Fly with your imajination

Showing posts with label Multichapter. Show all posts
Showing posts with label Multichapter. Show all posts

Friday, August 12, 2016

Senja di Penghujung Tahun (1)

SUMMARY


Naruto hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah yang besar akibat kesalahannya di masa lalu. Hinata pergi karena kesalahannya bersama calon buah hati mereka.

Demi untuk memberikan kejutan pada kakeknya Bolt dan Himawari nekat pergi ke Konoha, menempuh jarak ribuan mil dari tempatnya.

Hinata hanya ingin bertemu dengan anak-anaknya karena rasa rindu yang tidak bisa ditolerir..



Pair : Naruto-Hinata
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Senja di Penghujung Tahun ©Mickey139

.
.


.

“Maaf Hinata, aku tidak bisa melakukannya. Aku belum siap menjadi seorang ayah.”

"Eh?" Hinata terkesiap saat pernyataan itu meluncur dari bibir Naruto. Jantungnya bagai dihantam gemuruh. Mata Almetish-nya melebar dan terus menatap Naruto dengan pedih. "A-apa maksudmu?" Suara hinata tercekat kala kalimat itu terlontar dari mulut laki-lakinya.

“Aku tidak bisa Hinata. Aku dan kau, kita masih muda. Aku masih mau mengejar impianku, kau kan tahu, aku harus belajar untuk bisa menggantikan tou-san memimpin perusahaan.” Pemuda itu berbicara dengan lancar seolah tidak memiliki beban apapun, seolah apa yang terjadi pada Hinata adalah hal sepele yang bisa diabaikan.

Hinata menunduk berusaha menyembunyikan tetes air mata yang siap tumpah, "Mengapa?" tanyanya lirih. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis─menumpahkan seluruh emosi yang menghimpit dadanya. “Apa selama ini kau tidak pernah mencintaiku?” Lanjutnya tak berani menatap mata Naruto.

“Aku mencintaimu Hinata. Selalu. Tapi aku belum siap menjadi seorang ayah. Umur kita masih delapan belas tahun, terlalu muda untuk menikah, lagi pula kita baru saja lulus senior high. Kau tentu punya impian juga, kan?” Tutur Naruto membujuk Hinata. Sejujurnya Naruto juga tak ingin melakukan ini. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya untuk menyakiti gadis yang dicintainya itu. tapi dia juga tidak bisa melakukan apa yang gadisnya minta.

“Tapi─”

“Maaf Hinata...” Potong Naruto cepat, tak mau mendengar kalimat-kalimat yang akan dituturkan oleh wanita yang dicintainya itu, karena akan membuat batinnya semakin perih. Menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan ucapannya. “Kumohon gugurkan bayi itu, Hinata.” Lanjutnya seraya memejamkan kedua matanya. “Kumohon Hinata. Mengertilah!”

Mata Hinata melebar sesaat setelah mendengarkan penuturan kekasihnya itu. Di detik berikutnya tetes air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah ruah membasahi gaun ungu yang dia gunakan.

Perih, jantungnya serasa ditremas kuat hingga membuatnya sulit bernafas. Sungguh, dia tak sanggup menerima itu semua, tetapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan agar Naruto mau menerima dan bertanggung jawab untuk anak yang dikandungnya.

Jika memang Naruto tak mau bertanggung jawab, maka dia sendirilah yang akan melahirkan dan membesarkan anak itu.

Hinata meremas kuat gaun yang dia gunakan guna meredakan sesak yang menghimpitnya. Menarik nafas dalam-dalam seraya menguatkan hatinya. Hinata menatap Naruto lalu tersenyum miris. Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Naruto nanar, “Baiklah. jika itu adalah keinginanmu. Aku akan melakukannya, Naruto.” Ucapnya, ‘aku akan pergi dari hidupmu Naruto bersama anak ini.’

Naruto tersenyum lebar mendengar kalimat Hinata. “Terima kasih Hinata.” ucap Naruto seraya menggenggam erat tangan Hinata. “Aku mencintaimu.”

sumber gambar google

**
Kompleks Pemakaman Konoha, 1 bulan kemudian
**

Angin sore berhembus menerbangkan daun-daun kering dari pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar jalan danmengotori sepanjang jalan setapak kompleks pemakaman. Aroma bunga kirisan tersebar di udara oleh angin.

Langit tampak mendung dengan awan kelabu yang bergulung-gulung, semendung perasaan semua orang yang hadir di tempat itu.

Usai semua orang pergi. Naruto datang bersama ribuan penyesalan yang membuncah dalam dada. Memberikan bunga terakhir untuk sang kekasih yang telah meninggalkannya. Jujur peristiwa ini terlalu tiba-tiba untuknya, dia masih tidak rela ditinggal pergi oleh Hinata. Pemuda itu masih sangat mencintai wanita itu.

Sejujurnya dia sangat menyesal karena pergi setelah pembicaraan terakhir mereka yang berakhir dengan tidak begitu baik untuk mereka berdua. Seandainya dulu dia mau melakukan apa yang diminta oleh Hinata, seandainya ia bisa berfikir dengan lebih dewasa dan mau menerima kesalahannya, seandainya dia tidak meninggalkan Hinata, semua ini tidak akan terjadi.

“Kau adalah manusia paling hina Naruto. Tega-teganya kau menghamili Hinata dan menyuruhnya untuk menggugurkan bayi itu.”

Sejenak Naruto menghela, menengadahkan kepala menantang langit. Pikirannya dipenuhi dengan sosok Hinata dan perlahan membuat hatinya kembali teriris sakit. Jantung pemuda berusia 18 tahun itu berdegup lebih kencang dari biasanya. Dia mulai merasa lemah. Tubuhnya meluruh ke tanah.Dengan tangan yang bergetar, dia mencengkeram kuat batu nisan yang ada di depannya. Safirnya kini menerawang, menatap batu nisan itu. Sementara cairan bening tampak mengalir membasahi pipinya. Sesuatu yang tak biasa dia lakukan. Pemuda itu menangis. Menyesal dengan perbuatan yang dia lakukan dulu pada Hinata.

"Kau sendiri seharusnya tahu jika menggugurkan kandungan juga punya resiko dan kau malah menyuruh Hinata untuk menggugurkan kandungannya. Apa kau tahu setelah melakukannya, Hinata jadi tidak bisa Hamil dan karena itu... dia... dia... bunuh diri. Aku benar-benar sangat membencimu."

Kata-kata Neji kembali terngiang di kepalanya, membuat dirinya semakin sesak oleh rasa bersalah. Dia menekan dadanya semakin keras bahkan dipukul untuk meredakan rasa sesaknya, sementara air mata terus mengalir.

Benar kata Neji, dia adalah lelaki paling buruk di dunia ini. Lebih hina dari pada sampah yang paling buruk sekali pun. Apa yang ia lakukan dulu tidak pernah sekali pun dia pikirkan akan berakibat seperti ini. Hinata, gadis yang amat dicintainya pergi meninggalkan dirinya dengan beribu penyesalan akibat kesalahan dan keegoisannya.

"Hinata... Hinata... Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Seharusnya aku tidak menyuruhmu menggugurkan anak kita. Seharusnya sekarang kita bisa bersama dan kita tidak berpisah seperti ini. Seharusnya....." Air mata lelaki itu semakin deras, jatuh dan membasahi makam yang masih baru itu.

Langit tampak gelap dengan awan hitam yang semakin banyak berkumpul di atas pemakaman. Suasana yang memang sangat mendukung bagi dirinya yang sedang terluka. Perlahan ribuan titik air jatuh dan membasahi bumi tetapi Naruto tak berniat untuk pindah.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan itu, Hinata? Kenapa kau meninggalkanku seperti ini?"

Dan apapun yang dikatakan lelaki itu, tidak akan merubah apa-apa. Hinata sudah pergi meninggalkan dunia dan tidak akan mungkin dia kembali lagi. Walau sebesar apapun rasa penyesalannya, dia tidak akan pernah lagi bertemu dengan Hinata.

Saat ini ia hanya butuh menangis dan memang hanya itulah yang dapat membuatnya lega. Ya dia menumpahkan semua penyesalannya dengan tangis.

Penyesalan bagi Naruto adalah sesuatu yang sangat menyakitkan yang─ mungkin─ bahkan dengan waktupun akan sulit terobati.

sumber gambar google

....

**
9 tahun kemudian
**
....

“Mom, ayo cepat. Sebentar lagi pertunjukannya dimulai, nanti kita terlambat.” Kata seorang anak kecil kira-kira berumur delapan tahun dengan suara cempreng. Sambil menyeret seorang wanita dewasa.

Wanita itu menatap anaknya dengan lembut. Senyum menghiasi wajah cantiknya.

sumber gambar google

“Baiklah, sayang. Jangan terlalu terburu-buru, nanti kau jatuh.” Jawabnya sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah kecil anaknya sambil menggenggam tangan kecil milik putranya.

Anak lelaki yang dulu pernah ditolak oleh ayah kandungnya sendiri dengan alasan umur dan ketidaksiapannya menjadi seorang ayah, kini tumbuh dengan membawa sebagian besar gen ayahnya. Mata, rambut, juga senyum lebarnya, terlalu mirip dengan lelaki itu, bahkan tidak menyisakan gen hinata untuk berada di dalam tubuh anaknya agar ikut menonjol.

Tapi itu tidaklah mengapa, karena dia sangat menyayangi putranya. Sekalipun sangat bandel.

Dia ingat, dulu dia hampir melakukan apa yang diminta oleh lelakinya untuk menggugurkan anaknya. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukannya, hatinya tidak sanggup. Lagipula semua itu adalah kesalahan mereka dan janin dalam kandungannya tidaklah bersalah. Janin itu adalah anak mereka, sekalipun Naruto tidak menginginkannya. Dia anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya dan tidak mungkin dia menolak pemberian Tuhan.

Awalnya dia memang sangat terpuruk dengan hal itu, apalagi ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang dia sayangi. Tapi, itu tidak berlangsung lama, karena ketika tiga bulan masa kehamilannya ayahnya datang untuk melihat keadaannya, bahkan ikut membantunya. Berusaha memenuhi kebutuhan Hinata, bahkan walau Hinata mengidamkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti ramen dengan rasa jeruk, atau bahkan buah jeruk yang berasa ramen. Hiashi akan berusaha memenuhinya.

Memang awalnya tidak ada satupun keluarganya yang ingin membantunya, terlebih ayahnya yang sangat kecewa terhadapnya dan melarang semua keluarga besar untuk membantunya setelah dia memberitahukan apa yang dia alami. Dan itu adalah pengalaman yang tidak bisa dia lupakan.

Apalagi ketika raut kemarahan dan kekecewaan yang terpancar jelas dari raut ayahnya, ekspresi yang tidak pernah sekalipun diperlihatkan pada mereka dan itu benar-benar membuatnya merasa bersalah sekigus menjadi anak yang tak tahu diri.

Seharusnya dia tidak melakukan itu sekalipun ia sangat mencintai Naruto. Seharusnya dia bisa menahan diri ketika melihat tatapan memohon sekaligus mendamba dari laki-laki itu. yah seharusnya. Tapi semuanya sudah terjadi, waktu tidak akan berputar kembali. Apa yang terjadi dulu adalah sebuah pembelajaran untuk masa kininya.

FLASH BACK ON

“GUGURKAN KANDUNGAN ITU!” Ucap Hiashi penuh emosi sambil menunjuk perut Hinata. Mata yang biasa memancarkan kelembutan pada setiap anaknya, kini berubah dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan.

Hinata tersentak, mendongak menatap ayahnya tak percaya. Bukan seperti ini yang dia inginkan, bukan bentakan dan tatapan kecewaan dari ayah dan kakak sepupunya yang ingin dia lihat, dan bukan pula tatapan kasihan dari sang adik yang dia inginkan.

Hinata menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. “Tidak oto-san, aku tidak bisa membunuhnya. dia hadir karena kesalahan kami─”

“Kalau begitu suruh dia bertanggung jawab!” bentak hiashi.

Hinata menggeleng, tidak mungkin Naruto mau menikahinya, dia sudah ditolak bahkan lelaki itu juga menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. “Aku tidak bisa oto-san. Aku tidak bisa.”

“Apa dia tidak mau bertanggung jawab?”

Hinata menunduk tak tahu apa yang harus dia katakan. “A... Aku.. ─”

“Jadi benar dia tak mau bertanggung jawab?” sentak Hiashi makin membuat Hinata merasa sakit juga bersalah.

Seumur-umur, ayahnya tidak pernah memarahinya apalagi membentaknya seperti ini sambil menunjuk-nunjuknya.

“Maafkan aku oto-san.”

“Brengsek. Aku akan membunuhnya.” Ucap Neji tiba-tiba kemudian berdiri dan bersiap untuk ke tempat Naruto.

