Fly with your imajination

Showing posts with label My Secret Feeling. Show all posts
Showing posts with label My Secret Feeling. Show all posts

Thursday, July 19, 2018

My Secret Feeling (11)


Jonathan POV

Ada saatnya manusia akan merasakan muak pada sesuatu, merasa bosan jika harus terus-menerus menerima sesuatu yang tidak dia inginkan atau jengah dengan perlakuan yang tidak pernah dia sukai untuk dia terima.

Sama seperti saat ini. aku benar-benar muak dengan segala tingkah laku wanita ini yang tidak ada henti-hentinya menggangguku, berulang kali dia berusaha menggodaku, menawariku sesuatu yang tidak pantas dia tawarkan kepada seorang lelaki. Bahkan walau ketika meeting tengah berlangsung dia tidak sekalipun malu menggodaku.

Aku tidak mengerti, apa yang ada di jalan pikiran wanita ini. wanita dewasa yang dengan segala kesempurnaan fisik yang dia miliki juga pesona yang tidak bisa membuat orang berpaling darinya berusaha menggodaku dengan tubuhnya padahal banyak lelaki yang berada di dekatku dengan kemampuan juga pesona yang jauh melebihiku. Aku bahkan sudah mempunyai seorang istri. Dan walaupun dia tahu itu, dia tidak peduli.

“Jo, kau juga akan datang kan di pesta Miranda dan Gean?” tanyanya. Tangannya segaja menyentuh pergelangan tanganku, sedikit mengelusnya dan membuatku refleks menarik tanganku darinya. Zahya saja belum pernah melakukan ini padaku dan aku tidak ingin ada wanita lain yang mendahuluinya.

“Ya, aku akan datang.” sahutku sedikit tersenyum. Aku tidak ingin dia merasa tersinggung akibat ulahku tadi dan membuat proyek kerja sama kami batal.

“Oh benarkah? Apa kau akan pergi dengan istrimu?” Tanyanya lagi. Mendengar kata istri, aku sedikit meringis. Entah sampai kapan kami menjalani pernikahan seperti ini. Bahkan selama delapan bulan pernikahan tidak ada kemajuan yang bisa kudapatkan. Kami masih seperti dua orang asing yang tinggal serumah. Kami hanya terikat pada segores tanda tangan di atas sebuah buku yang berlaber buku nikah, selebihnya tidak ada.

Yah, mungkin di sini akulah yang banyak ambil andil dalam keadaan ini. Zahya bahkan selalu menginginkan keakraban dari kami, namun aku selalu menghindarinya. Jantung dan tubuhku tidak akan sanggup menghadapinya. Dia seperti sentrum listrik yang membuat kinerja janutngku jadi tidak stabil, bahkan tubuhku juga ikut bergetar karenanya. Aku selalu gugup jika berada di dekatnya. Yah tertawalah sepuasmu, tetapi inilah keadaannya. Inilah yang sebenarnya. Aku terlalu mencintai istriku dan membuatku seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta.

Seorang Jonathan yang terkenal pandai memanfaatkan suasana juga emosi seseorang untuk mendapatkan tujuannya, jadi seperti ini hanya karena seorang Zahya. Gadis tomboy yang tidak memiliki penampilan menarik juga kecantikan yang selalu diidamkan oleh kaum adam seperti wanita ini─ yang anehnya malah membuatku terpikat dan rela merendahkan harga diriku untuk mengikatnya dengan jalan perjodohan.

“Jo...!?”

“Ah, tidak. Aku tidak pergi dengannya.” Yah mana mungkin aku pergi dengannya jika berada dalam radius satu meter saja membuatku kehilangan fokus.

“Kenapa?”

Wanita ini benar-benar cerewet. Apa mungkin, Tuhan memang menciptakan kaum hawa dengan tingkat kecerewetan seperti ini. Mengingat ibu dan teman-teman wanitaku yang semuanya sangat suka berbicara tanpa memedulikan jika lawan bicaranya sudah bosan dengan semua kata-katanya?

“Ah.. Dia ingin menemui orang tuaku, mereka sangat merindukannya.” Aku tersenyum sendiri ketika berdalih seperti itu.

“Oh...” Sahutnya. Aku bisa melihatnya tersenyum walau samar dan bisa ku tebak apa yang ada di dalam kepala wanita ini. Namun, walau bagaimana pun aku menolak dia pasti akan semakin gencar menggagguku.

“Itu berarti kita bisa pergi bersama, kan? Yah ku harap sih kita bisa pergi bersama.” Lanjutnya sambil tersenyum.

“Baiklah. Aku akan menjemputmu─”

“Ah... gadis itu.”

Bagas memotong ucapanku. Rupanya sedari tadi dia tidak menggubris kami karena mencari seseorang. Tetapi, rata-rata orang-orang di cafe ini adalah karyawanku. Aku jadi penasaran, siapa yang dia cari. Apakah aku─ tidak mungkin. Jadi bagas mencari Zahya. Apa-apaan ini?
Pandanganku dengan Zahya bertemu namun hanya beberapa detik saja sebelum dia memalingkan pandangannya. Apakah aku seburuk itu hingga dia tidak ingin melihatku?

“Ah... kalian. Kalau tidak keberatan, aku ingin menemui teman. Silahkan lanjutkan obrolan kalian.” Ucap Bagas. Ada rasa marah juga cemburu yang meggerogoti tubuh. Bahkan aku yang menjadi suaminya pun tidak pernah menyapa dirinya sebagai seseorang yang ku kenal di kantor, selain formalitas antara bawahan dan atasan.

Tidak mungkin aku membiarkannya menghampiri Zahya dan membuatnya bebas untuk menggoda istriku.

