SILAHKAN BACA CERITA SEBELUMNYA RESTART [1/3]
Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.
Terima kasih 😊.
"Memang apa lagi?"
"Tidak ada pendekatan?"
"Kau sudah tahu bagaimana aku kan?"
"Tapi aku tidak berdebar-debar seperti novel yang sering kubaca."
"Jantungku yang mau melompat Sakura."
Oh astaga, inikah kata-kata gombalan milik Uchiha Sasuke?
"Kau mau?"
"Kalau tidak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu saja memaksamu."

.
Ah, hari yang benar-benar melelahkan.
Baru tiga minggu aku bekerja di hotel ini, namun rasanya masih seminggu. Perlakuan GM padaku masih belum berubah. Bukannya disuruh mengerjakan pekerjaanku, aku malah dikerjai dan menjadi HK pribadinya. Kenapa tidak sekalian aku disuruh jadi babunya?
Arrrggghhhh... Aku benar-benar kesal dengan GM itu. Sasuke- pantat ayam- Uchiha.
Aku masih ingat, bahkan kejadian itu masih tertancap dalam benak hingga rasanya tidak akan bisa dicabut apalagi dibuang. Hari pertama bertemu, ia langsung memelukku, mengatakan sesuatu yang terlalu absurd buat ditelaah otakku. Katanya, ia merindukanku. Hell, yang benar saja? Mana pernah aku mengenalnya, bertemu saja baru kali itu.
Dan selanjutnya, tubuhku refleks melakukan gerakan pertahanan diri, yaitu mendorongnya sampai ia terjatuh─ dengan sangat tidak elit, tentu saja (sampai-sampai aku tak bisa menahan tawa, bahkan sekertarisnya juga yang tidak sengaja masuk untuk menyerahkan laporan tertawa tertahan).
Siapa yang tidak kaget kalau tiba-tiba saja seseorang yang tak kau kenal memelukmu? Tidak ada. Membiarkannya? Apalagi. Biar kata ia tampan, salah satu lelaki idaman, pemilik posisi penting dalam perusahaan tepatku melamar kerja, bahkan pemilik feromon yang memikat para wanita, tetap saja itu adalah tindakan kriminal. Aku tidak salah, kan?
Akan tetapi, sayangnya, istilah hukum alam sangat berlaku dalam perusahaan ini. Atasan selalu benar, tidak ada yang bisa membantahnya. Dan aku sebagai calon karyawan baru tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan.
Malangnya nasib anakmu ini, Mah.
"Mau sampai kapan kau melamun, anak baru?"
Aku menghela nafas, bersyukur bukan teguran dari atasan atau perintah yang kudapatkan, tapi dari Ino, cewek manis ala Barbie sekaligus tetangga kubikelku. Ia berdiri sambil bertumpu tangan pada sekat pembatas antar kubikel kami.
"Aku tidak melamun, Ino. Aku sedang istirahat. Aku capek..." keluhku. Dahiku kubenturkan di atas meja kerja lalu memejamkan mata. "Aku tidak sanggup. Aku mau resign."
"Heh!? Yakin?" dia mengejek, tahu kalau tidak ada kesungguhan dalam ucapanku.
Aku menggeleng. "Tapi ingin."
Ino berdecih, "Tapi tidak sanggup."
Dan aku hanya bisa merutuki diri sendiri karena ucapan Ino yang benar. Aku memang tidak sanggup melakukannya. Sudah cukup, aku merasakan jadi seorang pengangguran selama hampir tiga tahun. Mendengar omelan orang tua tiap hari, diremehkan oleh letting karena tidak bisa menghasilkan apa-apa, juga rasa iri pada mereka yang sudah sukses di usia muda. Tidak lagi.
