Fly with your imajination

Saturday, December 12, 2015

Because I Love You (2)

Sebeumnya : Chapter 1

Naruto Fanfiction
Genre: Romance & hurt, drama
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Because I Love You © Mickey_Miki
.
.
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita
.
DLDR
.
ENJOY THIS
.
.
.


Ket : font italic menandakan flashback
*** First. ***
.
.

Sinar bulan telah redup ketika sang mentari perlahan terbit. Bintang yang tadinya bertaburan di langit malam dan menemani bulan kini telah tiada, berganti dengan langit berwarna keunguan yang secara perlahan mulai berubah.

Beberapa ayam mulai memamerkan suaranya, berlomba membangunkan orang-orang yang masih berada di alam mimpi. Matahari mulai nampak dari batas horizon dan perlahan menyembulkan cahayanya, menyebar dan membagikannya tiap sudut yang dapat terjangkau. Seekor burung hinggap di sebuah jendela kamar, kemudian mengeluarkan suara merdunya, berusaha agar dua makhluk yang mendiami kamar itu mendengarnya... dan usahanya itu tidaklah sia-sia ketika salah satu di antara mereka terbangun.

Dia berjalan dan membuka tirai jendela agar sinar mentari juga menghangatkan kamar itu. Setelahnya ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh muka dan menyegarkan dirinya. Dia melangkah keluar namun, beberapa langkah kemudian ia terhenti di depan seseorang yang masih terlelap dalam tidurnya. Wajahnya bersemu merah ketika mengingat kegiatan mereka beberapa hari yang lalu.

Laki-laki ini memang pantas jika diberikan julukan sebagai seorang malaikat salam sosok manusia, penuntunnya dijalan yang benar, juga penerangnya saat gelap itu datang.

Dia menjongkok dan melihat wajah itu dengan sangat dekat. Sangat polos namun tetap tampan bahkan pesonanya tidak berkurang walau penampilan tidurnya sangat berantakan. Tangannya menyentuh kening pemuda itu ketika ada kerutan yang terbentuk hingga kerutan itu perlahan menghilang dan berganti senyum. Senyum yang membuat hatinya menghangat, walau samar.

Dia bangkit kemudian melanjutkan langkah kakinya. Sama seperti pagi sebelumnya, dia akan melaksanakan kewajibannya dan berharap agar malaikatnya senang dengan apa yang sudah dia siapkan.

Langkahnya terhenti ketika dia sudah sampai pada tempat tujuannya. Tangannya kemudian bergerak lincah menyiapkan segala sesuatu yang dia butuhkan. Sayuran, daging, bumbu-bumbu penyedap, dan pelengkap yang lain.

Inilah kehidupan barunya, dan ia sangat bahagia dengan hal itu. Ini adalah kebahagiaan yang pertama kali ia dirasakan dalam hidupnya setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dikasihinya beberapa tahun silam, dan ini juga adalah kali pertama dia merasakan bagaimana debaran jantungnya yang tak normal hanya untuk menyenangkan hati sang suami.

Dan semua ini berkat dia. Malaikatnya penolongnya, cahayanya, dan orang yang dikasihinya. Naruto Uzumaki, suaminya.


...
...
...



Mata biru seindah langit itu terus memandangi pemandangan kota di balik kaca mobil hitam. Langit sangat cerah dengan gumpalan awan-awan putih membentuk pola-pola unik, warna-warna di kota itu tampak sangat indah dengan beragam warna yang dihasilkan dari cat toko juga pepohonan maple yang tersusun di sepanjang jalan. Kaca mobil itu diturunkan agar udara segar dapat berhembus melewatinya. Rambut pirangnya menari mengikuti tiap hembusan angin yang bersal dari luar. Dia menutup matanya agar indra perasanya jadi lebih peka untuk merasakan hembusan itu. Udara yang sangat berbeda dengan kota tempatnya besar, lebih segar dan lebih enak untuk dihirup.