“Oh, kami juga sudah selesai. Lagi pula aku juga ingin mengetahui teman yang kau maksud itu. tidak apa-apa, kan?” ku lirik Lory─ wanita yang sedari tadi terus menggangguku. Terlihat sekali kalau sebenarnya dia sangat keberatan dengan jawabanku. Tapi memang aku peduli. aku lebih memedulikan hubungan istriku dan Bagas.

“Ah, tentu saja.”

Kami ikut di belakang Bagas. Dia berjalan terlampau semangat hingga melupakan kami yang mengikutinya. Apakah mereka memiliki hubungan khusus? Ah, itu tidak mungkin. Aku tahu bagaimana sifat Zahya. Dia tidak mungkin menghianati ucapannya sendiri. Lagipula mata-mataku tidak pernah melaporkan jika Zahya memiliki hubungan apapun sebelum perjodohan dan sampai saat ini─ setelah kami menikah. Ataukah Bagas memang menyukai Zahya?

Sial.

Aku tidak ingin perkataan Bill terjadi. Susah payah aku mengikatnya hingga menurunkan harga diriku sendiri di depan ayah untuk memintanya menjodohkan kami dan setelah semua itu terjadi, orang lain malah yang akan merebutnya dariku. Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Zahya...!?”

Ku lihat Zahya berbalik. Mata kami sempat berpandangan sebelum teralihkan ke Bagas.

“Ha.. hai…” dia membalas sapa Bagas dengan kikuk. Tetapi entah kenapa di mataku, aku malah melihatnya seperti seorang gadis yang dihampiri oleh lelaki idamannya. Wajah malu-malunya membuatku jadi marah sendiri hingga membuatku memandangnya terus tanpa sadar, terlebih ekpresi malu-malu itu akibat laki-laki lain dan bukan dariku.

“Kebetulan kita bertemu di sini. Apa kau bekerja di perusahaan pak Jonathan?” Tanya Bagas dan dibalas anggukan kepala oleh Zahya. “Iya, dia pemimpin perusahaan kami.” Sahutnya kemudian. Aku melihat mereka berinteraksi seolah kami tidak ada di dekat mereka dan membuat emosiku semakin naik.

Aku kembali mengingat-ingat kegiatan yang biasa mereka lakukan saat pagi. Jogging. Apa mungkin mereka hanya lari pagi tanpa adanya interaksi lain? Mungkin berbicara tentang hal lain atau mungkin sudah masuk dalam hal pribadi?

Memikirkannya membuatku semakin dicengkram perasaan cemburu. Bagaimana jika lewat obrolan pagi yang biasa mereka lakukan membuat mereka semakin dekat. Bagaimana jika lewat sebuah kata menumbuhkan benih-benih suka di antara mereka. Bagaimana jika lewat sebuah kalimat pendek akhirnya Zahya akan meninggalkanku.

Aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku juga tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Haruskah aku menurunkan harga diriku lagi untuk memiliki dia dan kembali harus kehilangan?

Tidak mungkin.

Aku mungkin akan gila jika kehilangannya.

“Maaf, Bagas. Aku harus kembali. Jam istirahat sudah selesai. Aku permisi.” Katanya pamit dan berjalan meninggalkan kami untuk menyusul teman-temannya yang menunggu tidak jauh dari kami. Tetapi, sebelum itu terjadi Bagas kembali menghentikan langkah Zahya dengan menarik pelan pergelangan tangannya.

Mataku melebar dengan rahangku yang semakin mengeras demi melihat adegan itu. “Eh, tunggu dulu. Aku belum mempunyai nomormu. Bisakah kau memberikan nomor yang bisa ku hubungi?” Katanya. Sialan Bagas, bisa-bisanya dia melakukan itu di depanku terlebih di depan semua karyawan perusahaanku yang berada di cafe ini. Tidakkah dia merasa risih atau sekedar malu hanya untuk melakukan itu? , “Yah, supaya aku bisa menghubungimu ketika ingin jogging. Jadi kita bisa bersama.” Lanjutnya, mengoreksi kata-kata yang tadi dia ucapkan. Walau demikian, alih-alih membuat emosiku surut malah semakin meningkat. Bagaimana jika apa yang kupirkan tadi akhirnya terjadi?
Aku menatap Zahya. Ada beribu harapan dari tatapanku yang penuh dengan emosi. Dia diam. Sesekali melirikku. Dan satu jawaban yang keluar dari bibir manisnya meruntuhkan segala harapan yang coba ku kirim lewat tatapan mata, “Yah, baiklah.” Sahutnya.

Dia menghela nafas. Dan kembali mempertemukan tatapan kami. Aku kecewa, marah sekaligus cemburu akan apa yang dia lakukan barusan di depan mataku. Dan aku terlebih marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menghentikannya melakukan itu.

Yah, aku merasa jika diriku adalah pria egois yang begitu bodoh saat ini.

“Kalau begitu kami permisi, Pak?” Ucapnya meninggalkan kami. Meninggalkan aku yang masih marah dengan apa yang barusan dia lakukan dan meninggalkan Bagas dengan senyum lebarnya yang membuatku benar-benar muak.

“Kau tampak senang dengan apa yang kau lakukan barusan. Tidakkah kau malu dengan perbuatanmu itu itu?” Tanya Dean─ asisten pribadi bagas yang selalu bersamanya jika melakukan rundingan atau pertemuan mengenai bisnis yang akan dia lakukan.

“Kenapa?”

“Kau tahu kenapa, Gas.” Sahut Dean agak acuh. Mungkin dia juga jengah melihat sahabat yang merangkap jadi bosnya bertindak seperi tadi.