Hinata tersentak ketika pemuda itu sudah bersiap. Dia pun ikut bangkit dan memegang pergelangan tangan Neji untuk menahannya. “Ku mohon jangan Nii-san. Aku─”

“Kau─ apa kau bodoh Hinata. Kau menderita sementara dia di sana tengah bersenang-senang dan tidak menanggung apa-apa atas dosa yang kalian lakukan.” Neji terlihat murka, urat-urat di wajahnya nampak jelas tercetak. Sepupu yang sudah dia anggap sebagai adiknya menderita karena ulah Naruto dan Hinata masih membela laki-laki itu.

Kakak mana yang akan senang dan membiarkan hal itu terjadi. Tidak ada. Sekalipun, mereka bukanlah saudara kandung, tapi Neji sangat menyayangi Hinata.

“Aku...”

Hinata tak sanggup lagi meneruskan ucapannya karena tiba-tiba kesadarannya hilang. Dia pingsan. Neji dan ayah Hinata yang masih ingin mengeluarkan apa yang ada di kepala mereka, jadi terhenti karena melihat keadaan Hinata yang tak sadarkan diri.

“Neji, urus berkas-berkas untuk kepindahan Hinata. Kita akan menerbangkannya ke Amerika, tempat bibimu berada. Dia akan mengurus Hinata di sana, sekalian mengajarkan Hinata tentang bisnis.”

“Haik.”

FLASH BACK OFF

"Mom..." Suara seseorang kembali memanggilnya. kali ini adalah suara gadis kecil seumuran dengan anak lelakinya. Dia tengah berdiri di depan mobil sambil besedekap.

"Oh, sorry honey." Hinata tersenyum melihat tingkah menggemaskan anak perempuannya yang lain. Pipinya yang gembul sengaja dikembungkan tanda kejenuhannya akibat menunggu Hinata dan Bolt.

sumber gambar google

Dulu dia tidak menyangka, jika dirinya mengandung anak kembar, meskipun kandungannya cukup besar untuk kehamilan pertamanya. Tapi dia tidak benar-benar memikirkannya.

Himawari, lahir lima menit setelah Boruto anak pertamanya dan dia mewarisi hampir seluruh gen Hinata dari rambut, wajah, bahkan kulit putih pualamnya, kecuali warna matanya yang berwarna biru langit sama seperti ayah biologisnya. Dan itu adalah kejutan yang tidak diantisipasi olehnnya karena dia tidak tahu kalau anaknya adalah kembar. Meskipun ukurannya jauh lebih kecil dari anak pertamanya.

Mereka berdua adalah anugrah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Meskipun tanpa laki-laki itu dia berhasil membesarkan mereka.

sumber gambar google

"Kenapa lama sekali? Sebentar lagi acaranya dimulai. Kita akan terlambat."

"Iya. Kau cerewet sekali, sih." Balas Bolt tidak terima.

Hinata hanya menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. Lalu tersenyum. Mereka berdua selalu menampilkan kelucuannya, sekalipun karena pertengkaran mereka Dan itu selalu sukses membuatnya tersenyum bahkan tertawa kecil.

"Baiklah, sudah cukup anak-anak. kalian akan lebih terlambat lagi jika berdebat disini."

"Iya." Balas mereka bersamaan.

"Oh, iya Mom, kita akan kerumah kakek, kan akhir minggu nanti? Aku rindu kakek." Himawari bertanya dengan semangat dan dianggukan oleh Bolt. Mereka berdua menatap Hinata dengan mata berbinar sekaligus berharap jika rencana mereka kali ini bisa terealisasi.

"Oh... Maafkan aku anak-anak. Mom tidak bisa. Mom masih banyak pekerjaan di sini." Ucap Hinata sangat menyesal telah membuat anak-anaknya berharap dan kemudian mengecewakan mereka.

"Mom menyesal sayang." Dan apapun yang Hinata katakan tidak bisa menghilangkan raut kecewa anak-anaknya.

Hinata menghembuskan nafas. Satu hal yang tidak dia sukai adalah melihat anak-anaknya kecewa karena dirinya. Ini sudah kesekian kalinya dia membuat mereka kecewa dan Hinata akan berusaha untuk menghilangkannya.

Setibanya mereka tiba di Trinity of International elementary. Hinata membawa kedua anaknya masuk dan dia duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Sementara kedua anaknya menuju ke belakang panggung untuk mempersiapkan pertunjukan mereka.

Hinata mengambil ponselnya di dalam tas, mengetikkan beberapa nomor. Lalu menunggu hingga suara panggilan itu berubah jadi kata "Halo, Nee-chan..."

"Halo, Hanabi. Apa kau sibuk minggu depan?" Hinata bertanya sambil menonton pertunjukan anak-anak sekolah Trinity.

"Tidak, Ne-chan. Ada apa?"

"Bolt dan Himawari ingin ketemu Oto-san. Mereka merindukannya, tetapi aku tidak bisa ikut pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini."

"Tapi aku juga tidak bisa berangkat ke sana nee-chan, pekerjaanku juga sangat banyak dan barulah minggu depan berkurang, tapi tidak bisa bepergian. Maafkan aku, Ne-chan. Ah... tapi kalau kau mengijinkan, biarkan mereka naik pesawat, biar aku yang menjemputnya di bandara."

"Aku tidak berani mengambil resiko, Hanabi. Aku tidak mau jika terjadi sesuatu pada mereka."

"Baiklah. Sekali lagi maafkan aku nee-chan, karena tidak bisa membantu. Tapi, kuharap kau memikirkannya. Bagaimanapun juga, mereka merindukan kakenya."

"Yah, akan kupikirkan ini, Hanabi. Terima kasih..."

Hinata mematikan sambungan dan kembali menatap ke panggung. Anak-anak sekolah Trinity sangat besemangat memunjukkan kemampuan mereka untuk menghibur para penonton dan setelahnya mereka akan menunjukkan senyum cerah ketika mendengar sorak dan tepuk tangan dari penonton.

Hinata jadi tidak sabar menunggu kedua anaknya. Mereka sudah berlatih keras untuk hari ini.

Lama berselang ketika sebagian peserta sudah menampilkan kehebatan mereka. Selanjutnya adalah giliran kedua anaknya. Bolt sudah siap di depan pianonya sementara Himawari berjalan menuju tengah panggung di mana microphone berada.

Suara indah dari denting piano yang dimainkan oleh Bolt menggema di dalam aula sebagai pembuka. Semenata Himawari memegang microphone nya dan bersiap melantunkan lagu yang sudah mereka siapkan.

Para tamu terdiam ketika dua suara itu menggema dalam aula. Suara mereka lembut dan menghipnotis hampir semua penonton. Walaupun mereka masih anak-anak tapi permainan nada yang mereka tampilkan sangat hebat dan hampir menyamai profesional.

Hinata menatap kedua anaknya dengan mata berbinar penuh haru. Mereka berdua sudah membuatnya bangga. Walau mereka lahir tanpa ayah, tapi mereka bisa tumbuh sehebat ini.

Sebenarnya dulu, ketika dibulan ketujuh kehamilannya, Hinata mulai meragu. Dia takut jika nanti anaknya lahir, dia tidak akan bisa menjadi seorang ibu yang baik. Dia sangat tidak percaya diri.. mengingat dia akan melahirkan tanpa dampingan seoarang suami. Namun, sekarang pemikiran itu tidaklah terbukti. Anak-anaknya tumbuh dengan perkembangan yang hebat bahkan melebihi ekspektasinya.

Hinata sangat bahagia memliki mereka berdua. Dua malaikat yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah lucu dan menggemaskan. Dua malaikat yang membuatnya bertahan dan melupakan semua kesedihannya.

Tepuk tangan dari banyak penonton menyadarkan Hinata dari lamunannya. Dia melihat kedua anaknya tengah tersenyum kearahnya sambil melambaikan tangan. Hinata tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang seolah memberi tanda jika merekalah yang telah melakukan pertunjukan barusan. Hinata kemudian mengangguk agar mereka percaya jika Hinata juga menonton pertunjukan mereka.

Mereka berdua turun dari panggung dan menghampiri Hinata dengan berlari sambil tersenyum lebar.

"Kalian tadi hebat sekali, Mom sangat bangga pada kalian.."

"Terima kasih mom." Mereka menjawab bersama.

"Nah, sebagai hadiah. Apa yang kalian inginkan dari, mom?"

Mereka saling menatap dan ada senyum yang menghias bibir mereka.

"Tapi bisakah mom menepatinya?" Tanya Bolt. Ada harapan yang terpancar dari kedua bola matanya membuat Hinata tidak enak.

Hinata tahu apa keinginan anak-anaknya, karena mereka sudah mengatakannya berulang kali. Walau Hinata sering menjanjikannya, tapi dia sangat jarang bahkan hanya beberapa kali saja menepatinya.

"Baiklah, mom berjanji. Jadi katakan apa yang kalian inginkan?"

"Kerumah kakek." Mereka menjawab serempak. Banyak harapan yang terpancar dari dua bola mata bening mereka dan Hinata akan sangat merasa bersalah jika menolaknya.

Dan sepertinya ide Hanabi akan dia lakukan.
"Baiklah. Tapi mom tidak janji akan ikut bersama kalian."

"Lalu bisakah kami pergi tanpa mom?" Himawari manatap ibunya. Ada harapan dalam kata-katanya. Mata birunya berbinar menatap Hinata.

"Kami mohon." Kali ini Bolt melakukan hal yang sama.

Mereka berdua menatap Hinata.

Hinata menghela nafas. Mungkin dia harus menghubungi Hanabi dan menyetujui saran Hanabi tadi.

"Baiklah."

sumber gambar google
.
.
.
.
.

"Di sana kalian akan dijemput oleh bibi Hanabi. Kalian masih ingat bukan wajahnya?" Mereka mengangguk. Tentu saja mereka masih ingat karena bibinya itu hampir tiap bulan datang mengunjungi mereka. Kadang kala bahkan bersama paman Konohamaru.

"Jika kalian sudah sampai, jangan lupa menghubungi mom." kembali mereka mengangguk. Tentu saja mereka harus menghubunginya, karena mereka tidak ingin membuat ibunya khawatir. Kekhawatiran ibu mereka kadang sangat merepotkan dan mereka tidak ingin mendengar omelan yang bahkan bisa berhari-hari.

"Yes, mom. We will."



Mereka sudah berada di bandara. Hinata mengantar mereka tidak sampai di dalam, karena ditahan penjaga. Hinata menitipkan Bolt dan Himawari pada seorang pramugari yang bertugas di pesawat yang akan kedua anaknya tumpangi.

Awalnya Mereka berdua tidak diizinkan, karena umur mereka masih kecil dan tidak didampingi oleh siapapun walau Hinata sudah memberukan penjelasan. Tetapi, untungnya Hinata bertemu dengan seorang pramugara, seorang teman saat kuliah dulu. Dan akhirnya Bolt dan Himawari diizinkan untuk pergi.

Di dalam pesawat, Bolt dan Himawari duduk bersampingan. Mereka tampak tenang walau tanpa didampingi siapapun padahal ini pertama kalinya mereka melakukan perjalanan udara tanpa orang dewasa.

Mungkin karena mereka sudah sangat merindukan kakeknya. Lagipula ini adalah kejutan untuk kakek mereka. Guru mereka pernah bilang, ada hari perayaan untuk ayah dan karena mereka sudah tidak punya ayah, jadi kakek mereka adalah penggantinya.

Sebenarnya, mereka ingin memberikan kejutan saat kunjungan lalu kakek mereka, karena biasanya kakek mereka akan berkunjung tiap akhir bulan ke rumah mereka, tetapi sudah hampir enam bulan belakangan ini kakek mereka tidak datang. Kata paman Neji, kakek mereka sedang sakit jadi tidak bisa berkunjung.

Mereka jadi tidak sabar untuk sampai ke Konoha. Ingin melihat raut terkejut kakeknya. Dia pasti akan senang sekali dengan kejutan ini. Dan lagi mereka juga ingin melihat Noara, anak dari paman Neji dan Bibi Tenten secara langsung. Mereka hanya pernah melihatnya beberapa kali itupun dari ponsel panan Neji.

Noara umurnya masih tiga tahun, tapi katanya dia sangat nakal seperti laki-laki. Anak perempuan itu walaupun cantik tapi agak tomboy, dia tidak bisa diam, makanya tiap kali paman Neji berkunjung kerumah mereka dia tidak pernah membawa Noara.

Tidak berapa lama mereka sudah sampai di bandara. Bolt langsung menghubungi Ibunya.
Tapi karena tidak diangkat, Bolt hanya mengiriminya pesan.

"Mom, kami sudah sampai." Ketiknya kemudian berjalan sambil menggenggam tangan Himawari agar tidak terpisah.

