Fly with your imajination

Friday, August 12, 2016

Senja di Penghujung Tahun (1)

SUMMARY


Naruto hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah yang besar akibat kesalahannya di masa lalu. Hinata pergi karena kesalahannya bersama calon buah hati mereka.

Demi untuk memberikan kejutan pada kakeknya Bolt dan Himawari nekat pergi ke Konoha, menempuh jarak ribuan mil dari tempatnya.

Hinata hanya ingin bertemu dengan anak-anaknya karena rasa rindu yang tidak bisa ditolerir..



Pair : Naruto-Hinata
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Senja di Penghujung Tahun ©Mickey139

.
.


.

“Maaf Hinata, aku tidak bisa melakukannya. Aku belum siap menjadi seorang ayah.”

"Eh?" Hinata terkesiap saat pernyataan itu meluncur dari bibir Naruto. Jantungnya bagai dihantam gemuruh. Mata Almetish-nya melebar dan terus menatap Naruto dengan pedih. "A-apa maksudmu?" Suara hinata tercekat kala kalimat itu terlontar dari mulut laki-lakinya.

“Aku tidak bisa Hinata. Aku dan kau, kita masih muda. Aku masih mau mengejar impianku, kau kan tahu, aku harus belajar untuk bisa menggantikan tou-san memimpin perusahaan.” Pemuda itu berbicara dengan lancar seolah tidak memiliki beban apapun, seolah apa yang terjadi pada Hinata adalah hal sepele yang bisa diabaikan.

Hinata menunduk berusaha menyembunyikan tetes air mata yang siap tumpah, "Mengapa?" tanyanya lirih. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis─menumpahkan seluruh emosi yang menghimpit dadanya. “Apa selama ini kau tidak pernah mencintaiku?” Lanjutnya tak berani menatap mata Naruto.

“Aku mencintaimu Hinata. Selalu. Tapi aku belum siap menjadi seorang ayah. Umur kita masih delapan belas tahun, terlalu muda untuk menikah, lagi pula kita baru saja lulus senior high. Kau tentu punya impian juga, kan?” Tutur Naruto membujuk Hinata. Sejujurnya Naruto juga tak ingin melakukan ini. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya untuk menyakiti gadis yang dicintainya itu. tapi dia juga tidak bisa melakukan apa yang gadisnya minta.

“Tapi─”

“Maaf Hinata...” Potong Naruto cepat, tak mau mendengar kalimat-kalimat yang akan dituturkan oleh wanita yang dicintainya itu, karena akan membuat batinnya semakin perih. Menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan ucapannya. “Kumohon gugurkan bayi itu, Hinata.” Lanjutnya seraya memejamkan kedua matanya. “Kumohon Hinata. Mengertilah!”

Mata Hinata melebar sesaat setelah mendengarkan penuturan kekasihnya itu. Di detik berikutnya tetes air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah ruah membasahi gaun ungu yang dia gunakan.

Perih, jantungnya serasa ditremas kuat hingga membuatnya sulit bernafas. Sungguh, dia tak sanggup menerima itu semua, tetapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan agar Naruto mau menerima dan bertanggung jawab untuk anak yang dikandungnya.

Jika memang Naruto tak mau bertanggung jawab, maka dia sendirilah yang akan melahirkan dan membesarkan anak itu.

Hinata meremas kuat gaun yang dia gunakan guna meredakan sesak yang menghimpitnya. Menarik nafas dalam-dalam seraya menguatkan hatinya. Hinata menatap Naruto lalu tersenyum miris. Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Naruto nanar, “Baiklah. jika itu adalah keinginanmu. Aku akan melakukannya, Naruto.” Ucapnya, ‘aku akan pergi dari hidupmu Naruto bersama anak ini.’

