Fly with your imajination

Wednesday, May 7, 2025

Angkot dan Baris Ketiga [4/8]

Main : Raka, Naya
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC, typo.




SUMMARY :

Cerita ini mengisahkan Naya, siswi SMA yang cuek dan suka baca novel alien, yang tanpa sengaja bertemu Raka, cowok nyentrik dan jenaka, saat sama-sama naik angkot. Pertemuan mereka yang awalnya konyol—karena tas jatuh—berlanjut jadi kebiasaan duduk bersama di baris ketiga angkot yang sama setiap pagi..

~happy reading~




Bab 4: Angkot Mogok dan Hujan Gerimis Romantis

Hari itu langit mendung. Jakarta kelabu, dan angin pagi membawa aroma tanah basah yang menggantung di udara. Naya nyaris tidak jadi berangkat karena ibunya bilang, “Nih langit udah kayak hati kamu kalau liat cowok ganteng: gelap, penuh guntur.”

Tapi tentu saja, semesta seperti biasa bekerja sama dengan genre cerita ini: Naya tetap naik angkot, dan seperti bisa ditebak, baris ketiga masih kosong. Tapi kali ini... tanpa Raka.

Naya duduk sendirian. Awalnya lega, tapi setelah lima menit perjalanan, dia mulai gelisah. Kemana Raka? Apa dia sakit? Apa kerupuk udang kemarin menyebabkan luka dalam?

Saat sedang sibuk berteori, suara pintu angkot terbuka. Dan muncullah dia—basah, rambut berantakan, dan memegang... payung bergambar Hello Kitty.

“Maaf, tadi hujan turun pas gue jalan. Gue pinjem payung adik gue,” jelas Raka sambil duduk di sebelah Naya.

Naya menatapnya lama, lalu berkata, “Kamu... mau aku kasih pelindung karakter?”

“Buat?”

“Menjaga harga diri lo yang barusan hancur.”

Raka cengengesan. “Terlambat. Udah hancur sejak lo liat stiker Sailor Moon di jaket gue kemarin.”

Tawa mereka belum selesai ketika angkot tiba-tiba berhenti mendadak di tengah jalan.

Sopir menggedor-gedor dashboard sambil berkata, “Waduh, mogok nih. Radiatornya panas. Turun dulu, ya. Jalan kaki bentar.”

Penumpang satu per satu turun dengan keluhan masing-masing. Naya dan Raka ikut turun, berdiri di trotoar, dan saat itu... gerimis turun.

Pelan, lalu jadi deras.

“Hari paling sial,” gumam Naya.

“Enggak juga,” kata Raka sambil membuka payung Hello Kitty-nya.

Dia menoleh ke Naya, mengangkat sebelah alis. “Mau nebeng payung cewek tangguh ini?”

Naya tertawa. “Sumpah ya, kalo ada lomba payung paling nggak macho, lo menang.”

“Tapi fungsional,” balas Raka sambil mendekat.

Akhirnya mereka berjalan berdampingan di bawah satu payung kecil bergambar karakter kucing pink. Lengan mereka saling bersentuhan, langkah mereka menyatu, dan untuk pertama kalinya... tidak ada canda. Hanya sunyi yang anehnya terasa hangat.

“Eh,” kata Raka tiba-tiba, memecah hening. “Kalau hidup ini film, adegan ini pasti dikasih musik latar romantis.”

“Sayangnya hidup ini kenyataan. Musiknya suara motor bebek dan truk lewat.”

Raka tertawa. Tapi lalu dia bicara lagi, kali ini lebih pelan.

“Gue seneng sih... kita sering ketemu di angkot.”

Naya menoleh. “Kenapa?”

Raka menatap lurus ke depan. “Karena... di antara semua kekacauan pagi, macet, dan bau ikan asin, lo satu-satunya alasan kenapa gue nggak malas bangun pagi.”

Deg.

Lagi. Kali ini, bukan karena jalanan licin. Tapi karena... itu barusan cukup manis untuk bikin gerimis terasa kayak film Korea.

Payung Hello Kitty terus melindungi mereka sampai halte berikutnya. Dan di sana, mereka berdiri diam sejenak sebelum berpamitan.

“Besok baris ketiga lagi?” tanya Raka.

Naya mengangguk. “Tapi lo bawa payung lain ya. Atau gue upload foto lo pakai yang ini ke Insta.”

“Lo tega banget.”

Naya senyum. “Baris ketiga milik kita. Tapi harga diri... tetap harus dijaga.”


sumber gambar : pinterest


SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Angkot dan Baris Ketiga [3/8]

Main : Raka, Naya
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC.