Mereka berjalan dan mencari bibi Hanabi yang katanya akan datang menjemput mereka, tapi sampai sekarang mereka tidak menemukannya.

Mereka kemudian berjalan di ruang informasi setelah bertanya pada security. Meminta untuk bibi Hanabi menjemput mereka di dekat ruang informasi. Tapi sampai beberapa lama menunggu bibi mereka tidak kunjung datang. Bolt kembali meminta pegawainya untuk mengumumkan untuk bibi Hanabi menjemput mereka.

"Kenapa bibi Hanabi lama sekali? Apa mom lupa bilang pada bibi, kalau hari ini kita datang?" Himawari bertanya setelah kakaknya duduk di sampingnya.

"Tidak mungkin, Hima." Jawab Bolt. Pandangannya menyusuri pintu masuk bandara, mungkin saja bibinya sedang mencari mereka atau setidaknya baru datang dan tidak mendangar pengumuman.

"Itu dia, kak." Himawari menunjuk, seorang wanita yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Rambutnya panjang berwarna coklat, dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.

Wanita itu berjalan berlawanan arah dengan tempat mereka berdua sambil meletakkan ponselnya di telinga. Mungkin dia tengah menghubungi kami, pikir mereka berdua.

"Ah... pantas saja. Ponsel kakak mati.Mungkin bibi sedang menghubungi kita, Hima." Kata Bolt setelah melihat ponselnya.

"Kalau begitu sebaiknya kita hampiri bibi. Mungkin dia bingung cari kita, kak." Himawari memakai tas ransel kecilnya kemudian menarik tangan kecil kakaknya untuk segera menyusul bibinya yang sudah bersiap pergi berlawanan arah dengan tempat mereka.

"Bibi, jangan pergi dulu. Kami ada di sini..." Himawari dan Bolt secepatnya berlari mengejar wanita itu karena kalau tidak terkejar, mereka akan saling mencari.

Tapi wanita itu terus saja berjalan, langkahnya sangat besar dan tergesa-gesa langkah kaki kedua anak itu tidak bisa menyamainya. Bolt dan Himawari terus memanggilnya, tapi tidak sekalipun dia hiraukan. Seperti tidak mendengar apapun.

"Bibi Hanabi tunggu kami."

Wanita itu akhirnya berbalik, tapi tidak berhenti maupun menghampiri mereka. Dia terus berjalan bahkan kini dia sudah setengah berlari seperti sedang menghindari sesuatu. Tapi tidak mungkin kan dia menghindari Bolt dan Himawari karena setahu mereka bibinya itu sangat menyayangi mereka bahkan dia sendiri yang mengusulkan agar Bolt dan Himawari datang berkunjung dan memberikan kejutan untuk kakek.

Wanita itu sudah sampai di luar bandara. Dia terlihat sedang menunggu sesuatu, tapi tidak seperti menunggu Bolt dan Himawari.

Ketika taxi berhenti di depan wanita itu, dia lalu menumpanginya dan tidak peduli pada Bolt dan Himawari yang sedari tadi mengejarnya.

Bolt melepaskan genggamannya dari Himawari agar larinya bisa lebih cepat dan bisa menghentikan bibinya yang akan meninggalkan mereka. Taxi itu bergerak dan perlahan meninggalkan bandara. Bolt semakin mempercepat laju larinya, dia tidak mau ketinggalan. Mereka tidak mau terluntang lanting dan membuat ibu mereka khawatir.

Dan ketika mobil itu menyebrang, Bolt tidak bisa menghentikan kakinya untuk mengejar. Banyak mobil yang berlalu lalang di sana, tapi tidak dihiraukan anak itu.

Himawari di belakangnya terus meneriakinya untuk berhenti mengejar dan kembali padanya, tapi dia tidak bisa. Dia harus bertemu dengan bibi mereka, agar mereka bisa diantar ke kakek.

Ckik

Bolt terjatuh di aspal. Wajahnya pucat. Hampir saja nyawanya melayang jika saja sang pemilik mobil tidak me-rem mobilnya tepat waktu.


.
.
.
.
TBC

a/n : Hai... Aku balik lagi dengan cerita baru. Sambil menunggu cerita lain yang belum kelar. Sebenarnya cerita ini juga baru ku temukan setelah mengotak atik arsip di LEPI (sebelum LEPI EROR) dan karena LEPI lagi eror jadi dieditnya lewat HP. Jadi maklum yah kalau kalian banyak menemukan TYPO.

BTW, Mungkin kalian sudah sering membaca cerita dengan tema seperti ini, dan saya harap sih kalian gak bosan kalau baca ceritaku ini. Karena seperti yang ada di kepala kalian semua, endingnya juga bakalan sama.

Oh, iya sampe lupa. Pasti kalian bertanya-tanya, kok gaya bahasanya beda-beda sih, yah aku hanya menyesuaikan dengan sudut pandang anak-anak dan orang dewasa. Aku merasa aneh saja kalau sudut pandang anak kecil disamakan dengan sudut pandang orang dewasa.

Eh... sudah yah, hahahaha... (paling juga catatan authornya gak di gubris :'( Abaikan saja catatan ini kalau merasa gak penting. Hahahaha...

Share:

Wednesday, July 22, 2015

Happy for Ending

Remake dengan judul yang sama.

Pair: Sarada, Sasuke dan Sakura
Rate: T
Genre: Family & General
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Cici_Mickey
________________________________________

SUMMARY :

Sarada adalah seorang anak yang tumbuh tanpa didampingi oleh sang ayah. Walaupun ia bahagia bersama dengan ibunya, namun ia masih merasa kurang. Kebahagiaan yang ia rasakan tidaklah cukup hanya bersama dengan sang ibu. Sarada ingin merasakannya juga dengan ayahnya. Sarada memiliki rencana untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya dalam waktu seminggu. Ia berbohong kepada ibunya agar ia dapat menjalankan rencananya. Akankah semua rencananya berhasil?
.
.
.
.
HAPPY FOR ENDING

~happy reading~
.
.
.
.
.
Kebahagiaan akan terasa saat kita merasakannya bersama. Bersama dengan ayah dan ibu.
::
::
::
::
::
::
::


Chapter 1 : Ayah

Sarada-chan, temani oka-san yah ke mall?!” pinta Sakura pada Sarada yang tengah mencari sesuatu di gudang belakang rumahnya.

Sarada adalah anak tunggal dari Haruno Sakura sejak 15 tahun yang lalu. Dia memiliki rambut berwarna merah maron dengan mata onix kelam yang dihiasi kaca mata ber-frame merah, hidung mancung, kulit putih, dan wajah yang cantik mirip ibunya. Ia adalah anak yang sangat dibanggakan Sakura, bagaimana tidak ia selalu mendapat prestasi di sekolahnya baik akademik maupun non-akademik. Ia juga merupakan idola di sekolahnya, dan walaupun umurnya baru menginjak 15 tahun, tapi saat ini ia sudah menduduki kelas XII di SMA Suna Gakuen dan baru saja menyelesaikan UN. Ia memang mengikuti kelas axelerasi sejak SMP.
Haioka-san.” Jawabnya malas. “Memang oka-san mau beli apa sih?, bukannya kemarin sudah ke mall yah, untuk membeli keperluannya oka-san.” Ucap sarada yang berada di belakang rumah.

“Hehehe…” Sakura nyengir, “Oka-san lupa beli─.. Ah… Sarada-chan antar Oka-san saja!”

“Baiklah. Tapi setelah aku menemukan tongkat baseballku…” Sarada malas berdebat dengan ibunya, lantas melanjutkan pencarian tongkat baseball-nya. Butuh waktu setengah jam untuk menemukan barang itu, karena barang-barang yang terdapat di gudang sangatlah banyak.

Sarada-chan, kau kan seorang gadis, kenapa suka sekali bermain baseball? Itukan olahraga laki-laki, sayang.” ucap Sakura setelah mendengar penuturan putrinya.

Sarada tak menyahut lantas segera beranjak untuk menemui ibunya. Ia tak mau mendengar omelan ibunya karena membuatnya terlalu lama menunggu. Sarada lantas melangkahkan kakinya keluar dari gudang. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena telah menginjak sesuatu. Sebuah buku yang sudah tua dan usang. Buku yang belum pernah Sarada lihat. Dilandasi rasa penasaran Sarada lantas mengambilnya dan melihat isi dalam buku itu.

BUKU HARIAN HARUNO SAKURA

Senyum penuh arti terpancar di wajahnya, ‘ini buku harian oka-san. Aku mungkin bisa mengetahui siapa ayahku yang sebenarnya.’ Batinnya.

Sarada-chan!!!” Panggil Sakura.

Sarada cepat-cepat menutup bukunya lantas melanjutkan langkahnya.

“Sudah kau dapatkan apa yang kau cari?” Tanya Sakura ketika melihat sarada yang tengah berjalan ke kamarnya.

Sarada berhenti sejenak, mengangguk lantas memperlihatkan tongkat baseball-nya, tapi tidak dengan buku yang ia dapatkan.

“Kalau begitu mandilah, oka-san tunggu di depan.”

“Hai’.” Sahutnya kembali semakin mempercepat langkahnya menuju kamar.
Sarada memasuki kamar, dan menyimpan buku diary itu di dalam laci meja belajarnya. Setelahnya mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Senyum tersungging terus di bibir merahnya, dia tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat ini. mungkin dengan adanya buku itu dia bisa mengetahui siapa ayah yang hanya ada dalam imajinasinya saja.

Sarada tidak membutuhkan waktu yang lama untuk berbenah diri. toh tubuhya pada dasarnya tidaklah terlalu kotor dan juga ia tidak suka berlama-lama dalam kamar mandi. Lagi pula hari ini adalah awal musim semi, hawa dingin bekas musim dingin kemarin masih terasa.

Sarada memakai pakaian kasual dengan baju kaos putih tanpa lengan dengan gambar ‘The Beatles’ yang dipadukan dengan switer abu-abu dan celana jins hitam panjang, tak lupa sepatu convers black leather snacker-nya yang turut membungkus telapak kakinya. Dia kembali bercermin untuk memastikan penampilannya. Dirasanya sudah sempurna, dia kemudian menghampiri ibunya yang tengah menunggu di bawah.

Oka-san, aku sudah selesai. Kita bisa berangkat sekarang!” Kata Sarada menghampiri ibunya.

“Baik─ astaga Sarada-chan, kenapa pakaianmu seperti itu terus sih? Tak bisakah kau memakai gaun?” Ucap Sakura tampak tak suka melihat penampilan putrinya─ menurutnya putrinya itu tampak seperti laki-laki.

Sarada hanya memutar bola matanya bosan. “Sudahlah, oka-san. Kita berangkat saja. Kita hanya akan banyak membuang waktu dengan sia-sia jika menunggu Oka-san mengomentari penampilanku.” Tukas Sarada pelan sambil berlalu menuju bagasi mobil.

Sakura menghela nafas. Entah kenapa ada rasa penyesalan di benaknya saat ini. Seharusnya dulu ia tak pernah membantah apa yang dikatakan oleh orang tuanya, seharusnya dulu ia menjadi gadis baik yang penurut. Kini anaknya mengikuti jejaknya sewaktu muda, baik sifat pembangkangnya maupun penampilannya.



~*,)(,*~

Oka-san!” Panggil Sarada tapi tak berpaling dari jalanan di depannya.

“Hm.” Sakura menjawab tanpa minat. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. pandangannya terus telah pada jalanan mobil.

“Boleh aku tanya sesuatu?” Tanya Sarada ragu-ragu. Sedikit melirik ibunya yang tengah mencari ponsel ibunya yang sedari tadi bergetar di dalam tas.

“Tentu saja boleh. Memang apa yang Sarada-chan ingin tanyakan?” Tanya Sakura. Firasatnya tidak enak mendengar anaknya meminta izin untuk bertanya. Biasanya Sarada akan menyuarakan langsung apa yang ada di pikirannya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

“Sebetulnya...” Terdapat jeda dalam kalimatnya. “...Siapa ayahku?” Lanjut Sarada melirik ibunya dari kaca spion.

Sakura menegang mendengar pertanyaan anaknya. Detik berikutnya, ponsel yang dia gemgam terjatuh di lantai mobil. Sakura tercengang. Entah ia tak tahu harus bereaksi apa, saat kalimat itu keluar dari mulut anaknya. Ia terus terdiam. Mata emerald-nya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan. Gambaran-gambaran masa lalu kini berseliweran dalam benak. Sesuatu yang sudah lama ia coba kubur, kini menyeruak akibat pertanyaan anaknya.

Sakura menggigit bibir dalam guna meredakan sesak yang tiba-tiba menyeruak. “Apa ada yang mengganggumu Sarada-chan? Kenapa tiba-tiba menanyakan tou-san, hm?” Tanya Sakura menatap penuh kekhawatiran pada anaknya.

