Ada saatnya manusia akan merasakan muak pada sesuatu, merasa bosan jika harus terus-menerus menerima sesuatu yang tidak dia inginkan atau jengah dengan perlakuan yang tidak pernah dia sukai untuk dia terima.
Sama seperti saat ini. aku benar-benar muak dengan segala tingkah laku wanita ini yang tidak ada henti-hentinya menggangguku, berulang kali dia berusaha menggodaku, menawariku sesuatu yang tidak pantas dia tawarkan kepada seorang lelaki. Bahkan walau ketika meeting tengah berlangsung dia tidak sekalipun malu menggodaku.
Aku tidak mengerti, apa yang ada di jalan pikiran wanita ini. wanita dewasa yang dengan segala kesempurnaan fisik yang dia miliki juga pesona yang tidak bisa membuat orang berpaling darinya berusaha menggodaku dengan tubuhnya padahal banyak lelaki yang berada di dekatku dengan kemampuan juga pesona yang jauh melebihiku. Aku bahkan sudah mempunyai seorang istri. Dan walaupun dia tahu itu, dia tidak peduli.
“Jo, kau juga akan datang kan di pesta Miranda dan Gean?” tanyanya. Tangannya segaja menyentuh pergelangan tanganku, sedikit mengelusnya dan membuatku refleks menarik tanganku darinya. Zahya saja belum pernah melakukan ini padaku dan aku tidak ingin ada wanita lain yang mendahuluinya.
“Ya, aku akan datang.” sahutku sedikit tersenyum. Aku tidak ingin dia merasa tersinggung akibat ulahku tadi dan membuat proyek kerja sama kami batal.
“Oh benarkah? Apa kau akan pergi dengan istrimu?” Tanyanya lagi. Mendengar kata istri, aku sedikit meringis. Entah sampai kapan kami menjalani pernikahan seperti ini. Bahkan selama delapan bulan pernikahan tidak ada kemajuan yang bisa kudapatkan. Kami masih seperti dua orang asing yang tinggal serumah. Kami hanya terikat pada segores tanda tangan di atas sebuah buku yang berlaber buku nikah, selebihnya tidak ada.
Yah, mungkin di sini akulah yang banyak ambil andil dalam keadaan ini. Zahya bahkan selalu menginginkan keakraban dari kami, namun aku selalu menghindarinya. Jantung dan tubuhku tidak akan sanggup menghadapinya. Dia seperti sentrum listrik yang membuat kinerja janutngku jadi tidak stabil, bahkan tubuhku juga ikut bergetar karenanya. Aku selalu gugup jika berada di dekatnya. Yah tertawalah sepuasmu, tetapi inilah keadaannya. Inilah yang sebenarnya. Aku terlalu mencintai istriku dan membuatku seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta.
Seorang Jonathan yang terkenal pandai memanfaatkan suasana juga emosi seseorang untuk mendapatkan tujuannya, jadi seperti ini hanya karena seorang Zahya. Gadis tomboy yang tidak memiliki penampilan menarik juga kecantikan yang selalu diidamkan oleh kaum adam seperti wanita ini─ yang anehnya malah membuatku terpikat dan rela merendahkan harga diriku untuk mengikatnya dengan jalan perjodohan.
“Jo...!?”
“Ah, tidak. Aku tidak pergi dengannya.” Yah mana mungkin aku pergi dengannya jika berada dalam radius satu meter saja membuatku kehilangan fokus.
“Kenapa?”
Wanita ini benar-benar cerewet. Apa mungkin, Tuhan memang menciptakan kaum hawa dengan tingkat kecerewetan seperti ini. Mengingat ibu dan teman-teman wanitaku yang semuanya sangat suka berbicara tanpa memedulikan jika lawan bicaranya sudah bosan dengan semua kata-katanya?
“Ah.. Dia ingin menemui orang tuaku, mereka sangat merindukannya.” Aku tersenyum sendiri ketika berdalih seperti itu.
“Oh...” Sahutnya. Aku bisa melihatnya tersenyum walau samar dan bisa ku tebak apa yang ada di dalam kepala wanita ini. Namun, walau bagaimana pun aku menolak dia pasti akan semakin gencar menggagguku.
“Itu berarti kita bisa pergi bersama, kan? Yah ku harap sih kita bisa pergi bersama.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Baiklah. Aku akan menjemputmu─”
“Ah... gadis itu.”