SUMMARY :

Cerita ini mengisahkan Naya, siswi SMA yang cuek dan suka baca novel alien, yang tanpa sengaja bertemu Raka, cowok nyentrik dan jenaka, saat sama-sama naik angkot. Pertemuan mereka yang awalnya konyol—karena tas jatuh—berlanjut jadi kebiasaan duduk bersama di baris ketiga angkot yang sama setiap pagi..

~happy reading~




Bab 3: Rebutan Kursi, Rebutan Hati

Pagi itu, Naya berangkat lebih awal. Bukan karena semangat sekolah, tapi karena satu misi penting: mengamankan kursi baris ketiga sebelum cowok ikan asin itu datang lagi.

Dia tidak mau lagi duduk di sebelah manusia absurd yang hobi makan keripik laut sambil mengomentari novel alien. Walaupun… diam-diam, bagian dari dirinya mulai menantikan pertemuan itu.

Saat angkot datang, Naya langsung lompat masuk dan—YES!—kursi baris ketiga masih kosong. Ia duduk manis dan tersenyum menang.

Tapi tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi.

“Wah wah wah... kayaknya hari ini saya harus duduk di pangkuan alien girl nih,” ujar Raka yang entah muncul dari mana, berdiri di depan Naya sambil mengacungkan bungkusan plastik.

“Jangan bilang itu ikan asin lagi,” kata Naya curiga.

“Bukan. Kali ini inovasi baru—kerupuk udang level pedas dua belas.”

“Lo kira kita syuting acara kuliner di angkot?”

Raka hanya nyengir. Tapi belum sempat dia duduk, seseorang dari belakang mereka memotong antrean dan langsung duduk di sebelah Naya.

“Wah, udah ada yang ambil duluan,” kata Raka, nada suaranya pura-pura kecewa. “Oke deh. Saya... akan duduk di belakang. Sendiri. Ditemani kenangan.”

Naya pura-pura cuek. Tapi saat Raka lewat di belakangnya dan mulai batuk-batuk keras karena kerupuk udangnya pedas, dia tidak bisa menahan tawa. Sial. Kenapa cowok ini selalu berhasil bikin dia ketawa?

Beberapa menit berlalu. Saat penumpang lain turun, kursi sebelah Naya akhirnya kosong. Raka langsung lompat pindah tanpa permisi, nyaris menjatuhkan kerupuknya ke pangkuan Naya.

“Hai lagi,” sapanya dengan gaya sok cool.

Naya melirik. “Lo bener-bener nggak punya konsep malu ya?”

“Konsep malu sudah ketinggalan zaman. Gue hidup dengan prinsip: ‘Kalau malu, nggak dapet kursi.’”

Naya tak tahan. Dia tertawa lepas, dan Raka ikut tertawa juga. Untuk sesaat, angkot yang panas dan sumpek itu terasa seperti tempat paling nyaman di dunia. Mereka berbincang soal hal-hal remeh—tentang guru killer, soal mimpi buruk ketemu alien bawa cincin lamaran, hingga siapa yang lebih menyebalkan: temen satu kelas yang sok tahu, atau tukang parkir fiktif.

Lalu Raka bertanya pelan, “Eh, Nay… lo tiap hari naik angkot ini?”

“Sejak SMP,” jawab Naya. “Kenapa?”

“Berarti... gue telat tiga tahun buat duduk di sebelah lo.”

Naya menoleh cepat, tapi Raka sudah menatap ke depan, pura-pura fokus lihat jalan.

Deg.

Bukan karena jalanan berlubang. Tapi karena kalimatnya barusan. Garing? Iya. Basi? Mungkin. Tapi... manis? Sedikit. Oke, banyak.

Dan sejak hari itu, kursi baris ketiga resmi menjadi arena rebutan, baik kursi maupun hati.

sumber gambar : pinterest


SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Angkot dan Baris Ketiga [2/8]

 

Main : Raka, Naya
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC




SUMMARY :

Cerita ini mengisahkan Naya, siswi SMA yang cuek dan suka baca novel alien, yang tanpa sengaja bertemu Raka, cowok nyentrik dan jenaka, saat sama-sama naik angkot. Pertemuan mereka yang awalnya konyol—karena tas jatuh—berlanjut jadi kebiasaan duduk bersama di baris ketiga angkot yang sama setiap pagi..

~happy reading~




Bab 2: Si Cowok Misterius dan Cemilan Ikan Asin

Hari berikutnya, Naya bersumpah akan naik angkot yang beda. Apapun caranya, dia tidak mau satu baris lagi dengan cowok aneh yang kemarin memergokinya dengan novel alien dan pembalut ungu.

