Fly with your imajination

Monday, February 26, 2024

THE MERMAID - EMPAT

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP



THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)



"Kenapa datang ke sini lagi?"

Aata menggeleng kepala melihat kelakuan temannya yang tidak bisa bosan datang di tepi batu karang untuk melihat laut ketika latihan usai.

"Kau ingin sekali ke sana?" Aata menunjuk laut yang diangguki oleh Mac.

"Kenapa?"

Mac ingin sekali menyahut, "Karena dari sanalah aku berasal dan aku ingin pulang." Namun, Mac tahu Aata hanya akan menertawakannya jika menjawab seperti itu. Maka dari itu, ia hanya tersenyum dan menanggapinya dengan singkat. "Di sini nyaman."

Aata menghela, kemudian berlalu dari sana setelah mengatakan, "Jangan sampai terlambat jika tak ingin dihukum." karena ia tahu, Mac tidak akan kembali bersamanya jika Mac belum memuaskan dirinya.

Mac sebenarnya ingin jujur pada temannya mengingat bagaimana sifat temannya itu yang setia kawan. Sayangnya, ajaran para tetua sudah tertanam jelas di kepalanya, bahwa manusia daratan adalah manusia tamak yang akan melakukan apa saja untuk memuaskan nafsunya. Apalagi Mac tahu, jika manusia bisa hidup abadi hanya dengan mengekstrak duyung.

Kembali ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat dirinya dipenuhi oleh ambisi dan rasa ingin tahu. Melupakan peringatan para tetua dan orang-orang yang ia sayangi dan melanggar hukum kerajaan. Sampai ia sadar dan semuanya sudah terlambat. Ia berakhir dengan kesedihan yang terus memenjaranya.

Mac menghela nafas. Ia hanya butuh satu kesempatan untuk kembali ke sana. Ia benar-benar sudah lelah menjalani kehidupannya yang sekarang dan ia ingin kembali.

Dewa Casios.

Amethrine.

Dua kata itu adalah kuncinya.

Mac tersenyum kemudian bangkit dari sana. Berlalu. Sampai ia mendengar suara rintihan lirih dari seseorang. Langkah kakinya berubah arah yang kemudian membawanya di ujung tepi batu karang. Matanya menyipit guna memfokuskan pandangannya pada satu titik. Di sana, Mac melihat ada seorang gadis yang merintih. Wajah dan sebagian atas tubuhnya menyandar pada bebatuan, sementara bagian tubuh ke bawah tertutupi oleh air.

Tanpa membuang waktu, Mac merapalkan sesuatu hingga akar-akar di sekitar batu karang yang ia pijaki bergerak membentuk tangga hingga ke bawah. Ia menuruninya dengan cepat sampai pada gadis itu.

"Hei, kau- akh!" Mac menarik kembali tangannya bingung. Suhu gadis itu terasa panas di kulitnya. Sangat kontras dengan suhu kulitnya yang dingin karena suhu udara di sekitar mereka. Benar-benar aneh. Namun, bagaimana pun perasaannya terhadap manusia, ia juga tak mungkin membiarkan gadis itu sekarat dan mati di sana.

Setelah merapalkan sesuatu, Mac melepaskan sweater-nya dan membungkus tubuh bagian atas gadis itu yang hanya menggunakan kerang dan rumput laut untuk menutupi dadanya. Selanjutnya, ia menyisipkan tangannya di bawah punggung gadis itu lalu di bawah lututnya dan... tidak ada kaki.

Mata Mac melebar ketika menyadari bahwa gadis itu bukanlah manusia, melainkan duyung. Kebingungan menyelimutinya. Ia sangat ingin menyelamatkan gadis itu, namun di sisi lain, ia takut apabila gadis itu ditemukan oleh orang lain. Dan saat ini, waktunya tak banyak untuk kembali ke asrama.

Dalam waktu yang singkat, dipenuhi oleh kebingungan, Mac memutuskan untuk menyelamatkan putri duyung itu. Membawanya pada tempat yang aman lalu menyembunyikan keberadaan putri duyung itu. Kembali ke asrama untuk mengambil poison.

Putri duyung itu harus selamat. Hanya dia yang mampu menolongnya.