Tidak ada jawaban dari Bagas. Dia hanya mengendikkan bahunya dengan acuh. Membuatku bertanya-tanya, apa yang tengah ada dalam pikirannya. Apa ia benar-benar sudah menyukai Zahya atau hanya sekedar suka dan nyaman menjadi seorang teman? Tetapi lagi-lagi pikiran kalutku mulai membentuk presepsi sendiri dan membuatku jadi resah.

Semoga saja itu hanya presepsi yang terbentuk karena kecemburuan dan keirian hati yang timbul akibat ketidak berdayaan dan kepengecutanku sendiri terhadap Zahya.

....

Hari sudah semakin meredup. Awan yang tadinya sangat cerah menghias langit perlahan berubah jadi lembayung. Terlalu indah jika hanya dinikmati seorang diri di sini.

Selalu dan hampir tiap hari sebelum pulang dari kantor aku selalu menyempatkan diri untuk ke sini. Menyaksikan bagaimana indahnya langit senja ketika matahari perlahan turun dan meninggalkan langit untuk menerangi bagian bumi yang lain hingga menghasilkan gradasi warna yang indah.

Aku selalu membayangkan, bagaimana rasanya menatap langit senja dengan seseorang yang ku cintai, bagaimana rasanya menghabiskan waktu dengan dirinya sambil melihat matahari senja bersama di atas langit kantorku, bagaimana perasaan kami bisa tersampaikan antara satu sama lain melalui tatapan dengan background langit senja. Dan mungkin itu semua akan bisa kurasakan jika aku lebih berani menunjukkan perasaanku padanya.

Tapi sayangnya, hingga kini aku masih ragu dan terlalu penakut untuk menunjukkannya. Aku takut dia pergi setelah tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya dan aku tidak ingin dia meninggalkanku karena itu.

Aku tidak ingin merasakan sakit seperti kehilangan Anabele, aku tidak ingin merasakannya lagi.

.....

Silahkan baca kelanjutannta di
WATTPAD
Share:

Wednesday, August 17, 2016

My Secret Feeling 10


Mata tidak pernah berbohong namun kadang kala, tatapan mata juga bisa membuat seseorang salah paham.
BACA : BAGIAN 9


MY SECRET WEDDING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?

.
.
.
.
.
.
.
.

BAGIAN 10

Ketika jam istirahat berlangsung, di kafe yang biasanya ku datangi, tanpa sengaja aku melihat Bagas, lelaki yang beberapa hari ini selalu ku temui saat jogging. Dia bersama dengan rekan-rekan kerjanya, kemugkinan mereka akan makan siang bersama rekan bisnis mereka. Mata kami saling memandang, dia tersenyum kecil seraya mengangguk padaku yang kebalas dengan hal yang sama.

Tidak berapa lama teman-teman ku datang, Mai dan Neil, mereka berjalan bersama. Walau terlihat seperti anak anjing dan kucing dikeseharian mereka namun jika ada salah seorang dari mereka yang mempunyai masalah, tidak tanggung-tanggung akan saling menolong, walau dengan cara yang tidak kentara dan bahkan biasa menyebabkan kesalahpahaman.

“Kamu sudah lama, Za?” Mai membuka suara duluan, lalu duduk di depan dan diikuti oleh Neil yang duduk di samping kiriku. Meja kafe ini bentuknya bulat dengan angka yang dipasang berdiri agar memudahkan waitress nya mengantarkan pesanan. Juga memudahkan kami untuk saling mengobrol, karena bisa saling berhadapan.

“Tidak. Aku juga baru sampai.” Sahutku. Tanpa sengaja pandanganku jatuh pada mereka. Bagas dan rekan-rekan bisnisnya yang ternyata adalah Bos─ suamiku, juga wanita lain yang terlihat sangat anggun dan berwibawa, sama seperti wanita yang tadi ku lihat di dalam kantor Jo.

Mereka berempat terlihat akrab dengan wanita itu yang terus menatap dan menampilkan senyum menawannya pada Jo. Entah apa yang mereka bicarakan sampai membuat raut Jo berubah dan terlihat lebih ramah dari biasanya.

Dan wanita itu membuatku benar-benar cemburu padanya dan tanpa sengaja membuatku terintimidasi oleh kecantikan dan keanggunan yang dia miliki. Aku benar-benar sudah kalah telak olehnya, walau tidak ada persaingan.

Aku menghembuskan nafas, berusaha mengenyahkan perasaan sesak yang menghimpit dadaku karena perasaan minder yang tiba-tiba mendera. Aku benar-benar merasa sangat tidak pantas untuk berada di dekat Jo, melihat rata-rata wanita yang dekat dengan Jo adalah wanita dengan tipe yang sama. Cantik dan anggun juga memiliki daya tarik yang besar hingga wanita-wanita yang berada di sekitarnya jadi tidak percaya diri merasa minder dengan posisi mereka, termasuk aku.

“Aduh, pak Jo kalau tersenyum seperti itu, kegantengannya bertambah. Aku jadi makin suka sama dia.” Mai berceloteh tiba-tiba menyentakku dari angan-anganku sendiri yang hanya bisa menjadi sebuah harapan dan tidak tahu apakah akan terwujud atau hanya akan menjadi sebuah harapan kosong. Dia menatap Jo penuh minat, seakan Jo adalah sebuah permen manis kesukaannya yang mengajaknya agar segera di lahap. “Andai dia seperti itu terus, aku yakin bahkan wanita yang sudah punya suami pun akan terpesona dengan ketampanan pak Jo. Aku jadi ingin tahu wanita seperti apa yang sudah meluluhkan hati pak Jo. Apakah wanita itu orangnya? Melihat mereka tampak akrab dan pak Jo tidak merasa risih bersentuhan dengan wanita itu, tapi wanita yang kemarin juga tampak akrab dengannya..” Lanjutnya seraya menerawang.