Naruto tersenyum lebar mendengar kalimat Hinata. “Terima kasih Hinata.” ucap Naruto seraya menggenggam erat tangan Hinata. “Aku mencintaimu.”

sumber gambar google

**
Kompleks Pemakaman Konoha, 1 bulan kemudian
**

Angin sore berhembus menerbangkan daun-daun kering dari pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar jalan danmengotori sepanjang jalan setapak kompleks pemakaman. Aroma bunga kirisan tersebar di udara oleh angin.

Langit tampak mendung dengan awan kelabu yang bergulung-gulung, semendung perasaan semua orang yang hadir di tempat itu.

Usai semua orang pergi. Naruto datang bersama ribuan penyesalan yang membuncah dalam dada. Memberikan bunga terakhir untuk sang kekasih yang telah meninggalkannya. Jujur peristiwa ini terlalu tiba-tiba untuknya, dia masih tidak rela ditinggal pergi oleh Hinata. Pemuda itu masih sangat mencintai wanita itu.

Sejujurnya dia sangat menyesal karena pergi setelah pembicaraan terakhir mereka yang berakhir dengan tidak begitu baik untuk mereka berdua. Seandainya dulu dia mau melakukan apa yang diminta oleh Hinata, seandainya ia bisa berfikir dengan lebih dewasa dan mau menerima kesalahannya, seandainya dia tidak meninggalkan Hinata, semua ini tidak akan terjadi.

“Kau adalah manusia paling hina Naruto. Tega-teganya kau menghamili Hinata dan menyuruhnya untuk menggugurkan bayi itu.”

Sejenak Naruto menghela, menengadahkan kepala menantang langit. Pikirannya dipenuhi dengan sosok Hinata dan perlahan membuat hatinya kembali teriris sakit. Jantung pemuda berusia 18 tahun itu berdegup lebih kencang dari biasanya. Dia mulai merasa lemah. Tubuhnya meluruh ke tanah.Dengan tangan yang bergetar, dia mencengkeram kuat batu nisan yang ada di depannya. Safirnya kini menerawang, menatap batu nisan itu. Sementara cairan bening tampak mengalir membasahi pipinya. Sesuatu yang tak biasa dia lakukan. Pemuda itu menangis. Menyesal dengan perbuatan yang dia lakukan dulu pada Hinata.

"Kau sendiri seharusnya tahu jika menggugurkan kandungan juga punya resiko dan kau malah menyuruh Hinata untuk menggugurkan kandungannya. Apa kau tahu setelah melakukannya, Hinata jadi tidak bisa Hamil dan karena itu... dia... dia... bunuh diri. Aku benar-benar sangat membencimu."

Kata-kata Neji kembali terngiang di kepalanya, membuat dirinya semakin sesak oleh rasa bersalah. Dia menekan dadanya semakin keras bahkan dipukul untuk meredakan rasa sesaknya, sementara air mata terus mengalir.

Benar kata Neji, dia adalah lelaki paling buruk di dunia ini. Lebih hina dari pada sampah yang paling buruk sekali pun. Apa yang ia lakukan dulu tidak pernah sekali pun dia pikirkan akan berakibat seperti ini. Hinata, gadis yang amat dicintainya pergi meninggalkan dirinya dengan beribu penyesalan akibat kesalahan dan keegoisannya.

"Hinata... Hinata... Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Seharusnya aku tidak menyuruhmu menggugurkan anak kita. Seharusnya sekarang kita bisa bersama dan kita tidak berpisah seperti ini. Seharusnya....." Air mata lelaki itu semakin deras, jatuh dan membasahi makam yang masih baru itu.

Langit tampak gelap dengan awan hitam yang semakin banyak berkumpul di atas pemakaman. Suasana yang memang sangat mendukung bagi dirinya yang sedang terluka. Perlahan ribuan titik air jatuh dan membasahi bumi tetapi Naruto tak berniat untuk pindah.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan itu, Hinata? Kenapa kau meninggalkanku seperti ini?"

