Fly with your imajination

Tuesday, October 20, 2020

JEJAK#4

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA SELANJUTNYA


♡♡♡

BAGIAN 4 : PENANTIAN # AIR MATA

Sudah lebih seminggu Janeta selalu menghindari Riza dan Riza sendiri pun tidak tahu apa alasan dari sahabatnya itu menjauhi dan menganggapnya sebatas angin tak kasat mata yang tidak usah digubris keberadaannya.

Awalnya Riza menganggap hal itu tidak terlalu penting, karena Janeta memang suka bersikap demikian. Marah dan menghindarinya sudah terlalu sering ia dapati dari sahabatnya itu, namun itu hanya berselang sehari sebelum mereka kembali berbaikan. Dan sekarang, sudah lewat dari tiga hari sejak Janeta mogok bicara dengannya. Waktu yang terlalu lama untuk merajuk. Didekati pun Janeta selalu menghindar. Lalu apa yang harus ia lakukan untuk mencari tahu?

Riza menyentuh kepalanya saat pusing tiba-tiba mendera. Darah dari hidung keluar tanpa diperintah. Ia hampir ambruk ketika tak ditolong oleh Naufal. "Riz, kamu gak apa-apa?"

Sebenarnya Riza ingin mendengus mendengar pertanyaan itu karena dilihat dari mana pun Riza tidak kelihatan baik sekarang, tetapi karena kondisinya tidak memungkinkan ia hanya diam dan mengikuti Naufal yang membopongnya sambil menahan darah yang keluar dari hidungnya dengan sapu tangan. Ia juga menjaga agar darahnya tak sampai mengenai Naufal.

"Kamu kok bisa mimisan sih? Kamu gak mandi yah ke sini?" kata Naufal seraya memiringkan ke depan kepala Riza ketika sudah tiba di UKS dan duduk di ranjang.

Riza tahu itu hanya candaan, tetapi karena keluar dari mulut Naufal membuatnya jengkel. Pusing di kepalanya sudah agak mendingan dan ia bisa membalas Naufal. "Nolongin itu yah yang ikhlas, gak perlu diejek pula."

"Aku ikhlas kok." balas Naufal. "Tapi, kalau liatin kamu, susah sih buat mulut aku berhenti ngejek."

Riza mencebik, kemudian menyuruh penjaga UKS untuk mengusir Naufal dari sana. Namun, Naufal berhasil membuat penjaga UKS tak mengusirnya.

"Harusnya tuh kalau orang sudah ditolong, ngucapin terima kasih. Bukan malah disuruh keluar." keluh Naufal. Namun tak juga beranjak dari sisi Riza.

"Terima kasih." kata Riza dengan suara datar. "Sudah kan? Ya udah pergi gih." Lanjutnya kemudian sambil mengibas tangan ke arah Naufal.

Namun, bukannya marah pada balasan sarkas Riza, Naufal justru terkekeh. Meliht wajah cemberut Riza membuat perutnya tergelitik. Ia benar-benar senang melihat Riza tak bisa membalas ejekannya. 

♡♡♡

Seminggu berselang, Janeta tetap tak mengindahkan kehadiran Riza. Cewek itu terus saja menghindarinya. Entah itu ketika tanpa sengaja ketemu di toilet, Janeta langsung berbalik arah, atau ketika tanpa sengaja bersinggungan di depan kelas, Janeta seolah tak melihat Riza dan mengabaikan sapaannya. Dan sampai saat Riza dirawat di rumah sakit, Riza tak tahu masalah apa yang sudah ia perbuat hingga Janeta seperti itu padanya.

Riza berpaling ke arah pintu, kemudian tersenyum melihat dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruangannya.

"Pagi, dokter Herman, suster Arinka."

Dokter dan suster itu tersenyum sebelum membalas sapaan Riza.

"Bagaimana perasaanmu, Riz?" tanyanya seraya melakukan pemeriksaan pada Riza. "Mual dan muntahnya masih sering." 

Riza mengangguk. "Iya, dok. Saya juga masih sering keluar masuk toilet."

Dokter Herman mengangguk, tangannya masih bergerak memeriksa Riza. "Kalau tidurmu?"

