Fly with your imajination

Thursday, February 14, 2019

PINK LETTER - USAHA

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

TITTLE : PINK LETTER
BY
MICKEY139
SHORT STORY

PLEASE ENJOY

**************
.
.
.
BAGIAN 6 : USAHA

Pulang sekolah sesuai rencana aku menunggu Icha di dekat gerbang di atas motor yang biasa kupakai ke sekolah. Cewek itu belum menampakkan dirinya, barangkali masih mencatat catatan sekolah, atau pergi mengembalikan buku di perpustakaan.

Hampir setengah jam, aku menunggunya hingga ia muncul. Seperti biasa, dia akan pulang sendiri. Tidak ada teman yang bersamanya. Cepat-cepat aku menghampiri sebelum ia pergi, "Hai," sapaku.

Gadis itu celingak-celinguk mencari seseorang sampai ia menunjuk dirinya sendiri dengan heran, aku pun menyahut, "Iya, kamu."

Ia belum angkat suara hingga membuatku agak kikuk. Aku berdehem sekedar membasahi tenggorokan, "Hai, aku Radit," ucapku.

Ah, masa bodoh lah. Biar ia merasa aneh dengan tingkahku, yang penting kita bisa mengobrol. Mana tahu aku beruntung nanti. Yah, misal aku dapat nomor ponselnya supaya obrolan kami bisa berlanjut *ngarep.

"Icha."

Akhirnya ... setelah menunggu lima detik dalam perasaan tak karuan dan degup jantung yang menggila, Icha menyahut.

Aku tersenyum, "Nama yang cantik seperti orangnya." kataku. Ciah, kenapa kesannya aku kayak preman jalanan yang lagi goda-goda anak sekolahan yah?

Namun, untungnya Icha tersenyum, rona merah di wajahnya perlahan muncul dan menggoda tanganku untuk mencubit. Andai tak kenal waktu dan tempat serta situasi dan kondisi kami sekarang, aku pasti akan melakukannya.

Namun, tidak lama, rautnya berumah muram. Senyum yang tadi terbit raib di telan waktu. Kenapa? Ada apa?

Icha kemudian menghela nafas, "Nyari Vii?"

Ha? Idih, amit-amit deh mau ketemu itu cewek di sini. Lagipula, ada apa dengan nenek lampir itu kayak tidak ada cewek yang lebih baik saja. Misalnya saja cewek yang ada di depanku sekarang.

"Eh ... e, enggak kok." sahutku terbata ketika mendapati ia menatapku.

"Terus kenapa masih di sekolah?" tanyanya lagi.

"Nunggu seseorang." sahutku dan memberinya senyum.

Ia mengangguk lalu meneruskan langkah kaki melewatiku.

Loh? Eh? Kok ....

Tanpa buang waktu aku mengejarnya lalu meraih tangannya. "Hei! Tunggu!"

Icha tersentak lalu menatapku, "Kenapa?" tanyanya dengan heran. "Apa kamu butuh sesuatu?"

Aku mengangguk.

"Cari Vii?"

Aku menggeleng.

"Terus?"

"Nyariin kamu."

Aku tersenyum saat melihat rona merah perlahan mulai muncul dari wajahnya. Tetapi, secepat rona itu muncul, secepat itu pula rona merah merah itu menghilang.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

Aku menggaruk belakang leher. Kikuk. "Yah, karena ..." Aku menjeda beberapa detik. Bingung sendiri mau bilang apa. Padahal tadi aku sudah memantapkan niat dan keberanian, sekalinya sudah di depan mata, mulut dan keadaan jantung malah tidak berkompromi. "Karena pengen aja ...."

"Maaf ...."

Kedua alisku menukik karena jawaban yang tidak kubayangkan sebelumnya. Kenapa Icha meminta maaf?

"Kok minta maaf? Kan kamu tidak salah."

"Yah, karena aku gak mau dibilang perusak hubungan orang."

Lah, hubungannya apa coba dengan menghancurkan huhungan orang? Siapa dengan siapa sih yang ia maksud.