Lama ia melakukan itu hingga mobil yang dia kendarai sudah berhenti di depan sebuah sekolah. Sekolah yang sangat jauh berbeda dengan sekolahnya yang dulu. Tidak besar dan tidak bercampur dengan senior high. Sekolah yang akan menjadi tempatnya untuk menimba ilmu selama kurang tiga tahun. Entah dia akan sama seperti di sekolah lamanya atau tidak. Tidak memiliki teman karena penampilan dan sikapnya yang sangat berbeda dengan yang lain.

Dia melangkah dengan penuh keraguan menyusuri koridor yang sepi karena saat ini sudah memasuki jam bimbingan wali kelas. Sinar keorange-an mentari menelusuk dari jendela sebelah kanan di sepanjang jalan koridor itu menyinarinya hingga membuat siapapun menoreh kagum padanya. Kepalanya menoleh ke kiri dan membaca tiap deretan abjad yang terpasang di depan pintu, mencari ruangan seseorang yang sangat berwenang pada sekolah itu. Namun─

BRUGH

“Aw...”

─tanpa sengaja dia menabrak seseorang hingga membuat orang yang dia tabrak jatuh dan barang yang dia bawa berhamburan di lantai.

Naruto gelagapan. Dia takut jika dia akan mendapatkan bentakan oleh orang itu karena kecerobohannya yang dia lakukan─ sama seperti di sekolahnya yang dulu.

Salahkan pada penampilan dan sikapnya yang terlalu berbeda dengan orang lain hingga membuatnya dicap sebagai murid aneh. Namun─

“Ma...maafkan aku. Aku tidak sengaja. Apa kau tidak apa-apa?” Naruto berjongkok dan membantu gadis di depannya itu untuk membereskan kertas yang berhamburan karena ulahnya yang tak melihat gadis itu lewat di depannya.

“Aku tidak apa-apa. Terima.... kasih.” Ucap gadis itu seraya mendongak menatap laki-laki yang sudah menabraknya setelah membereskan semua kertas dan kembali menyatu di kedua tangannya.

─itu dulu, sebelum penampilannya di paksa berubah oleh orang tuanya dan menjadi seperti sekarang.

Seperti tersihir gadis itu jadi diam mematung memandangi laki-laki di depannya itu.

Terpesona?

Tentu saja. Penampilannya yang seperti bad boy, dengan tatanan rambut yang berantakan akibat terpaan angin, mata biru seindah baru safir yang memandang lawannya penuh kehangatan, juga wajah yang bagaikan turunan langsung dari Sang Adonis. Tidak akan ada yang menolak pesona itu.

“Ah, kau...” Naruto diam, tidak melanjutkan perkataannya ketika melihat gadis di hadapannya itu terdiam, seolah waktu di sekitar gadis itu dipaksa terhenti. Naruto juga jadi ikut terdiam. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ini adalah pertama kali yang terjadi padanya sebelum pindah di kota ini.

“Kau... tampan sekali..”Kata gadis itu refleks.

“Ha..!” Sesaat Naruto tercengang katika kata-kata itu terlontar dari mulut gadis di hadapannya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apakah penampilan barunya ini sangat mencolok dan tidak cocok untuknya?

“Ah.. Ma...maksudku, apakah kau murid baru?” Tanyanya meralat ucapan refleks yang baru saja dia ucapkan.

Naruto mengangguk, “Ya. Apa kau tahu ruang kepala sekolah?” sedikit tersenyum untuk menampilkan kesan ramahnya.

“Y...yah. Ka...kau bisa mengikutiku.” Gadis itu gugup, ada rona merah yang muncul di kedua pipinya dan sedikit salah tingkah, kemudian melanjutkan perkataannya. “Ke...kebetulan aku akan ke ruang guru dan ruangan itu menyatu dengan ruang kepala sekolah.” Gadis itu tersenyum lantas berjalan dan kemudian diikuti oleh Naruto.