Dan kata-kata Mai kembali menyentakku. Rasanya ada gemuruh dari perasaan sesak yang tiba-tiba menusuk relung hatiku hingga membuatku merasakan rasa sakit yang sangat. Aku juga ingin berbicara hangat dan mendapati raut hangat Jo yang seperti itu. Aku juga ingin diperlakukan hangat seperti wanita itu, bukan dingin dan tak acuh yang kadang membuatku besedih bahkan sampai membuatku menjatuhkan air mata.

“Hedeh, wanita seperti apapun dia, yang jelas bukan kau orangnya. Wanita kasar, jorok, dan tidak tahu sopan santun seperti mu tidak akan mungkin dilirik oleh pak Jo, ups...” Ucap Neil sambil membungkam mulutnya dan menampakkan wajah tanpa dosa. Dan kata-kata itu berhasil mengalihkan sedikit dari rasa sesak yang ku rasakan. “Maaf, aku kecoplosan. Hehehe...” Lanjutnya sambil menyengir, seolah dia tidak pernah berbuat salah, pun berkata-kata kasar seperti barusan.

“A...apa...? Apa yang kau katakan barusan, hah? Apa kau tidak sadar pada dirimu sendiri? Laki-laki kurang ajar yang tidak bisa menjaga ucapannya pada wanita? Kau pikir laki-laki seperti itu akan dilirik oleh wanita? Tidak akan. Dasar brengsek. Laki-laki mesum, jorok, sial─”

“Mai...! Berhentilah, semua orang menatap kita dan kau juga Neil. Bisakah kau menjaga ucapannmu pada Mai? Kata-katamu sudah keterlaluan, kau tahu?” Ucapku menghentikan mereka. Kata-kata Neil memang sudah keterlaluan dan sangat menyakitkan untuk dilontarkan pada seorang gadis. Bahkan aku pun yang mendengarnya jadi sedikit kesal.

“Dia duluan yang mulai, Za?” Mai nampaknya masih marah dan tidak terima dengan kata-kata Nial. Dia memngembungkan mulutnya dan mencibir tidak jelas.

“Kalian benar-benar aneh? Saat salah satu di antara kalian tidak ada, kalian malah saling cari dan ketika bertemu layaknya anak anjing dan kucing, susah mau akur. Atau jangan-jangan sebenarnya kalian ini saling suka tetapi karena takut hubungan kalian rusak jadi kalian seperti ini? iya kan? Mengakulah!” ucapku sambil memicingkan mata, sedikit menggoda mereka.

“Jangan bercanda, Za!” Nah inilah salah satu contoh hingga aku bilang mereka serasi. Bahkan menjawab pun dengan kalimat yang sama.

“Tuh, kan. Kalian memang serasi, bahkan pemilihan kata-kata untuk menjawab pun sama. Kalian benar-benar sehati.” Aku tersenyum melihat reaksi dan ekspresi mereka yang merasa ngeri dengan kata-kataku.

“Kau terlalu banyak membaca Novel, Za. Kami tidak mungkin seperti itu.” Kata Nial menyanggah sambil mengibaskan sebelah tangannya dengan acuh.
Mai mengangguk setuju, “Yah, Nial benar.” Katanya, “Kami tidak akan mungkin punya hubungan seperti itu.”

“Kenapa? Kalian nampak cocok, yah walau banyak tidak akurnya, sih...”

“Tentu saja tidak bisa. Kami kan sepupuan.” Ucap Mai lantang dan tegas dan membuat hampir seluruh orang yang berada di kafe memandang kami termasuk dengan mereka berempat.

Mengabaikan orang-orang di sekitar, tanpa sadar aku ternganga. Mereka sepupuan, namun tak ada satupun letak kemiripan yang mereka punya. Baik sifat maupun rupa fisik mereka. Jika Neil memiliki rupa seorang blasteran dengan mata hijau bening dan rambut berwarna tembaga, maka Mai tidak sama sekali. Gadis itu malah seperti orang pribumi asli dengan rambut hitam dan bola mata sipit yang sewarna.

“Kok bisa? Kalian tidak punya kemiripan, sekalipun itu di warna rambut atau pun bentuk mata. Mata Mai agak sipit, dan kau Nial punya mata seperti orang barat kebanyakan.”

“Hn. Tapi ibu kami bersaudara.” Kata Nial

“Kandung malah.” Mai menambahkan.

Aku menatap mereka setengah percaya, mataku mengerjap beberapa kali bahkan dengan waitress yang membawakan makanan kesukaanku pun tidak ku sadari.

“Wow... bahkan kalian jarang terlihat akur dan ternyata... ternyata kalian adalah sepupuan? Aku─”

“Za!”

Ucapanku terhenti saat seseorang memanggilku, aku mengalihkan perhatianku dari Neil dan Mai untuk melihat orang yang sudah memanggilu. “Januar...” Sahutku. Melihatnya membuatku ingat dengan janji kami tadi. Padahal aku ke kafe ini pun karena sudah menjadi kebiasaanku.

“Bergabunglah.” Sahutku kemudian sambil menunjuk kursi di sampingku dengan dagu.

“Oke...”

