Fly with your imajination

Friday, October 23, 2020

JEJAK#5

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA


Janeta tidak tahu, sudah berapa lama ia berada dalam kamar inapnya, ia juga tidak tahu apakah hari sudah pagi, ataukah menjelang malam, ia juga tidak tahu apakah ada orang lain selain dirinya di dalam ruangannya, ia tidak bertanya.


Yang Janeta tahu, ketika ia terbangun dari komanya beberapa hari yang lalu, tidak ada satu pun objek yang bisa ditangkap oeh matanya. Hanya ada kegelapan yang menyambutnya ketika bangun. Pun ketika hari sudah berganti, mata Riza tetap tidak bisa melihat apapun.

Untungnya, meski ia tidak bisa melihat, tetapi indranya yang lain justru terasa lebih sensitif. Seperti pagi ini. Ada yang aneh. Tidak ada suara di ruangannya, tetapi ia bisa merasakan tatapan orang lain di dalam ruangan itu yang terus menatapnya. Namun, meski Janeta sudah bertanya, orang itu tetap tidak menyahut.

♡ ♡ ♡

Dua minggu berselang, Janeta masih tak diperbolehkan untuk pulang. Masih ada beberapa tes yang harus ia jalankan untuk memperjelas kondisinya. Dan, seperti yang lalu-lalu, ia hanya menjalani rutinitas hariannya dengan kesendirian. Membosankan.

Tetapi, untungnya ada Naufal yang sesekali mengunjunginya, di sela-sela kesibukannya. Memberinya semangat ketika ia kembali bersedih. Janeta sedikit menyesal karena sempat jengkel pada laki-laki itu dulu.

Dan lagi, yang membuatnya senang adalah setelah hampir menunggu sebulan, ia bisa mendapatkan donor mata. Ada pasien baik hati yang secara suka rela memberikan matanya. Meski pun Janeta heran dengan hal itu, tetapi ia sampingkan karena itu adalah berita yang membahagiakan. Sangat jarang ada orang yang bisa mendapatkan donor mata dengan cepat seperti dirinya.

"Jadi, kapan saya bisa dioprasi, Dok?" tanyanya dengan suara girang yang kentara ketika Dokter datang mengecek kondisinya.

"Senang sekali kamu." sahut Dokter itu.

Meski Janeta tak bisa melihat, ia bisa merasakan jika Dokter di hadapannya sekarang sedang tersenyum.

"Oh jelas dong Dokter. Siapa sih yang gak senang kalau dikasi rejeki luar biasa?"

Terdengar suara kekehan Dokter itu. "Iya. Kamu benar."

"Jadi, kapan saya bisa operasi, Dok?" tanyanya tidak sabar.

"Minggu depan. Setelah semua persiapannya selesai."

"Aku gak sabar, Dok."

Lagi-lagi suara kekehan Dokter itu terdengar.

Akhirnya, Janeta bisa melihat lagi setelah beberapa bulan mendekap dalam ruang inap dan hanya ditemani oleh kegelapan. Janeta benar-benar tidak sabar menantikannya.

♡ ♡ ♡

Hampir sebulan setelah operasi, mata Janeta sudah kembali berfungsi normal. Tak ada masalah. Dokter pun sudah menjelaskannya dengan baik. Ia hanya perlu sesekali memeriksakan ke dokter sebelum dinyatakan benar-benar baik.

Janeta tentu saja senang. Apalagi ketika di sekolah ia tak perlu lagi melihat Riza. Kata teman-temannya, Riza sudah pindah sekolah sejak sebulan lalu. Meski di sudut hatinya ia menyayangkan hal itu, tapi di sisi lain itu juga adalah berita yang baik untuknya. Jadi, ia tak perlu lagi merasa sakit ketika melihat Riza.

Setelah semua itu, bisa dikatakan kehidupan Janeta sudah kembali seperti dulu. Ia sudah bisa ke sekolah seperti biasa. Melihat murid-murid sekolahnya berlalu lalang di koridor sekolah. Bisa mengerjakan soal matematika di depan kelas. Matanya sama sekali tidak memiliki masalah.

Yang berbeda hanyalah hubungan antara kedua orang tuanya, meski mereka berdua tetap tidak mengizinkannya memasak.