Dan apapun yang dikatakan lelaki itu, tidak akan merubah apa-apa. Hinata sudah pergi meninggalkan dunia dan tidak akan mungkin dia kembali lagi. Walau sebesar apapun rasa penyesalannya, dia tidak akan pernah lagi bertemu dengan Hinata.

Saat ini ia hanya butuh menangis dan memang hanya itulah yang dapat membuatnya lega. Ya dia menumpahkan semua penyesalannya dengan tangis.

Penyesalan bagi Naruto adalah sesuatu yang sangat menyakitkan yang─ mungkin─ bahkan dengan waktupun akan sulit terobati.

sumber gambar google

....

**
9 tahun kemudian
**
....

“Mom, ayo cepat. Sebentar lagi pertunjukannya dimulai, nanti kita terlambat.” Kata seorang anak kecil kira-kira berumur delapan tahun dengan suara cempreng. Sambil menyeret seorang wanita dewasa.

Wanita itu menatap anaknya dengan lembut. Senyum menghiasi wajah cantiknya.

sumber gambar google

“Baiklah, sayang. Jangan terlalu terburu-buru, nanti kau jatuh.” Jawabnya sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah kecil anaknya sambil menggenggam tangan kecil milik putranya.

Anak lelaki yang dulu pernah ditolak oleh ayah kandungnya sendiri dengan alasan umur dan ketidaksiapannya menjadi seorang ayah, kini tumbuh dengan membawa sebagian besar gen ayahnya. Mata, rambut, juga senyum lebarnya, terlalu mirip dengan lelaki itu, bahkan tidak menyisakan gen hinata untuk berada di dalam tubuh anaknya agar ikut menonjol.

Tapi itu tidaklah mengapa, karena dia sangat menyayangi putranya. Sekalipun sangat bandel.

Dia ingat, dulu dia hampir melakukan apa yang diminta oleh lelakinya untuk menggugurkan anaknya. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukannya, hatinya tidak sanggup. Lagipula semua itu adalah kesalahan mereka dan janin dalam kandungannya tidaklah bersalah. Janin itu adalah anak mereka, sekalipun Naruto tidak menginginkannya. Dia anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya dan tidak mungkin dia menolak pemberian Tuhan.

Awalnya dia memang sangat terpuruk dengan hal itu, apalagi ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang dia sayangi. Tapi, itu tidak berlangsung lama, karena ketika tiga bulan masa kehamilannya ayahnya datang untuk melihat keadaannya, bahkan ikut membantunya. Berusaha memenuhi kebutuhan Hinata, bahkan walau Hinata mengidamkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti ramen dengan rasa jeruk, atau bahkan buah jeruk yang berasa ramen. Hiashi akan berusaha memenuhinya.

Memang awalnya tidak ada satupun keluarganya yang ingin membantunya, terlebih ayahnya yang sangat kecewa terhadapnya dan melarang semua keluarga besar untuk membantunya setelah dia memberitahukan apa yang dia alami. Dan itu adalah pengalaman yang tidak bisa dia lupakan.

Apalagi ketika raut kemarahan dan kekecewaan yang terpancar jelas dari raut ayahnya, ekspresi yang tidak pernah sekalipun diperlihatkan pada mereka dan itu benar-benar membuatnya merasa bersalah sekigus menjadi anak yang tak tahu diri.

Seharusnya dia tidak melakukan itu sekalipun ia sangat mencintai Naruto. Seharusnya dia bisa menahan diri ketika melihat tatapan memohon sekaligus mendamba dari laki-laki itu. yah seharusnya. Tapi semuanya sudah terjadi, waktu tidak akan berputar kembali. Apa yang terjadi dulu adalah sebuah pembelajaran untuk masa kininya.

FLASH BACK ON

“GUGURKAN KANDUNGAN ITU!” Ucap Hiashi penuh emosi sambil menunjuk perut Hinata. Mata yang biasa memancarkan kelembutan pada setiap anaknya, kini berubah dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan.