“Jadi apa yang membuatmu datang kemari? Biasanya juga kau malas jika ke sini karena tidak suka dengan suasana yang ramai.” Mai memperhatikan Januar yang tidak biasanya datang ke kafe karena rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika banyak orang, katanya dia sering sesak kalau di tempat ramai, padahal aku tahu dia tidak suka ditatap oleh para gadis yang melihatnya. Dia risih dengan tatapan para gadis yang seolah menjadikannya sebagai santapan lezat yang tersedia di atas meja. Salahkan saja wajahnya yang terlampau tampan yang mungkin setara dengan Neil atau bahkan melebihinya.

“Aku dan Zahya janjian ketemu di sini...” lanjutnya dan mengambil tempat di antara aku dan Mai. Kami duduk melingkar di meja kafe.

“Jadi ini masalah apa?” Mai tidak menyembunyikan nada penasarannya ketika mendengar sahutan dari Januar. Dia menatap Januar penuh minat namun berbeda dengan tatapannya pada Jo yang lebih kepada rasa penasarannya.

“Well, kalian tahu kan gosip yang beredar di kantor. Aku hanya ingin tahu itu...”

“Kau tahu itu hanya berita hoax...” Neil bicara dengan tak peduli sambil memakan snack yang tadi dia beli sebelum ke kafe.

“Ah... sebenarnya Januar. Aku tidak memedulikan soal gosip yang sudah beredar itu.”

“Kenapa?”

“Well, kau tahu sendiri bagaimana sifatnya, Januar?” aku tidak menjawab namun Nail yang mewakili aku untuk menjawabnya.

“Hah...” Januar menghela nafas, mungkin baru menyadari dengan sifatku yang terlalu cuek dan bahkan hingga kini pun masih melekat erat di diriku. “Hahaha... bodohnya aku yang terlalu mengkhawatirkanmu.” Katanya sambil mengusap kepalaku. Kebiasaannya dulu ketika masih sekolah.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku dengan kesal karena sudah merusak tatanan rambutku yang sudah rapi. “Yah kau terlalu bodoh.” Ucapku dan memakan makanan yang sempat kuabaikan tadi. Mengabaikan mereka yang masih saling mengobrol sambil menyantap makanan mereka masing-masing termasuk Januar yang entah kapan makanannya tiba.

Aku merasa seolah ada seseorang yang tengah memperhatikanku makan dan ketika aku menaikkan pandanganku, tatapan mata kami bertemu. Jo tengah menatapku, tapi aku tidak tahu apa makna dari tatapannya itu. Aku balas menatapnya namun tidak lama karena Mai memukul pundakku, menyadarkanku jika sebentar lagi jam istirahat selesai.

“Cepatlah… kau tidak ingin dapat pemotongan gajikan?” ucap Mei dan dianggukan oleh Nial.

Aku mengangkat bahu cuek. “Memang siapa yang akan memotong gajiku?” yah memang siapa yang akan memotong gajiku, jika akulah yang merekab laporan total gaji, sebelum diserahkan pada Jo untuk di seteujui.

“Ish… sombong sekali kau. Ya, kami tahu yang merekab hampir semua laporan keuangan itu adalah kamu. Tapi kami kan beda divisi denganmu. Sudahlah, ayo cepat. Aku tidak ingin makan gaji buta.” Ucap Neil dengan jengkel, lalu melangkahkan kakinya untuk segera ke kantor.
Tanpa banyak bantahan aku juga berdiri. Aku juga tidak ingin terlambat, walau akulah yang merekab dan memeriksa laporan total gaji, tapi seperti kata Neil, aku juga tidak ingin makan gaji buta. Akan tetapi, baru saja akan berjalan bersama mereka, seseorang malah memanggil namaku dan membuatku terpaksa berhenti untuk melihat orang tersebut.

“Zahya…!”

Teman-temanku berhenti dan menatap aku penuh tanya ketika melihat rombongan pak Jo menghampiri kami dengan Bagas yang tersenyum lebar dan melambai ke arahku.

“Kau kenal dengan dia, Za?” Mei berbicara pelan seraya menatap rombongan mereka yang berjalan ke arah kami.

“Oh… dia Bagas. Aku sering bertemu dengan dia ketika Jogging. Dan kami juga biasa mengobrol.

Bagas menghampiri kami dengan tersenyum kearahku. Banyak karyawan yang menghentikan aktifitas mereka hanya untuk melihat kami dan aku bisa menerka raut penuh tanya yang mereka berikan pada kami. Dan mungkin saja gossip yang beredar itu juga akan dibumbuhi dengan kejadian ini. Memikirkannya kembali membuatku kesal. Walau terkesan tidak peduli, tetapi ada saatnya juga membuatku kesal terlebih ada beberapa karyawan yang malah memanfaatkan situasi tersebut bahkan ada yang menjadikannya sebagai bahan lelucon atau malah menambah popularitas.

“Ha.. hai…” sapaku dengan kikuk karena mendapat tatapan dari sepasang mata hitam milik Jo.

“Kebetulan kita bertemu di sini. Apa kau bekerja di perusahaan pak Jonathan?” tanyanya dan kuanggukan kepala sebagai jawaban, “Iya, dia pemimpin perusahaan kami.” Sahutku sesaat kemudian kembali melirik Jo yang sudah mengeraskan rahanganya sebagai tanda ketidaksukaan dan juga menatapku tajam.

Aku mengalihkan pandanganku karena tidak tahan dengan tatapannya yang seperti itu. Namun tindakanku itu malah jadi bumerang yang kembali mendatangkan perasaan sedih. Bagaimana tidak, dia sama sekali tidak mengindahkan, pun merasa risih pada perempuan di sampingnya yang tengah bergelayut manja di pergelangan tangannya yang seperti seekor anak monyet yang tengah minta di manja oleh induknya dan malah menatapku tajam seperti itu.

