Fly with your imajination

Friday, July 15, 2016

My Secret Feeling


MY SECRET FELLING  © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.


.
.
.

BAGIAN 1

Pernikahan itu sebenarnya seperti apa? Apakah menikah harus dilandasi dengan rasa cinta atau karena dia adalah seseorang yang selalu menemani kita? Lalu aku termasuk dalam kategori apa? Dia bukan teman ataupun kekasihku, namun aku mau menikahinya. Dia bukan orang yang selalu ku lihat ataupun ku kenal, namun kenapa aku diminta untuk menikahinya?

Kehidupan kami setelah menikah terbilang damai, tak ada konflik apapun yang pernah terjadi pada kami, pertengkaran atatupun keluhan. Semua berjalan seperti alur yang sudah ditentukan.

Tapi ada satu yang kusesalkan. Aku telah jatuh cinta pada suamiku sendiri.

Seharusnya itu adalah hal yang wajar. Kami adalah sepasang suami-istri yang akan selalu hidup bersama karena dalam perjanjian kami tak ada kata cerai.

Lalu masalahnya apa?

Karena dia adalah manusia es yang tidak memiliki hati. Sifatnya dingin dan kaku, terlebih jika aku ada di dekatnya. Seolah aku adalah sesuatu yang harus dia hindari, seperti bakteri yang dapat membuatnya terjangkit penyakit mematikan.

Dan itu benar-benar membuatku kesakitan.

Bagaimana tidak, bayangkan jika seseorang yang kamu cintai menghindarimu layaknya kuman yang bisa menginfeksi dia dan membuatnya mati. Sakit, bukan.

Tapi tenanglah, walaupun aku hidup dalam pernikahan seperti ini, tidak membuatku semenderita layaknya dalam novel maupun drama-drama televisi. Well, namun ku akui jika hidupku sangat monoton, hanya seputaran rumah dan kantor. Urus suami yang jarang sekali dihargai dan bekerja. Tidak ada canda tawa, tatapan penuh kasih, pelukan sayang di pagi hari atau pun kecupan saat pergi bekerja dalam rumah tangga kami.

Kami menikah memang karena sebuah perjodohan. Entah dari mana ayah mertuaku dan ayahku bisa saling mengenal dan akhirnya memutuskan menjodohkan kami. Dia tidak membantah dan menolak perjodohan ini begitu pun denganku.

Setiap hari aku selalu melayaninya sebagai seorang istri memasakkannya sarapan dan makan malam yang sangat jarang dia makan. Namun untuk hubungan suami istri kami belum pernah melakukannya. Bagiku melakukannya harus dengan seseorang yang aku cintai dan juga mencintaiku. Aku memang sudah mencintainya sejak awal kami dijodohkan namun tidak dengan dia. Entah apa yang dia pikirkan saat menerima perjodohan ini.

Seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan pagi yang mungkin dia tidak akan memakannya. Kemudian menaruh kertas not pada kulkas bahwa aku akan berolah raga pagi. Yah kebiasaan sejak dulu sampai menikah. Aku harus melakukan olahraga agar tubuhku tidak mudah sakit.

Diperjalanan aku bertemu dengan seseorang. Dia laki-laki tampan dengan tubuh kekar seperti suamiku. Aku memang belum secara langsung melihat tubuhnya namun setiap pakaian yang dia pakai selalu melekat dan menampakkan otot-otot kekarnya. Yah kadang aku berfikir ingin menyentuh dan merasakan tektur dari tubuhnya apalagi otot bagian perutnya. Astaga kenapa malah memikirkan yang mesum-mesum sih.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Bagas, laki-laki yang ku temui saat lari pagi.

“Ah... aku tidak apa-apa. hehehe...” sahutku

Sepanjang perjalanan kami terus berbincang. Dia ternyata bekerja di perusahaan furniture, perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan suamiku. Dia juga menduduki posisi penting di perusahaannya itu tetapi aku tidak tahu pasti posisi seperti apa.

Tepat di depan rumah kami berpisah dan untung juga arah rumah kami searah. Dia pamit tanpa masuk, yah aku juga tidak mungkin membiarkannya masuk. Aku memiliki seorang suami dan juga dia adalah seorang yang baru ku temui. Aku pun memasuki rumah dan langsug memasuki dapur. Di sana aku melihat suamiku yang sedang memakan sarapannya. Aku senang, tentu saja. Jarang-jarang dia memakan masakan yang ku buat.

“Kau dari mana saja?” tanyanya dengan nada datar.

“Bukankah aku sudah memberitahumu lewat catatan itu?” Sahutku juga dengan nada tak kalah datar. Menunjuk catatan yang ku temple pada kulkas.