Hinata tersentak, mendongak menatap ayahnya tak percaya. Bukan seperti ini yang dia inginkan, bukan bentakan dan tatapan kecewaan dari ayah dan kakak sepupunya yang ingin dia lihat, dan bukan pula tatapan kasihan dari sang adik yang dia inginkan.

Hinata menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. “Tidak oto-san, aku tidak bisa membunuhnya. dia hadir karena kesalahan kami─”

“Kalau begitu suruh dia bertanggung jawab!” bentak hiashi.

Hinata menggeleng, tidak mungkin Naruto mau menikahinya, dia sudah ditolak bahkan lelaki itu juga menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. “Aku tidak bisa oto-san. Aku tidak bisa.”

“Apa dia tidak mau bertanggung jawab?”

Hinata menunduk tak tahu apa yang harus dia katakan. “A... Aku.. ─”

“Jadi benar dia tak mau bertanggung jawab?” sentak Hiashi makin membuat Hinata merasa sakit juga bersalah.

Seumur-umur, ayahnya tidak pernah memarahinya apalagi membentaknya seperti ini sambil menunjuk-nunjuknya.

“Maafkan aku oto-san.”

“Brengsek. Aku akan membunuhnya.” Ucap Neji tiba-tiba kemudian berdiri dan bersiap untuk ke tempat Naruto.

Hinata tersentak ketika pemuda itu sudah bersiap. Dia pun ikut bangkit dan memegang pergelangan tangan Neji untuk menahannya. “Ku mohon jangan Nii-san. Aku─”

“Kau─ apa kau bodoh Hinata. Kau menderita sementara dia di sana tengah bersenang-senang dan tidak menanggung apa-apa atas dosa yang kalian lakukan.” Neji terlihat murka, urat-urat di wajahnya nampak jelas tercetak. Sepupu yang sudah dia anggap sebagai adiknya menderita karena ulah Naruto dan Hinata masih membela laki-laki itu.

Kakak mana yang akan senang dan membiarkan hal itu terjadi. Tidak ada. Sekalipun, mereka bukanlah saudara kandung, tapi Neji sangat menyayangi Hinata.

“Aku...”

Hinata tak sanggup lagi meneruskan ucapannya karena tiba-tiba kesadarannya hilang. Dia pingsan. Neji dan ayah Hinata yang masih ingin mengeluarkan apa yang ada di kepala mereka, jadi terhenti karena melihat keadaan Hinata yang tak sadarkan diri.

“Neji, urus berkas-berkas untuk kepindahan Hinata. Kita akan menerbangkannya ke Amerika, tempat bibimu berada. Dia akan mengurus Hinata di sana, sekalian mengajarkan Hinata tentang bisnis.”

“Haik.”

FLASH BACK OFF

"Mom..." Suara seseorang kembali memanggilnya. kali ini adalah suara gadis kecil seumuran dengan anak lelakinya. Dia tengah berdiri di depan mobil sambil besedekap.

"Oh, sorry honey." Hinata tersenyum melihat tingkah menggemaskan anak perempuannya yang lain. Pipinya yang gembul sengaja dikembungkan tanda kejenuhannya akibat menunggu Hinata dan Bolt.

sumber gambar google

Dulu dia tidak menyangka, jika dirinya mengandung anak kembar, meskipun kandungannya cukup besar untuk kehamilan pertamanya. Tapi dia tidak benar-benar memikirkannya.

Himawari, lahir lima menit setelah Boruto anak pertamanya dan dia mewarisi hampir seluruh gen Hinata dari rambut, wajah, bahkan kulit putih pualamnya, kecuali warna matanya yang berwarna biru langit sama seperti ayah biologisnya. Dan itu adalah kejutan yang tidak diantisipasi olehnnya karena dia tidak tahu kalau anaknya adalah kembar. Meskipun ukurannya jauh lebih kecil dari anak pertamanya.