Aku benar-benar tidak tahan dengan pemandangan itu. Aku ingin segera pergi dari hadapan mereka.

“Maaf, Bagas. Aku harus kembali. Jam istirahat sudah selesai. Aku permisi.” Kataku pamit dan berjalan meninggalkan mereka untuk menyusul teman-temanku yang menungguku tidak jauh dari kami. Tetapi, sebelum itu terjadi Bagas kembali menghentikan langkahku dengan menarik pelan pergelangan tanganku.

“Eh, tunggu dulu. Aku belum mempunyai nomormu. Bisakah kau memberikan nomor yang bisa ku hubungi?” Aku menyerngit mendengarnya, heran sekaligus bingung. Di sisi lain juga merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Jo, “Yah, supaya aku bisa menghubungimu ketika ingin jogging. Jadi kita bisa bersama.” Lanjutnya, mengoreksi kata-kata yang tadi dia ucapkan.

Aku terdiam sejenak untuk berpikir, apakah aku boleh memberikannya nomor ponselku atau tidak. Mengingat ada Jo─ suamiku tepat di depanku, memperhatikanku. Apa yang akan dia pikirkan nanti? Tetapi Jo hanya diam, tidak berkomentar dan hanya memperhatikan kami dengan tatapannya yang tajam.

Sejujurnya aku bingung dengan apa yang harus ku lakukan. Memberinya kah atau tidak. Jika aku memberinya, bukankah itu sama saja jika aku telah menghianati pernikahan kami? Tetapi dia hanya meminta agar kami bisa saling berkomunikasi jika ingin jogging bersama dan artinya dia hanya ingin berteman denganku. Itu tidak salah, bukan? Tetapi, di sisi lain aku juga merasa enggan untuk memberinya, karena ada Jo tepat di depan kami dan terus memperhatikan kami. Lalu pandangan orang-orang di sekitar terutama orang-orang kantor yang suka bergosip juga teman-teman yang tengah menungguku. Aku seperti di buru waktu dengan pemilihan yang sulit kulakukan dan cepat dengan konsekuensi jika salah pilih, aku akan didera rasa penyesalan yang sangat besar. Tetapi kemudian pandanganku kembali pada Jo dan wanita yang berdiri di sampingnya yang tengah bergelayut dan akhirnya satu keputusan ku dapat karena tidak lagi berpikir dan aku pun menjawab, “Yah, baiklah.” Balasku sambil menuliskan nomor ponselku.

Aku menghela nafas. Sedikit mendongak hanya untuk melihat kembali Jo. Namun tatapannya tidak berubah, malah semakin tajam, seperti seekor elang yang siap memangsa mangsanya. Tajam dan menusuk hingga membuat rambut-rambut di sekitar tengkukku meremang takut bahkan rahangnya juga mengeras seperti tengah memendam rasa benci pada seseorang. Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Mengapa menatapku seperti itu? Apa aku melakukan salah? Atau, apa mungkin dia berpikir aku sudah menggoda temannya?

“Kalau begitu kami permisi, pak?” Ucapku cepat-cepat karena tidak ingin mendapatkan tatapan Jo lebih lama lagi. Namun sebelumnya aku sedikit melirik dari pergelangan tangannya yang masih belum melepaskan gelayutan dari teman wanitanya.

Dalam hati, aku hanya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa ketika kami di rumah nanti. Semoga dia tidak berpikir buruk dengan masalah ini dan berkata kasar atau hal jelek lainnya.

.
.
.
TBC


Mickey 17.08.2016
Share:

Monday, August 15, 2016

My Secret Feeling 9

BACA : BAGIAN 8

MY SECRET WEDDING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.

.
.
.

BAGIAN 9

Jadi seperti inilah pandangan yang kudapat ketika berada di depan pintu ruangannya yang tengah terbuka. Pemandangan yang mampu menyayat hatiku hingga menghasilkan luka sayatan panjang dan lebar. Kelakuan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang bos di depan karyawannya terlebih di depan istrinya sendiri.

Suamiku yang menjadi bosku sendiri dengan tega melakukan ini semua padaku. Padahal aku sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang istri, padahal aku sudah berusaha untuk membuatnya melihatku, peduli padaku dan lebih terbuka. Dan inilah yang kudapat.... Sebuah perselingkuhan.

Ah.. Sial. Ternyata inilah sebabnya dia tidak juga membuka dirinya padaku. Inilah yang membuat dirinya selalu mempertahankan tembok es itu. Karena wanita yang kemarin ku lihat adalah kekasihnya. Terima kasih pada pak Doni yang menyuruhku membawakan laporan bulanan ini, berkat dia aku bisa tahu alasan semua sikap suamiku.

Bunyi dari gesekan pintu yang terbuka menyadarkan mereka dan secara refleks mereka berdua menjauhkan diri. Ada raut khawatir dari wanita yang tadi sedang memeluk bosku tapi aku tidak peduli. Mereka adalah sepasang kekasih yang diam-diam tengah menjalin kasih dibelakangku, atau mungkinkah akulah yang menjadi seorang perebut?

Sejenak aku memejamkan mata, mencoba menguatkan diri kemudian melanjutkan langkahku untuk memasuki ruangan suamiku─ ah, tidak tetapi bosku. Langkah yang terasa berat seperti ada berton berat yang menjadi bebanku. Dadaku sesak oleh rasa sakit dan rasanya air mataku ingin keluar ketika melihat wajahnya yang menyiratkan kemarahan. Yah, kemarahan karena sudah mengganggu mereka.