Mac kembali pada putri duyung itu. Menggunakan sihir air, ia membentuk bola air lalu memasukkan putri duyung itu ke dalamnya dan menuangkan possion tersebut. Perlahan namun pasti luka menganga pada ekor dan luka-luka goresan di tubuh putri duyung itu berangsur menghilang.

Mac tersenyum ketika menyadari putri duyung itu hampir pulih dari luka-lukanya.

Akhirnya ia bisa ke Amethrine. Akhirnya ia bisa bertemu dewa Casios. Akhirnya ia bisa pulang.

Sampai mata gadis itu terbuka lebar, harapan Mac pupus. Alih-alih berterima kasih, gadis itu justru menyerang Mac hingga tubuh Mac terhempas pada karang di belakangnya.

Bola air yang dibentuk Mac pecah dan membuat putri duyung itu jatuh di atas pasir.

"Apa yang kau lakukan?" Mac bangkit. Untung saja tubuhnya refleks membuat perlindungan hingga rasa sakit akibat hempasan itu tak sampai menyakiti tubuhnya.

"Manusia!"

Sekali lagi putri duyung itu menyerangnya. Tak peduli pada tubuhnya yang tak bisa bangkit di atas pasir. Dengan tangan kiri ia menyanggah tubuhnya agar tegak dan tangan kanan ia gunakan untuk membentuk sihir berupa jarum-jarum air kecil lalu menghempaskan pada Mac.

Mac melompat lalu menghindar. Kemudian menggunakan akar yang ada di belakangnya untuk mengekang gadis itu. Mengikat kedua tangan dan ekornya agar tak bergerak. Lalu dengan sihir lain, ia membuat gadis itu tak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Tenanglah!" kata Mac seraya menghampiri gadis itu. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakanmu." Lanjutnya.

Putri duyung yang masih tetap mencoba menggerakkan badannya itu, mendongak dan menatapnya dengan pandangan membunuh, "Bagaimana bisa aku mempercayaimu?" sentaknya keras.

Mac memejamkan mata seraya menghela. Dia tentu tidak bisa menyalahkan putri duyung itu yang tetap waspada di hadapannya. Dia juga tahu bagaimana bencinya para duyung terhadap manusia.

"Aku memang tidak bisa membuktikan jika aku tidak akan membuatmu dalam bahaya sekarang." Mac melihat lilitan akarnya yang sudah menyakiti tangan gadis itu lalu melonggarkannya sedikit, "Tapi, membiarkanmu sekarat dan ditemukan manusia lain, bukan pilihan baik juga, bukan? Aku tidak yakin, jika mereka bisa berbuat lebih baik dari aku. Kau tahu, kebanyakan manusia yang melihat duyung akan memanfaatkan mereka untuk memperoleh keabadian." Jelasnya dengan tenang.

Raut wajah putri duyung itu berubah. Ia tentu tidak ingin tubuhnya diperlakukan buruk oleh mereka, maka dari itu gesturnya berubah. Ia tak lagi memberontak dan pasrah pada perlakuan Mac yang kembali membuatnya berada di dalam bola air.

"Jadi, namamu siapa?" Mac bertanya namun konsentrasinya tetap berada pada bola air yang ia buat. Poison yang ia ambil dari asrama masih tersisa sedikit dan cukup untuk mengobati sisa luka putri duyung itu.

Putri duyung itu masih memejamkan mata, merasakan luka di sekujur tubuhnya satu per satu sembuh. Bahkan pada sayatan panjang di ekornya. Ia menggerak-gerakkan ekornya untuk meyakinkannya.

Bola air yang Mac buat berangsur menyurut, menyisakan air hingga sebatas pinggang putri duyung itu.

"Adrea." sahut putri duyung itu. Masih tetap waspada pada tiap pergerakan Mac.

Tanpa memedulikan reaksi Adrea, Mac kembali bertanya, "Lalu kenapa kau bisa terluka seperti itu?" Mac belum melepaskan putri duyung itu dan masih tetap menahannya. Meski kelihatan jika ia hanya ingin membantu, namun kenyataannya dalam air yang tadi ia gunakan untuk penyembuhan putri duyung itu, ia sudah menyisipkan mantra pengekang yang aktif apabila gadis itu melakukan sesuatu padanya dan berniat kabur.