Tapi takdir, seperti biasa, punya hobi mengerjai manusia.

“Ya ampun, angkot kosong cuma satu ini doang,” gumam Naya saat melihat satu-satunya angkot yang masih muat penumpang. Dengan berat hati, dia melompat masuk.

Dan duduk di sana—di baris ketiga—adalah dia.

Cowok itu.

Dengan seragam sekolah yang sama, rambut tetap seperti baru bangun tidur, dan—astaga—sebungkus keripik ikan asin di tangannya. Di pagi hari. Di kendaraan tertutup.

Naya hampir keluar lagi.

“Eh, alien girl. Duduk sini, banyak angin,” sapa cowok itu santai sambil memukul-mukul kursi di sebelahnya.

Naya menghela napas dan duduk tanpa kata. Mungkin kalau dia diam, cowok itu akan berhenti bicara. Tapi harapannya pupus ketika aroma ikan asin menyerang lubang hidungnya seperti pasukan ninja bau.

“Kamu serius makan itu pagi-pagi?” tanya Naya sambil menutup hidung.

Raka—yang akhirnya memperkenalkan diri tanpa diminta—mengangkat bahu. “Kandungan proteinnya tinggi. Dan unik. Kayak kamu.”

Naya melotot. “Unik apanya?”

“Ya, biasanya cewek baca novel cinta-cintaan. Tapi kamu? Alien, planet Mars, jaket kulit? Itu level seni yang lebih tinggi.”

Naya memutar bola matanya. “Lagian kamu kenapa sih kemarin bantuin pungutin barangku? Bisa aja cuek kayak cowok-cowok normal lainnya.”

Raka pura-pura berpikir. “Pertama, aku nggak normal. Kedua, aku penasaran. Biasanya orang bawa satu buku. Kamu bawa lima, plus pembalut rasa stroberi.”

“Itu bukan rasa stroberi! Itu... kemasannya aja pink!”

Raka ketawa pelan. “Tenang. Aku nggak nge-judge. Justru itu... lucu.”

Percakapan itu berhenti sejenak karena sopir memutar lagu dangdut remix yang sama seperti kemarin. Angkot bergoyang-goyang di tengah kemacetan. Raka membuka bungkus keripik dan mulai makan.

“Lo sadar nggak sih, lo udah merusak atmosfer angkot ini dengan bau laut pagi-pagi?” tanya Naya sambil melirik jengkel.

Raka hanya mengangkat satu keripik. “Mau coba?”

Naya menatapnya seperti ditawari serangga goreng.

“Gue lebih pilih makan pembalut stroberi.”

Mereka berdua tertawa. Yang di belakang melirik aneh, tapi mereka tidak peduli. Ada sesuatu yang aneh tapi menyenangkan tentang momen itu—perpaduan antara jijik, canggung, dan... akrab.

Saat angkot melambat di depan sekolah Raka, dia bersiap turun. Tapi sebelum pergi, dia berkata, “Besok duduk sini lagi ya. Aku bawa keripik teri, biar kamu bisa bandingin sama ikan asin.”

Naya menatapnya dengan ekspresi setengah geli setengah gemas. “Lo serius?”

Raka menyeringai. “Serius. Dan jangan lupa bawa buku Volume 3. Aku penasaran alien-nya jadian nggak.”

Dan sebelum Naya sempat menjawab, pintu angkot tertutup, dan cowok misterius itu menghilang di antara gerombolan siswa yang menyeberang.

sumber gambar : pinterest

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Angkot dan Baris Ketiga [1/8]

Main : Raka, Naya
Rate: T
Genre: Teenfict
WARNING: AU, OOC, OC





SUMMARY :

Cerita ini mengisahkan Naya, siswi SMA yang cuek dan suka baca novel alien, yang tanpa sengaja bertemu Raka, cowok nyentrik dan jenaka, saat sama-sama naik angkot. Pertemuan mereka yang awalnya konyol—karena tas jatuh—berlanjut jadi kebiasaan duduk bersama di baris ketiga angkot yang sama setiap pagi..

~happy reading~




Bab 1: Angkot, AC Rusak, dan Jatuhnya Tas

Jam menunjukkan pukul 06.45 pagi. Matahari belum terlalu tinggi, tapi Jakarta sudah mulai menggeliat. Klakson bersahutan, motor selip kiri-kanan, debu dan asap makin mengudara dan Naya—dengan rambut setengah kering yang susah payah dia ikat—berlari mengejar angkot jurusan Blok M—Kampung Melayu seperti atlet kehabisan napas.