Awalnya Naruto ragu untuk mengikuti gadis itu, namun dia tidak memiliki pilihan yang lain. Dia tidak tahu tentang sekolah yang tengah dia pijaki sekarang, tidak ada juga yang bisa dia ajak bertanya selain kepada gadis yang bersamanya saat ini.

“Itu ruangan kepala sekolah. Aku duluan.” Gadis itu menunjukkan satu ruangan yang tertutup setelah berada di dalam ruang guru yang di dalamnya hanya didiami oleh beberapa guru saja.

“Terima kasih.” Kata Naruto lantas berjalan meninggalkan gadis itu.

Seminggu setelah kepindahannya di sekolah baru tak lantas membuat ia memiliki teman. Sebenarnya banyak yang ingin berteman dengannya namun karena sifat pendiam─ yang dikira sangat dingin padahal sangat pemalu─ membuat dirinya tak bisa bergaul dengan murid-murid sekolah itu. Alhasil dia hanya bisa melihat mereka tertawa maupun bermain tanpa dirinya.

Bel tanda masuk berbunyi, hampir semua murid berhamburan memasuki kelas. Ada yang berlari karena hampir telat memasuki kelas, ada pula yang hanya duduk sambil membaca buku pelajaran.

“Wah... Hinata.”

“Ya, benar itu Hinata. Akhirnya dia kembali sekolah.”

“Hei, Hinata. Kau lama sekali tidak masuk sekolah.”

Terdengar obrolan-obrolan dari temannya. Sebuah nama yang baru dia dengar. Dia mendongak sekedar melihat apa yang terjadi. Banyak dari teman sekelasnya mengerubungi seseorang.

‘Mungkin dia adalah artis sekolah ini’ gumamnya namun tak lantas membuatnya ikut bergabung dengan mereka. Ia kembali bergelut pada buku bacaan yang tengah dia baca sekarang.

Tidak lama kerumunan itu tercerai dan menampilkan sosok gadis. Gadis yang menurut Naruto sangat manis dengan mata seindah bulan dan senyum lembut yang membuat orang lain terhanyut dalam senyum itu.

Gadis itu mendekat padanya dan menatapnya heran. “Apa kamu murid baru?” Tanyanya dengan ekspresi yang sungguh menggemaskan menurut Naruto.

Naruto mengangguk kaku. Dia tidak tahu harus berkata apa.

“Ah... kalau begitu salam kenal. Aku Hinata teman sebangkumu yang sudah seminggu tidak masuk sekolah. Hehe” Katanya sambil tersenyum. Tangannya terjulur untuk menjabat tangan Naruto.

“A...aku Naruto Uzumaki. Salam kenal juga.” Jawabnya membalas uluran tangan gadis di depannya. Naruto merasakan desiran aneh kala kedua tangan itu bersentuhan. Desiran yang baru pertama kali dia rasakan namun anehnya dia sangat menyukai sensasi itu.

Tangan mereka terlepas ketika guru sudah memasuki kelas. Naruto merasakan seperti ada yang hilang ketika tangan itu terlepas dari tangannya. Dia ingin kembali meraih tangan gadis itu, menyentuhnya, dan kembali merasakan perasaan menyenangkan itu. Tapi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan, bukan? Dia tidak ingin dicap sebagai orang aneh di sekolah ini. sudah cukup perasaan itu dia rasakan di sekolah lamanya.

....



Sudah lebih dari tiga bulan Naruto bersekolah di sana dan itu membuat mereka─Hinata dan Naruto─ semakin akrab. Walau Naruto memiliki sifat yang pendiam dan pemalu, Hinata malah semakin gencar mendekatinya.

Senang. Tentu saja. Padahal, awalnya Naruto-lah yang ingin mendekati gadis itu, banyak rencana yang sudah dia buat namun tak satupun yang berhasil ketika rasa canggung dan malu yang besar dia rasakan saat berada di dekat gadis itu pun dengan perasaan aneh yang sering kali dia rasakan ketika gadis itu ada di dekatnya. Dan itu semua selalu membuatnya terdiam dalam pemikirannya sendiri.