"Bukan urusanmu. Aku juga tidak memiliki tanggung jawab untuk menyahutnya." Putri duyung itu masih berbicara sarkas pada Mac, tetapi tak juga berniat melarikan diri.

"Baiklah kalau kau tidak ingin menjawabnya. Setidaknya aku tahu siapa dirimu dan mungkin juga karena itu pula kau bisa mendapatkan luka seperti itu." Mac mengangkat bahunya acuh. Masih mengabaikan sikap Adrea.

Ini adalah kesempatannya.

Mac terdiam beberapa detik, membiarkan angin laut menyusup di sela-sela antara dirinya dan putri duyung itu, sebelum menarik nafas panjang dan menatap putri duyung itu dengan tekad yang besar.

"Sebelum aku melepasmu kembali ke lautan, aku ingin kau memberitahuku satu hal." Mac memulainya dengan pelan. Namun, tidak dengan basa-basi yang bisa menghabiskan banyak waktu.

Adrea mengangkat kepalanya dan menatap sepasang mata biru di depannya. Masih dalam posisi bersiaga, ia menyahut, "Apa?" dengan pertanyaan lain.

"Kau tau Dewa Casios?"

Gestur tubuh Adrea berubah. Tubuhnya menegang dengan wajah yang menyiratkan kewaspadaan. Ia belum menyahut, membiarkan suara deru ombak mengisi kebisuan di antara mereka. Matahari sudah mulai menghilang, menyisakan warna lembayung pada senja di langit.

"Tidak." sahut Adrea tidak lama kemudian setelah melihat tatapan Mac berubah.

Ia tahu ada yang salah pada laki-laki di hadapannya itu. Meski Mac sudah menolongnya dengan menyembuhkan semua lukanya, laki-laki itu pasti punya tipuan di balik kebaikannya.

"Kau juga tahu Sawarga?"

Tubuh Adrea semakin menegang karena kata-kata Mac. Dengan gerak refleks, tubuhnya mengambl posisi bersiaga. Adrea sudah siap menyerang Mac kapan saja.

Mac menampakkan senyumnya, tidak terpegaruh pada sikap Adrea. Ia tahu mengapa putri duyung itu bertindak demikian. Karena ia pun akan bertindak seperti itu jika melihat sesuatu yang dapat mengancamnya. Namun, satu hal yang pasti, Adrea tahu tentang Dewa Casios dan Sawarga.

"Kau tahu, Adrea. Aku sudah menolongmu, maka dari itu kau wajib membalas budi." kata Mac pelan namun cukup untuk menekan Adrea. Mac tahu, harga diri seorang kesatria bagaimana tingginya dan ia akan memanfaatkan harga diri itu untuk keinginannya. "Aku hanya memintamu untuk mempertemukan aku dengan dewa Casios. Antarkan aku ke Sawarga." tutupnya dengan tegas.

Sementara Adrea di tempatnya tak menyahut, justru kuda-kudanya semakin mantap. Ia menatap Mac semakin tak bersahabat. Ia seorang kesatria. Pejuang yang bertugas melindungi kerajaan. Negerinya. Harga dirinya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keselamatan rakyat di Negerinya.

"Kalau begitu bunuh aku sekarang!" sahut Adrea tegas. Tak ada keraguan dalam tiap kata yang ia lontarkan pada Mac, "Aku tidak akan pernah membalas budi dengan cara seperti itu."

Mac tahu, setelah mengetahui siapa putri duyung yang ia tolong, ia tak akan mudah mendapatkan keinginannya. Jadi, ia memilih jujur dan menjelaskan siapa ia dan tujuannya bertemu dengan Dewa Casios.

Mac kemudian membuka bajunya, perlahan menarik paksa sesuatu yang menyerupai kulit di punggungnya hingga memperlihatkan tatto yang tidak pernah ia perlihatkan kepada orang lain, sekali pun Aata yang menjadi teman sekamarnya lebih dari tiga tahun.

Tatto itu sangat sederhana menyerupai tombak dengan tiga mata runcing di ujungnya, dililit oleh rumput laut, namun Adrea tahu arti tattoo itu. Tattoo seorang pejuang. Meski tiap Negeri memiliki gambar berbeda, namun tetap ada kesamaan.

