Fly with your imajination

Saturday, September 22, 2018

Senja Di Penghujung Tahun - Naruto dan Anak-anak


Genre: Romance hurt, drama
NARUTO MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)

Senja di Penghujung Tahun Mickey_Miki (@mickey139)

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Ket.

Huruf miring adalah percakapan di telepon.
Huruf miring yang dibolt adalah sebaris percakapan masa lalu.

DLDR

enjoy :)

sumber gambar google

Senja itu langit tampak kelabu, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi tanah kota Tokyo. Hal yang tidak biasa karena akhir musim hujan sudah lewat beberapa bulan lalu. Hujan di awal penghujung tahun memang bukan menuju akhir tahun yang baik, karena persiapan tahun baru sudah mulai dilakukan. Tapi tidak begitu dengan pemuda itu. Hujan di awal bulan desember malah menjadi keberuntungan yang menyenangkan untuk dirinya. Tidak hanya memiliki alasan untuk menunda pertemuannya dengan Hanabi, itu juga membuatnya lebih lama menghabiskan waktu bersama dua bocah di depannya.

"Hujannya masih lama, yah Paman?" Himawari masih memperhatikan rintik hujan dari balik jendela apartemen milik Naruto. Gadis cilik kloningan Hinata itu, sedang duduk dan bersandar di punggung sofa dengan kepalanya menghadap jendela. Tangan-tangan mungilnya sedang menggambar sesuatu di kaca dengan embun yang dihasilkan oleh hujan.

Naruto tersenyum. Memperhatikan Boruto dan Himawari selalu membawa perasaan nyaman di hatinya. Entah itu tingkah mereka, obrolan absurb yang kadang mereka lakukan, atau kesibukan dan wajah memberenggut mereka.

"Sepertinya hujannya akan sampai besok." jelasnya. Naruto menemani Boruto merangkai lego yang tadi dia belikan untuk bocah pirang itu.

"Jadi, kita belum bisa bertemu bibi Hanabi, yah?" Himawari kembali bersuara meski pandangannya tetap pada kaca.

"Maafkan, paman yah sayang?" Meski sebenarnya Naruto cukup senang dengan cuaca mendung saat ini yang bisa memberinya waktu lebih lama dengan bocah-bocah itu.

"Kalian sudah mengisi baterai ponsel kalian, 'kan?" Boruto mengangguk, "Sudah." sahut Bolt tanpa memperhatikan Naruto dan sibuk dengan Lego yang ia rangkai sekarang.

"Bagaimana kalau kalian hubungi bibi kalian dan bilang padanya jika kalian ada bersama paman supaya ia tak khawatir." saran Naruto langsung diterima oleh Himawari. Gadis cilik itu langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri tas belakang yang ia simpan di dalam kamar.

Tidak lama Himawari kembali dan duduk di sofa bersama Naruto dan Boruto. Lalu mengotak atik ponselnya sebelum mengangkat dan meletakkannya di telinga.

Tidak sampai dua dering, orang di seberang sudah mengangkatnya. "Himawari..." Tetapi, bukan sapaan lembut yang biasa bocah itu dapatkan, melainkan pekikan keras khas seorang wanita, "astaga sayang, kalian ada di mana sekarang. Kalian baik-baik saja, 'kan? Bagaimana dengan Boruto, dia tidak ketakutan, 'kan?..."

"Bibi..."

"Sayang katakan, di mana posisi kalian, biar bibi datang ke sana sekarang. Apa kalian diculik? Katakan pada Bibi...!!!"

"Bibi Hanabi, kami..."

"Himawari..."

Naruto yang melihat Himawari tak bisa berbicara karena kecerewetan bibinya, langsung mengambil ponsel dari tangan gadis cilik itu lalu menggantikan Himawari untuk bicara, "Hallo..." Nada bicara Naruto yang tegas dan dingin mau tak mau membuat lawan bicaranya berhenti sejenak. Lelaki itu telah kembali pada dirinya sebelum bertemu dengan Bolt dan Himawari.

"Siapa ini? Mana keponakanku? Di mana Himawari dan Bolt?"