Namun kedekatan itu tidak berlangsung lama. Usai perpisahan kelas 3, Naruto harus kembali ke negara asalnya untuk melanjutkan sekolah di sana.

Tak ada tangis dari sang gadis melainkan kekecewaan yang besar. Gadis itu merasa terhianati oleh pemberitahuan yang mendadak itu. Apalagi berita itu datang bukan dari mulut Naruto tetapi dari orang lain. Naruto masih tak memberitahunya padahal waktu perpisahan mereka hanya berselang beberapa jam lagi.

“Kenapa kau tidak memberitahuku Naruto. Apa kau ingin pergi diam-diam?” Hinata bertanya ketika mereka sudah sampai di tempat favorit mereka. Di bawah pohon dekat sungai. Tempat yang teduh juga menenangkan dengan pemandangan yang mampu merilekskan hati.

“Maaf. Aku tidak bermaksud...” Naruto tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lidahnya tersa kelu untuk mengucapkan kata perpisahan itu. Dia menunduk tak ingin melihat wajah penuh kesedihan yang ditampilkan oleh gadis yang sudah mencuri hatinya itu.

“Apa kau tidak menganggapku sebagai temanmu?”

Naruto mendongak ketika kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang dicintainya. “TIDAK.” Ucapnya cepat. “Kau salah.”

“Lalu kenapa kau tidak memberitahuku? Sasuke juga Ten ten kau beri tahu. Lalu kenapa tidak denganku?” Gadis itu tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Tangis kekecewaan akibat tindakan dari Naruto.

Naruto merengkuh kedua bahu Hinata hingga membuat gadis itu menghadapnya. Sebelah tangan Naruto meraih dagu Hinata dan membuatnya mendongak menatanya. “Karena... Aku tidak ingin melihatmu seperti ini. Aku tidak ingin melihat air matamu. Kau tahu, rasanya sungguh sakit ketika air mata itu meluncur dari kedua matamu apalagi itu semua karena diriku.” Katanya lembut sambil menghapus aliran air mata yang tidak berhenti keluar dari pelupuk mata gadis itu.

“Tapi─”

Ucapan gadis itu harus terhenti karena ciuman tiba-tiba Naruto. Ciuman pertama mereka. Entah kenapa Naruto bisa melakukan ini. Padahal selama ini dia bisa menahan perasaannya itu, tetapi setelah melihat air mata itu, perasaan itu meluap dan Naruto tak bisa menghentikannya.

“Jangan katakan apa-apa lagi. Ku mohon, Hinata.” Kata Naruto menatap Hinata lembut. “Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata itu karena aku tidak ingin berpisah denganmu.”

Hinata memejamkan matanya, menenangkan debar jantungnya yang menggila. Kata-kata juga ciuman yang dia terima dari laki-laki itu membuatnya tak fokus. Perlahan kedua matanya membuka dan menatap mata biru seindah safir milik Naruto. Wajahnya merona ketika mengingat ciman itu. Ciuman pertamanya dan mungkin juga ciuman terakhirnya dengan pemuda itu. Dan entah mengapa itu membuatnya kembali bersedi. “Baiklah.” Jawabnya. Ada nada getir yang terselubung pada jawaban itu.

Naruto tak lagi mengucapkan apapun, dia diam. Dan Hinata pun juga ikut terdiam. Mereka larut dalam suasana itu. Hanya ada suara air yang mengalir dari sungai, desiran angin yang membuat daun-daun bergoyang, dan sesekali burung juga ikut menyeruak di antara alunan alam itu.

Mereka menghabiskan waktu mereka dengan memandang pemandangan di depannya juga dengan lantunan musik yang diamainkan oleh alam. Tak ada percakapan selama beberapa menit setelah percakapan terakhir mereka. Ketenangan yang mereka buat malah lebih menyenangkan. Seakan perasaan mereka bisa tersampaikan lewat ketenangan itu.