Mereka berdua adalah anugrah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Meskipun tanpa laki-laki itu dia berhasil membesarkan mereka.

sumber gambar google

"Kenapa lama sekali? Sebentar lagi acaranya dimulai. Kita akan terlambat."

"Iya. Kau cerewet sekali, sih." Balas Bolt tidak terima.

Hinata hanya menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. Lalu tersenyum. Mereka berdua selalu menampilkan kelucuannya, sekalipun karena pertengkaran mereka Dan itu selalu sukses membuatnya tersenyum bahkan tertawa kecil.

"Baiklah, sudah cukup anak-anak. kalian akan lebih terlambat lagi jika berdebat disini."

"Iya." Balas mereka bersamaan.

"Oh, iya Mom, kita akan kerumah kakek, kan akhir minggu nanti? Aku rindu kakek." Himawari bertanya dengan semangat dan dianggukan oleh Bolt. Mereka berdua menatap Hinata dengan mata berbinar sekaligus berharap jika rencana mereka kali ini bisa terealisasi.

"Oh... Maafkan aku anak-anak. Mom tidak bisa. Mom masih banyak pekerjaan di sini." Ucap Hinata sangat menyesal telah membuat anak-anaknya berharap dan kemudian mengecewakan mereka.

"Mom menyesal sayang." Dan apapun yang Hinata katakan tidak bisa menghilangkan raut kecewa anak-anaknya.

Hinata menghembuskan nafas. Satu hal yang tidak dia sukai adalah melihat anak-anaknya kecewa karena dirinya. Ini sudah kesekian kalinya dia membuat mereka kecewa dan Hinata akan berusaha untuk menghilangkannya.

Setibanya mereka tiba di Trinity of International elementary. Hinata membawa kedua anaknya masuk dan dia duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Sementara kedua anaknya menuju ke belakang panggung untuk mempersiapkan pertunjukan mereka.

Hinata mengambil ponselnya di dalam tas, mengetikkan beberapa nomor. Lalu menunggu hingga suara panggilan itu berubah jadi kata "Halo, Nee-chan..."

"Halo, Hanabi. Apa kau sibuk minggu depan?" Hinata bertanya sambil menonton pertunjukan anak-anak sekolah Trinity.

"Tidak, Ne-chan. Ada apa?"

"Bolt dan Himawari ingin ketemu Oto-san. Mereka merindukannya, tetapi aku tidak bisa ikut pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini."

"Tapi aku juga tidak bisa berangkat ke sana nee-chan, pekerjaanku juga sangat banyak dan barulah minggu depan berkurang, tapi tidak bisa bepergian. Maafkan aku, Ne-chan. Ah... tapi kalau kau mengijinkan, biarkan mereka naik pesawat, biar aku yang menjemputnya di bandara."

"Aku tidak berani mengambil resiko, Hanabi. Aku tidak mau jika terjadi sesuatu pada mereka."

"Baiklah. Sekali lagi maafkan aku nee-chan, karena tidak bisa membantu. Tapi, kuharap kau memikirkannya. Bagaimanapun juga, mereka merindukan kakenya."

"Yah, akan kupikirkan ini, Hanabi. Terima kasih..."

Hinata mematikan sambungan dan kembali menatap ke panggung. Anak-anak sekolah Trinity sangat besemangat memunjukkan kemampuan mereka untuk menghibur para penonton dan setelahnya mereka akan menunjukkan senyum cerah ketika mendengar sorak dan tepuk tangan dari penonton.

Hinata jadi tidak sabar menunggu kedua anaknya. Mereka sudah berlatih keras untuk hari ini.

Lama berselang ketika sebagian peserta sudah menampilkan kehebatan mereka. Selanjutnya adalah giliran kedua anaknya. Bolt sudah siap di depan pianonya sementara Himawari berjalan menuju tengah panggung di mana microphone berada.

Suara indah dari denting piano yang dimainkan oleh Bolt menggema di dalam aula sebagai pembuka. Semenata Himawari memegang microphone nya dan bersiap melantunkan lagu yang sudah mereka siapkan.