Sarada tahu ibunya sedang mengalihkan pembicaraan mereka, ia ingin menanggapi pertanyaan itu, namun ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Sudah beberapa tahun ia berusaha mengabaikan cibiran orang lain tentang dirinya juga ibunya dan ia berhasil. Namun hati kecilnya tak kuasa lagi menahan rasa sesak sekaligus rasa penasaran akan sosok ayahnya itu yang semakin hari semakin memuncak, “Oka-san, ku mohon jangan alihkan pembicaraan!” Sarada menunduk dalam. Mobil yang dia kendarai sudah di tepikan. Mungkin dia salah menanyakan masalah ini sekarang, di waktu dan tempat yang tidak mendukung tapi dia sudah tak mampu lagi menahannya. Perasaan selama bertahun-tahun yang coba dia kubur, perlahan menyeruak dan ingin segera dibebaskan.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayah. Selama ini tak pernah sekali pun aku pernah mendengar dan melihat bagaimana sosok ayahku. Saat kecil aku selalu iri pada teman-temanku yang selalu dijemput oleh ayahnya setelah bermain, aku iri pada mereka yang dengan penuh suka cita bercerita tentang sosok ayahnya dan aku sangat iri saat melihat kebersamaan mereka. Aku sudah berusaha menahannya selama ini, tapi aku sudah tidak sanggup. Aku hanya ingin tahu bagaimana dia, bagaimana sosok ayahku, kaa-san.” Tutur Sarada. Matanya berkaca-kaca mengingat semua kenangan-kenangan masa kecil hingga saat ini.

Sakura menatap anaknya iba. Tak pernah ia kira, selama ini ternyata Sarada menyembunyikan kesedihannya. Penyesalan kembali dirasakan Sakura saat melihat setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mata indah putrinya, “Maafkan kaa-san sayang. Kaa-san tidak bermaksud menyembunyikan tentang ayahmu, tapi kaa-san hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu,” sekaligus menyiapkan hati menceritakan semuanya lanjut Sakura dalam hati.

Sarada tersenyum tipis mendengar kata ibunya, “Kaa-san aku sudah lama menyiapkan diriku untuk mengetahui semuanya. Apapun itu. Aku tidak peduli walaupun ayah adalah seorang penjahat, aku tak apa. Walau ayah adalah buronan atau seorang tawanan sel. Aku hanya ingin tahu bagaimana sosok ayahku itu.” Jelas Sarada menatap penuh keyakinan ibunya.

“Ayahmu bukanlah seorang penjahat Sarada malahan dia adalah seorang pahlawan namun... Ia sudah meninggal sejak kau masih dalam kandunganku.” Ucap Sakura menatap anaknya dengan menyesal. Dalam hati beribu penyesalan sedang berkecamuk. ‘Maafkan kaa-san sayang, sekarang belum waktunya kau tahu.’ Batin Sakura menyesal.

Sarada tak menjawab. Dia diam dengan perasaan yang berkecamuk. Rasanya sangat perih. Seolah tengah ditimpa berton batuan hingga membuatnya tak kuasa untuk tidak menitikkan setetes air mata. Kenyataan ini terlalu berat untuk anak serapuh dia. Padahal dia sudah menyiapkan hatinya untuk mendengar jawaban dari ibunya, namun kenyataan itu tetap saja terasa menyakitkan.

“Ayahmu adalah seorang tentara, walau terlihat dingin dan nampak tak membutuhkan seseorang, nyatanya dia tetaplah seorang manusia yang membutuhkan perhatian, dia sama sepertimu Sarada-chan. Kau pasti akan mengagumi sosoknya.” Ucap Sakura menerawang, membayangkan wajah seorang pria yang sampai sekarang pun masih menduduki peringkat teratas dalam hatinya. “Seandainya Oka-san punya fotonya. Ah... Maaf yah Sarada-chan, ibu tidak memiliki fotonya.” Lanjutnya seraya menatap lekat anaknya.

Sarada masih bergeming, tak membalas maupun menyahuti perkataan ibunya. Di matanya dia bisa melihat guratan kesedihan yang sangat jelas di mata ibunya. “Dia... Dia meninggal ketika menjalankan misinya. Waktu itu aku hamil 5 bulan dan ayahmu diperintahkan untuk menjadi relawan Negara lain yang sedang berperang. Ayahmu ingin sekali menolaknya, karena khawatir meninggalkan ibu dalam keadaan hamil muda yang pada masa-masa itu, adalah masa ngidamku. Tetapi ia tidak bisa. Hingga setelah dua bulan menunggu, kabar itu tiba. Para relawan kembali termasuk juga ayahmu. Ibu bergegas menuju stasiun, menunggu kedatangan mereka tanpa memedulikan keadaanku yang sedang hamil tua.”

Oka-san mencari-cari ayahmu di antara para tentara yang telah tiba, tapi…” Sakura menghentikan ucapannya. Matanya memanas. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang sudah menganak di pelupuk mata.

Setelah beberapa detik. Sakura tak kuasa lagi menahan sesak yang selama ini dia tekan. Dengan derai air mata yang membasahi kedua pipinya, ia melanjutkan cerita. “Tapi yang ibu dapat adalah raga ayahmu tanpa nyawa.”

Tak tahan melihat ibunya bersedih dan menangis, Sarada merengkuh lantas mengelus-elus punggung ibunya yang bergetar berharap ibunya merasa tenang dan tidak lagi bersedih. “Aku minta maaf oka-san! Aku tidak bermaksud mengingatkan Oka-san dengan hal itu. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku. Aku tidak akan pernah lagi menanyakan tentang tou-san.” Ungkapnya dengan cemas. ‘tapi aku akan mencari tahunya sendiri, oka-san. Maafkan aku! Aku tahu Oka-san tengah berbohong. Itu semua terlalu terlihat untukku, oka-san.’ lanjutnya dalam hati.

Selama ini Sarada tak pernah menanyakan tentang ayahnya pada ibunya, karena takut hal ini akan terjadi. Dulu, ia pernah tidak sengaja melihat ibunya menangis dalam kamar, ia tahu apa yang membuat ibunya bersedih. Karena dulu setelah ibunya puas menangis yang berakhir dengan tertidur pulas tak henti-hentinya ibunya menyebutkan satu nama yang terdengar samar di telinganya yang ia yakini adalah nama dari ayahnya. Maka dari itu, ia menghilangkan semua niatnya untuk menanyakan siapa ayahnya.

Niat awalnya yang ingin tahu tentang ayahnya, harus dia tahan lagi karena kesedihan ibunya. Ia tak mau membuat ibunya kembali bersedih dan mengeluarkan air mata, dadanya terasa sakit. Maka dari itu, ia akan mencari tahunya sendiri, dan sekelabat memori penemuannya itu hadir membuat dirinya semakin yakin, ia akan segera mengetahuinya dan ia bertekad setelah pulang mengantar ibunya ia akan membacanya.

“Iya, gak apa-apa sayang.” Sakura menghapus air matanya dan tersenyum, senyum yang masih memancarkan kesedihan.

“Apa perjalanannya kita lanjutkan atau kita pulang saja?” Tanya sarada dengan khawatir. Ia merasa mereka tak perlu melanjutkan perjalanan itu, karena menurutnya ibunya tak akan sanggup bila berjalan dengan pikiran yang masih sedih.

“Kita lanjutkan saja, sayang. Ibu sudah tidak apa-apa. Kau jangan terlalu mengkhawatirkan ibu.” Jawab Sakura dengan senyum yang berbeda dengan yang tadi, namun masih terlihat menyembunyikan sesuatu.

“Baiklah!” Dengan tidak rela Sarada pun melanjutkan perjalanan itu.

...
...
...

“Oka-san sebetulnya mau beli apa, sih. Kenapa lama sekali?” Gerutu sarada yang menunggu ibunya di parkiran mall. Sarada tidak masuk ke dalam mall bersama ibunya, dia terlalu malas untuk berjalan, apalagi harus bertemu dengan orang-orang yang berisik di sana. Ia lebih memilih menunggu di dalam mobil yang menurutnya lebih nyaman, karena tak ada suara bising yang dapat mengganggunya. “Hah...” Desah Sarada yang sudah sangat bosan menunggu ibunya. “15 menit lagi, kalau tidak datang, aku akan menyusulnya.” Ucapnya pada dirinya seraya mengamati orang-orang di depan mall.

15 menit kemudian

Sarada membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam mall untuk mencari ibunya. Ia mengambil ponsel di saku celana lantas menghubungi ibunya.

“Moshi-moshi… Oka-san dimana?”

“Aku masih mencari benda yang ibu inginkan, sayang.” Terdengar suara bising di sekitar ibunya saat menjawab panggilan dari Sarada.

Sakura menghela nafas. “Baiklah aku akan menyusul Oka-san ke sana. Aku bosan menuggu di mobil, oka-san.”

“Sebaiknya tidak usah, tunggu Oka-san saja di Japanese Foods saja, kita akan bertemu di sana.”

“Baikalah. Cepatlah oka-san! Aku bosan di perhatikan terus.”

HaikHaik…”

Setelah sambungan terputus Sarada menuruti ibunya dan memasuki sebuah restoran yang menjual berbagai aneka makanan khas jepang. Anak itu kemudian duduk di salah satu bangku paling sudut, dekat dengan kaca transparan, akan tetapi tak terlihat dari luar. Ia menunggu ibunya sambil menopang dagu dan memandangi orang-orang di luar restoran dengan bosan. Minuman yang ia pesan sebelumnya hanya dibiarkan saja di atas meja.

Tiba-tiba matanya menemukan satu objek yang membuatnya tertarik. Dia memfokuskan pandangannya untuk dapat melihat jelas orang itu. walaupun orang itu dikerumuni banyak orang terutama perempuan namun Sarada masih dapat melihat pria itu. entah kenapa, melihat pria itu membuat perasaannya berdesir hangat. Ah... tidak mungkin Sarada jatuh cinta pada pria yang terlihat seumuran dengan ibunya itu. tetapi wajah laki-laki itu memanglah sangat tampan. Mata onix, hidung mancung, kulit putih, rambut raven, dan tatapan matanya seakan menariknya tenggelam dalam gelapnya malam.

Kegiatan memandanginya terus ia lakukan, hingga tanpa sadar seseorang telah duduk di hadapannya.

Sarada-chan, kau sedang memperhatikan apa?” Tanya orang tersebut. Sarada mengalihkan pandangannya dan melihat orang itu. “Kelihatannya menarik sekali, sampai-sampai kau tak sadar ibu sudah disini.” Lanjutnya.

“Ah… Oka-san, aku tadi hanya memperhatikan orang itu.” Sarada menunjukkan orang yang sejak tadi dia perhatikan.

“Yang mana?” Sakura mengikuti arah pandang Sarada.

“Hah… dia sudah pergi.” Jawabnya kecewa. Padahal ia ingin memperlihatkan orang itu pada ibunya karena wajah laki-laki itu yang tampan.

“Memangnya dia siapa?” Sakura penasaran dengan orang yang diperhatikan sedari tadi oleh anaknya. Jarang sekali Sarada memperhatikan seseorang sampai tak menyadari dirinya.

“Aku tidak tau. Wajahnya terlihat tidak asing. Entahlah. padahal aku belum pernah melihatnya.”

Sakura jadi penasaran dengan orang itu, “Apa maksudmu Sarada-chan? Ibu tidak mengerti. Kau bilang tidak pernah berjumpa namun kau merasa tidak asing dengan orang itu.” heran. Tentu saja. Sakura merasa aneh dengan perilaku dari anak semata wayang itu. Ia jadi penasaran dengan orang yang dimaksud anaknya. ingin sekali dia lihat rupa dari orang itu, barangkali dia mengenalnya. Tetapi jauh dari lerung hati yang terdalam perasaan aneh itu hadir. Rasanya sesak namun dia seakan merindukan. Entah bagaimana mendeskripsikannya dengan kata. Sakura juga tak tahu.

“Entahlah, oka-san. Aku juga tidak mengerti. Perasaan ini baru pertama kali ku rasakan.” Jelasnya. “aku merasa kami sudah sangat dekat dan anehnya aku tidak merasa pernah bertemu dengan dia sebelumnya.” Pandangan mata Sarada masih fokus untuk mencari orang itu, barangkali ia dapat menemukan dan memperlihatkannya pada ibunya.

‘Aneh, kenapa aku merasa seperti ini. Kami-sama mudah-mudahan orang yang dilihat anakku bukanlah dia! Aku tak mau lagi bertemu dengan mereka.’ Batin Sakura berdoa.