Sebisa mungkin aku mencoba bersikap profesional, menenangkan degup jantung yang menggila akibat rasa marah dan kecewa yang menggebu dalam dada. Melangkah seakan tidak melihat satu kejadian apapun antara mereka. Poker face, yah hanya itulah ekpresi yang sangat baik untuk sekarang. Ekpresi yang sudah kupelajari dari dia.

“Maaf mengganggu, pak. Laporan yang anda minta.” Ucapku sambil meletakkan laporan yang dia minta di atas meja.

Ku lihat matanya nyalang menatapku. Aku meringis dalam hati. Semarah itukah dia karena ketidaksengajaanku yang memergokinya? Ataukah karena aku yang membuat wajah khawatir yang terpatri di wajah wanitanya?

Dadaku semakin sakit oleh ulahnya. Kurasakan mataku sudah perih dan ingin segera mengeluarkan tumpahan beningnya. Aku ingin segera lenyap dari sini. Aku sudah tidak tahan.

“Kalau begitu aku permisi.” Kataku sedikit serak namun tidak kentara dan segera melangkahkan kakiku dari hadapan mereka, tidak membiarkan mereka membuka mulut untuk mengklarifikasi apa yang sedang mereka lakukan tadi dan kupikir mereka memang tak akan membuka mulut untuk itu. Siapalah aku bagi mereka? Bukankah aku disini yang sudah menjadi orang ketiga yang masuk ke dalam kehidupan mereka. Mungkin.

Aku berjalan dengan perasaan sesak luar biasa. Perasaan yang baru pertama kali kurasakan. Sakit dan kecewa bahkan rasanya tak akan ada obat yang bisa mengobati rasa sakit ini.

Suamiku memiliki kekasih dan aku menjadi orang ketiga. Aku sungguh bodoh. Sangat bodoh memperjuangkan sesuatu yang memang tidak diperuntukan untuk kumiliki dan mungkin tak ditakdirkan untukku.

.....

Aku berjalan dengan gontai menuju ruanganku, setelah beberapa menit menangis di dalam toilet. Sepanjang jalan entah sudah berapa orang ku tabrak. Aku tidak peduli, bahkan saat Gina membentakku dan memakiku di depan lift─ yang pada saat itu banyak orang─ aku hanya diam dan menunduk.

“Apa kau tidak punya mata, hah? Sudah beberapa kali menabrak, tidak puas juga? Apa sih yang kau pikirkan? Atau kau hanya ingin menyentuh orang lain dan berdalih menabraknya?......”

Pikiranku masih melayang memikirkan kejadian barusan. Suamiku sendiri tengah memeluk atau bahkan mencium seorang wanita di dalam ruangannya. Yang aku sendiri pun hanya bisa membayangkannya tanpa tahu apakah suatu saat nanti akan terwujud atau hanya akan bertahan di dalam benak.

Memang tidak secara jelas terlihat apa yang sedang mereka lakukan, tapi melihat reaksi mereka, itu membuatku yakin jika mereka memang melakukan seperti apa yang ku pikirkan.

Sakit. Rasanya lebih sakit dari pada di abaikan dan mendapatkan sikap dinginnya. Bagai gemuruh dari angin yang menyesakkan baru saja menghempas dadaku, bahkan rasanya sulit bernafas dan aku hanya bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Katakanlah aku bodoh, begitu naif yang masih tetap bertahan berada di sisinya yang bahkan selalu dia abaikan, tapi mau bagaimana lagi ketika rasa cinta itu sudah mengalahkan akal sehat, otak pun tidak bisa diajak bekerja sama. Dan akhirnya aku seperti ini.

Gina masih memakiku di depan lift, banyak pegawai yang sudah mengerubungi kami, dan aku bisa melihat begitu banyak macam pandangan yang melihat kami. Ada yang kasihan juga tersenyum sinis melihatku seperti anak kucing yang digonggongi anjing betina.

Tapi aku tidak begitu peduli. Hatiku lebih perlu diperhatikan, karena rasa sakit yang diakibatkan oleh perilaku suamiku tadi.

“Apa yang kalian lakukan di sini, hah? Bukankah ini masih jam kantor? Sekarang bubar! Jika sekali lagi ku lihat kalian bergerumul seperti ini, aku benar-benar akan mengeluarkan SP untuk kalian”

Ucap seseorang yang menghentikan kegiatan Gina juga mereka yang tengah memperhatikan kami.

Mereka serentak membubarkan diri, termasuk aku, berjalan gontai menuju ruang kantorku.

“Za!”

Aku tersentak ketika seseorang menyentak tanganku dan memaksaku berhenti. Sedikit mendongak, rupanya dia pak Januar dari Departemen Personalia sekaligus teman sewaktu sekolah menengah atas dulu.

“Maaf, Za.” Katanya lalu melepas lenganku, “Dari tadi aku memanggilmu, tetapi kau hanya menunduk.”

“Maaf, aku sedang banyak tugas, makanya tidak memperhatikan panggilanmu. Jadi ada apa?” Tanyaku. Kedua mataku menatapnya, ada gerakan yang memperlihatkan kegugupannya entah karena apa.

“Mmm... Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, gosip yang beredar di kantor itu benar atau tidak.” Aku menyengit mendengarnya berbicara mengenai gosip yang beredar tentangku.

“Gosip?” Tanyaku, nada penasaran tidak kusembunyikan, “Gosip apa?”

“Ku dengar, kau pernah berjalan dengan seorang pria tua.....”

“Ya, benar.” Jawabku, membuatnya menghentikan ucapannya. “Dia kenalanku, ada apa?”

“Bukan begitu, Za.”

“Lalu?”