Cari lowongan kerja di kota sekeras ini benar-benar butuh perjuangan yang luar biasa. Aku sudah merasakan bagaimana terik menggosongkan kulitku, setor berkas ke berbagai perusahaan (yang entah dibuat apa sekarang berkas yang sudah kukumpulkan), dan ketika sudah mendapatkan kerja dengan gaji yang bagus, aku mau keluar begitu saja hanya karena GM yang menyebalkan? Tidak akan.
"Ya. Tidak sanggup..." sahutku lemas, masih dengan kepala yang tertumpu pada meja. "Tapi, aku benar-benar tidak tahan dengan pantat ayam itu. Laki-laki diktator itu selalu saja menyuruhku melakukan apa yang ia mau dan membuatku menelantarkan pekerjaanku. Lalu ketika jam kerjaku akan berakhir, dia baru membiarkanku mengerjakan pekerjaanku. Dia adalah iblis."
"Yah," Ino menggaruk tengkuknya, bingung, "Aku juga heran sih sebenarnya. Kenapa malah kau yang diperlakukan seperti itu oleh GM. Aku dan anak-anak senior lainnya, tenang-tenang saja waktu baru masuk, paling kami dikerjai oleh senior yang duluan masuk. Itu pun tidak semelelahkan sepertimu, Sakura. Malah pak Uchiha juga tidak pernah menghiraukan kicauan karyawan wanita lain." Ino berhenti sejenak lalu memandangku curiga. Matanya memicing dan menatapku intens, seolah aku adalah tertuduh yang tak bisa kabur dari dakwaan, "Apa kau sudah berbuat sesuatu padanya?" Nada curiga tak bisa ia sembunyikan dari kalimatnya.
Aku menghela nafas pelan. Iya mungkin, sahutku dalam hati. Tapi, masa gara-gara itu? Aku tidak yakin. Aku melirik Ino yang masih menatapku curiga. Aku ingin memberitahu kejadian awal kami bertemu, tapi, itu juga tidak mungkin. Mulut Ino seperti selang bocor, bisa-bisa besok muncul gosip yang aneh-aneh. Lagipula aku tidak mau jadi korban bully karyawan penggila Mr. Uchiha-pantat ayam- Sasuke.
"Entahlah."
Suara helaan nafas Ino terdengar di telingaku, "Lalu kenapa malah memperlakukanmu seperti house keeper? Eh, tidak. House keeper saja tidak diperlakukan seperti itu oleh pak Uchiha."
"Tidak tahu." wajahku semakin kubenamkan pada meja. "Menurutmu, apa yang sudah kulakukan padanya?" tanyaku dan berpaling menatapnya.
Tapi, Ino tidak menjawab. Ia terdiam beberapa detik sebelum secara tiba-tiba rautnya berubah, seperti padang tandus yang diguyur hujan, memekarkan bunga-bunga yang ada di sana. Binar bahagia jelas tercetak di wajahnya.
Aku bangkit dan menegakkan tubuh, melihatnya seperti itu, rasa tidak enak langsung menyerangku. "Kau kenapa?"
Ino tersenyum tidak jelas, "Apa jangan-jangan dia menyukaimu, ka─"
"Tidak." potongku cepat.
Yah, Ino dan otaknya, selalu saja menarik kesimpulan sendiri. Dan itu benar-benar membuatku jengkel. Seperti ia seorang psikolog saja bisa membaca seseorang lalu menyimpulkannya. Padahal otaknya juga kadang bergeser.
"Eh?!"
"Dan jangan berpikir macam-macam. Dia tidak menyukaiku, titik."
"Ta─"
"Kau sendiri tahu bagaimana sikapnya padaku, mana ada laki-laki yang menyukai perempuan dan memperlakukannya seperti itu? Tidak ada. Pendekatan macam apa itu?"
"Lalu kenapa? Memang kau pernah berbuat salah padanya?"
"Mana kutahu, Ino. Aku sudah bilang padamu kan tadi. Pantat ayam itu, memang hanya ingin menyiksaku."