“Oya Sarada-chan, kau sudah memesan makanan?” Sakura mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia tak mau Sarada mengingat orang yang menjadi objek perhatian anaknya itu. Entahlah walaupun ia sendiri tidak melihat orang itu, namun ia merasa tidak suka. Bayangan-bayangan beberapa tahun lalu yang telah ia kubur entah kenapa menyeruak keluar. Perasaan takut mulai menghinggapi, hingga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca. Untungnya Sarada tak menyadari itu karena fokus anaknya bukan pada dia tetapi di luar restoran.

“Belum. Aku menunggu Oka-san tadi.”

Sakura tersenyum, pengalihannya sukses. “Mmm…. Baiklah.”


Sakura mencari-cari waitress. Setelahnya dia memanggilnya. “Pelayan…!” Panggil Sakura dengan menaikkan tangan kanannya.

Pelayan yang dipanggil Sakura datang menghampirinya, “maaf nyonya, ada yang biasa saya bantu? Nyonya mau pesan apa?” Tanya pelayan itu dengan sopan dan memberikan daftar menu yang tersedia.

“Kau mau makan apa Sarada-chan?” Tanya Sakura pada anaknya.

“Ramen saja dengan ekstra tomat, minumannya gak usah.” Jawab Sarada tanpa pikir. Ia masih memikirkan orang yang mirip dengannya itu.

“Saya pesan sashimi dan ramen, minumannya jus jeruk saja.”

Pelayan itu menuliskan pesanan Sakura, “Baiklah, satu sashimi dan ramen dengan minumannya jus jeruk satu.” Sakura mengangguk lantas tersenyum pada pelayan itu. “Baiklah silahkan tunggu 20 menit, pesanan kalian akan segera diantar!?” ucapnya membungkuk sebentar seraya menjauh dari mereka.

Sakura lantas melihat anaknya heran, dari tadi anaknya seperti mencari-cari sesuatu. “Sarada-chan, ada apa? apa kau masih mencari kebedaan orang itu?”

“Tidak ada apa-apa. aku tidak mencarinya kok oka-san. Jangan terlalu khawatir.” jawabnya masih memandangi orang-orang di luar. Berharap bisa melihat orang itu lagi. Yah dia berbohong pada ibunya jika dia tidak sedang mencari-cari orang itu. entah kanapa dia masih penasaran dengan orang yang baru dilihatnya itu.

“Tidak bisaanya kau memikirkan sesuatu. Kalau ada masalah ceritalah pada ibu.” ucap Sakura berharap anaknya bisa menceritakan permasalahannya.

“Tidak ada kok oka-san. Aku baik-baik saja.” Balas Sarada tanpa memandang ibunya. Bertopang dagu dan terus memperhatikan lalu-lalang di luar restoran. Pikirannya berkecamuk, penasaran namun enggan mencari tahu. ‘apa yang ku inginkan sebenarnya?’ pikirnya.

Sakura mendesah melihat kelakuan anaknya yang terlalu kentara menyembunyikan sesuatu. Ia pun membiarkan anaknya seperti itu hingga puas namun dalam hati ia berdoa agar anaknya itu tidak akan melihat orang itu, entah kenapa memikirkan orang itu buat perasaannya jadi tidak enak, tapa juga... rindu. ‘Aneh sekali. Sebenarnya apa yang ku inginkan?’ batin Sakura.

Hingga 20 menit kemudian pesanan mereka tiba, mereka masih tetap diam dan memakannya tanpa bersuara. Sakura makan sambil melihat anaknya yang makan seperti tidak berselera.

Sarada-chan!”

“Hn”

“Kau kenapa? Tidak bisaanya kau seperti ini. Kau ada masalah?”

“Aku baik-baik saja oka-san, jangan khawatir!”

“Hm… baiklah.” Sakura melirik anaknya, lantas mendesah pasrah. ‘bukannya tadi dia yang menenangkanku, kenapa sekarang dia terlihat risau.’ Batin Sakura.


Sarada dan Sakura kemudian beranjak dari mall itu untuk pulang ke rumah. Akan tetapi setelah tiba di parkiran Sakura meninggalkan anaknya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil duluan.

Sarada-chan, kau masuklah ke dalam mobil duluan, ibu mau ke toilet dulu.”

“Hn”
...
...
...

“Sakura!”

Sakura berhenti, “hah” Sakura bingung dengan suara yang samar-samar didengarnya. ‘siapa? Apa tadi ada yang memanggil namaku?’ pikirnya. Ia pun berjalan lagi.

“Sakura!”

DEG

Sakura memegang dadanya. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. Dadanya sesak, rasanya seperti perasaan yang dulu telah lama ia tinggalkan.

“Sakura!”

Sekali lagi suara itu terdengar di gendang telinganya dan kali ini terdengar lebih keras, ‘Suara itu, kenapa sangat mirip dengan suaranya. Suara dari laki-laki itu, tidak mungkin. Aku pasti salah dengar. Lagi pula tak hanya dia yang memiliki suara seperti itu.’ Batinnya.

“Sakura! Kau Sakura-kan!?” Panggilnya lagi membuat Sakura secara perlahan berbalik karena penasaran dengan orang yang telah memnggilnya. Kedua matanya sukses membulat sempurna ketika melihat orang itu. “Sasuke.” Lirihnya.

“Ternyata memang benar kau Sakura, aku senang sekali bisa melihatmu disini.” Orang itu berjalan semakin dekat dengan Sakura. Tampak di raut wajahnya, ekspresi bahagia, senang, dan penuh kelegaan. Seperti telah memenangkan sebuah tender yang sudah lama dia kerjakan.

“…” lagi-lagi Sakura tak menggubrisnya. Ia hanya diam dan melihat orang itu berjalan ke arahnya. Tapi itu tak lama, karena semakin orang itu mendekat, maka Sakura pun semakin menjauhinya.

“Apa kau lupa padaku? Aku Sasuke, sahabatmu dulu.” Tanya Sasuke penuh harap. Sasuke semakin mendekati Sakura.

“…” tanpa menjawab, Sakura kemudian berlari menghindari laki-laki itu. Berlari sejauh mungkin dari laki-laki itu. Ia tak peduli dengan orang-orang yang ia tabrak atau kaki yang ia injak. Ia hanya ingin pergi jauh dari sana dan tidak ingin melihat laki-laki itu lagi.

...

Sarada melihat ibunya berlari kearah mobilnya dengan ekspresi campur aduk antara sedih dan ketakutan juga terdapat raut khawatir. Ia kemudian turun dan menghampiri ibunya. Memegang bahu ibunya yang bergetar. Kemudian memeluknya berharap dengan begitu wanita itu dapat tenang.

Oka-san kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada yang mengganggu oka-san?” Tanya Sarada dengan nada cemas. Rasanya sakit sekali melihat ibunya seperti itu.

“A..a..aku ba..baik-baik saja.” Jawabnya gugup.

“Apa maksud oka-san baik-baik saja dengan tubuh gemetar kayak gini?”
Sakura tidak memberi jawaban pada Sarada ia hanya memegang kedua lengan anaknya, dan menarik anaknya masuk ke dalam mobil, “ki…kita pulang saja Sarada-chan!”.

Tanpa membuang waktu, Sarada langsung membawa ibunya masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang samping kursi supir sambil menyandarkannya. Sebelum menyetir ia memeriksa keadaan ibunya. Ibunya masih tampak kacau, tak ada lagi sinar kelembutan yang terpancar dari mata ibunya hanya ada kesedihan dan ketakutan. Perasaannya tak enak, ia tak suka melihat ibunya dengan keadaan─ ekspresi sekacau ini. Dia lebih senang melihat ibunya memarahinya atau menghukumnya bila tak menghabiskan sayuran paprika dari pada melihat ekspresi ibunya seperti ini.

“Hah…” Helaan nafas terdengar dari mulut Sarada, ‘ada apa dengan oka-san?’ batin Sarada. Ia tak ingin bertanya langsung kepada ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya mengingat masalahnya sewaktu berada di mall dan membuatnya semakin bersedih.

Perjalanan dari mall ke rumah mereka, terasa begitu lama. Tak satupun dari mereka yang memulai percakapan. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sakura terus saja melamun sambil melihat jalanan di sampingnya dan Sarada focus dalam menyetir.
.
.
.

Setibanya mereka di rumah, Sarada membawa ibunya langsung ke kamarnya dan menidurkannya, tetapi sebelum itu ia memberikan minuman kepada ibunya.

Oka-san, minum dulu airnya setelah itu beristirahat, dan masalah yang tadi tidak usah terlalu dipikirkan, walaupun aku sendiri tak tahu masalahnya apa!”

Sakura tak menjawab apapun dan hanya mengambil air minum yang diberikan Sarada padanya. setelahnya membaringkan tubuh dan beristirahat. Ingatannya kembali ke kejadian yang tadi. Orang yang selama ini berusaha dia hindari entah kebetulan dari mana, mereka bertemu di mall. Untung saja dia bergegas lari dan tak menghiraukan panggilan pria itu dan Sakura berharap pria itu tidak melihat Sarada ketika menghampirinya. Entah apa yang akan dipikirkan oleh laki-laki itu jika melihat Sarada. Mereka sudah tak berkomunikasi selama lebih 15 tahun dan ketika bertemu tahu-tahu Sakura telah memiliki seorang anak yang memiliki sedikit rupa sepertinya. Dia tak mau itu terjadi. Sebisa mungkin dia akan menghindari pria itu. Semoga saja itu adalah pertemuan terakhir mereka.

Tanpa dia sadari hari inilah dimulai takdirnya dengan anaknya. Pertemuan yang ia anggap kebetulan telah ditakdirkan untuknya oleh Kami-sama. Pertemuan yang akan membawa perubahan pada mereka.

Setelah yakin bahwa ibunya sudah baik, ia turun dan mengambil barang-barang belanjaan ibunya dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sarada kemudian mengambil cemilan dan minuman dingin sebelum memasuki kamarnya untuk melanjutkan membaca buku harian yang tadi dia temukan. memasuki kamarnya lantas mengambil posisi yang nyaman untuk membaca, duduk di atas ranjang sambil bersandar di sandaran ranjang dengan bantal sebagai lapisannya. Dibukanya buku harian itu dan mulai membacanya.

KONOHA 23 April xxxx


Dear diary



Dia adalah lelaki yang sering kulihat sendiri di bangkunya sambil membaca novel yang biasa dia bawa. Dia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah yang pernah ku lihat. Memiliki wajah yang tampan bak seorang pangeran dalam cerita fiksi yang biasa ku baca. hidung mancung, mata onix kelamnya yang seakan menyerapku ke dalamnya ketika menatap mata itu, rambut biru tuanya yang mencuat ke atas membingkai wajahnya yang kata orang adalah emo style, tapi menurutku model itu lebih mirip dengan pantat ayam. Hehehe... Setiap ada gadis yang mendekatinya langsung diberikan tatapan dingin dan seolah mengatakan ‘pergi kau!’. Itulah sebabnya sampai sekarang aku tak pernah mau mendekatinya. Diary apa yang harus aku lakukan?


Sarada terus membaca buku itu. Entah mengapa dia memiliki firasat bahwa dengan membaca buku itu, dia dapat mengetahui siapa ayahnya. Jujur saja ketika melihat teman-temannya bersama keluarganya yang lengkap ia selalu merasa iri dan juga sedih. Ia ingin sekali ayahnya berada di rumahnya sekarang. Mendengarkan semua keluh kesahnya. Walaupun ibunya juga sering mendengarkannya tapi rasanya sangat beda. Pemikiran laki-laki itu sangat berbeda dengan perempuan, dia ingin sekali mendengarkan solusi yang keluar dari mulut ayahnya.

Selama ini ia belum pernah melihat bagaimana bentuk wajah ayahnya, walaupun dalam bentuk fotonya. Ibunya tak pernah memperlihatkan foto ayahnya, karena semua yang berhubungan dengan ayahnya dibuang atau mungkin telah dibakar oleh ibunya, karena tidak ingin terus mengingat-ingat ayahnya, terlalu sedih untuk ibunya jika mengenang kenangannya bersama ayahnya itu kata ibunya dulu.

Tadi dia memberanikan dirinya bertanya tentang sosok sang ayah pada ibunya, tapi bukan jawaban yang dia dapatkan keluar dari bibir ibunya, melainkan kesedihan yang ia lihat. Sebetulnya dia tahu bahwa tadi ibunya sedang berbohong mengenai cerita tentang ayahnya, namun kesedihan yang tergambar di wajah ibunya adalah asli. Entahlah, kenapa ibunya tadi menunjukkan ekspresi seperti itu. Mungkin ada sesatu yang tidak ingin aku ketahui tentang ayahnya.

Pernah ibunya memberitahunya tentang sifat-sifat ayahnya, juga tentang wajahnya. Akan tetapi, semua itu terjadi secara tidak sengaja (reflex). Ibunya berkata dengan lirih bahwa dia sangat mirip dengan ayahnya.