Setelah membeberkan alasan kenapa ia mengalami kecelakaan itu, ibunya sangat kecewa. Meski ia belum pernah mendengar pertengkaran kedua orang tuanya secara langsung, Riza tahu pasti kalau hubungan kedua orang tuanya tidak lagi sama seperti dahulu. Entah, bagaimana kondisi keluarganya di masa depan, yang jelas Janeta tahu orang tuanya pasti memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Janeta hanya berharap jika keputusan mereka tidak akan menimbulkan penyesalan nantinya.

Lagipula, untuk saat ini ia harusnya bersukur karena masih bisa menikmati keindahan dunia lewat matanya.

"Beneran. Riza emang sudah meninggal, minggu lalu."

"Jangan sembarang bicara deh. Kalau gak benar, lo yang kena."

"Sumpah, gue gak bohong. Habis sekolah, gue bakal ke rumahnya dia. Rencananya gue mau kasi tahu ke teman-teman yang lain...."

Langkah kaki Janeta spontan terhenti ketika mendengar obrolan dari dua orang siswi yang ia kenali sebagai teman sekelasnya.

Entah yang mereka maksud adalah Riza yang ia kenali atau bukan, namun yang pasti ketika mendengar nama itu, ada perasaan tak nyaman yang menyambutnya. Seperti berada di ujung jurang yang curam. Kakinya menggigil karena ketakutan.

Dengan jantung yang tak henti-hentinya berdebar cepat karena takut, Janeta kemudian menghampiri mereka.

"Tini, tadi kamu bilang, Riza meninggal. Riza yang kamu maksud, Riza Padista— teman sekelas kita bukan sih?" tanyanya.

Perasaannya semakin takut menunggu jawaban dari Tini yang menurutnya agak lama.

Awalnya, kening Tini mengkerut namun beberapa detik kemudian ia mengangguk mantap. "Itu yang gue dengar dari teman. Kebetulan teman gue tatangganya dia." sahutnya.

Tidak ada nada ragu yang Janeta tangkap dari ucapan itu. Tentu saja itu sudah cukup membuat perasaannya semakin tidak karuan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Perasaan takut tiba-tiba menyelingkupi Janeta, hingga nafasnya menjadi tak beraturan.

Ada satu lubang kecil dari sudut hatinya yang semakin menganga besar, membuat dadanya sesak oleh rasa kehilangan.

Tidak. Janeta menggeleng. Pasti teman Tini salah. Mana mungkin Riza meninggal secepat itu. Yah, pasti.

Riza pasti masih hidup. Masih bernafas. Dan hanya bersekolah jauh dari sekolahnya. Janeta meyakinkan dirinya, bahwa Riza masih sama baiknya seperti terakhir kali mereka bertemu.

Tapi, yang belum disadari oleh Janeta adalah tidak ada yang tahu bagaimana kematian itu akan menjemput. Meski ditolak sekeras apa pun, bersembunyi di tempat yang paling rahasia sekali pun, jika sudah tiba ajal, tidak akan ada orang yang sanggup menghindarinya.

♡ ♡ ♡

Sepanjang sisa pembelajaran, Janeta tak bisa berfikir apa-apa. Ia hanya diam sambil memandang kosong ke arah guru yang tengah menjelaskan.

Dan ketika bel tanda pelajaran usai, secepat kilat Janeta membereskan perlengkapan belajarnya dan berlalu.

Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuannya. Rumah Riza.

Ia tidak peduli pada tanggapan yang akan dilayangkan Riza padanya. Ia juga tidak peduli jika Riza mencemohnya nanti. Yang jelas, Janeta hanya ingin memastikan, apakah benar yang dikatakan oleh Tini.

Tiba di sana, harapan yang berusaha ia kumpulkan luruh bersama dengan debu-debu yang berterbangangan ketika mendengar secara langsung pengakuan dari ibu Riza.

Riza memang sudah pergi. Meninggalkan dirinya. Meninggalkan penyesalan yang menyesakkan bagi Janeta.

Andai dia tahu, jika Riza tidak punya waktu yang lebih banyak, cewek itu pasti tidak akan membuat Riza bersedih dan melupakan penghianatannya. Tetapi, semuanya sudah terjadi. Riza sudah pergi, dan tak akan mungkin kembali.