Aku membuka kulkas dan menuangkan jus di gelas untuknya dan air minum untukku. duduk di depannya lantas mengambil sarapan. Ah.. masa bodo dia merasa risih dengan bau badanku yang langsung makan tanpa mandi terlebih dahulu.
“Siapa yang mengantarmu tadi?” tanyanya sekali lagi.

Aku heran tumben dia bertanya terlebih dahulu. Biasanya juga dia masa bodoh dengan apa yang ku lakukan.

“Oh... dia Bagas, kami tadi bertemu saat lari pagi.”

Setelah menjawab pertanyaannya, tak ada lagi pertanyaan lanjutan yang dia kemukakan. Aku melihatnya yang sedang menyantap makanan buatanku. Tampak lahap seolah semalam dia tidak makan.

“Ada apa?” Tanyanya sambil menatapku bingung.
“Bukan apa-apa. Oh ya, apa kau tidak ke kantor?” Tanyaku mengalihkan.

“Mungkin sekitar jam 8.”

Aku tercenung menatapnya. Satu hal aneh yang ku dapatkan lagi hari ini dari dia. Dia menjawab pertanyaanku yang biasanya dia abaikan.

“Kau kenapa? Apa aku salah menjawab pertanyaanmu?”

Aku menggeleng di detik berikutnya aku tersenyum. “Tidak. Kau tidak salah menjawab.” Jawabku lantas membereskan peralatan makan. “Aku duluan.” Ujarku sebelum meninggalkannya yang kebingungan dengan kelakuanku ini.

Aku bergegas mandi dan dengan cepat memakai pakaian. Kemeja putih dengan blazer warna pastel yang dipadukan dengan celana panjang berwarna krem. Yah aku memang berpenampilan berbeda dengan karyawan yang lain, tidak seperti mereka yang sering memakai rok pencil selutut atau di atas lutut seperti asisten suamiku aku malah menutup kaki-kaki jenjangku. Bukannya karena banyak bekas luka di kakiku, tapi aku gak terbiasa memakai rok. Aku merasa risih saja jika duduk seolah orang-orang bisa melihat bagian dalam rokku dan juga tidak bebas. Ku akui aku memang sedikit tomboy.

“Aku pergi duluan.” Ucapku pada suamiku ketika melewatinya. Dia sama sekali tidak menyahut dan masih asik dengan dunianya sendiri. Baginya lebih mengasikkan menonton berita dari pada menyahutiku.

“Hn. Hati-hati.”

Aku berhenti sejenak. Menatapnya yang tak berpaling dari TV. Apa aku sedang berhalusinasi lantaran ingin sekali mendengar sahutannya? Tetapi sepertinya tidak. Telingaku masih normal dan suaranya juga masih bisa terdengar di telingaku. Ini adalah satu keanehannya hari ini. apa yang terjadi padanya? Apa dia sudah berubah? Ah. Entahlah. lebih baik aku bergegas ke kantor, dari pada mendapat kata-kata mutiara dari bos.

Hanya berselang 20 menit setelah menaiki taksi aku sampai di tempat kerja. Hotel ternama di kotaku dan memiliki banyak cabang di kota-kota besar. Hotel Maximilium dengan gedung bertingkat 40. Untuk devisi bagian kantorku sendiri terletak di lantai lima sedang ruangan suamiku terletak di gedung lantai atas.

“Pagi Za!” sapa Mai teman kerjaku. Atau mungkin satu-satunya temanku. Sejak delapan bulan yang lalu dan bertepatan hari nikahku aku mulai bekerja di sini dan tak ada satu pun yang mau berteman denganku yah kecuali Mai dan Neil. Dialah satu-satunya yang maun berteman denganku. Di kantor ini tak ada siapapun yang tahu jika aku sudah menikahi bos mereka. Mereka hanya tahu jika bos mereka sudah menikah namun belum pernah melihat secara langsung wanita itu.

“Pagi.” Sahutku setelah mengisi daftar hadir.

BUGH

“Ah...” aku hanya bisa menghela nafas ketika lagi-lagi mendapatkan perlakuan ini. heran deh bukankah mereka sudah dewasa, tapi kenapa sikapnya tidak lebih dewasa seorang siswa SMA?

“Sabar yah, Za!” ucap Mai menenangkan. Sebenarnya aku bisa saja membalas mereka namun aku tidak ingin membuat keributan apalagi jika nantinya kelakuanku akan membuat nama baik suamiku buruk.

“Hah... sudah biasa Mai. Aku juga malas tanggapi mereka. Buang-buang waktu.”

“Aku salut sama kamu, Za! Kok bisa yah kamu kendalikan emosi kamu menghadapi mereka, kalau aku sudah lama membalas mereka. Apalagi kau itukan pemegang sabuk hitam kempo.” Ucapnya sambil menggelengkan kepala.