Sayangnya nada tegas dan dingin pun tak bisa membungkam lama mulut Hanabi. Bibi Boruto dan Himawari itu malah semakin mendesak dengan pertanyaan-pertanyaannya.

"Aku Naruto. Namikaze Naruto. Apa ini bibi Himawari dan Boruto?"

"Iya, aku bibinya... Di mana kalian sekarang? Aku akan menjemput mereka."

"Kau tenang saja. Keponakanmu ada di apartemenku."

"Apartemen?"

"Iya, apartemenku."

"Dasar brengsek, kau mau menculik mereka?" suara di seberang sana semakin melengking, bahkan Naruto harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

"Kau salah paham Nyonya."

"Nyonya? Siapa yang kau sebut nyonya, hah? Aku masih belum menikah, sialan. Dan aku tidak salah paham. Kau pikir sudah berapa lama keponakanku hilang, ha? Sudah sehari-semalam dan kau tidak mengembalikan mereka. Seharusnya kau langsung menghubungiku bukan malah menahan mereka bersamamu..."

Naruto menghela nafas, rasa kesal tak pelak dia rasakan juga saat kata-kata tuduhan yang sebenarnya betul itu keluar dari mulut cerewet bibi Boruto dan Himawari. Tipekal wanita yang selalu Naruto hindari (sama seperti ibunya, tapi ayahnya malah sangat mengagumi ibunya).

"Kalau bukan menganggapmu penculik lalu apa? Sekarang cepat katakan!"

Dasar wanita. Sepertinya mulut wanita itu memang diciptakan dengan kecepatan ucap yang lebih tinggi seperti mobil sport.

"Di mana alamatmu? Aku yang akan mengantar mereka. Hari sudah hampir malam, dan hujan belum berhenti. Aku atau pun kau tidak mungkin berkendara di cuaca seperti ini." tandas Naruto dan menghentikan segala kesal wanita di seberang sana.

"Tidak. Kau yang harusnya memberitahuku di mana alamatmu? Aku yakin setelah tahu di mana rumah kami, kau akan datang dan meminta tebusan."

Naruto mendengus, memang orang ini seberapa kaya sampai bisa membuat seorang Namikaze Naruto meminta uang tebusan?

"Buat apa aku meminta uang tebusan padamu?"

"Tentu saja karena taraf hidup di kota ini sudah meningkat hingga kau sangat butuh uang untuk biaya hidupmu."

Bahkan Naruto bisa memberikan satu persen saham perusahaannya untuk menukar bocah-bocah itu.

"Sebutkan alamatmu, kalau kau ingin para keponakanmu bisa kau temui besok!"

"Sialan! Kau pikir kau siapa, hah? Cepat"

"Namikaze Naruto dari Uzu Corp. Kirimkan alamatmu sekarang! Besok aku akan mengantarkan mereka di sana."

sumber gambar google

Meski wanita itu masih terdengar tidak terima, ia tetap menyebutkan alamatnya. Yah setidaknya, wanita itu sadar dengan keadaan. Dan satu tujuan terselubung miliknya pun akan terealisasi. Walau pun, Naruto tidak bisa lagi bersama bocah-bocah itu, ia tahu di mana ia bisa menemui mereka.

"Apa kata bibi, Paman?"

Naruto menyerahkan kembali ponsel milik Himawari. Gadis cilik itu rupaya sedari tadi terus memperhatikan Naruto. Bahkan Boruto yang tadi sangat fokus pada legonya pun berhenti untuk memperhatikannya.

"Besok paman yang akan mengantar kalian pulang. Bibi kalian tidak bisa datang karena hujan. Jadi, malam ini kalian akan tidur kembali bersama paman. Kalian mau, 'kan?"

Boruto dan Himawari mengangguk bersamaan, "Aku masih mau main dengan permainan ini." ucap Bolt seraya meneruskan permainannya.

sumber gambar google

...