"Sudah mendingan. Saya sudah bisa tidur nyenyak."

Sekali lagi dokter Herman mengangguk. Ia tersenyum sebelum menyahut, "Kalau kamu rutin bergerak, bisa jadi efek obat ARV cepat hilang."

"Iya, Dok. Saya sering jalan-jalan di taman kalau pagi seperti yang dokter bilang."

Dokt er Herman tersenyum, "Bagus kalau begitu."

Beberapa menit kemudian pemeriksaan itu selesai, dokter Herman memberi saran pada Riza sebelum keluar ruangan dan diikuti oleh suster Arinka.

Hening di dalam ruangan Riza membuat gadis itu kembali teringat masalahnya dengan Janeta. Masalah yang belum ada titik terang penyelesaiannya.

Bahkan meski Riza sudah seminggu dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang terus menurun, tak sekali pun Janeta datang melihat kondisinya.

Riza tentu saja sedih. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikirannya bahwa mereka akan bersinggungan apalagi sampai Janeta mengabaikannya. Tetapi, Riza juga tidak bisa berbuat apa-apa, meski ia sendiri tidak tahu apa masalah Janeta.

Untungnya, ada Naufal. Laki-laki itu meski sudah tahu tentang penyakitnya, ia sama sekali tidak jijik. Naufal tetap datang menjenguk. Sesekali ia menghibur, meski diselingi dengan ejekan, seperti kebiasaannya.

Seperti siang ini. Riza bahkan tak sadar kapan Naufal duduk di kursi yang tadi dipakai oleh dokter Herman ketika memeriksanya. "Apa sih yang dari tadi kamu pikirkan? Berharap kemasukan yah?"

"Sialan." Riza melempar Naufal tisu yang ada di samping bantal tidurnya. "Kalau cuma mau buat orang jengkel mending gak usah datang."

"Cie, ngambeeeeek...."

Riza mendelik. Memberikan tatapan mematikan yang sayangnya terlihat sayu dan menggelikan di mata Naufal.

"Mau coba keluarin bola mata nih?"

Benar-benar menjengkelkan. Riza benar-benar ingin menendang Naufal dari hadapannya sekarang. Laki-laki itu sukses membuatnya naik darah.

"Nau--"

"Gak usah teriak."

Uh, rasanya Riza ingin mencabik-cabik temannya itu. Bukannya memberikan semangat, laki-laki itu justru membuatnya kesusahan karena menahan kesal.

Naufal menghela. Sepertinya ia harus menghentikan candaannya itu, melihat wajah Riza yang sukses memerah menahan kesal. Meski sulit karena Naufal benar-benar senang melihat wajah kesal Riza, tetapi ia tak mau tiba-tiba ditendang dari sini kalau Riza berteriak dan memanggil pihak keamanan.

"Maaf. Aku berhenti deh."

Riza mendengus tanpa membalas.

"Jadi ..." Naufal menjeda kata-katanya sejenak, sebelum dengan ragu melanjutkan, "Janeta belum datang juga?"

Hanya dengan melihat perubahan dari raut wajah Riza, Naufal sudah tahu jika Janeta belum sama sekali menjenguk Riza. Laki-laki itu kemudian menghela nafas, "Jangan khawatir. Mungkin Janeta ada urusan lain. Dia sahabat kamu Riz, gak mungkin dia gak datang jenguk. Kamu hanya perlu menunggu sedikit lagi." Meski pun Naufal agak bingung dengan sikap Janeta, kenapa sampai sekarang cewek itu belum juga menampakkan diri, ia tidak lagi mengungkit soal Janeta di sela-sela obrolan mereka.

Riza mengangguk. "Iya."

Naufal benar. Mungkin Riza hanya perlu menunggu. Semarah-marahnya sahabatnya itu, dia pasti tidak akan membiarkan Riza bergelung dalam keadaan sedih karena perselisihan di antara mereka.

"Terima kasih." Sahutnya tersenyum.

Setelah mengucapkan perpisahan, Naufal pamit pergi meninggalkan Riza sendiri di dalam kamar perawatan. Membuat segala ketegarannya menguap hingga ke titik paling dasar. Ada satu getaran perih yang terasa sakit di dadanya, lalu perlahan menjalar hingga membuat setetes air matanya mengalir di pipinya yang diikuti oleh tetesan yang lain.