“Ah... sudahlah, lebih baik kita segera masuk. Aku tidak mau mendengar kata-kata mutiara”

Kami kembali berjalan memasuki ruangan perkantoran kami. Lekas kami duduk di bilik masing-masing. Ruangan tempat kerjaku hanya di batasi oleh sekat dan dalam satu ruangan terdapat enam bilik dengan satu ruang khusus untuk kepala devisi.

“Oh ya malam kemarin saat jalan ke mall, aku sepertinya melihat Zahya. Dia jalan dengan seorang laki-laki tua dan aku yakin laki-laki itu bukanlah salah satu keluarganya. Kira-kira siapa, yah?”

Hah... aku hanya menghela nafas mendengar gossip yang kelewat keras itu hingga terdengar luar ruangan. Heran, tidak ada bosan-bosannya mereka mencibir bahkan menghinaku. Memang apa yang sudah ku lakukan pada mereka?

“Gak usah di dengar, Za! Gak penting.” Ucap Mai menenangkan sambil memberiku laporan yang harus ku setor kepada kepala devisi.

Aku hanya angkat bahu tak memedulikan mereka. Biarlah mereka berkoar-koar sendiri sampai mereka bosan, toh apa yang mereka katakana tidak benar. Lagipula kemarin malam aku hanya diajak jalan oleh ayah mertuaku sekalian menanyakan kabar pernikahan kami yang tentu saja ku jawab dengan kebohongan.

Tepat ketika waktu telah menunjukkan angka 7.30 semua kembali pada rutinitas kerja masing-masing. Tak ada lagi suara mulut dan gossip-gosip tidak berguna tentang diriku yang ada hanya suara keyboard dan print yang terdengar.

Beberapa menit kemudian pintu ruangan kepala divisi terbuka dan menampakkan seseorang dengan tubuh gempal serta kepala botak sebagian. Pak Doni, kepala divisi kami muncul dan mencari seseorang. Pandangan kami bertemu lantas memanggilku. Tanpa banyak tanya segera ku langkahkan kakiku menuju ke arahnya. Suara bisik-bisik pun terdengar namun tak ku hiraukan, karena tahu apa yang mereka bisikkan.

“Tolong kau bawakan ini pada pak Jonathan. Ini adalah laporan yang dimintai oleh beliau dan juga laporan kemarin yang kuminta kumpulkan juga bawakan kepada beliau.” Ucapnya sambil memberikan laporan itu padaku.

Aku keluar dari ruangannya lantas berjalan menuju bilikku dan mengambil laporan yang sudah dikumpulkan padaku.

Mai berjalan ke arah bilikku lantas menyanggah tangannya di atas sekat. “Apa yang dikatakan pak Doni? Kau tidak dimarahikan karena kemarin kau telat ke kantor?” tanyanya penasaran. Ada raut cemas yang terpatri di wajahnya. aku senang bekerja pada devisi ini, yah walaupun hampir semua karyawan pada devisiku tidak menyukaiku bahkan terkesan membenciku namun ada Mai yang selalu ada dan juga Neil yang suka menghiburku dengan lawakannya.

Aku menggeleng lantas tersenyum, “Aku hanya dimintai untuk mengantar semua laporan ini...” jawabku sambil menunjuk tumpukan laporan yang sudah mereka kumpulkan di mejaku. “Pada pak Jonathan.” Lanjutku lantas mengambil semua laporan itu.

“Wah... Kau beruntung sekali bisa bertemu dengan pak Jonathan. Aku iri padamu.” Sahutnya tiba-tiba. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. Bukan rahasia jika hampir semua karyawati di perusahaan ini menyukai suamiku. Selain tampan dia juga mapan dan yang terlebih dia memiliki postur tubuh yang sempurna. Mai pasti akan pingsan jika aku mengatakan bahwa orang yang dia kagumi itu ada suamiku.

“Kau ini. sudahlah, aku pergi dulu, nanti aku dimarahi jika terlalu lama menyerahkan laporan ini.” kataku seraya pergi meninggalkan Mai yang masih berada dalam euforianya sendiri.

Aku memasuki lift dengan susah payah karena harus membawa tumpukan laporan bulanan ini. terlebih dengan karyawan lain yang juga berada di dalam lift. Kami saling berhimpitan saat ada lagi karyawan yang ingin memasuki lift.

Selang beberapa menit satu per satu karyawan itu keluar dan meninggalkanku sendirian di dalam lift. Lantai terhenti di lantai 35 tidak lama kemudian, aku keluar dan bergegas menuju ruangan suamiku.

“Apa itu laporan bulanan yang dimintai pak Jonathan?” tanya sekertaris suamiku saat melihatku yang kesusahan membawa semua laporan bulanan. Tanpilannya benar-benar seksi. Kemeja putih yang dua kancing atasnya sengaja dia buka dan menampilkan belahan dadanya juga rok pencil kependekan yang kira-kira panjangnya hanya sejengkal dari pangkal pahanya.