Para tamu terdiam ketika dua suara itu menggema dalam aula. Suara mereka lembut dan menghipnotis hampir semua penonton. Walaupun mereka masih anak-anak tapi permainan nada yang mereka tampilkan sangat hebat dan hampir menyamai profesional.

Hinata menatap kedua anaknya dengan mata berbinar penuh haru. Mereka berdua sudah membuatnya bangga. Walau mereka lahir tanpa ayah, tapi mereka bisa tumbuh sehebat ini.

Sebenarnya dulu, ketika dibulan ketujuh kehamilannya, Hinata mulai meragu. Dia takut jika nanti anaknya lahir, dia tidak akan bisa menjadi seorang ibu yang baik. Dia sangat tidak percaya diri.. mengingat dia akan melahirkan tanpa dampingan seoarang suami. Namun, sekarang pemikiran itu tidaklah terbukti. Anak-anaknya tumbuh dengan perkembangan yang hebat bahkan melebihi ekspektasinya.

Hinata sangat bahagia memliki mereka berdua. Dua malaikat yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah lucu dan menggemaskan. Dua malaikat yang membuatnya bertahan dan melupakan semua kesedihannya.

Tepuk tangan dari banyak penonton menyadarkan Hinata dari lamunannya. Dia melihat kedua anaknya tengah tersenyum kearahnya sambil melambaikan tangan. Hinata tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang seolah memberi tanda jika merekalah yang telah melakukan pertunjukan barusan. Hinata kemudian mengangguk agar mereka percaya jika Hinata juga menonton pertunjukan mereka.

Mereka berdua turun dari panggung dan menghampiri Hinata dengan berlari sambil tersenyum lebar.

"Kalian tadi hebat sekali, Mom sangat bangga pada kalian.."

"Terima kasih mom." Mereka menjawab bersama.

"Nah, sebagai hadiah. Apa yang kalian inginkan dari, mom?"

Mereka saling menatap dan ada senyum yang menghias bibir mereka.

"Tapi bisakah mom menepatinya?" Tanya Bolt. Ada harapan yang terpancar dari kedua bola matanya membuat Hinata tidak enak.

Hinata tahu apa keinginan anak-anaknya, karena mereka sudah mengatakannya berulang kali. Walau Hinata sering menjanjikannya, tapi dia sangat jarang bahkan hanya beberapa kali saja menepatinya.

"Baiklah, mom berjanji. Jadi katakan apa yang kalian inginkan?"

"Kerumah kakek." Mereka menjawab serempak. Banyak harapan yang terpancar dari dua bola mata bening mereka dan Hinata akan sangat merasa bersalah jika menolaknya.

Dan sepertinya ide Hanabi akan dia lakukan.
"Baiklah. Tapi mom tidak janji akan ikut bersama kalian."

"Lalu bisakah kami pergi tanpa mom?" Himawari manatap ibunya. Ada harapan dalam kata-katanya. Mata birunya berbinar menatap Hinata.

"Kami mohon." Kali ini Bolt melakukan hal yang sama.

Mereka berdua menatap Hinata.

Hinata menghela nafas. Mungkin dia harus menghubungi Hanabi dan menyetujui saran Hanabi tadi.

"Baiklah."

sumber gambar google
.
.
.
.
.

"Di sana kalian akan dijemput oleh bibi Hanabi. Kalian masih ingat bukan wajahnya?" Mereka mengangguk. Tentu saja mereka masih ingat karena bibinya itu hampir tiap bulan datang mengunjungi mereka. Kadang kala bahkan bersama paman Konohamaru.

"Jika kalian sudah sampai, jangan lupa menghubungi mom." kembali mereka mengangguk. Tentu saja mereka harus menghubunginya, karena mereka tidak ingin membuat ibunya khawatir. Kekhawatiran ibu mereka kadang sangat merepotkan dan mereka tidak ingin mendengar omelan yang bahkan bisa berhari-hari.