Di sisi seberang, tepatnya si penerima telepon, Hanabi terlihat tersenyum sendiri di atas ranjangnya. Sudah lama ia ingin melakukan itu terhadap Naruto, sayangnya dulu ia tak bisa. Dulu, ia masih bocah berumur 13 tahun yang tidak pernah mendengar kalimat kasar atau pun umpatan hingga tak mampu mengeluarkan kalimat-kalimat makian. Dan tadi itu, adalah bentuk realisasi dari keinginannya yang dulu. Ia benar-benar puas memaki Naruto. Yah, meski makian itu bukan tentang kebejatannya yang dulu, melainkan untuk para keponakan manisnya.

sumber gambar google

Hanabi mengambil ponselnya yang terletak tak jauh dari posisinya berbaring. Ia kembali membuka pesan kakaknya yang sedari tadi dia abaikan karena tidak ingin membohongi kakaknya. Pesan yang isinya masih tetap sama. Entah kenapa, kakaknya itu memiliki kepekaan tinggi terhadap anak-anaknya. Padahal jarak dirinya dan kakaknya itu sampai beratus kilo meter, tapi kakaknya masih bisa merasakan kalau anaknya tidak berada bersamanya.

Drrrrrrttt...

Hanabi tersentak, ponselnya hampir jatuh kalau saja ia tidak menggenggamnya erat.

Nama nee-chan tertera di layar ponsel. Artinya, kakaknya itu lagi-lagi menelponnya dan mau tak mau ia harus mengangangkatnya kalau tidak ingin membuat kakaknya itu curiga.

Hanabi berdehem untuk membersihkan kerongkongannya yang terasa seperti ada kelat karena rasa gugup. "Halo nee-chan ada apa..."

"Ah Hanabi, kenapa dari tadi kau tidak menjawab teleponku? Pesanku pun kau abaikan. Aku kan merasa khawatir pada anak-anak..."

"Astaga, nee-chan. Kau terlalu berlebihan. Anak-anak dalam keadaan baik-baik saja. Kau tenanglah di sana dan jangan terlalu cemas. Nanti malah kau sendiri yang jatuh sakit..." Hanabi menghela nafas, satu kebohongan berhasil meluncur dari mulutnya dan membuatnya dirundung bersalah. "Lagi pula, tadi aku menemani anak-anak. Mereka terlalu aktif, jadi, aku susah membuka ponsel karena harus mengawasi mereka." jelasnya lagi.

Terdengar suara helaan nafas dari seberang, "Kau tahu kan Hanabi. Ini adalah kali pertama aku berpisah dengan anak-anakku. Tentu saja aku merasa sangat khawatir."

"Iya, aku tahu nee-chan. Kau sudah jadi seorang ibu sekarang, jadi wajar kalau merasa khawatir. Ini juga adalah pertama kalinya mereka jauh darimu... tapi, kan kau tahu sendiri, kalau mereka ada bersamaku dan kau pun tahu kalau aku atau ayah tidak mungkin menelantarkan bocah-bocah manis itu."

"Yah, kau benar Hanabi..."

Hanabi menghela nafas lega. Kebohongan yang ia lontarkan dimakan bulat-bulat oleh kakaknya.

"Kalau begitu, biarkan aku mendengar suara anak-anakku. supaya aku bisa tenang..."

Deg.

Jantung Hanabi mulai tak karuan berdebar, tangan dan kakinya mulai terasa dingin karena gugup. Ia harus memikirkan kebohongan yang bisa kakaknya terima tanpa protes. "Kalau itu sayang sekali nee-chan..." mata Hanabi tanpa sengaja jatuh pada jam dinding kamarnya, "anak-anak sudah tidur. Mereka sangat lelah karena seharian bermain."

"Kau bisa membangunkannya, hanya sebentar saja Hanabi, yang penting aku mendengar suara mereka."

Astaga, kakaknya ini. "Nee-chan, kau tahu sendiri Himawari sangat susah tidur kalau dibangunkan. Aku tidak mau dia tidak tidur semalaman karena keinginan nee-chan." meski jantung berdegup cepat dan tubuhnya sudah panas dingin karena gugup , Hanabi tetap berusaha sabar menjelaskan pada Hinata.

"Yah, kau benar."

Hanabi lagi-lagi menghela nafas lega, syukur kakaknya itu bukan orang curigaan. Alasan klise semacam itu pun bisa dia terima.

"Kenapa kau menghela nafas, Hanabi? Kau menyembunyikan sesuatu? Apa anak-anakku baik-baik saja?"