Bagas memotong ucapanku. Rupanya sedari tadi dia tidak menggubris kami karena mencari seseorang. Tetapi, rata-rata orang-orang di cafe ini adalah karyawanku. Aku jadi penasaran, siapa yang dia cari. Apakah aku─ tidak mungkin. Jadi bagas mencari Zahya. Apa-apaan ini?
Pandanganku dengan Zahya bertemu namun hanya beberapa detik saja sebelum dia memalingkan pandangannya. Apakah aku seburuk itu hingga dia tidak ingin melihatku?
“Ah... kalian. Kalau tidak keberatan, aku ingin menemui teman. Silahkan lanjutkan obrolan kalian.” Ucap Bagas. Ada rasa marah juga cemburu yang meggerogoti tubuh. Bahkan aku yang menjadi suaminya pun tidak pernah menyapa dirinya sebagai seseorang yang ku kenal di kantor, selain formalitas antara bawahan dan atasan.
Tidak mungkin aku membiarkannya menghampiri Zahya dan membuatnya bebas untuk menggoda istriku.
“Oh, kami juga sudah selesai. Lagi pula aku juga ingin mengetahui teman yang kau maksud itu. tidak apa-apa, kan?” ku lirik Lory─ wanita yang sedari tadi terus menggangguku. Terlihat sekali kalau sebenarnya dia sangat keberatan dengan jawabanku. Tapi memang aku peduli. aku lebih memedulikan hubungan istriku dan Bagas.
“Ah, tentu saja.”
Kami ikut di belakang Bagas. Dia berjalan terlampau semangat hingga melupakan kami yang mengikutinya. Apakah mereka memiliki hubungan khusus? Ah, itu tidak mungkin. Aku tahu bagaimana sifat Zahya. Dia tidak mungkin menghianati ucapannya sendiri. Lagipula mata-mataku tidak pernah melaporkan jika Zahya memiliki hubungan apapun sebelum perjodohan dan sampai saat ini─ setelah kami menikah. Ataukah Bagas memang menyukai Zahya?
Sial.
Aku tidak ingin perkataan Bill terjadi. Susah payah aku mengikatnya hingga menurunkan harga diriku sendiri di depan ayah untuk memintanya menjodohkan kami dan setelah semua itu terjadi, orang lain malah yang akan merebutnya dariku. Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Zahya...!?”
Ku lihat Zahya berbalik. Mata kami sempat berpandangan sebelum teralihkan ke Bagas.
“Ha.. hai…” dia membalas sapa Bagas dengan kikuk. Tetapi entah kenapa di mataku, aku malah melihatnya seperti seorang gadis yang dihampiri oleh lelaki idamannya. Wajah malu-malunya membuatku jadi marah sendiri hingga membuatku memandangnya terus tanpa sadar, terlebih ekpresi malu-malu itu akibat laki-laki lain dan bukan dariku.
“Kebetulan kita bertemu di sini. Apa kau bekerja di perusahaan pak Jonathan?” Tanya Bagas dan dibalas anggukan kepala oleh Zahya. “Iya, dia pemimpin perusahaan kami.” Sahutnya kemudian. Aku melihat mereka berinteraksi seolah kami tidak ada di dekat mereka dan membuat emosiku semakin naik.
Aku kembali mengingat-ingat kegiatan yang biasa mereka lakukan saat pagi. Jogging. Apa mungkin mereka hanya lari pagi tanpa adanya interaksi lain? Mungkin berbicara tentang hal lain atau mungkin sudah masuk dalam hal pribadi?
Memikirkannya membuatku semakin dicengkram perasaan cemburu. Bagaimana jika lewat obrolan pagi yang biasa mereka lakukan membuat mereka semakin dekat. Bagaimana jika lewat sebuah kata menumbuhkan benih-benih suka di antara mereka. Bagaimana jika lewat sebuah kalimat pendek akhirnya Zahya akan meninggalkanku.
Aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku juga tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Haruskah aku menurunkan harga diriku lagi untuk memiliki dia dan kembali harus kehilangan?
Tidak mungkin.
Aku mungkin akan gila jika kehilangannya.
“Maaf, Bagas. Aku harus kembali. Jam istirahat sudah selesai. Aku permisi.” Katanya pamit dan berjalan meninggalkan kami untuk menyusul teman-temannya yang menunggu tidak jauh dari kami. Tetapi, sebelum itu terjadi Bagas kembali menghentikan langkah Zahya dengan menarik pelan pergelangan tangannya.