"Tapi pasti ada alasannya. Kau pasti sudah melakukan kesalahan. Mengakulah."
Aku menatapnya tidak suka. "Kalau aku salah, ia seharusnya memberiku SP atau tidak menerimaku sekalian, tapi kenapa malah menyiksaku seperti ini?"
Ino angkat bahu, "Entahlah. Hanya kau, dia dan Tuhan yang tahu."
"Ralat. Hanya dia dan Tuhan yang tahu."
Ino mendesah, "Hanya orang jahat yang seperti itu."
"Ya, dia salah satunya."
Ino memandangku, "Kau sungguh membencinya karena ini, Sakura?" aku mengangguk. "Ya."
"Sungguh?"
"Iya."
"Kau yakin?"
"Astaga Ino. Kau membuatku tambah pusing, kau tahu. Memang, apalagi yang harus kurasakan padanya selain kesal dan jengkel juga benci? Suka? Itu tidak mungkin. Sudahlah."
"Yah, baiklah. Itu urusanmu sajalah. Lagipula benci dan cinta itu hanya dipisahkan oleh sekat yang tipis, asal rusak sedikit yah pasti jadi cinta."
Aku menggeram tertahan. Jengkel dan dongkolku semakin bertambah karena mulut Ino. Aku jadi berpikir, kenapa aku bisa punya teman seperti dia? Apa dia menyantetku? Atau aku yang khilaf?
"Ya... Ya... aku tidak akan mengganggumu lagi. Lanjutkan kerjamu. Sebentar lagi jam kantor usai, kau tidak ingin lembur, kan?"
Aku menghela nafas lemas, "Biar tidak mau lembur, tetap saja aku akan lembur."
"Yah... hm... ah, aku bingung. Sudahlah. Aku tidak tahu kata-kata motivasi yang bisa membuatmu semangat, cepat selesaikan pekerjaanmu, kalau ti─"
Aku memandang Ino nanar, air mataku serasa ingin keluar.
Ino mendengus kasar, "Jangan memandangku seperti itu, Sakura. Aku juga tidak bisa membantumu. Aku juga capek."
"Jahat. Padahal kita ini kan sahabat sejak kecil."
"Yah, itu kalau di luar kantor. Maaf-maaf saja Sakura, aku juga takut pada GM─ walaupun aku mengagumi tubuh dan ketampanannya, tapi kalau marah─ uh... lebih baik aku mundur. Aku tidak berani"
Ino sialan. Apa salahnya dia membantuku, toh dia tidak akan diapa-apakan oleh Sasuke.
"Kau berubah."
"Ini realistis, Say. Kalau keadaannya seperti ini, aku juga lebih baik menyelamatkan diri."
"Egois."
Ino angkat bahu, "Setidaknya aku tidak suka mengurusi urusan orang lain, bukan."
"Tapi kepo."
"Itu manusiawi."
Kenapa Ino selalu punya kata-kata untuk melawanku sih. Aku jadi tambah dongkol.
Ini semua karena Sasuke sialan.
Dasar, psikopat, sialan, sialan, sialan. Aku terus memakinya dalam hati.
Tapi tampan.
Sialan. Setan mana yang menginterupsi kekesalanku.
Kuhempaskan tubuh untuk bersandar di kursi. Kembali meneliti angka-angka yang ada di layar komputer.
Ah, berapa lama lagi aku harus di sini? Aku jadi rindu pada ranjang dan bantalku. Novel yang kemarin baru kubeli juga. Mereka pasti sangat merindukanku sekarang.
"Aku sudah selesai."
Eh?! Cepat sekali.
"Ino─"
"Aku duluan, yah Sakura. Pacarku sudah menungguku di bawah. Bye..." Ino tiba-tiba memotong ucapanku sebelum benar-benar selesai kulontarkan, aku bertambah lemas.
Aku mengangguk lesu sebagai jawaban. "Hah..."