Tapi, kalau tingkat kepekaan, Hanabi akan mengakui kalau kakaknya itu memiliki rasa peka yang tinggi. Terlalu sensitif jika menyangkut orang yang ia sayang. Dan sayangnya, gara-gara itu pula yang membuatnya sulit melupakan Naruto. Laki-laki yang sudah menghancurkannya dulu.

"Nee-chan aku tidak menghela nafas, aku sedang menguap tadi."

"Kau sudah mengantuk?"

Hanabi geleng kepala menyesal, "Iya. Anak-anakmu membuatku tak bisa beristirahat." dustanya lagi. Entah sudah berapa banyak dusta yang ia berikan pada kakaknya. Semoga Kami-sama mengampuninya

"Mereka keponakanmu juga, 'kan?"

"Iya sayangnya begitu. Mereka keponakan yang sangat aku sayangi. Meski mereka merepotkan... Jadi, nee-chan, aku akan menutup teleponnya. Aku mau istirahat." sekalian tidak mau lagi berbohong.

"Baiklah." sahut Hinata, lalu, "Ah, satu lagi, aku mungkin pulang lebih cepat. Lusa atau tiga hari lagi setelah pekerjaanku selesai.."

"Iya, Nee-chan, aku sudah tahu. kemarin nee-chan kan sudah bilang. " untunglah kakanya itu pulang lebih lama, jadi ia bisa menjalankan tahap awal rencananya. Benar-benar beruntung.

sumber gambar google
...

Malam semakin larut, namun mata Naruto tetap nyalang menatap langit-langit kamar. Boruto dan Himawari sudah tertidur sejak satu jam yang lalu. Mereka tertidur sangat cepat, mungkin karena pengaruh aktivitas yang seharian ini mereka lakukan.

Boruto adalah tipe bocah yang sangat aktif, terlebih jika ada hal baru yang ia lihat. Sebagai contoh adalah permainan lego. Bocah itu bahkan tak mau beranjak sebelum rangkaian pesawatnya jadi. Sementara Himawari, bocah cilik itu pun sama bersemangatnya dengan Boruto. Memang tidak seaktif Boruto, tapi cukup kritis sampai menguras pikiran Naruto untuk bisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya belum boleh diajukan oleh bocah seumurannya. Contohnya saja, "Paman kenapa di perut bibi itu bisa ada anak bayinya?" pertanyaan itu muncul ketika mereka melintas di taman dan tanpa sengaja mereka berpapasan dengan ibu hamil ketika di rumah sakit tadi. Naruto tidak mungkin menjawab gamblang pertanyaan itu. Alhasil ia malah mengalihkan topik. Atau pertanyaan lain seperti, "Paman kenapa paman dan bibi itu ciuman?" saat tanpa sengaja Naruto membiarkan tivinya menayangkan film romansa dewasa. Dan semua pertanyaan itu benar-benar cukup membuat seorang Namikaze menjawab dengan tidak masuk akal.

Naruto bangkit dan berjalan menuju ruang kerjanya. Di sana ia duduk di kursi yang biasanya digunakan untuk kerja. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi seraya menghela napas panjang. Tangannya segera membuka laci dan mengambil satu figura cantik yang selalu ia simpan. Seorang wanita cantik yang berpose menghadap kamera dengan senyum yang selalu bisa membuatnya hangat. Wanita yang tetap bertahan memaku namanya di hati Naruto.

sumber gambar google

"Aku tidak tahu, kenapa wajahmu sering muncul di kepalaku. Bahkan wajah kaa-chanku sendiri berubah seperti dirimu."

Naruto senyum sendiri ketika mengingat itu. Bagaimana dulu, ia menggoda Hinata menggunakan rayuan ketinggalan jaman, namun Hinata tetap tersenyum, bahkan merona.

"Hinata, kau benar-benar cantik. Tapi, aku tidak suka kau memakai baju itu. Kakimu terlihat, nanti laki-laki lain tidak bisa mengalihkan matanya dari kaki-kakimu. Mereka akan membayangkan hal-hal erotis dipikirannya..."