“Bang, yang ini ke Blok M kan?” teriak Naya sambil melompat masuk. Napasnya agak ngos-ngosan.

“Naik dulu neng, nanti juga sampe,” Sopirnya tidak menoleh dan sibuk memainkan lagu dangdut remix yang volume-nya mengalahkan akal sehat.

Naya duduk di baris ketiga, tempat favoritnya. Tidak terlalu dekat sopir yang suka ngomel kalau telat bayar, dan tidak terlalu belakang yang kadang jadi tempat misterius bau aneh. Tapi hari itu berbeda. Penumpangnya padat. Ia harus berbagi baris dengan dua orang lain: ibu-ibu penjual gorengan dan seorang cowok yang baru masuk satu detik setelah dia duduk.

Cowok itu tinggi, pakai seragam SMA, rambut agak acak-acakan seperti belum siap hidup. Dia membawa tas selempang dan sekantong plastik yang isinya entah apa—mungkin bekal, mungkin... kepala ayam, Naya tidak mau tahu.

Nggak ada angkot yang punya AC, termasuk angkot yang dinaiki Naya. Padahal, cuaca Jakarta sudah seperti sauna yang kering. Kipas kecil di dashboard belakang hanya mengalirkan harapan palsu. Naya mulai kepanasan dan merasa lengket. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian yang terjadi di tikungan dekat Pasar Rumput.

BRAK!

Angkot menikung tajam. Ban depan kanan menghantam lubang kecil, dan dalam satu gerakan lambat tapi menyebalkan, tas Naya yang diletakkan di pangkuannya terjungkal dan isinya tumpah ke lantai.

"Ya ampun!" pekik Naya.

Buku catatan, tempat pensil, snack, novel, dan... pembalut kemasan ungu terang berhamburan. Sempurna. Naya menatap horor pada benda-benda malunya yang sekarang menjadi tontonan publik dalam kendaraan umum. Penumpang lain berpura-pura tidak melihat. Ibu-ibu di sebelahnya hanya senyum simpul.

Cowok di sebelahnya buru-buru membantu, memunguti satu per satu barang Naya. Tapi kemudian, dia berhenti ketika membaca sampul salah satu novel yang terguling ke kakinya:

Cinta Terakhir di Planet Mars — Volume 2: Aku, Kamu, dan Alien Berjaket Kulit.”

Dia menatap Naya, lalu tersenyum—bukan senyum mengejek, tapi seperti sedang menahan tawa yang akan meledak kapan saja.

"Ini... bukunya seru?" tanya si cowok, sambil mengulurkan novel itu ke Naya dengan nada yang terlalu serius untuk ukuran pertanyaan itu.

Naya rasanya ingin segera turun dari angkot, kalau perlu lompot sekalian. Wajahnya memerah. Dia meraih novel itu dan bergumam, “Itu... pinjeman teman.”

Cowok itu mengangguk dramatis. “Ah, iya, biasa. Teman pinjem buku aneh, terus kita keterusan bacanya sampai jam satu pagi. Paham.”

Naya tidak tahu apakah dia ingin tertawa atau meninju.

Sisa perjalanan berlangsung dalam diam. Tapi diam yang ganjil. Beberapa kali Naya melirik cowok itu dari ujung mata. Dia melihat cowok itu menahan senyum setiap kali matanya jatuh ke arah novel yang kini sudah masuk kembali ke tas Naya. Cowok itu tampak seperti seseorang yang terlalu nyaman di dalam angkot dan terlalu percaya diri untuk orang yang bawa plastik misterius di pagi hari.

Saat turun, cowok itu lebih dulu. Sebelum melompat keluar, dia sempat menoleh dan berkata, “Sampai jumpa, alien girl.”

Dan angkot pun melaju lagi, meninggalkan Naya yang bengong di baris ketiga.


sumber gambar : pinterest

CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Tuesday, May 6, 2025

Di Bawah Langit Senja

 

πŸ‘£πŸ‘£πŸ‘£

Langit berubah jingga perlahan, seperti lukisan air yang mengalir dari kuas alam. Di taman di tepi sungai mulai sepi, Yuki duduk sendirian di kursi kayu yang sudah mulai lapuk dimakan waktu. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang ke banyak tempat.

Meski hari ini tidak istimewa. Tidak ada perayaan, tidak ada pencapaian, tidak ada kabar besar. Tapi Yuki memilih datang ke taman ini, seperti yang sering ia lakukan beberapa bulan terakhir. Di sinilah ia merasa bebas—bukan karena tempatnya sunyi, melainkan karena ia bisa melihat dunia bergerak tanpa harus ikut berlari.