Dan sekarang sisa aku yang berada di ruang ini, dengan laporan yang masih tersisa dua pertiganya.
Arrrgghhhh, ini semua gara-gara Uchiha Sasuke menyebalkan itu. Seharian ini, bukannya ia membiarkanku menginput laporan, ia malah menyuruhku melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh house keeper atau sekertarisnya.
Untung saja aku pengagum pria tampan, kalau tidak sudah kulempar wajahnya itu dengan sendalku dari dulu.
Hah, sampai kapan penderitaanku ini berakhir, Tuhan?
Pengangguran atau perintah rese GM, benar-benar tidak ada yang menyenangkan.
Hampir tiga jam aku selesai menginput laporan, dan sekarang langit sudah gelap bahkan gemuruh dari amarah langit sudah keluar. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, sampai awan menjatuhkan titik-titik airnya.
"Selamat malam, bu Sakura?"
Salah seorang house keeper menyapaku. Dia adalah pak Asuma, karyawan senior di sini. Sudah hampir lima tahun bekerja hingga akhirnya diangkat jadi captaint haouse keeper. Lama, kan? Itupun juga dilihat dari kinerja kerjanya yang baik. Ini juga yang sebenarnya menjadi alasanku tidak mau keluar dari perusahaan ini. Banyak orang yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, naik pangkat dengan cepat, atau gaji yang memuaskan, tapi mereka tetap berusaha supaya tidak menjadi pengangguran. Jadi, kalau aku keluar, belum tentu aku akan mendapat pekerjaan baik seperti ini. Dan lagi, tidak memungkinkan predikat pengangguran abadi akan kudapatkan kembali.
Aku balas tersenyum, "Malam juga, pak Asuma." Meski pangkatku lebih tinggi dibanding dia, tapi tetap saja aku masih junior di perusahaan ini. Lagipula ia juga lebih tua dariku, "Oh ya, Pak. Bagaimana keadaan Mirai, sekarang? Kudengar kemarin ia demam?" tanyaku basa basi.
"Sudah lebih baik. Terima kasih, bu Sakura." sahutnya tak kalah sopan.
Aku mengangguk pelan. "Syukurlah. Maaf ya Pak, kemarin saya tidak sempat pergi, kerjaan benar-benar menumpuk." dan permintaan GM yang memuakkan, lanjutku dalam hati.
"Iya, tidak apa. Saya mengerti, kok. Ibu juga masih baru di sini, pastinya belum terbiasa dengan pekerjaannya."
Aku tersenyum, "Iya, Pak." Apalagi dengan kerjaan tak bermutu dari GM, cibirku dalam hati. Lagi. "Ah, kalau begitu saya permisi ya Pak. Sudah malam, takut busnya pergi duluan. Lagipula cuacanya sedang mendung."
"Ah, iya... iya... hati-hati di jalan yah bu Sakura." balasnya.
Satu lagi yang membuatku urung memberikan surat resign pada HRD, meski GM-nya kelewat menyebalkan, tetapi kebanyakan karyawan di sini ramah hingga membuatku betah. Sangat sulit mendapatkan tempat kerja dengan karyawan ramah seperti mereka.
Tiba di halaman depan hotel, kesialanku bertambah. Rupanya langit tidak mau berkompromi dengan keadaanku dan menurunkan titik-titik air dengan deras.
Aku mulai bimbang, tidak mungkin menunggu hujannya reda. Bus tidak akan mau menunggu. Tapi, kalau diterobos, kemungkinan aku akan sakit besok. Aishh, ini semua gara-gara pantat ayam itu.
"Kau sendiri?"
Aku berpaling manatap pemilik suara yang tiba-tiba menerobos gendang telingaku. Panjang sekali umurnya, diumpat dalam hati, langsung muncul.
"Iya, Pak. Saya sendiri." dan ini semua gara-gara kau brengsek.
"Kau mau kuantar?"