Namun beberapa saat kemudian, “Naruto, apa kau tidak akan kembali lagi?” Hinata membuka suara namun dengan pertanyaan yang membuat Naruto menegang sejenak. Dia pun tak tahu apakah ia akan kembali lagi di kota ini dan bertemu dengan gadis di sampingnya itu atau tidak.

Naruto memejamkan matanya. Ia tak tahu harus memberi jawaban apa. Ia ingn tinggal tetapi keadaan menyuruhnya untuk segera meninggalkan kota itu. Ia ingin kembali namun dia pun tidak yakin dengan hal itu. Ada banyak alasan yang bisa membuatnya tidak bisa kembali ke tempat ini.

“Aku akan kembali padamu. Percayalah.” Namun kata-kata itulah yang akhirnya dia keluarkan. Meski dia sendiri tak yakin dengan janjinya itu. “Aku berjanji. Jadi ku mohon tunggulah aku.” Lanjutnya berjanji sambil menatap mata gadis itu, berusaha menyampaikan kesungguhannya. Janji yang dia sendiri pun tak tahu apakah akan dia tepati atau ingkari. Tetapi dia pun harus memiliki sebuah keyakinan jika dia pasti akan kembali dan bersama dengan gadis itu.


...

Naruto menggeliat ketika sinar mentari menerpa wajahnya lewat sela-sela tirai jendela. Beberapa detik kemudian matanya terbuka dan menampilkan iris seindah langit biru. Bibirnya menyungginkan sebuah senyum ketika teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Degupan jantungnya bekerja secara gila-gilaan hingga membuatnya gugup dan gagap.

Tangannya sibuk meraba-raba sesuatu. Dia tersentak ketika tidak mendapati sesuatu yang seharusnya berada di sampingnya. “Dimana dia?” Gumamnya. Lantas pandangannya menelusuri kamar. Namun, tetap saja tak ada tanda-tanda dari ‘dia’.

Cepat-cepat Naruto menyibak selimutnya dan mencari ‘dia’. Dengan tergesa ia keluar kamarnya hingga lutut kanannya terantuk kuseng pintu namun ia tidak memedulikan rasa sakit itu. Rasa sakit yang berdenyut-denyut di kakinya akibat terantuk kuseng dan terus mencari ‘dia’. Ia takut jika wanita itu pergi dan sekali lagi meninggalkannya. Hatinya tidak akan sanggup menerima itu. Dan demi Tuhan, ia mungkin akan gila jika hal itu terjadi.

Tak
Tak
Tak

Hingga suara ribut-ribut di dapur mengalihkan perhatiannya bahkan Naruto hampir saja terjatuh di tangga karena tergesa menuju dapur. Dan sungguh hatinya benar-benar diliputi kelegaan ketika melihat wanita itu tengah sibuk dengan bahan-bahan dapur.

Senyum tercetak di wajahnya, ketika memperhatikan wanita itu yang dengan lincahnya memainkan alat masak juga bahan-bahan makanan yang akan segera siap untuk mereka nikmati. Naruto kemudain menghampiri wanita itu. Berdiri di sampingnya hingga membuat wanita itu sedikit memekik terkejut.



“Maaf... Apa aku mengganggumu Hinata?” Tanyanya sedikit menyesal dengan apa yang dia lakukan barusan.

“Ah, tidak. Aku hanya sedikit terkejut” Kata Hinata, menatap Naruto lembut. Wajahnya sedikit merona ketika mengingat apa yang dia lakukan tadi pagi. Dan saat ini dia bahagia sekali dan semua itu berkat laki-laki di depannya. Seorang malaikat yang telah menariknya dari keterpurukan dan kegelapan hatinya yang kapan saja siap membawanya pada penyesalan.

Naruto tersenyum dan membuat Hinata tersipu juga heran. Ah.. Senyum laki-laki itu masih sama. Tetap hangat dan mampu membuatnya kembali merona. “A...apa kau membutuhkan sesuatu?” Tanyanya sedikit gugup. Efek senyum dari laki-laki itu masih ada rupanya.