"Yes, mom. We will."



Mereka sudah berada di bandara. Hinata mengantar mereka tidak sampai di dalam, karena ditahan penjaga. Hinata menitipkan Bolt dan Himawari pada seorang pramugari yang bertugas di pesawat yang akan kedua anaknya tumpangi.

Awalnya Mereka berdua tidak diizinkan, karena umur mereka masih kecil dan tidak didampingi oleh siapapun walau Hinata sudah memberukan penjelasan. Tetapi, untungnya Hinata bertemu dengan seorang pramugara, seorang teman saat kuliah dulu. Dan akhirnya Bolt dan Himawari diizinkan untuk pergi.

Di dalam pesawat, Bolt dan Himawari duduk bersampingan. Mereka tampak tenang walau tanpa didampingi siapapun padahal ini pertama kalinya mereka melakukan perjalanan udara tanpa orang dewasa.

Mungkin karena mereka sudah sangat merindukan kakeknya. Lagipula ini adalah kejutan untuk kakek mereka. Guru mereka pernah bilang, ada hari perayaan untuk ayah dan karena mereka sudah tidak punya ayah, jadi kakek mereka adalah penggantinya.

Sebenarnya, mereka ingin memberikan kejutan saat kunjungan lalu kakek mereka, karena biasanya kakek mereka akan berkunjung tiap akhir bulan ke rumah mereka, tetapi sudah hampir enam bulan belakangan ini kakek mereka tidak datang. Kata paman Neji, kakek mereka sedang sakit jadi tidak bisa berkunjung.

Mereka jadi tidak sabar untuk sampai ke Konoha. Ingin melihat raut terkejut kakeknya. Dia pasti akan senang sekali dengan kejutan ini. Dan lagi mereka juga ingin melihat Noara, anak dari paman Neji dan Bibi Tenten secara langsung. Mereka hanya pernah melihatnya beberapa kali itupun dari ponsel panan Neji.

Noara umurnya masih tiga tahun, tapi katanya dia sangat nakal seperti laki-laki. Anak perempuan itu walaupun cantik tapi agak tomboy, dia tidak bisa diam, makanya tiap kali paman Neji berkunjung kerumah mereka dia tidak pernah membawa Noara.

Tidak berapa lama mereka sudah sampai di bandara. Bolt langsung menghubungi Ibunya.
Tapi karena tidak diangkat, Bolt hanya mengiriminya pesan.

"Mom, kami sudah sampai." Ketiknya kemudian berjalan sambil menggenggam tangan Himawari agar tidak terpisah.

Mereka berjalan dan mencari bibi Hanabi yang katanya akan datang menjemput mereka, tapi sampai sekarang mereka tidak menemukannya.

Mereka kemudian berjalan di ruang informasi setelah bertanya pada security. Meminta untuk bibi Hanabi menjemput mereka di dekat ruang informasi. Tapi sampai beberapa lama menunggu bibi mereka tidak kunjung datang. Bolt kembali meminta pegawainya untuk mengumumkan untuk bibi Hanabi menjemput mereka.

"Kenapa bibi Hanabi lama sekali? Apa mom lupa bilang pada bibi, kalau hari ini kita datang?" Himawari bertanya setelah kakaknya duduk di sampingnya.

"Tidak mungkin, Hima." Jawab Bolt. Pandangannya menyusuri pintu masuk bandara, mungkin saja bibinya sedang mencari mereka atau setidaknya baru datang dan tidak mendangar pengumuman.

"Itu dia, kak." Himawari menunjuk, seorang wanita yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Rambutnya panjang berwarna coklat, dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.

Wanita itu berjalan berlawanan arah dengan tempat mereka berdua sambil meletakkan ponselnya di telinga. Mungkin dia tengah menghubungi kami, pikir mereka berdua.