Ia menyeruput kopi yang ia buat sebelum ke sana. Rasanya sedikit pahit, tapi itu bukan masalah. Kopi bukan untuk dinikmati dengan lidah saja melainkan dinikmati dengan hati. Dan hati Yuki, hari ini, sedang belajar merasa kembali.

Seorang anak kecil berlari mengejar balon yang tertiup angin, tertawa keras hingga membuat orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum. Tak jauh dari situ, sepasang kekasih muda duduk di atas tikar kecil, berbagi camilan sambil menyender ke satu sama lain. Tawa mereka ringan, tak dibuat-buat. Di sudut lain, seorang ibu mengayun bayinya di atas pangkuan, menyanyikan lagu yang nyaris tenggelam oleh angin.

Yuki mengamati semua itu tanpa rasa iri, hanya kekaguman. Betapa indahnya hidup ketika dilihat dari luar, tanpa beban pribadi, tanpa luka yang harus disembunyikan. Ia menyandarkan punggung ke bangku, membiarkan matanya setengah terpejam.

Beberapa bulan lalu, dunia Yuki nyaris runtuh. Pekerjaan yang selama ini ia kejar habis-habisan tiba-tiba hilang. Hubungan yang ia kira akan bertahan, kandas begitu saja. Ia sempat merasa hampa, seperti tubuh yang berjalan tanpa jiwa.

Namun sore demi sore di taman ini mengajarkannya satu hal: hidup tak harus selalu sibuk berlari. Ada waktunya untuk diam. Untuk duduk, memperhatikan, dan belajar tertawa lagi—walau hanya lewat tawa orang lain.

Seekor kucing liar melintas di kakinya, mengeong kecil sebelum melompat ke semak. Yuki tertawa pelan, entah kenapa. Mungkin karena ia merasa ditemani. Mungkin karena ia sadar, dirinya tidak benar-benar sendiri.

Langit semakin temaram, berubah menjadi ungu keabu-abuan. Lampu-lampu taman menyala satu per satu, seperti bintang yang turun lebih awal. Yuki berdiri perlahan, meraih tasnya, dan memandangi sekeliling untuk terakhir kalinya sore itu.

Ia menarik napas dalam-dalam.

“Terima kasih,” bisiknya pada senja, pada tawa anak-anak, pada udara yang masih setia membelai pipinya.

Hidup memang tak selalu mudah. Tapi hari ini, Yuki berhasil menemukan damai dalam hal-hal kecil.

Dan itu cukup.
Share:

Sunday, May 4, 2025

Kucing, Cermin, dan Loteng Ajaib



🐾🐾🐾

Rina baru pindah ke rumah tua warisan keluarga. Di hari pertama, kucing peliharaannya, Milo, langsung kabur ke loteng. Rina mengejarnya ke atas, dan di sana ia menemukan dua hal: Milo sedang duduk manis… dan sebuah cermin besar berdebu yang bersandar di dinding.

Milo menatap cermin itu terus-menerus, ekornya bergerak-gerak cepat seperti sedang nonton film seru.

“Apaan sih, Lo, kayak liat drama Korea,” kata Rina sambil membersihkan cermin.

Begitu debunya hilang, Rina bisa melihat bayangannya. Tapi tunggu... Di cermin, ia berdiri tanpa Milo di sebelahnya. Padahal Milo jelas-jelas ada di kakinya.

Rina isyarat tangan. Bayangan ikut. Milo menjilat kaki Rina. Tapi di cermin… ada dua Milo. Satunya suka, satunya berdiri dengan ekspresi super serius seperti siap berdebat calon presiden.

"Aku ngelihat kucing kloningan?!" Rina panik.

Lalu tiba-tiba, Milo yang di cermin pengganti tangan manusia.

Rina: “Oke, cukup. Aku kurang tidur.”

Namun keesokan harinya, setiap kali Milo ke loteng, cermin itu mulai dikepung. Kadang menampilkan Milo jadi naga. Kadang Rina jadi kucing. Dan kadang... mereka berdua nyanyi duet dangdut.

Akhirnya Rina menulis tulisan di depan loteng:
"Dilarang masuk kecuali Anda manusia biasa, bukan kucing sihir atau bayangan karaoke."

Dan sejak itu, cermin itu tidak mengganggu lagi—kecuali setiap malam Jumat, saat Milo menghilang selama 10 menit… dan kembali dengan kumis yang lebih rapi dari biasanya.
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com