Lagi-lagi Naruto tersenyum ketika mengingat betapa posesifnya dulu ia terhadap Hinata. Ia seperti anak kecil yang tidak mau berbagi permen kepada orang lain. Dan Hinata, gadis itu malah tenang-tenang saja dengan prilakunya, tidak protes dan melakukan apa yang Naruto katakan.

"Kumohon gugurkan bayi itu, Hinata!"

Lalu ingatan yang tidak ia inginkan itu datang. Meluruhkan senyum yang sempat menghias bibirnya. Meredupkan euforia semu yang sempat singgah di dadanya dan kembali membawa perasaan tak nyaman dan sesak yang perlahan mengingatkan dirinya tentang rasa sakit dan menyesal.

Naruto menghela napas sekali lagi, ia kemudian memejamkan matanya dan memijit pangkal keningnya. Andai dulu ia tak bertindak egois, Naruto tak mungkin seperti ini, hidup bagai ikan di dalam akuarium. Hanya berenang memutar pada satu tempat. Penyesalan pun tak kunjung berakhir. Andai dulu ia bersikap lebih dewasa, kekasih dan anak yang tak dia inginkan pun pasti akan berada di sisinya sekarang. Dan pastinya ia tak akan menjalani hidup penuh kekosongan dan penyesalan.

Getaran ponsel di atas meja menyentak kesadaran Naruto akan bayang-bayang masa lalu. Ia menghembuskan nafas kasar kemudian bangkit dan mengambil ponselnya.

"Aku akan pulang besok."

Satu pesan singkat dari Sasuke berhasil membuatnya berdecih kasar. Entah kenapa laki-laki itu selalu berhasil membuat rasa dongkolnya menanjak. Atau karena Sasuke sendiri yang hadir saat mood-nya tidak bagus? Entahlah.

Melirik jam dinding di atas pintu, Naruto segera beranjak. Ia tidak ingin bangun kesiangan besok dan membuat Bolt dan Himawari kelaparan. Ia kemudian keluar ruangan menuju kamarnya sendiri.

Di tengah jalan, Naruto menghentikan langkahnya dan beralih menuju kamar Bolt dan Himawari. Entah kenapa, ia merasa khawatir dan ingin melihat mereka.

Dari pintu, Naruto sudah bisa melihat bagaimana posisi Bolt dan Himawari sudah berubah. Tetapi, untungnya posisi mereka tak ada yang saling menyakiti. Kalau Bolt sudah berada di bagian kepala, maka Himawari ada di bagian kaki, selimut mereka pun sudah jatuh di bawah ranjang.

Naruto menggerakkan kakinya semakin dekat. Melihat anak-anak itu tertidur, entah kenapa menimbulkan sebuah perasaan rindu.

Naruto kembali teringat dengan perkataan Gaara maupun Ino. Dan meskipun itu hanyalah sebuah argumen mendadak yang datang tiba-tiba karena kemiripan mereka, Naruto berharap jika itu adalah kenyataan.

"Dad, we miss you...!"

Pandangan Naruto refleks mengarah pada Himawari saat suara igauan bocah perempuan manis itu masuk ke indra pendengarannya. Ia tak tahu kenapa, mendengar igauan itu memunculkan suatu desiran halus yang merambah dari dalam dadanya hingga membuat jiwanya terasa hangat. Dan ia pun tak tak tahu dari mana cetusan untuk menjadikan bocah-bocah itu jadi anaknya datang. Naruto benar-benar ingin menggantikan posisi ayah yang Himawari rindukan.

"Kau sangat mirip dengannya, Himawari..." Naruto bergumam seraya membawa tangannya untuk mengelus kepala Himawari.

Untuk beberapa menit, Naruto hanya mengelus kepala Himawari dan tak beranjak sedikit pun dari ranjang. Niat awalnya untuk segera ke peraduannya berubah. Ia kemudian memperbaiki posisi bocah-bocah itu lalu mengambil tempat di sisi kanan samping Bolt selanjutnya ikut berbaring bersama mereka. Ikut terlelap dalam damai mimpi indah.

sumber gambar google
.

.

.

Tbc.

...

A/N : sebelumnya saya berterimakasih karena sudah menunggu cerita ini dan maaf karena lama gak updatenya. Dan semoga chap ini tidak membosankan.


Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:
Comments
Comments

1 comment:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com