Ia mengambil beberapa keripik kemudian mengunyahnya sambil membuka lembaran pada buku itu.

KONOHA, 15 Mei xxxx

Diary, hari ini aku senang sekali… Akhirnya aku bisa bicara dengan orang yang kusukai. Hahaha… Terima kasih pada Orochiamru-sensei yang membuatku sekelompok dengannya. Dia juga tidak memberikanku tatapan dinginnya seperti gadis-gadis sebelumnya. Mungkin karena dia tahu aku bukan salah satu dari fans girlnya dan tidak pernah melihatku mendekatinya. Hahaha… Apakah ini adalah tandanya. Kya… aku Pe De sekali.

Sarada tersenyum membaca halaman itu, ternyata dulu ibunya sama seperti remaja-remaja ababil lainnya, jika sedang menyukai seseorang. Sarada kemudian membuka halaman selanjutnya.

Krieeeet…!!!


.
.
.
.

TBC

a/n : ini adalah fict hasil remake dengan judul yang sama.
kalau ada yang ingin di sampaikan silahkan isi paa kolom review :-)
Selanjutnya...........  Chapter 2
Share:

Monday, June 29, 2015

Real of The Princess

Hai... Minna, miki balik lagi nih dengan fict baru.
selamat dinikmati. ^,^

*Habis di edit.*

Pair: Naruto & Hinata
Rate: T
DISCLAIMER : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur Ga⎯Je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Real of Princess © Mickey139


Summary :

Hal pertama yang orang-orang pikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adl anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku yg selalu membanggakan mereka. Namun ada satu hal yang mereka tidak ketahui tentangku. satu rahasia yg akan mengubah pandangan mereka padaku. 3 SHOOT
.
.
Real Of The Princess
.
.
.

Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adalah anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Yah. Itu memang benar, karena sedari kecil aku sudah dilatih seperti itu. semua sikap yang harus kutunjukkan haruslah sesuai dengan aturan dan tata krama yang tertera di buku kebijaksanaan istana. Sangat membosankan bukan? Kau tidak bisa bertindak seenaknya dan kau harus selalu tampak sempurna di mata semua orang.

Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku. Mereka memiliki banyak kelebihan yang selalu ayah banggakan. Di matanya mereka adalah sosok yang sempurna.

Kakak adalah seorang putra mahkota, calon raja─ pengganti ayahku kelak─ sekaligus seorang yang memimpin para jendral yang kemampuannya telah diakui dan sangat disegani bahkan dengan beberapa kerajaan lain─ sedangkan adikku dengan kemampuan diplomasinya banyak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, karena dirinya banyak kerajaan yang mau melakukan hubungan timbal balik dengan kerajaan kami.

Sementara aku hanya bisa diam dan mengikuti aturan kerajaan yang sangat membosankan tanpa bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa bisa membantu. Aku iri. Tentu saja. Bahkan sangat iri pada mereka. Aku juga ingin membantu, tapi ayah tak pernah mengijinkanku. Ayah menganggap karena sifatku yang lembut, aku akan sangat sulit memutuskan sesuatu dengan bijak bahkan kemungkinan akan memutuskan sesuatu yang salah dan menyebabkan banyak masalah. Memang bagaimana dia tahu, sedangkan dia tak pernah mempercayaiku untuk menangani sesuatu?

Aku merupakan putri dari kerajaan Hyuga dengan penampilan dan sifat yang hampir menyerupai ibuku, anggun dan lemah-lembut. Namun ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tentangku. Tidak ada yang tahu di balik sifatku itu aku bahkan mampu mengalahkan hampir seratus prajurit kerajaan jika berada dalam suatu arena─ bertarung, kecuali guruku. Orang yang selama ini mengajarkanku ilmu pedang dan bela diri.

Selama ini aku selalu keluar istana dengan sembunyi-sembunyi tepat saat matahari telah kembali terbenam di ufuk barat, ketika seluruh rakyat termaksud Raja─ayahku beranjak menuju dunia mimpinya. Aku selalu keluar menuju hutan terlarang dan berlatih di sana bersama guruku yang selalu setia mengajarkanku tentang teknik-teknik beladiri.

Guruku adalah mantan jendral perang kerajaanku dulu. Dengan kemampuan serta taktik perangnya tak ada yang pernah mengalahkannya. Dia adalah seorang legenda yang keberaniannya telah dituliskan dalam buku sejarah padahal dia masih hidup.

Guruku merupakan orang terdekat ayahku. Orang yang sangat dipercaya oleh ayahku. Semua rahasia kerajaan termaksud rahasia pribadinya diketahui oleh guruku. Hebat bukan?

Setiap malam guruku selalu melatihku keras. Tidak peduli dengan diriku yang seorang putri bangsawan. Anak dari sahabatnya. Dia melatihku layaknya esok adalah hari terakhir untuk perang.

Tidak jarang, ketika pulang ke rumah, banyak luka dan lebam yang menghiasi tubuhku. Yang tentu saja tidak akan bisa dilihat. Berkat ajaran tata rias mendiang sang Ratu─ibuku aku bisa menyamarkannya dengan riasan. Aku akan kembali menjadi putri yang patuh dan lemah lembut jika sang surya telah kembali menerangi bagian tempatku berpijak.
...


~>0<~ 
.
Pagi menjelang dan mengharuskan aku untuk segera membuka kedua mataku. Aku tidak boleh menjadi seorang pemalas karena aku merupakan seorang panutan bagi rakyatku─walau pun mereka tidak mungkin ada melihatku di pagi buta seperti ini.



Kurentangkan tanganku kuat-kuat guna meregangkan otot-ototku yang kaku. Walau badanku masih sakit semua akibat latihan semalam, aku tetap tidak boleh menampakkannya. Memang latihan semalam lebih berat dibanding dengan latihan sebelum-sebelumnya.

Bayangkan saja, walau pun aku seorang gadis, guruku tak tanggung memberiku lawan tarung seekor binatang buas yang berada di hutan itu. Beruang yang bahkan ukurannya lebih besar tiga kali lipat dari beruang normal lainnya dan lagi tanpa senjata yang bisa kugunakan.

Guru memang kejam. Tidak tanggung-tanggung memberikan pelatihan bagi muridnya. Atau mungkin hanya aku saja yang diperlakukan begitu.

Tiap kali melihatnya melatih para prajurit kerajaan, tak sekali pun ku lihat dia menggunakan binatang untuk melatih mereka.

Aku jadi sedikit iri pada mereka. Bukan hanya cara pelatihannya, tetapi karena mereka latihan secara berkelompok dan aku hanya ditemani oleh bayangan malam dengan sinar bulan yang setia menerangiku, juga binatang-binatang buas yang berada di hutan terlarang. Bisakah aku menyebutnya tidak adil? Tentu saja tidak. Karena aku adalah seorang putri dan aku selalu diperlakukan berbeda.

“Hah” aku menghela nafas sejenak ku lirik seorang dayang yang sudah berada di depanku. Aku yakin dia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.

Ohime-sama air hangatnya sudah siap.” Ucap dayang itu sopan sambil menundukkan kepalanya. Aku heran kepada dayang itu. Sudah berulang kali aku mengatakan agar tidak perlu berlaku formal bila hanya berdua denganku, tetapi tak pernah dia hiraukan dan masih memanggilku dengan sebutan itu.

“Baiklah. Arigato Tenten-san. Kau boleh keluar.” Ucapku lembut dengan senyuman yang biasa ku tebarkan. Dia membungkuk lagi lalu keluar dan menutup pintu kamarku.

Selimut yang kugunakan segera ku sibakkan lantas berjalan ke arah cermin sebelum memasuki kamar mandi.

Tubuhku penuh dengan luka-luka kecil dan lebam. Terutama di bagian kaki dan tangan. Untung saja Tenten─ dayangku─ itu tidak melihatnya. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya bila melihat ini.

Segera ku langkahkan kakiku masuk kamar mandi, melepas semua yang melekat di tubuhku. Sejenak ku hentikan langkahku tepat di depan cermin besar lantas melirik tubuhku. Banyak bekas-bekas luka akibat latihan semalam yang terpeta di punggung, dada dan kaki-kakiku. Semoga saja luka-luka ini bisa segera hilang. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat bekas ini apalagi ayahku. Entah hukuman apa yang akan diberikan padaku terlebih pada guruku. Mengingatnya saja buatku merinding.

Aku segera menuju efuro yang sudah disediakan Tenten lantas mencelupkan diriku dan menikmati sensasi yang ditimbulkannya. Aroma lavender─ aroma kesukaanku─ menguar dari bak air itu. Aroma yang selalu menenangkan diriku. Tubuhku menjadi jauh lebih rileks. Walau pun sedikit meringis kala luka-luka di tubuhku merasakan air mandi ini.


Aku sengaja menyuruh para dayangku menunggu di luar kamar dan mengerjakan hal lain selain menungguku. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka melihat seluruh tubuhku yang dipenuhi luka-luka. Bisa gawat jika kondisi tubuhku sampai ke telinga Ayah─ walau itu menyimpang dari aturan kerajaan yang mengharuskan para dayang untuk selalu melayaniku termaksud mandi dan memakai pakaian.

Setelah selesai dengan ritual mandiku, segera ku langkahkan kakiku menuju kamar tempat baju yang sudah disediakan oleh para dayangku. Merias tubuh dan menyamarkan memar di wajah serta bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh gaun kebangsawananku. Aku bersyukur, semua gaunku tidak ada yang mengekspos bagian belakang tubuh, seperti pakaian-pakaian yang sering digunakan oleh Hanabi─adik perempuanku.

Aku melangkah menuju ruang makan tempat biasa keluargaku makan. Di sana sudah ada Neji-nii dan Hanabi-chan yang sudah duduk menunggu kedatangan Raja. Seperti biasa merekalah yang selalu berada di sana terlebih dahulu.

Ohayo, oni-sama, Hanabi-chan!” Sapaku pada kakak dan Hanabi.

“Hn..” Seperti biasa, kakakku yang satu itu hanya membalas sapaanku dengan sangat singkat dan tidak jelas.

Ohayo one-sama.” Jawab Hanabi.

Ayah datang dan duduk di kursinya kemudian acara sarapan pagi pun dimulai. Seperti biasa acara sarapan pagi keluarga kelajaan hanya diselingi keheningan. Dalam tata krama, dilarang keras mengeluarkan suara pada saat makan.

.
.
.

Hari ini seperti biasa. Hanya diselingi oleh kegiatan-kegiatan yang menyebalkan dan wajib kulakukan. Aku ingin malam cepat tiba, agar aku bisa latihan. Aku bosan jika harus melakukan kegiatan yang terlalu lembut seperti ini. menyulam, belajar tata krama, hukum kerajaan, pajak, dan hal-hal lain yang sangat membosankan. Lagipula buat apa aku melakukan ini semua toh ayah sepertinya tidak membutuhkanku di istana ini.

Salahkah aku jika menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi? Mungkin seperti perang. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sudah ada peraturan tentang pengendalian perang antar kerajaan, jadi tidak mungkin sesuatu yang seperti di khayalanku itu terjadi.

Ohime-sama. Anda dipanggil oleh Baginda Raja.” Ucap seorang prajurit penjaga yang memang biasanya diutus untuk menyampaikan pesan untukku.

“Baiklah. Aku akan segera ke sana. Arigato, ne?” balasku dengan senyum dan membuat pengawal itu bersemu merah.

Mungkin senyumku sangat manis, sampai-sampai pengawal itu bersemu. Banggaku dalam hati.
.
~>0<~
.

“Baginda!” Aku menunduk hormat kemudian mendongak menatap ayah di singgasananya. “Apa ada masalah, hingga baginda memanggilku?” Lanjutku bertanya lembut.

“Minggu depan calon suamimu akan berkunjung ke kerajaan ini, jadi persiapkan dirimu baik-baik! Dan jangan membuat semuanya berantakan.” Ucap ayahku memandangiku lekat-lekat untuk memastikan ucapannya sungguh-sungguh.

Haik.” jawabku.

Inilah yang paling aku benci menjadi seorang putri kerajaan. Selalu diatur-atur dan harus mengikuti semua peraturan termaksud dengan calon suamiku. Pernikahan antar keluarga kerajaan. Dalilnya untuk kemakmuran rakyat padahal menyimpan maksud terselubung di dalamnya. Aku tahu mungkin hanya ini yang bisa kulakukan. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuatnya sedikit senang dengan keberadaanku.

Aku tidak tahu siapa dan seperti apa calon suamiku itu. Yang jelas dia adalah seorang pangeran. Walau mungkin bentuk tubuh dan wajahnya tidak sesuai dengan keinginanku, aku tetap harus menikahinya. Ah... Aku benci peraturan itu. Tidak bisakah aku menikahi pria pilihanku sendiri?