Eh? Serius? Tumben baik, biasanya cuma menyusahkan.
Tapi,
Tetap saja harga diri itu lebih penting. Laki-laki ini sudah membuatku kesusahan, masa iya diberi tumpangan langsung ikut? Murahan sekali aku kalau begitu.
"Terima kasih, Pak. Tapi, tidak usah. Saya tunggu hujan ini sampai reda saja."
Laki-laki itu menatap ke depan dan langit yang ditutupi awan hitam tanpa bintang.
"Kau yakin?" tanyanya ragu.
Dan aku juga mengangguk. Meski ragu, sebenarnya, "Yakin, Pak."
"Ya, sudah kalau begitu, aku duluan."
What? Hanya begitu saja? Tanpa ada tawaran kedua kali? Laki-laki ini memang batu alias tanpa perasaan.
"Iya, Pak. Hati-hati di jalan."
Dan ia pun pergi. Hilang di balik pintu kemudi mobilnya yang baru saja diantarkan oleh petugas valet hotel.
Sementara aku, masih berdiri di depan hotel dan berpikir. Kapan hujannya reda? Kapan aku bisa pulang? Kapan aku bertemu kamarku? Dan kapan aku bisa menikmati ramyon bungkus yang kemarin kubeli sambil membaca novel baruku? Pasti lama.
Akhirnya, setelah berpikir beberapa detik dengan terpaksa aku memilih menerobos. Dari pada tidak pulang lebih baik aku sakit, setidaknya aku mempunyai alasan untuk tidak masuk kerja besok dan mungkin saja GM itu bisa intropeksi diri dan berubah. Tidak lagi berbuat semena-mena pada karyawan lemah lembut sepertiku.
Rasa dingin perlahan mulai menjalari tubuh ketika tetes air hujan satu per satu membasahi tubuhku. Tas yang kugunakan sebagai pelindung, sama sekali tidak membantu. Angin yang berhembus kencang, juga derasnya air hujan yang turun, sedikit memburamkan penglihatan dan membuatku sulit berlari. Dan gara-gara itu pulalah, kesialanku bertambah. Aku tersandung batu, lalu terjatuh di aspal. Sungguh memalukan sekaligus menyedihkan.
Aku benar-benar ingin mengutuk GM pantat ayam itu menjadi pantat ayam sungguhan. Gara-gara dia, keadaanku jadi menyedihkan begini. Bisa kalian bayangkan sendiri, bagaimana keadaanku. Di tengah hujan deras, aku terjerembab pada kubangan air hujan yang kotor, seluruh pakaianku basah, kaki terkilir dengan rasa perih yang menyengat plus mendapat predikat sebagai manusia paling menyedihkan dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.
Oh Tuhan, kenapa nasibku malang seperti ini? Kenapa bisa aku bertemu dengan manusia kejam seperti dirinya? Dan kenapa dia diciptakan dengan wajah malaikat yang membuatku tidak bisa menendang wajahnya?
Aku benar-benar tidak tahan dengan ini semua.
Tin.
Eh?
Suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. Tapi, aku tidak bisa bergerak pun bangkit untuk menghindar. Tubuhku terlalu lelah, kakiku juga sudah kebas ditambah dengan rasa menyengat yang perih pada pergelangan kakiku karena terjatuh.
Tuhan, bukan ini maksudku? Aku hanya tidak tahan pada sikap laki-laki itu dan bukan pada nasibku. Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti ini dan pada waktu ini. Aku tidak ingin masuk koran dengan judul, wanita paling menyedihkan ditabrak lari.
Akan tetapi, sepertinya doaku tidak akan dikabulkan kali ini. Aku benar-benar tidak bertenaga untuk bergerak, dan lagi pandanganku mulai memburam. Dan tahu-tahu, tiba-tiba semuanya jadi gelap. Tubuhku luruh di aspal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya.
...
0 komentar:
Post a Comment