"Ah... pantas saja. Ponsel kakak mati.Mungkin bibi sedang menghubungi kita, Hima." Kata Bolt setelah melihat ponselnya.

"Kalau begitu sebaiknya kita hampiri bibi. Mungkin dia bingung cari kita, kak." Himawari memakai tas ransel kecilnya kemudian menarik tangan kecil kakaknya untuk segera menyusul bibinya yang sudah bersiap pergi berlawanan arah dengan tempat mereka.

"Bibi, jangan pergi dulu. Kami ada di sini..." Himawari dan Bolt secepatnya berlari mengejar wanita itu karena kalau tidak terkejar, mereka akan saling mencari.

Tapi wanita itu terus saja berjalan, langkahnya sangat besar dan tergesa-gesa langkah kaki kedua anak itu tidak bisa menyamainya. Bolt dan Himawari terus memanggilnya, tapi tidak sekalipun dia hiraukan. Seperti tidak mendengar apapun.

"Bibi Hanabi tunggu kami."

Wanita itu akhirnya berbalik, tapi tidak berhenti maupun menghampiri mereka. Dia terus berjalan bahkan kini dia sudah setengah berlari seperti sedang menghindari sesuatu. Tapi tidak mungkin kan dia menghindari Bolt dan Himawari karena setahu mereka bibinya itu sangat menyayangi mereka bahkan dia sendiri yang mengusulkan agar Bolt dan Himawari datang berkunjung dan memberikan kejutan untuk kakek.

Wanita itu sudah sampai di luar bandara. Dia terlihat sedang menunggu sesuatu, tapi tidak seperti menunggu Bolt dan Himawari.

Ketika taxi berhenti di depan wanita itu, dia lalu menumpanginya dan tidak peduli pada Bolt dan Himawari yang sedari tadi mengejarnya.

Bolt melepaskan genggamannya dari Himawari agar larinya bisa lebih cepat dan bisa menghentikan bibinya yang akan meninggalkan mereka. Taxi itu bergerak dan perlahan meninggalkan bandara. Bolt semakin mempercepat laju larinya, dia tidak mau ketinggalan. Mereka tidak mau terluntang lanting dan membuat ibu mereka khawatir.

Dan ketika mobil itu menyebrang, Bolt tidak bisa menghentikan kakinya untuk mengejar. Banyak mobil yang berlalu lalang di sana, tapi tidak dihiraukan anak itu.

Himawari di belakangnya terus meneriakinya untuk berhenti mengejar dan kembali padanya, tapi dia tidak bisa. Dia harus bertemu dengan bibi mereka, agar mereka bisa diantar ke kakek.

Ckik

Bolt terjatuh di aspal. Wajahnya pucat. Hampir saja nyawanya melayang jika saja sang pemilik mobil tidak me-rem mobilnya tepat waktu.


.
.
.
.
TBC

a/n : Hai... Aku balik lagi dengan cerita baru. Sambil menunggu cerita lain yang belum kelar. Sebenarnya cerita ini juga baru ku temukan setelah mengotak atik arsip di LEPI (sebelum LEPI EROR) dan karena LEPI lagi eror jadi dieditnya lewat HP. Jadi maklum yah kalau kalian banyak menemukan TYPO.

BTW, Mungkin kalian sudah sering membaca cerita dengan tema seperti ini, dan saya harap sih kalian gak bosan kalau baca ceritaku ini. Karena seperti yang ada di kepala kalian semua, endingnya juga bakalan sama.

Oh, iya sampe lupa. Pasti kalian bertanya-tanya, kok gaya bahasanya beda-beda sih, yah aku hanya menyesuaikan dengan sudut pandang anak-anak dan orang dewasa. Aku merasa aneh saja kalau sudut pandang anak kecil disamakan dengan sudut pandang orang dewasa.

Eh... sudah yah, hahahaha... (paling juga catatan authornya gak di gubris :'( Abaikan saja catatan ini kalau merasa gak penting. Hahahaha...

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com