Tidak terasa langkahku membawaku ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang menjadi saksi bisu semua kegiatan yang telah ku lakukan tiap malamnya.

Aku duduk di tepi ranjang, mendekap tubuhku. Mengingat-ingat semua kenangan dari masa kecil hingga sekarang.

Padahal dulu ayah sangat menyangi kami. Beliau adalah pribadi yang hangat dan selalu bercanda dengan kami─ anak-anaknya. Walau di depan bawahannya selalu dingin dan tegas, tetapi tidak jika sudah di hadapan kami. Dia selalu memberikan senyum kepada kami. Selalu menyempatkan diri bermain dan selalu melihat perkembangan kami.

Tetapi semuanya sudah berubah. Seolah masa lalu adalah sebuah mimpi yang tidak mungkin terjadi. Sosoknya yang dulu telah hilang. Sekarang dia tidak pernah lagi menampakkan sisi hangatnya. Dia dingin tak tersentuh.

Hanya Ratu yang bisa mengubahnya. Membuatnya kembali menjadi pribadi yang hangat dan lembut di depan kami. Tetapi sayang itu semua tak akan pernah terjadi. Sosok hangat ayah telah hilang bersamaan ketika Oka-sama dipanggil oleh Kami-sama.


*~> Hinata POV END <~*

Seperti biasa Hinata akan melakukan latihan ketika matahari telah beranjak untuk menyinari bagian belahan bumi yang lain. Kaki-kaki mungilnya melangkah dengan langkah yang sangat ringan, pelan, lembut, dan hampir tak terdeteksi. Dia melangkah seakan sedang berjalan di atas udara, benar-benar sudah terlatih.

Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan. Walau kebanyakan pencahayaan ruangan kerajaan tersebut temaram, namun Hinata dapat melihat dengan jelas.

Di depannya kini berjalan dua penjaga dengan tombak lancip yang mereka bawa. Tubuh tegap nan besar, mungkin bila dia masihlah seorang Hyuga Hinata yang lembut dan lemah, dia akan merasa takut, mungkin juga dia akan menangis karena terlalu takut.

Hinata kemudian bersembunyi di balik bayangan gelap pada dinding dengan pencahayaan yang temaram. Tiap latihan Hinata tidaklah menggunakan pakaian kebangsawanannya, dia hanya menggunakan pakaian layaknya seorang lelaki yang bekerja di kandang kuda dengan ukuran yang pas di tubuh tentunya.

Kedua penjaga itu sudah melewati dirinya, sama seperti melewati dinding yang lain. Hinata tak terlihat seperti angin yang biasa mereka hirup. Tak ada rasa curiga, atau pun tanda-tanda ketika menemukan penyusup. Mereka terus berjalan dan terus mengawasi, tanpa menyadari keberadaan Hinata yang baru mereka lewati.

Hinata bernafas lega. Walau dia yakin tak akan ketahuan, namun sebagian dari dirinya masihlah merasa takut. Takut jika ketahuan dan mendapat hukuman yang berat. Bukan, bukannya dia takut dipenjara atau dihukum pancung, namun yang lebih mengerikan adalah dia tidak akan lagi berlatih dan gurunya yang akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan. Hal yang sangat ditakutkan oleh Hinata.

Kembali dijejakkan kaki-kaki mungilnya. Dia sudah berhasil melewati penjagaan pertama, tinggal dua penjagaan lain. Penjaga pintu masuk kerajaan dan penjaga untuk halaman kerajaan. Matanya kemudian berubah lebih tajam dengan urat-urat yang muncul di sekitar matanya. Byakugan─kemampuan yang hanya diwariskan oleh keturunanya─dapat melihat ke seluruh arah, walau gelap dan terhalang pun penglihatannya bisa menembusnya.

Sekitar sepuluh meter arah depan terdapat dua penjaga yang menjaga pintu masuk kerajaan, lima belas meter dari arah selatan beberapa penjaga sedang berdiskusi, dan tidak jauh dari mereka dari arah utara terdapat seorang penjaga di atas menara yang mengarahkan lampu suar.

“Sepertinya akan sedikit sulit.” Gumam Hinata.

Dia kemudian berlari dengan masih mengaktifkan Byakugan-nya, menghindar dari penglihatan para penjaga, dengan melempar sesuatu hingga menimbulkan sebuah bunyi dan membuat fokus para penjaga teralih sebentar yang tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Hinata.

Setelah melewati penjaga pintu, dia kemudian langsung bersembunyi di balik tanaman bongsai besar mirip harimau. Para penjaga yang tadi berdiskusi tidak menyadari keberadaannya, dan sekarang dirinya sedang berfokus pada si pemegang suar yang dia arahkan terus-menerus. Ketika penjaga tersebut mengarahkannya menjauh dari Hinata, Hinata kemudian segera memanfaatkan kesempatan itu untuk cepat berlari dan bergegas menuju hutan terlarang.

Sekitar dua ratus meter dari kerajaannya dan jalan masuk hutan, dapat dilihat adanya sebuah penerangan dari lampu pelita yang digantung di salah satu pohon. Penerangannya memang temaram, namun itu semua tak berefek pada penglihatan Hinata yang bisa melihat layaknya ketika matahari menynari tempatnya tinggal.

“Kau terlambat Hinata!?”

Seorang yang Hinata yakini adalah gurunya muncul dan menegurnya. Sosok bertubuh besar dan kekar dengan tampang datarnya. Dialah Tobirama senju. Walau sifatnya seperti itu, dia tetap oramg yang baik, buktinya dia mau mengajariku beladiri.

“Maaf sensei!” Sesal Hinata. “Penjagaan telah ditingkatkan, jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama. tidak mungkin aku memukul mereka hingga pingsan, bisa-bisa terjadi kekacauan dan aku tidak mungkin bisa datang latihan sekarang.” lanjutnya sambil menunduk.

Memang benar akhir-akhir ini penjagaan di sekitar kerajaan makin bertambah padahal tidak ada tanda-tanda akan adanya kekacauan, kudeta, perang, atau sejenisnya.

“Yah sudahlah... Pemanasanlah dulu!” Ucapnya seraya menyerahkan Hinata pemberat untuk kemudian dia gunakan, kaki, tangan, termaksud lengan atas, serta pemberat yang seperti rompi. Yang beratnya rata-rata tiga puluh kilogram dan rompi seberat enam puluh lima kilo gram.

Setelah semua perlengkapan pemberat digunakan, dia kemudian melakukan pemanasan. Mulai pemanasan ringan hingga yang berat. Kemudian memulai latihannya.


Sebuah pedang yang tajam dan terawat berada digenggamannya lantas dia gunakan untuk melakukan tarian pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya dengan menambahkan beberapa gerakan. Seketika kayu-kayu berdiameter tiga puluh sentimeter tertebas menjadi beberapa bagian dengan potongan yang sangat halus.

Hinata kemudian memasang kuda-kuda untuk menyerang, memfokuskan pandangannya ke kayu lain yang akan dia tebas. Pandangan matanya tajam menatap kayu-kayu itu seolah kayu tersebut adalah musuhnya. Hembusan nafas pelan keluar dari mulutnya sebelum mengarahkan pedangnya ke arah kayu-kayu itu. Lagi-lagi kayu tersebut tertebas rapi dengan potongan yang halus.

Dia menghunuskan pedang tanpa merasakan beban yang berada di tubuhnya. Memotong layaknya sebuah pudding yang ingin dia makan.

“Kau sudah lebih baik menggunakan pedang. Gerakanmu sudah bagus, tak ada gerakan yang sia-sia dan sepertinya kau menambahkan beberapa gerakan dalam tarian pedang itu, tapi itu bagus. Kau sudah banyak perkembangan.” Ucap guru itu tiba-tiba.

“Ah... Benarkah?” Sahutnya. “Tapi aku masih merasa ada yang kurang sensei, tetapi aku tdak tahu itu apa.” Lanjut Hinata dengan raut bingung menghentikan semua gerakannya. “Aku sepertinya tidak merasa puas dengan hasilku itu─ Entahlah, aku hanya merasa ada yang kurang.”

“Mungkin kau membutuhkan seorang lawan yang hebat.” Sahut guru Hinata memperhatikan raut bingung gadis itu.

“Mungkin saja. Karena selama latihan, aku hanya menebas benda mati dan hanya melawanmu, juga melawan binatang buas hutan ini─ ah. Maksudku kau hebat guru, aku bahkan sulit mengalahkanmu, tapi, benar apa yang sensei katakan aku butuh lawan lain yang bisa memuaskanku.”

“Kalau begitu besok siang kau datanglah ke pelataran. Akan ada pertandingan tarung antar para petarung. Bergabunglah dengan mereka dan bisa saja kau akan mendapatkan lawan yang bisa membuatmu puas.”

“Memang bisa?”

“Kau tinggal menyamar saja. Aku akan membantumu.”

“Wah... benarkah.. Arigato sensei. Hontoni arigato. Kau yang terbaik.” Ucap Sakura berbinar. Pedang yang ia pegang terjatuh lantaran terlalu girang.

“Hn. Kita akhiri sampai di sini. Besok kau tidak usah datang latihan. Besok aku akan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk perjalananku ke Utara, ke kerajaan Nara. Raja mengutusku ke sana menggantikan beliau. Mungkin sekitar satu minggu.” Ucap guru Hinata tiba-tiba sambil menyarungi pedangnya dan pedang Hinata.

“Hhhhh.... Kalau begitu selama seminggu aku tidak akan latihan?” Ujar Hinata sendu sambil memperhatikan gurunya dan melepas pemberat yang ia gunakan.

“Sudahlah! Hanya seminggu. Lagi pula tubuhmu juga membutuhkan istirahat. Jadi selama seminggu istirahatkan tubuhmu dan jangan datang ke sini untuk berlatih. Kau mengertikan Hinata!?” kata guru Hinata tegas. Berbaik memberikan Hinata tatapan tak ada penolakan dan bantahan.

Haik...” jawab Hinata tersentak. Bagaimana bisa gurunya tahu dia akan datang untuk latihan sendiri? Apa terlalu jelas di wajahnya?

“Kalau begitu pulanglah! Istirahat dan besok siang kau bisa ke pelataran untuk pertarungan nyatamu dengan orang lain. Aku akan membantumu.”

Haik.” Sekali lagi Hinata hanya bisa menuruti perkataan gurunya tanpa bantahan.
...

.
.
.

“Uh....” Keluh seorang gadis yang masih dalam posisi tidurnya, “kata sensei aku harus mengistirahatkan tubuhku. Bangun sebelum dayang datang dan membuat tubuh menghangat. Apa-apaan itu? Tidur saja tidak cukup dua jam dan sekarang harus membuat tubuhku menghangat, jelas aku tidak bisa tidur nyenyak. Aaaahhh....” dengan terpaksa Hinata bangun, mendudukkan diri dan menenangkan pikirannya.

Setelah dirasanya cukup, digerakan tubuhnya layaknya sedang meditasi. Kakinya dia sila-kan, dan kedua tangannya dia tangkupkan sambil memejamkan mata.

Perlahan hawa di sekitar tubuhnya berubah hangat lambat laun berubah panas. Bulir-bulir peluh berlomba-lomba bermunculan dan membasahi tubuhnya. Gaun tidur yang dia gunakan lambat-lambat basah akibat keringat yang terus keluar dari tubuhnya.

Perlahan Hinata membaringkan kembali tubuhnya, memakai kembali selimutnya, dan menunggu hingga dayangnya masuk ke kamar.

Selang beberapa menit seorang dayang memasuki kamarnya. Kembali Hinata memposisikan tubuhnya membaring dan mulai memerankan peran layaknya orang sakit. Menutup erat kedua mata dan membuat tubuhnya seolah tengah menggigil untuk meyakinkan dayang tersebut.

Hime-sama...~” panggil dayang itu.

Hime-sama...~” sekali lagi dia mencoba memanggil Hinata agar terbangun.

Tidak ada sahutan, dayang itu maju perlahan dan mencoba membangunkannya. Berfikir apakah boleh seorang dayang sepertinya boleh menyentuh putrid itu. pasalnya selama ini Hinata tak pernah mau disentuh oleh para dayang.

Kaki dayang itu semakin mendekat, hingga ia bisa melihat keadaan Hinata. Tanpa disentuh pun dayang itu tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Hime-nya itu. Dia terlonjak kaget ketika melihat tubuh Hinata yang penuh peluh serta sedikit menggigil. Disentuhnya tubuh Hinata dan ia pun semakin terkejut ketika merasakan tubuh Hinata yang menghangat. “Hi─astaga... Ohime-sama, badan anda panas sekali. Ap.. Apa yang terjadi?” Ucap dayang itu panik dan bergegas keluar mencari pertolongan.