Naruto tak lantas menjawab dan kembali melihat-lihat apa yang dikerjakan oleh Hinata. “Aapakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” Tanya Naruto mengambil salah satu bahan yang tengah dikerjakan oleh Hinata. Kemudian tangannya terjulur untuk mengambil salah satu alat yang digunakan Hinata untuk memotong bahan-bahan makanan.

“Ah... Tidak usah Naruto-kun. Kau tunggu saja. Mungkin 20 menit semuanya selesai dan mungkin kau bisa bersiap-siap...” Hinata tak melanjutkan perkataannya. Dia bingung dengan kata-kata selanjutnya yang ingin dia ucapkan. Apakah Naruto masih tetap kuliah di universitas mereka. Ini sudah seminggu setelah pernikah mereka dan Naruto tak pernah menginjak kampus itu.

“Kau tenang saja. Lagipula untuk sekarang aku tidak memiliki pekerjaan...”



Hinata terdiam, kata-kata Naruto berhasil menggelitik perasaannya, membuatnya semakin merasa bersalah. Karena dirinyalah Naruto menjadi seperti sekarang, kehilangan semuanya. Cita-cita yang selama ini perjuangkan, akhirnya kandas karena kesalahannya, bahkan─mungkin─juga karena dirinya, hubungan Naruto dan keluarganya merenggang. Jika mengingat ketika mereka menikah tak ada satupun keluarga Naruto yang datang kecuali nenek angkatnya.

“Hei.. Apa yang kau pikirkan?” Naruto memegang bahu Hinata dan membuatnya menghadap padanya. “Jangan merasa bersalah Hinata. Aku sendiri yang sudah memutuskan untuk mengambil jalan ini. Jadi apapun yang terjadi padaku itu bukan karena kesalahanmu. Aku melakukannya karena aku memang ingin melakukannya. Dan... kau tidak pernah memaksaku, bukan? Jadi jangan menyesal dengan apa yang sudah terjadi, ok.”


Hinata mengannguk namun tak juga menatap Naruto membuat Naruto tak senang dengan itu, ia kemudian menyentuh dagu Hinata agar kembali menatapnya. “Dan kumohon jangan menampakkan wajahmu yang seperti ini lagi. Aku tidak ingin melihatnya. Kau tahu, rasanya sungguh sakit, apalagi itu karena─ mungkin─ diriku.”

“Karena... Aku tidak ingin melihatmu seperti ini.... Kau tahu, rasanya sungguh sakit.. apalagi itu semua karena diriku.”
Hinata menyerngit ketika suara itu tiba-tiba terngiang dikepalanya, sangat jelas dan berulang kali. Seolah kata-kata yang diucapkan oleh Naruto pernah dia dengar sebelumnya. Tetapi dia tidak yakin kapan dan dimana.

“Ada apa, Hinata?”

Hinata tak memperdulikan perkataan Naruto. Tiba-tiba sebuah bayangan melintas di benaknya, bayangan akan dua orang yang saling berhadapan. Ada senyum dan air mata, juga tawa yang berubah jadi tangisan. Bayangan itu kian mengabur. Hinata mencoba melihatnya lebih jelas, namun tidak bisa. Otaknya dia paksa untuk mengingat apakah bayangan itu adalah salah satu dari masa lalunya, tetapi semakin dia mencoba, semakin sulit dan terasa menyakitkan untuk kepalanya.

Tangannya refleks terangkat menyentuh kepalanya kala rasa sakit itu kian menyengat. Ia ingin melihat wajah mereka, tetapi rasanya juga semakin sakit. Ia semakin meremas kepalanya guna menekan rasa sakit itu. Sungguh ini sakit sekali, seolah ada ribuan jarum yang secara perlahan ditancapkan di kepalanya, satu-satu. Denyutannya kian menjadi hingga dirinya tidak lagi bisa menahan dan kemudian kesadarannya terenggut darinya.

.
.
.

TBC
a/n : silahkan kritik dan sarannya, dan tolong pakai bahasa yang baik dalam menyampaikan sesuatu.

Selanjutnya : Chapter 3
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com