembali mengingat piknik yang kami lakukan di pinggir pantai baru─pantai yang belum ada namanya dan belum terjamah oleh orang-orang. Suasana nyaman dengan angin sepoi serta deburan ombak yang melengkapi suasana itu. Banyak gambar yang diabadikan oleh kakak dengan kamera SLR-nya. Mulai ekspresi konyol kami, hingga tawa dan senyum tak luput dari jepretannya ditambah dengan latar belakang pemandangan pantai sore dan matahari terbenam membuat foto-foto kami semakin indah.
Jujur aku ingin kembali merasakan suasana saat itu. Pemandangan saat matahari terbenam benar-benar menghipnotis kami. Kami sampai melupakan rasa penat dan sedih untuk sesaat.
Aku mengangkat kalung itu hingga sinar mentari pagi menyinarinya. “Indah sekali.” Gumamku takjub saat melihat kalung itu membiaskan cahaya mentari dan membuat titik-titik dalam manik kalung itu bercahaya, seperti berlian dalam air yang berkilau saat disinari oleh cahaya rembulan. Aku penasaran kalung milik siapa ini. Pasti orang itu adalah orang yang mencintai keindahan seni.
Aku meletakkan kalung itu dalam kotak kayu penyimpananku. Walau bentuknya balok persegi panjang dan kecil namun banyak menyimpan barang-barang pentingku. Salah satunya adalah kertas berisi mantra yang sudah mengubahku menjadi seorang putri katak.
Teringat akan perkataan Rania yang ingin memperlihatkan wajah pemuda yang dia ceritakan waktu dulu. Pemuda yang katanya seperti wujud nyata dari seorang pangeran fiktif. Entahlah mungkin itu hanyalah asumsinya saja. Belum tentukan orang lain melihatnya sama, termaksud diriku.
...
“Ibu!” panggilku ketika melihat seorang wanita paruh baya sedang melakukan aktivitas memasak di dapur. Wanita yang tampak cantik walau diusianya tidak lagi muda. Aku jadi teringat dengan kakak perempuanku yang berkuliah di kota yang berbeda dengan kami. Dia persis seperti ibu. lembut, baik hati, pintar juga cantik. Tak heran banyak laki-laki yang mengidolakannya. Berbeda denganku. Entah bagian mana dari diriku yang mewarisi ayah dan ibu. Ayah seorang laki-laki yang tampan dan mewariskan ketampanannya untuk kak Devan sedangkan ibu mewariskan kecantikannya untuk kak Cristal. Lalu aku? Entahlah. aku juga tidak mengerti mengapa hanya aku yang berbeda.
Aku menghampiri ibu yang nampaknya tak mendengar panggilanku. “Ibu!” panggilku lagi setelah berada di sampingnya. Mengamati ibu yang sedang mengolah bahan makanan.
Ibu tersentak lantas memalingkan wajahnya ke arahku, “Kau membuatku kaget Lili.”
Aku memanyunkan bibir, “Dari tadi aku memanggil, tapi ibu tidak menggubrisku. WROOG...” Ucapku pura-pura kesal.
“Ah... Benarkah? Ibu tadi tidak mendengarkan apa-apa. Suaramu terlalu kecil barangkali.” Sangkal ibu sambil terkekeh pelan dan membuatku mendengus sebal tanpa sadar. Hah... ibu pasti sengaja tak menggubris panggilanku.
“WROOG...”
“Ibu bercanda sayang. Lagian tumben pagi sekali sudah bangun. Apa kau mau membantu ibu memasak?” Tanya ibu dan membuatku berseri-seri bahagia, “Tapi tidak usah deh. Duduk saja di sana, masakannya juga hampir selesai.” Lanjutnya dan membuat kebahagiaanku luntur. Ah.. ibu pasti sengaja melakukan itu. dia tahu aku ingin sekali belajar memasak tapi tidak diperbolehkan menginjak dapur. Hahaha, jadi teringat sewaktu belajar memasak, dapur ibu hampir meledak karena aku melupakan masakanku yang terlalu fokus pada garnis makananku.
Aku mendengus sebal namun tetap mengikuti perkataan ibuku. “Baiklah.”
“Ibu!”
“Mm”
“Apa... Apa aku bisa sembuh dan menjadi remaja normal seperti teman-temanku yang lain? WROOG...” Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Bukan itu yang ingin ku tanyakan pada ibu. aku menanyakannya tanpa sadar.