"Janeta." lirihnya.
♡♡♡

Seperti hari-hari sebelumnya Janeta selalu melalui hari sama baiknya seperti kemarin. Datang ke sekolah, mengerjakan tugas dengan nilai yang memuaskan dan mendapatkan pujian dari guru. Belum lagi, ia selalu bertegur sapa dengan Naufal ketika mereka berpapasan, meski sebagian hatinya terasa teriris ketika mengingat kalau senyum Naufal yang sesungguhnya hanya untuk Riza.

Siang itu, ketika ia berjalan sendiri di koridor menuju belakang sekolah, tiba-tiba saja ia teringat tentang Riza. Entah bagaimana bisa, suara tawa Riza bergema di kepalanya, cara gadis itu ketika merebut diam-diam kue yang ia bawa terbayang di hadapannya. Dan tentu saja itu sudah cukup untuk membuka kembali lubang kecil di sudut hatinya yang berusaha ia tutupi.

Janeta sadar, meski ia selalu menolak untuk tidak peduli, nyatanya Janeta tetap tak bisa mengindahkan perasaannya. Bahwa ia memang sangat khawatir pada sahabatnya itu.

Ketika bel pulang bergema seantero sekolah, Janeta tak membuang waktu untuk segera berlalu. Bukan untuk pergi menjenguk Riza, ia hanya ingin segera pulang dan bereksperimen dengan tepung dan gula. Ada resep kue baru yang ia temukan. Dari tampilan covernya, Janeta bisa simpulkan bahwa kue itu begitu lezat. Tekstur lembut yang menyapa lidah ketika gigitan pertama terbayang di kepalanya, apalagi dengan perbaduan manis yang sempurna. Janeta sudah tak sabar untuk segera membuatnya. Tapi, ada satu bahan yang kurang, dan ia harus segera membelinya. Waktunya tak banyak. Hanya hari ini saja ia bisa.

Janeta sengaja meliburkan para pembantunya tanpa ketahuan oleh orang tuanya agar bisa bereksperimen. Jadi, jika ia bersantai saat ini, ia hanya akan memiliki waktu sedikit. Karena pengerjaan kue itu sangat lama dan menyita banyak waktu.

Tiba di persimpangan Jalan, tepat di seberang jalan yang ia lewati, irisnya melebar. Nafasnya tertahan untuk sesaat, sebelum ia berlari menjauh dari tempat itu. Air matanya luruh seketika.

Janeta berlari melewati arus orang-orang yang juga sedang melewati tempat itu. Melewati beberapa pedagang yang sedang berjualan di pinggir trotoar, melewati pengamen yang bernyanyi di depan orang-orang yang makan. Sayangnya, karena Janeta tak memperhatikan jalan yang berlubang di depannya, ia terjatuh. Bajunya kotor karena debu, pun lututnya yang tergores akibat bergesekan dengan jalan. Tapi, ia tak memedulikan itu. Janeta segera bangkit kemudian kembali berlari dan menjauhi keramaian.

Menjauhi satu dari banyaknya masalah yang menjerat. Atau mungkin masalah itu akan melebar dan membuatnya terpuruk. Ia yakin keluarganya akan hancur karena hal ini. Dan ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.

Janeta kembali terbayang bagaimana ayahnya yang begitu mesra ketika mengecup perempuan lain di dalam restauran seakan lupa jika ia telah memiliki keluarga yang sangat membutuhkan curahan kasih sayangnya. Senyum yang dipancarkan ayahnya begitu hangat, senyum yang tidak lagi ia dapatkan ketika umurnya sudah menginjak angka dua belas.

Tiba-tiba suara klakson menggema, disusul bunyi decitan ban yang beradu aspal. Tubuhnya terhempas, ringan seperti kapas. Semua suara yang masuk ke indera pendengar terdengar samar oleh dengungan yang menyakitkan. Penglihatannya menjadi kabur lalu perlahan menjadi lebih jelas yang selanjutnya di susul oleh kegelapan.

♡♡♡

Mickey139



SEBELUMNYA SELANJUTNYA


Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com