Gerakan pergelangan tangannya membuatku sadar denga apa yang kulakukan. Perlahan  aku melemahkan genggamanku dan melepaskan tangannya, "Eh ... maaf ... aku--"

Icha menghentikan ucapanku dengan isyarat tangan, "Aku pulang duluan ya." katanya lagi sebelum pergi dan meninggalkanku dengan kebingungan yang terus berputar-putar di kepala.

Hari-hari selanjutnya terlewat, sesuai rencana awal untuk terus melakukan pendekatan, aku selalu mencari cara agar bisa menemuinya. Sampai akhirnya kami bisa lumayan dekat sampai bertukar nomor, meski tidak pernah saling menyapa lewat ponsel.

Dan sekarang, seperti inilah aku, kutekan kuat-kuat dadaku yang mulai bergemuruh hanya untuk bisa menghampirinya. "Hai?" semoga senyumku tidak terlihat kikuk.

Dia balas tersenyum,"Hai." sapanya balik. Dia kembali celingak-celinguk mencari seseorang. Siapa?

Baru aku mau membuka mulut untuk bertanya siapa, seseorang menginterupsiku dan membuatku terpaksa tidak melanjutkan ucapanku. Aku memandang sinis pelaku yang membuatku seperti ini. Itu Reno alias Leo si kurang kerjaan. "Eh, Dit... gue cari dari tadi juga."

"Si Vii lagi nyariin lo. Katanya ada yang penting."

Aku mendelik pada Leo. Si bodoh ini, sudah tahu aku tidak mau bertemu dengan nenek lampir itu. Malah ingin mempertemukanku. Lagi pula, masa ia tidak lihat kondisiku sekarang. Ia sendiri yang menyarankan, malah datang mengganggu.

Berniat protes, aku membuka mulut untuk menyemburkan kekesalanku padanya, "Mending lo samperin sekarang, kalau tidak, lo bakalan malu sampai selesai kuliah." sayangnya itu tidak terjadi, lantaran kata-kata itu keluar duluan dari mulut leo.

Aku menghela nafas, berpaling pada posisi Icha tadi. Tapi, ia sudah tidak ada. Icha sudah pergi duluan.

Ck, sialan gagal lagi usahaku.

Aku menggeplak kepala Leo, hingga ia merintih.

"Anjirr, sakit tolol..." umpatnya.

"Sakitan mana sama gue yang baru mau ngobrol, orangnya sudah pergi gara-gara orang nyaranin menginterupsi." balasku geram.

"Ya, sorry deh. Eh, harusnya lo berterima kasih sama gue karena sudah menyampaikan informasi penting, bukan malah menggeplak kepala gue. Ah, gak penting, buruan sana lo pergi cari Vii."

"Emang apa yang mau Vii lakukan?"

"Lo lihat saja sendiri."

...

Sesuai dengan apa yang di katakan Leo, Vii memang berniat mempermalukanku. Di tangannya saat ini sudah ada selembar foto memalukanku yang Rian simpan di ponselnya. Dan Vii ingin mempostingnya di mading. Cewek ini benar-benar minta di buang ke segi tiga bermuda.

"Buat surat untuk Icha sekarang, kalau gak ..." jeda Vii hanya untuk memberikanku seringai setan lalu melirik ke belakang bangkunya. Di sana ada Sarina, anggota mading yang sudah tidak aktif namun memiliki koneksi anak mading sedang menatap kami penasaran, "lo tahu kan apa akibatnya."

Aku menghela nafas. Menahan kekesalan seperti berusaha mengeluarkan hajat yang susah keluar.

"Memang buat apa?" tanyaku berusaha sabar menghadapi kelakuan gila pacar teman (sial) dekatku.

"Gue cuman penasaran, lo kenapa bisa suka sama Icha. Cewek aneh yang sukanya menyendiri."

"Dia gak suka menyendiri, dia suka ketenangan." elakku membela Icha. Lagipula sepertinya cewek inilah yang harus dilemparkan cermin supaya dia bisa lihat seaneh apa dirinya sampai menyebut orang lain aneh. Cewek otaku yang sukanya sama pasangan Yaoi, lebih aneh dari pada cewek penyendiri.