“Yah. Bisakah kau menolongku membukakan pintu ruangan pak Jonathan!? Aku sedikit kesusahan memegang handle pintu.” Mintaku.

Untunglah dia bersedia membukakan pintu untukku. ku kira dia seperti karyawan lain yang juga tidak menyukaiku. Yah walau penampilannya seperti ingin ke klub malam, namun dia tetap membantuku.

“Maaf pak laporan bulanan yang anda minta sudah dibawa kemari.”

Aku memasuki ruangan suamiku yang baru kali ini ku masuki. Ruangan ini terkesan maskulin dengan degradasi warna abu-abu juga hitam dan dipadukan dengan warna coklat pada furniture-nya. Sebuah jendela besar di belakang kursi kepempinannya juga ada sofa berwarna coklat kayu di tengah ruangan tersebut.

“Simpan saja di meja!” Perintahnya padaku. Astaga, dia memang orang paling kaku sedunia. Tidak di rumah, di kantor pun sama. Tak ada kelembutan sama sekali. Nada bicaranya datar namun terkesan dingin. Apa yang akan client-nya itu pikirkan?

“Baik.” Sahutku seraya menyimpan laporan-laporan itu. “Saya permisi, Pak.” Ucapku setengah membungkuk sebelum keluar dari ruangan itu. aku tersenyum ketika mendapati asisten itu menatapku.

“Bagaimana?”

Belum juga aku duduk di kursi kerjaku Mai tiba-tiba menanyaiku. Aku hanya mengernyit bingung menanggapinya, “Bagaimana apanya?”

“Itu loh, rupanya pak Jonathan. Keren gak?”

Jadi itu maksudnya. Hah, aku pikir apa yang dia maksud, tentu saja suamiku itu selalu tampil keren. Yah seandainya bisa ku jawab seperti itu. “Biasa saja. Sama kok dengan penampilannya yang biasanya.” Jawabku tak menatapnya dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku malas sekali menanggapi pertanyaan seperti itu.

Suamiku walaupun tiap hari saling bertemu, tapi selalu dianggap seperti angin lalu, di rasakan tak dilihat. Sakit, tentu saja, tapi apa yang harus ku lakukan jika itu semua berasal dari dirinya sendiri? Sudah cukup usahaku selama ini untuknya.

“Hei... kenapa malah melamun sih?” ucap Mai sambil mengibaskan tangannya di wajahku.

“Apa tadi aku sedang melamun?” tanyaku ulang membuatnya sedikit dongkol.

“Dari tadi aku bertanya, tapi kau hanya sibuk dengan tatapan kosongmu pada layar computer. Apa coba yang kau lakukan kalau bukan melamun?”

“Hehehe...” aku hanya mampu menyengir tidak jelas menanggapi kata-katanya.

“Hah... Aku kembali saja ke bilikku. Bentar dilanjutkan!?” ucapnya sebelum kembali pada biliknya.

Aku kembali memeriksa pekerjaanku. Memastikan tak ada yang salah sebelum menyerahkannya pada kepala devisi untuk direvisi.

Tidak lama untuk memeriksanya karena hanya mengenai data-data yang sudah sering ku lakukan dan juga sudah ku kuasai.

Aku menghampiri ruangan kepala devisi untuk menyerahkan laporanku. Lagi-lagi aku mendapatkan tatapan benci mereka. Heran sebenarnya apa masalah mereka padaku. padahal awal masuk kantor semuanya biasa saja, namun setelah beberapa minggu entah karena sebab apa mereka mulai menunjukkan rasa tak sukanya.

“Maaf mengganggu, Pak. Saya mau menyerahkan laporan yang anda minta dua hari yang lalu.” Ucapku formal lantas menghampiri mejanya dan menyerahkan laporanku

“Cepat sekali, Za. Kau tidak istirahat mengerjakannya?” Tanyanya. Rautnya menunjukkan heran atau mungkin juga kekaguman, yah kurasa. Entahlah.

“Ah... Tidak pak. Jika tidak ada pekerjaan saya biasa mencicilnya, jadi cepat selesai.” Jelasku. “Apa saya bisa kembali?” Tanyaku.

“Oh, baiklah. aku akan memberitahukan jika ada kesalahan.” Pak Doni mendongak dan menatapku sekilas dan kembali memeriksa laporanku.

“Terima kasih, Pak. Saya permisi.”
TBC 
.
.
.
.
.
 a/n : Cerita ini sebelumnya sudah saya publish ke WATTPAD, dan di sini saya sudah edit (banyak perubahan)
See U
Mickey 15.07.16
Next : BAGIAN 2


Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com