Aku melihat ibu, bahunya agak menegang dan kegiatannya memotong sayuran pun terhenti karena ucapanku sendiri. “Ma... Maksudku─”
Ibu berbalik dan menatapku. “Ibu percaya, suatu saat nanti kamu pasti sembuh sayang. Kita hanya perlu bersabar. Tuhan tidak pernah memberikan cobaan pada umatnya melebihi kemampuannya, sayang dan ibu percaya kamu pasti bisa melaluinya. Sudah tiga tahun. Kamu sudah menjalaninya selama tiga tahun. Ibu percaya kamu pasti bisa melewatinya beberapa tahun lagi. Kamu kuat sayang dan ibu selalu percaya padamu.” Potong ibu. Matanya berkaca saat mengucapkan itu.
Ibu menghampiriku, mendekapku lantas mengelus-elus kepalaku. Mencoba menenangkanku namun perlakuannya ini tak ayal membangkitkan sesuatu yang berusaha ku tahan. aku terisak, membebaskan sesak yang selama ini ku tahan. Sungguh sakit ketika melihat orang yang aku sayangi mengeluarkan cairan bening karena diriku. Biarlah aku sendiri yang menanggung kesakitan ini, asal orang-orang yang ku sayangi tidak bersedih. Aku hanya ingin melihat senyum dan tawa mereka, bukan tangis dan kesedihan mereka.
“Ibu aku tidak apa-apa. WROOG...” Kataku dengan suara serak setelah ku seka air mata yang sedari tadi tumpah.
“Ibu, sebentar lagi ayah dan kakak kemari. Lebih baik selesaikan masakannya, ibu. WROOG...” lanjutku seraya menghentikan buaian ibu di rambutku. Aku mendongak menatap mata ibu yang masih berkaca.
Dia tersenyum, menyeka air mata di sudut matanya. “Baiklah.” Katanya lantas menjauh dan melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa menit kemudian, hasil kreasi ibu sudah terhidang di meja makan pun dengan ayah dan kakak yang sudah siap di posisi mereka.
“Tumben, kamu bangun tidak dibangunkan Li.” Ucap kak Devan di sela-sela kegiatan santapannya.
“Aku selalu bangun pagi kok kak. Tapi aku selalu mengerjakan sesuatu di kamar, makanya lama turun. WROOG...” Balasku.
“Alasan.” Sahut kak Devan.
“Ish─”
“Oh ya Li. Katanya Rania kalian akan berjalan-jalan yah? Di mana?” Tanya ayah memotong perkataanku yang sebentar lagi akan menjadi adu mulut antara aku dan kak Devan.
Aku menatap ayah bingun. Dari mana ayah tahu kalau aku akan pergi bersama Rania? Apa kak Devan yang memberitahunya? Ku lirik kak Devan yang masih asik dengan sarapan paginya. Aku sedikit menyikunya.
Kak Devan menghentikan acara sarapannya, lalu berbalik menatapku. “Apa?” tanyanya heran.
Seolah tahu apa yang ingin ku tanyakan pada kak Devan, ayah memotongnya. “Rania kemarin yang memberitahunya pada ayah. Memang kalian mau kemana? Apa Devan gak ikut sama kamu?”
Aku menggeleng. “Urusan perempuan, yah. WROOG... Jadi kak Devan tidak ikut. Aku gak mau rencana kami jadi berentakan karena dia. Tapi aku juga gak tahu Rania mau ajak kemana. WROOG...” Ucapku sambil mendelik pada kak Devan.
“Heh, aku juga gak mau ikut kalian. Aku juga punya urusan sendiri.” Balasnya tak mau kalah.
“Oh.” Tanggapku tak acuh. Malas berdebat dengan kak Devan. Hah... heran deh dengan kelakuan kakakku yang satu ini. Dibilang protektif pada adiknya tidak, di bilang tak acuh juga tidak, tapi sering mengganggu dan mengabaikan aku.
...
“Rania kita sebenarnya mau kemana? WROOG...” tanyaku pada Rania yang sejak tadi mengajakku jalan namun tak membaritahuku di mana.
“Aku... tenanglah! Ikuti saja aku.” Jawabnya acuh dan terus melangkahkan kakinya menuju sebuah taman bermain.
Aku tersentak. Badanku tiba-tiba kaku. Kakiku tak bisa lagi ku gerakkan semakin maju menuju taman bermain itu. Melihat keramaian di depanku membuat nyaliku menciut dan ingin pergi secepatnya dari sana. Aku tidak mau mereka mendengar suaraku. aku tidak mau lagi mendapatkan tatapan itu. aku tidak ingin mendengar cibiran dan hinaan mereka.
Aku melepaskan genggaman tangan Rania dan berjalan mundur. Rania melihatku heran namun beberapa detik kemudian dia tersadar dengan keadaanku.