Dirasanya dayang itu sudah tidak berada di dalam kamarnya, sebelah matanya perlahan mengintip dari kelopak mata.

“Hhhh...” hembusan nafas pelan keluar dari bibirnya, “dayang tadi mudah sekali dibihongi.” Kikiknya pelan.

Krieeet.....

Merasa pintu kamarnya dibuka seseorang, dia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula.

“Aku tidak tahu kenapa Hime-sama seperti itu. Aku baru saja akan membangunkannya, namun tidak jadi, karena badannya panas dan menggigil.” Jelas dayang yang tadi dibohongi oleh Hinata.

“Apa keluarga kerajaan lain sudah mengetahui ini?” Tanya seseorang yang diyakini Hinata adalah seorang tabib. Ah.. mungkin saja orang itu adalah orang yang sama yang dimaksud oleh sensei-nya.

“Belum Nyonya.” Jawab dayang itu.

“Baiklah kalau begitu. Tolong kau keluarah dulu, aku ingin memeriksanya.” Titah tabib itu dan mempersiapkan perlengkapannya

Haik. Arigato gozaimasu.
...
...

“Kau boleh membuka matamu!” Pinta sang tabib kepada Hinata. “Aku orang yang dimintai Tobirama untuk membantumu Hime. Bertahanlah hingga keluargamu menghampirimu dan kau boleh tidur aku akan membangunkanmu sebentar.”

“Baiklah. arigato gozaimasu, Nona Tsunade dan panggil saja aku Hinata sama seperti sensei memanggilku jika kita hanya berdua.”

“Baiklah dan panggil aku Tsunade.” Potong Tsunade.

“Ah... Arigato Tsunade-san.” Ucapnya dengan senyum.
.
<~0~>
.

Hosh... hosh... hosh...

“Hm... Banyak ternyata yang datang. Kira-kira lawan-lawannya seperti apa?” Ucap seorang dengan tudung yang menutupi tubuhnya. Penutup kepala dari jubah yang dia gunakan membuat rupa wajahnya hampir tak terlihat. Mata almetish-nya melihat-lihat suasana di sekitar gedung. Dia tengah berdiri di depan sebuah bangunan mirip kolosium namun beratap untuk tempat duduk para penonton.

Pendaftaran pertandingan akan ditutup setengah jam lagi, jadi siapa saja yang ingin mengikuti pertandingan ini harap mendaftar sekarang juga. Baik para pasukan kerajaan atau pun untuk penduduk lokal dan luar kerajaan.


Terdengar pengumuman batas pendaftaran oleh seorang panitia, dia kemudian menjajakan kakinya lebih cepat agar tak sampai terlambat.

Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit berlalu dirinya bisa sampai pada tempat pendaftaran dan untunglah dia belum terlambat.

“Ano... Saya mau mendaftarkan diri sebagai peserta.” Ucapnya pada seorang yang bertugas mencatat para peserta pertandingan.

“Saya juga.” Timpal seseorang dengan tiba-tiba dari arah belakangnya. Seseorang yang memiliki rambut model spike orange dengan tiga garis horizontal di masing-masing pipinya. Iris birunya menampakkan raut cemas. Pakaian yang dikenakannya hampir mirip dengan Hinata namun tanpa tudung. Pakaian model seperti seorang peternak.

“Hah... Untunglah kalian masih sempat. Kalian hampir saja terlambat. Kalau begitu ucapkan siapa nama kalian.”

“Saya Hiruka.” Ucap seorang bertudung. Atau Hinata yang tengah menyamar menjadi orang lain.

“Saya Naruto.” Lanjut pemuda itu. Pakaian orange penuh peluh─mungkin karena berlari ke sini─ dengan pedang yang dia sampirkan di punggungnya. Pedang yang memiliki motif rubah pada pegangannya. Hitam dan orange merupakan perpaduan warna pada sarungnya dengan gambar rubah berekor sembilan. Pedang yang belum pernah Hinata lihat di kerajaannya.

Setelah pendaftaran, mereka kemudian berjalan masuk dan menunggu pengumuman tentang siapa lawan tanding mereka nanti. Lorong kolosium yang mereka jejaki nampak remang-remang, karena pencahayaan hanya berasal dari sinar yang masuk dari cela-cela dinding.

Entah sengaja atau tidak. Lampu-lampu yang biasanya digunakan sebagai sumber pencahayaan tidak digunakan. Mungkin ini salah satu tes dalam pertandingan ini, mengingat lorong dalam kolosium seperti labirin yang memungkinkan orang bisa saja tersesat dan mengurangi jumlah peserta.

Pintar sekali.

Namun bukan berarti Hinata akan tersesat. Walau dia tidak pernah datang dan memasuki lorong dalam kolosium itu dia tidak akan tersesat. Cukup mengandalkan indra pendengarannya dan penglihatannya dia bisa mengetahui di mana letak ruangan para peserta menunggu arahan selanjutnya.

Salah satu kelebihan dari keturunan Hyuga dan hanya dimiliki oleh turunannya adalah mata mereka yang bisa melihat tembus pandang. Selain itu, berkat latihan yang selama ini ia lakukan, semakin mempertajam indranya.

“Hai...” Sapa pemuda itu pada Hiruka─Hinata dan membuat fokusnya teralih pada pemuda itu, namun bukan berarti dia akan menatap pemuda itu. “Aku Naruto.” Ucapnya sambil menujurkan tangan kanannya.

Hinata diam tak membalas uluran tangan laki-laki di sampingnya itu dan hanya menatap kedepannya tanpa mengalihkan perhatiannya.

“Hah.. Kau dingin sekali. Aku hanya ingin mencari teman bicara. Aku tidak mau mati kebosanan menunggu pertandingan.” Keluhnya sambil mengamati keadaan di sepanjang lorong yang mereka tapaki.

‘Benar apa yang dikatakan pemuda ini, tapi jika aku meladeninya, bukan tidak mungkin dia akan mengetahui identitasku. Tapi kalau berdiam terus pasti akan membosankan. Lalu apakah aku harus menyapanya juga, tapi─ ah... astaga, kenapa aku jadi bingung sendiri sih. Ah sudahlah, biarkan saja dia berkoar sendiri, toh nanti juga dia akan diam jika bosan.’ Pikir Hinata seraya memperhatika jalan yang mereka lalui.

“Ah... Tidak lama lagi kita sampai.” Ujar Naruto tiba-tiba.

Hinata melirik laki-laki itu sekilas. ‘Apa dia mempunyai kemampuan yang sama sepertiku?’ pikirnya kemudian.

“Kau terlihat biasa saja. Apa kau tidak merasa gugup bertemu dengan petarung yang lain?” sekali lagi pemuda itu bertanya. tak memedulikan jika Hinata terganggu.

Hinata ingin sekali menjawab bahwa dia malah semakin bersemangat bertemu mereka. Dia sangat senang karena bisa bertemu dengan para petarung yang lain dan dia tidak sabar untuk segera bertarung tetapi mulutnya seakan terkunci, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya sebagai jawaban. Kebiasaan dari pembelajaran yang biasa dia dapatkan membuatnya seperti boneka yang hanya akan menyahuti pertanyaan yang menurutnya penting. Tuntutan kerajaan memaksanya menjadi seorang putri yang anggun dan hanya bisa berbicara seperlunya saja.

Diam dan mengamati adalah prinsipnya. Sangat membosankan. Apa yang dipikirkan tidak bisa tersampaikan dan hanya bisa dipendam. Lagipula untuk saat ini dia pun tak boleh asal bunyi, menyahuti orang. Bukan tidak mungkin ada orang yang bisa mengenali suaranya dan membuatnya harus terkurung lagi dalam istana tanpa melakukan sesuatu.

Lima menit berlalu sepanjang perjalanan hanya diselingi oleh kata-kata Naruto yang tidak dipedulikan oleh Hinata. Dia hanya menanggapinya dengan diam. Walau sebenarnya ingin sekali juga berkomentar, tetapi karena prinsipnya─ atau mungkin kebiasaannya─ dia hanya bisa berdiam dan mendengarkan.

Pemuda itu pun diam sejenak karena melihat cahaya di ujung lorong yang mereka lewati. Hinata tidak merasa heran sama sekali, karena ia tahu apa yang menyebabkan pemuda itu jadi terdiam. Setelah lima belas menit berjalan dan melewati cabang-cabang lorong mereka akhirnya sampai.

Ada sedikit rasa senang yang mencuat dari diri Hinata ketika tahu bahwa mereka telah sampai. Itu artinya sebentar lagi dia akan bertanding dan bisa mendapatkan lawan yang bisa memuaskannya, tidak seperti hewan-hewan buas yang biasa dia hadapi di hutan terlarang. Yang walau mereka kuat, besar, dan buas, namun gerakannya sangat mudah terbaca dan dengan mudah dikalahkan oleh Hinata.

Mereka kemudian memasuki ruangan itu. Ruangan yang sangat besar─yang bahkan bisa menampung ribuan prajurit atau bahkan puluhan ribu. Banyak sekali peserta yang mengikuti pertandingan itu. Tak heran sih sebetulnya, karena hadiah yang ditawarkan sangatlah menggiurkan, satu peti emas yang bisa membuatmu kaya hingga tujuh turunan dan tidak hanya itu pemenangnya juga mendapat gelar penghormatan dari sang raja. Kurang apa coba?

Tetapi tak banyak juga peserta yang mengikuti hanya untuk menjajahkan kekuatan mereka terutama untuk menunjukkan kekuatannya pada kerajaan lain. Bukan hanya para tentara kerajaan Hyuga yang menjadi pesertanya, ada juga rakyat biasa dan petarung dari luar bahkan prajurit dari kerajaan lain pun ikut berpartisipasi.

....Karena pendaftaran telah ditutup, kami akan mengumumkan tata cara pertandingan ini. Pertandingan ini terdiri dari tiga babak. Dan masing-masing peserta akan dibagi menjadi empat grup Kalian bisa melihatnya sebentar...~

Sekian.

Berakhirnya pengumuman tersebut, membuat para peserta segera menuju tempat pertandingannya setelah sebelumnya melihat nama dan grup mereka.

“Kau masuk grup apa?” Tanya seorang pemuda yang sedari tadi mengikuti Hinata. “Ku harap kita tidak satu grup. Aku tidak mau melawanmu selain di babak final nanti.” Lanjutnya beserta dengan cengirannya yang berhasil membuat Hinata sedikit terpesona.

‘Tampan.’ Ucap batin Hinata tanpa sadar.

Sadar akan ucapannya tadi, segera digelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia terpesona kepada pemuda yang baru saja dia kenal yang bahkan akan menjadi lawan tandingnya nanti.

“Sepertinya kita tidak se-grup. Lihatlah namumu dan namaku berada di grup yang berbeda.” Sahut Hinata dengan mengubah suaranya.

“Hah... syukurlah. Aku harap kita bertemu di babak final nanti. Kau jangan sampai kalah yah!”

Hinata tak menjawab, tetapi mengangguk. Rasanya dia juga ingin melawan pemuda itu. intuisinya mengatakan laki-laki itu kuat dan bisa memuaskannya.


.
.

TBC

.
.

Hah… akhirnya chapter 1 di update. Kali ini mickey membuatnya dengan gendre yang berbeda. Fict ini terisnpirasi dari khayalan aneh yang di dapat dari toilet (malu =,=). Hahaha… ^o^ (cengir ala Naruto sambil garuk-garuk kepala), tapi jangan berpikir yang aneh-aneh -_-. Aku dapatnya juga pas mandi kok. Ah.. kalian pasti juga pernah merasa, kebanyakan dapat ide itu pada saat berada di Kamar mandi, hahaha... :-D, aku pernah dengar sih kalau di kamar mandi itu pikiran kita biasa fokus, jadi gampang dapat ide (tapi itu tergantung dari pribadinya masing-masing) >,<

Oh.. iya, pasti ada yang merasa merasa anehkan dengan deskripsi istana dan kerajaan serta pakaian yang Hinata pakai? maaf yah, karena aku gak mengambil dari referensi jadi mungkin agak membingungkan. Penggambaran kerajaannya seperti kerajaan eropa dulu, tapi aku gabungkan dengan dengan adat jepang (tapi karena tidak terlalu di ceritakan dalam fict ini jadi jangan terlalu dipirkan, yah... ^,^) nikmati saja ceritanya.

Dan kalau kalian ada yang merasa aneh dengan jalan ceritanya, jangan sungkan-sungkan untuk menuangkannya dalam kolom review. Aku sangat senang jika ada kritik, saran, atau bahkan yang lain yang bisa membantuku dalam hal penulisan dan penambahan ide untuk cerita kedepannya.

Akhir curhat, Mickey ucapkan terima kasih karena meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. moga gak membosankan yah.

Hehehe... “.<

Mind to RNR?

Next to chapter 2

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com