"Riza tidak mau lihat kamu bersedih, makanya dia melarang kita semua untuk memberitahumu..."

Satu lagi yang membuatnya semakin dirundung rasa bersalah. Sahabatnya itu selalu memperhatikan dirinya. Bahkan ketika ia selalu menghindar.

"Dan ini surat dari Riza buat kamu. Tante tinggal dulu yah."

Janeta tak tahu bagaimana reaksi yang dia tunjukkan pada ibu Riza. Ia hanya mengikuti tuntunan dari Beliau dan ketika ia sadar dirinya sudah berada di dalam kamar Riza.

Duduk sambil menyesali apa yang sudah terjadi. Mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Janeta mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar.

Kamar itu tidak berubah. Masih dengan cat berwarna biru langit dengan poster Black Pink di dinding bagian kepala tempat tidur, juga pada figura mereka yang masih tersimpan apik di atas meja belajar Riza. Beberapa lembar foto mereka masih terpasang pada lemari meja belajar.

Janeta memejamkan matanya, sekilas kenangan mereka terlintas. Perlahan namun pasti, kenangan-kenangan itu secara bertubi-tubi menyerang kepalanya, membuat dadanya kembali tersengat oleh rasa sakit yang luar biasa.

Harusnya dulu ia tidak egois. Harusnya ia biarkan saja Naufal dengan Riza, toh perasaan tidak bisa dipaksakan. Harusnya ia meminta penjelasan Riza, bukan malah menghindarinya. Harusnya ia mencari tahu kenapa Riza pindah dan bukan malah bersyukur. Harusnya ia bisa berada di hari-hari terakhir sahabatnya itu. Kini penyesalan itu seperti bom atom yang meledak di dadanya. Batinya perih karena penyesalan. Ia menangis sesegukkan hingga jatuh dalam lelap.

♡ ♡ ♡ 

 "Ta, kamu suka sekali masak, yah?" Riza melihat bekal dan kue kering yang di diberikan Janeta ketika mereka tengah beristirahat di belakang sekolah.

Janeta tersenyum sebelum menyahut pertanyaan Riza, "Karena aku pengen lihat orang-orang bahagia ketika memakan makanan buatan aku. Lagipula, dengan memasak aku bisa lepas. Bisa ngilangin sedih dan stres."

"Kalau gitu, buatin aku terus yah, Ta. Supaya aku senang terus dan kamu gak stres." sahut Riza di sela-sela gigitannya pada kue buatan Janeta.

"Itu sih emang mau kamu aja, Ca."

"Kok kamu tahu sih?"

"Kan kamu sahabat aku."

Lalu mereka tertawa bersama. Obrolan receh yang mampu membawa senyum di bibir mereka.

"Jadi, aku bisa tenang dong, Ta. Nanti kalau aku gak ada dan kamu sedih. Kamu bisa buatin makanan buat mama sama papa kamu. Mungkin mereka akan senang."

Kening Janeta menyerngit mendengar kalimat tiba-tiba temannya itu, "Memangnya kamu mau ke mana sih, Ca?"

Riza tersenyum kemudian berhenti mengunyah. "Boleh aku meluk kamu? Untuk yang terakhir kali."

"Kamu ngomong apa sih, Ca. Ngelantur dari tadi." Tetapi tak urung tangannya bergerak untuk memenuhi permintaan sahabatnya itu.

"Terima kasih, Ta sudah mau menjadi temanku selama ini. Semoga kamu mendapatkan kebahagianmu."

Belum ia mengerti maksud Riza, kehangatan yang melingkupi tubuhnya itu menghilang. Tidak ada makanan, tidak ada Riza di depannya. Semuanya hilang bersama cahaya yang mengetuk kedua kelopak matanya.

Janeta terbangun bersama dengan nafas yang memburu. Tangannya meremas kuat dadanya dengan air mata yang kembali bergerumul, menetes dan membasahi bantal yang ia tiduri.

Itu tadi hanya mimpi. Salam perpisahan Riza untuknya.

Disekanya air mata yang terus mengalir, kemudian menarik nafas yang dalam. Riza pasti tidak mau melihatnya terpuruk seperti ini.