"Dari mana kau dapat tattoo itu?" Adrea bertanya dengan rasa tidak percaya yang sangat jelas di matanya.

"Kau pernah dengar pangeran Silian dari Negeri Neofito yang menghilang?" Mac berujar pelan, memaksa matanya agar tetap lurus menatap Adrea yang menatapnya penasaran.

"Pangeran Silian, mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kerajaan Neofito dari manusia." sahut Adrea, "Dan ia mati karena itu."

Mac menggeleng, "Salah."

Kening Adrea menyerngit, namun tidak lama kemudian matanya membulat, "Jangan katakan kau adalah..."

Mac mengangguk kemudian tersenyum miris, "Iya. Aku adalah pangeran itu. Karena kebodohanku, aku berakhir seperti ini. Dan aku ingin kembali pada Negeriku."

"Jangan membohongiku!" Adrea membentak. "Aku tahu kau hanya ingin memasuki Sawarga untuk menghancurkannya, sama seperti Neofito." Dan Adrea tidak mungkin membiarkan Negerinya hancur.

"Aku tidak membohongimu." suara Mac menjadi lebih pelan dari sebelumnya. Tidak lagi menekan Adrea. Satu hal yang ia inginkan sekarang adalah Adrea menyetujuinya dan ia bisa kembali pada lautan yang tenang.

Mac sangat merindukan keluarganya, istana dan Negerinya.

Jika Adrea tidak menyetujuinya, Mac tidak tahu harus melakukan apalagi selain berusaha menerobos lautan yang dalam hingga paru-parunya meledak dalam tekanan yang menyesakkan.

"Kumohon tolong aku. Aku ingin pulang." Dan Mac tidak lagi menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia sembunyikan. Suaranya semakin lirih dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bagaimana jika kau membohongiku? Negeriku yang kupertaruhkan saat ini." suara Adrea juga melirih. Dia tidak tahu mengapa ketika melihat Mac, membuat dadanya berdesir tak nyaman. Empati yang tidak pernah dia rasakan pada manusia sebelumnya kini dia rasakan pada Mac.

Mac tahu, bagaimana dilema yang dirasakan oleh Adrea saat ini, namun ia juga tidak berbohong. Mac hanya ingin pulang ke rumahnya. "Kau bisa mengekangku dengan menggunakan rumput laut Melion. Jika aku berusaha menghancurkan Negerimu, kau bisa langsung membunuhku."

Adrea tak lagi berucap, tidak banyak yang tahu mengenai rumput laut Melion. Hanya mereka para kesatria yang diberitahu, karena sifat toksik yang dihasilkan rumput laut itu yang sangat membahayakan. Apalagi terhadap manusia, hanya sentuhan kecil bisa melumpuhkan.

"Baiklah." Adrea mengalah. "Kapan kita berangkat?"

"Sekarang." cepat dan tegas. Mac terdengar tidak sabar. Pandangannya mengarah pada langit yang sudah gelap. Artinya, para penjaga akan mencarinya karena ia belum kembali dan jika mereka berdua ditemukan, maka dia dan Adrea tidak memiliki kesempatan untuk kembali.

"Kalau begitu kita bergerak."

Mac menggerakkan bola air yang mengekang tubuh bagian bawah Adrea menuju lautan, diikuti olehnya di belakang. Ketika mereka sudah berada di dalam lautan, Mac melepaskan bola air miliknya dari Adrea dan membuat bola air berisi udara untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, Adrea mengeluarkan rumput laut yang ada di tas kecil di pinggulnya lalu melilitkan pada tubuh Mac hingga membuat tubuh Mac lemas dan hampir membuat bola air Mac pecah. Namun, Adrea melapisi bola air tersebut hingga tak pecah.

Mereka bergerak, berenang semakin dalam, melawan arus air dan tekanan yang kuat. Telinga Mac berdengung dengan rasa sakit juga dadanya yang semakin sesak ketika mereka berada pada kedalaman yang jauh.

Adrea hanya melirik Mac yang semakin melemah, namun tidak juga mencoba membantunya. Itu adalah resiko yang harus Mac terima untuk mendatangi Negerinya. Untuk bertemu dengan Dewa Casios.

.

.

.

Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com