“Astaga Li, sorry! Aku gak bermaksud. Aku benar-benar lupa. Kita pergi aja, nanti aku akan memperlihatkan dia padamu.” Ucapnya penuh penyesalan.
Aku mengangguk dan kami segera pergi dari sana. Mencari tempat yang tidak banyak orang. Aku duduk di taman tidak jauh dari taman hiburan itu, Rania pergi mencari minuman untuk kami berdua dan meninggalkanku sendirian.
Treng...
“Aduh, sakit.” Keluhku setelah mendapatkan timpukan kaleng minuman di belakangku. “Apa aku seperti tempat sampah? WROOG... ups.” Cepat-cepat aku menutup mulut sebelum ada yang menyadari suara itu beresal dari bibirku.
“Apa kaleng itu mengenaimu? Aku minta maaf!” aku menatap seorang laki-laki yang meminta maaf dengan raut datar seolah tak ada penyesalan setelah menampukku dengan sampah kaleng itu. apa-apaan dia.
“A─” aku ingin membalas dan memarahinya karena menimpukku dengan kaleng dan permintaan maaf tak ikhlasnya itu. aku menatapnya marah namun tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memang tampan, sangat malah. Tapi bukan karena itu, melainkan takut jika suara anehku sampai terdengar olehnya dan malah menganggapku aneh lantas mencemohku.
Aku memejamkan mata. menenangkan gejolak emosi dalam dada yang siap tumpah. Menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan. Kembali menatapnya, dan tatapan kami bertemu. Dia menatapku bukan karena keterpesonaan melainkan tatapan dingin yang seolah ingin mengoyakku hidup-hidup. Sialan laki-laki ini. dia yang salah tapi dia juga menatapku seakan akulah yang bersalah.
“Sudahlah. Aku tidak mempermasalahkannya.” Aku berusaha mengucapkan kalimat itu dengan menahan kuat-kuat suara aneh yang akan keluar dari mulutku.
Dia masih menatapku lantas menjawab, “Baiklah kalau begitu. Aku pergi.” Dengan sangat datar dan tanpa rasa bersalah atau khawatir dengan keadaanku.
Ah... sial. Laki-laki itu walaupun tampan namun wataknya buruk. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya lagi. Hah... aku jadi ingat dengan kakak. Walau dia usil, jahil namun dia tetap menjagaku memperlakukan aku sangat baik.
Setelah dia pergi, Rania datang dengan membawa dua gelas minuman dingin. Aku langsung menyambarnya dan meneguknya cepat. Kekesalanku terhadap laki-laki itu ku luapkan pada minumanku.
Rania menatapku aneh, “Kau kenapa sih, Li? Aneh sekali. Aku tahu kau haus, tapi bukan begitu juga kali minumnya. Kau nanti keselek.” Ucapnya memperhatikan aku.
“Aku lagi kesal, Ra.” Sahutku tanpa memedulikan raut herannya.
“Kau kesal dengan siapa, Li? Perasaan aku tidak meninggalkanmu terlalu lama. apa ada yang mengganggumu?” tanyanya setelahnya ikut meminum minuman yang dia beli.
Aku pun menceritakan kisahku tadi. prertemuanku dengan seorang laki-laki tampan karena insiden kaleng dan permintaan maaf yang dia lakukan dengan cara tidak ikhlas lantas pergi dan tak mengucapkan apa-apa lagi. Bahkan rautnya masih datar tak menampakkan kekhawatiran sedikit pun padaku.
Sedang Rania yang mendengarnya, hanya mangut-mangut membiarkan aku meluapkan semua emosiku sambil terus menyeruput minuman dinginnya yang menghasilkan bunyi menjengkelkan di telingaku.
“Ra, dengar gak apa yang aku bilang?” Omelku yang dibalas tatapan polos darinya. Kembali menyeruput minumannya hingga tandas dan menjawabku, “Dengar kok. Kenapa?” tanyanya dengan tatapan matanya yang masih sama.
“Ish... Sudah deh. Kita pulang saja. Aku sudah malas jalan lagi.” Ucapku membuat Rania menatapku heran sekaligus tidak suka.
“Tidak. Kita sudah terlanjur keluar tanpa adanya kak Devan. Jangan kacaukan deh, Li. Ini tuh suasana langkah.” Protesnya menatapku tak suka.
Hah... aku menghela nafas. menatap Rania yang masih memandangku. “Baiklah. kita lanjutkan saja, kalau begitu.” Sahutku yang disambut senyum oleh Rania.
TBC
0 komentar:
Post a Comment