Teringat akan surat yang diberikan untuknya, tanpa membuang waktu, Janeta membuka surat itu. Membacanya dengan perlahan seraya menyerapi kata demi kata yang tertera di sana.

Untuk, Tata yang bawel tapi perhatian.

Selamat ulang tahun Tata Janeta yang bawelnya kebangetan. Moga cita-citamu bisa kamu wujudkan. Kamu bisa kuliah di Cordon Bleu dan menjadi patryer hebat dengan toko kue yang disukai banyak orang seperti mimpimu. Aamiin.

Btw, Maaf yah, untuk apa yang sudah aku lakukan ke kamu. Aku mungkin tidak terlalu peka jadi sahabat. Dan, aku tidak tahu apa yang membuat kamu bisa menjauhi aku. Pengen banget aku tanya, tapi kamu justru menghindar. Sakit loh Ta. Hahaha, tapi tenang saja aku gak marah kok.

Jujur, aku curiga sih kamu cemburu dengan aku dan Naufal. Hehehe...

Tenang. Kalau itu maksud kamu, aku sama sekali gak ada apa-apa kok sana Naufal. Kamu tahu sendiri kalau dia itu bukan tipe aku. Ih, gak banget deh. Bisa-bisa aku dikira cowoknya dan dia malah jadi ceweknya. Gak deh. 

Lagian yah, dia itu suka sama cewek lain dan bukan aku. Dia itu suka sama teman aku. Sahabat satu-satunya yang aku punya.

Aku tebak, pasti kamu lagi senyum kan sekarang. Hehehe...

Iya, dia sukanya sama kamu. Kita dekat karena dia takut dekatin kamu. Banci banget kan yah. Katanya suka tapi gak berani mendekat. Pakai alasan kurang pede lagi. Padahal narsisnya kebangetan.

Jujur, Ta. Aku sedih banget pas kamu jauhi aku. Serasa penopangku itu kurang satu. Aku seperti berjalan dengan satu kaki. Gak seimbang dan lebih rentang membuatku jatuh. Kamu itu sudah jadi bagian terpenting dari aku.

Ditambah lagi, aku gak bisa makan kue. Sedih tau gak.

Tapi, ya sudah, semua itu sudah berlalu, hehehe...

Dan maaf lagi Ta, aku pergi gak pamit sama kamu. Habis, aku gak mau lihat muka kamu yang sedih. Muka kamu itu cocoknya untuk senyum, tertawa, gak boleh ada mendung-mendungnya.

Eits, satu lagi. Setelah aku pergi, janji loh yah, kamu gak bakal sedih. Jangan sekali pun kamu nangis. Mata yang aku kasi dijagain, jangan buat sakit. Aku bakal marah kalau lihat mata yang aku kasi jadi merah karena kamu yang terus-terusan nangis. Awas yah. Aku bakal liatin kamu dari tempatku sekarang.

Kayaknya aku terlalu banyak curhat yah Ta. Kalau gitu aku sudahi saja deh.

Oh, satu lagi. Terima kasih sudah menjadi sahabat aku hingga sekarang.

Salam sayang,

Riza.

♡ ♡ ♡

Janeta sudah berusaha kuat untuk memenuhi permintaan Riza untuk tidak menangis, namun apalah daya saat kenyataan yang terungkap begitu menyakitkan, air matanya tak bisa berhenti mengalir.

Janeta kembali terisak.

Menyesali semua perbuatan yang ia lakukan pada sahabatnya. Karena kesalahpahaman yang tidak memiliki dasar kuat, ia menuduh sahabatnya sebagai penghianat. Menjauhinya, bahkan tak pernah mau tahu bagaimana kondisi sahabatnya itu.

Dan kini, setelah tahu apa yang sudah terjadi, Janeta sungguh-sungguh menyesal. Ia ingin waktu kembali dan menarik kata-katanya jika ia tidak ingin melihat Riza. Ia ingin melihat Riza. Benar-benar ingin melihat Riza sahabatnya.

Namun, kini ia sudah terlambat. Penyesalan itu pada akhirnya menghampiri. Janeta sudah tak memiliki kesempatan.

"Maaf, Ca. Dan terima kasih sudah mau jadi sahabat aku."

END.

Mickey139



SEBELUMNYA




Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com