Mataku melebar dengan rahangku yang semakin mengeras demi melihat adegan itu. “Eh, tunggu dulu. Aku belum mempunyai nomormu. Bisakah kau memberikan nomor yang bisa ku hubungi?” Katanya. Sialan Bagas, bisa-bisanya dia melakukan itu di depanku terlebih di depan semua karyawan perusahaanku yang berada di cafe ini. Tidakkah dia merasa risih atau sekedar malu hanya untuk melakukan itu? , “Yah, supaya aku bisa menghubungimu ketika ingin jogging. Jadi kita bisa bersama.” Lanjutnya, mengoreksi kata-kata yang tadi dia ucapkan. Walau demikian, alih-alih membuat emosiku surut malah semakin meningkat. Bagaimana jika apa yang kupirkan tadi akhirnya terjadi?
Aku menatap Zahya. Ada beribu harapan dari tatapanku yang penuh dengan emosi. Dia diam. Sesekali melirikku. Dan satu jawaban yang keluar dari bibir manisnya meruntuhkan segala harapan yang coba ku kirim lewat tatapan mata, “Yah, baiklah.” Sahutnya.
Dia menghela nafas. Dan kembali mempertemukan tatapan kami. Aku kecewa, marah sekaligus cemburu akan apa yang dia lakukan barusan di depan mataku. Dan aku terlebih marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menghentikannya melakukan itu.
Yah, aku merasa jika diriku adalah pria egois yang begitu bodoh saat ini.
“Kalau begitu kami permisi, Pak?” Ucapnya meninggalkan kami. Meninggalkan aku yang masih marah dengan apa yang barusan dia lakukan dan meninggalkan Bagas dengan senyum lebarnya yang membuatku benar-benar muak.
“Kau tampak senang dengan apa yang kau lakukan barusan. Tidakkah kau malu dengan perbuatanmu itu itu?” Tanya Dean─ asisten pribadi bagas yang selalu bersamanya jika melakukan rundingan atau pertemuan mengenai bisnis yang akan dia lakukan.
“Kenapa?”
“Kau tahu kenapa, Gas.” Sahut Dean agak acuh. Mungkin dia juga jengah melihat sahabat yang merangkap jadi bosnya bertindak seperi tadi.
Tidak ada jawaban dari Bagas. Dia hanya mengendikkan bahunya dengan acuh. Membuatku bertanya-tanya, apa yang tengah ada dalam pikirannya. Apa ia benar-benar sudah menyukai Zahya atau hanya sekedar suka dan nyaman menjadi seorang teman? Tetapi lagi-lagi pikiran kalutku mulai membentuk presepsi sendiri dan membuatku jadi resah.
Semoga saja itu hanya presepsi yang terbentuk karena kecemburuan dan keirian hati yang timbul akibat ketidak berdayaan dan kepengecutanku sendiri terhadap Zahya.
....
Hari sudah semakin meredup. Awan yang tadinya sangat cerah menghias langit perlahan berubah jadi lembayung. Terlalu indah jika hanya dinikmati seorang diri di sini.
Selalu dan hampir tiap hari sebelum pulang dari kantor aku selalu menyempatkan diri untuk ke sini. Menyaksikan bagaimana indahnya langit senja ketika matahari perlahan turun dan meninggalkan langit untuk menerangi bagian bumi yang lain hingga menghasilkan gradasi warna yang indah.
Aku selalu membayangkan, bagaimana rasanya menatap langit senja dengan seseorang yang ku cintai, bagaimana rasanya menghabiskan waktu dengan dirinya sambil melihat matahari senja bersama di atas langit kantorku, bagaimana perasaan kami bisa tersampaikan antara satu sama lain melalui tatapan dengan background langit senja. Dan mungkin itu semua akan bisa kurasakan jika aku lebih berani menunjukkan perasaanku padanya.
Tapi sayangnya, hingga kini aku masih ragu dan terlalu penakut untuk menunjukkannya. Aku takut dia pergi setelah tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya dan aku tidak ingin dia meninggalkanku karena itu.
Aku tidak ingin merasakan sakit seperti kehilangan Anabele, aku tidak ingin merasakannya lagi.
.....
Silahkan baca kelanjutannta di