Vii memutar bola mata bosan lalu menatapku mencemooh, "Ck, itu hanya bahasa yang diperhalus." sanggahnya lalu menyodorkan pena. "Eh, gak usah sok basa-basi deh, buruan tulis di situ!"

Dan aku seperti sapi yang cucuk hidungnya.

Double triple sial.

Aku kemudian mengingat-ingat bagaimana aku bertemu Icha lalu bagaimana perasaanku yang bisa menyukai cewek itu sampai berusaha keras untuk melakukan pendekatan. Lalu menuangkannya dalam selembar kertas pink yang sudah disiapkan Vii. Kertas sama yang pernah Rian titipkan.

Hai untuk kamu yang di sana

Pertama kali aku ngeliat kamu, entah kenapa hatiku berdetak cepat. Pipiku merona saat melihatmu menatap diriku. Senyumanku mengembang saat tau kamu juga tersenyum padaku. Aku tahu ini terdengar menggelikan di telingamu. Tapi aku berkata dengan jujur.

Pertama kali aku ngeliat kamu, duniaku terasa berputar. Berputar mengelilingi dirimu di sana. Pikiranku selalu tertuju padamu.

Aku bahagia, saat kamu mengajak ku berbicara. Rasanya sungguh indah, seperti kupu-kupu yang beterbangan di perutku. Pipimu menghangat dan aku yakin itu merona.

Kamu tahu? Semenjak pertama melihatmu. Hatiku sudah berkata bahwa kamulah orangnya. Orang yang aku tunggu-tunggu selama ini. Mungkinkah? Tapi, aku tidak yakin jika perasaanku ini sama seperti apa yang kamu rasakan.

Biarlah ini hanya anganku. Kamu dan aku bagaikan pepohonan dan langit. Tidak akan bisa saling meraih. Tapi, cukup dengan begini saja aku sudah bahagia.

RSVP

...

"Sudah?"

Aku berdehem.

Vii mengambil surat itu lalu membacanya. Tidak lama ia kembali menyodorkan kertas itu, "Pakai nama, jangan inisial."

Aku menyipitkan mata, melihatnyavpenuh curiga. Cewek licik kayak dia gampang ditebak. Dia pasti ingin mengancamku dengan surat itu.

"Gak ah. Lo pasti punya niat jahat ke gue."

"Serah lo deh, mau bilang apa. Lo tulis nama lo atau foto ini gue sebarin di LINE dan kasi ke..." ia melirik ke arah Sarina, "Lo tahu sendiri siapa."

Aku menarik nafas dalam guna meredam geram pada cewek lampir di depanku itu. "Apa sih tujuan lo sebenarnya? Suka banget urusi urusan orang lain." sungutku jengkel.

"Bodo. Cepetan ah."

Dengan terpaksa dengan disertai was-was aku membubuhkan namaku di kertas itu. Bukan lagi inisial, namun nama asli. Namun, hanya Radit.

"Good boy." katanya sambil tesrsenyum. Dasar licik.

Ia kemudian melipat dan menyimpannya di saku baju. Aku memandangnya khawatir. Dia mau buat apa dengan surat itu? Apa ia mau mengancamku lagi?

"Tenang aja. Surat dan gambar ini, bentar juga lo gak bakalan liat lagi dari gue," aku menatapnya was-was, "karena gue bakal musnahin." lanjutnya seraya tersenyum. Aku tidak melihat ada arti lain di balik senyumnya. Jadi, artinya, ia benar-benar akan memusnahkan benda laknat itu dari bumi. Baiklah, tidak apa.

"Benar, yah?"

Vii mengguk, "Trust me ...."

Aku menghela nafas, jika ia mengingkar, maka ini terakhir kalinya aku menemui wajahnya, biar pun Rian memohon padaku.

Aku bangkit lalu perlahan keluar dari kelas Vii. Membuat surat itu, membutuhnkan banyak tenaga ekstra sampai-sampai perutku sudah berorasi karena belum disuntikkan karbohidrat.

"Mau ke mana?"

Tanpa berbalik aku menyahut, "Makan." singkat, padat, dan jelas.

Tbc.



 

Mickey139


13.12.17
SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com