“Yang aku dengar...” Dia menghentikan ucapannya sejenak lalu menggaruk belakang kepalanya dan melihatku ragu, kebiasaannya dari sekolah dulu ketika dia merasa gugup. Dia kemudian menarik nafas panjang, “Katanya pria tua itu adalah ayahnya pak Jonathan dan.... Dan...”

“Astaga Januar, tidak bisakah kau itu bicara yang jelas! Kau itu kerja di bagian HRD yang artinya ucapanmu haruslah tegas, bukan seperti kucing yang kebelet pipis...” Kataku sedikit jengah melihat tingkah dan ucapannya yang tidak jelas.

“Ish... Kau ini, aku kan hanya mencari kata-kata yang bagus supaya kau itu tidak tersinggung.” Katanya menyela ucapanku.

“Hah... Sebaik apapun rangkaiakan kata-katamu yang nanti ku dengar, kalau intinya sama, yah, pastinya perasaanku juga akan sama. Kalau tidak senang, yah sedih. Dan sekarang beritahu aku mengenai gosip itu. Mood ku sedang jelek, kau tidak ingin ku jadikan samsak-kan?”

Postur tubuhnya berubah, aku yakin ancamanku tadi berhasil. Dia menatapku. Ada binar ragu juga kasihan yang kentara dari matanya. “Ya, seperti yang kuberitahu tadi dan kau pun membenarkannya juga, kalau kau itu pernah jalan bersama pak tua yang sebenarnya adalah pak Joshua, ayahnya pak Jonathan.”

“Tunggu… tunggu dari mana kau tahu kalau itu adalah pak Joshua, ayahnya pak Jonathan? Belum tentu kan orang yang bersamaku jalan itu adalah beliau…”

“Maka dari itu Za, aku ingin mendengar sendiri dari mulutmu, kalau yang mereka katakan itu adalah salah. Dia bukan pak Joshua, kan?”

“Memang kalau itu adalah pak Joshua, kenapa?”

“Jadi pak Tua itu benar-benar pak Joshua, ayahnya pak Jonathan?”

Aku menatapnya sejenak, lalu menghembuskan nafas. “Katakan gossip apa yang sebenarnya sudah tersebar? Dan kenapa mereka memperlakukanku berbeda?” Tanyaku jengah. Sebenarnya gossip apa yang sudah beredar hingga mereka mendeskriminasi ku. Seolah aku adalah virus yang harus dibasmi.
“Kau tahukan di sini? Kehidupan saat SMA kita dan sekarang sudah berbeda. Masyarakat dan karyawan di sini lebih cenderung mempercayai keburukan seseorang yang baru di lingkungan mereka dari pada mencari tahunya sendiri. Tetapi aku sudah mengenalmu sejak SMA dan aku percaya padamu. Kau tidak mungkin melakukan hal itu─”

Aku menghembuskan nafas jengah, “Januar…” Ucapku penuh penekanan.

“Ish… iya… iya… tapi jawab dulu, orang itu pak Joshua atau bukan?”

Aku tidak menjawab hanya melihatnya. “Jadi itu benar, yah Za? Tanyanya. Namun aku sama sekali tak menjawabnya. Aku hanya diam sambil menatapnya. “Kau tahu kan betapa susahnya orang-orang ingin mendekati pak Joshua, dan kau malah mendapatkan kesempatan itu. Dan karena itu pula gosip jika kau tengah mencari muka di depan pak Joshua agar membantumu menjadi menantunya beredar.” Ucapnya cepat.

“Tapi aku percaya padamu, kok. Kita ini sudah lama mengenal, kau teman SMA ku dulu, dan sifat mu yang terlalu kentara tidak mungkin berubah cepat. Kau itu acuh, bagaimana bisa kau mencari perhatian dari pak Joshua, iya kan?”

Aku menghela nafas. Jadi selama ini mereka terlihat membenciku karena gosip murahan itu. Memang siapa juga yang ingin mencari perhatian pak Joshua. Tidak mencari pun aku sudah mendapatkannya, dia kan mertuaku, jadi wajar jika kami dekat.

“Terima kasih Januar, tapi aku harus segera pergi. Kita lanjutkan saat istirahat makan siang.” Ucapku kemudian melanjutkan langkahku yang tadi sempat terhenti.

....

TBC

a/n : Lagi cari waktu buat lanjutkan. Jadi untuk kelanjutannya, bersabarlah... hehehe...
See U next chapter
Mickey 15.07.2016

Next : BAGIAN 10



Share:

Tuesday, August 2, 2016

My Secret Feeling 8

BACA : BAGIAN 7
MY SECRET WEDDING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.
.
.
.
BAGIAN 8

Malam lenyap digantikan oleh sang mentari yang terbit dari belahan dunia lain untuk menyinari tempatku. Ku lihat cahaya perlahan muncul dari garis horison menampakkan sinar jingga yang berpadu dengan sisa-sisa warna yang ditinggalkan malam. Itu sangat mengagumkan. Aku tidak akan pernah bosan untuk menyaksikan pemandangan itu tiap pagi. Andai suamiku bersamaku di pagi ini pasti akan lebih membahagiakan lagi.

Kembali pada rutinitasku sebagai seorang istri, memasak dan menyediakan keperluan suamiku. Makanan sudah ku siapkan di atas meja, sekarang air mandi dan baju yang akan dia gunakan untuk ke kantor.
Hari ini dia memang masuk lebih pagi karena ada pertemuan dengan para direksi juga presentasinya untuk proyek baru.

Aku memasuki kamarnya dan dia masih terlelap dalam mimpi, entah apa yang sedang dia mimpikan sekarang hingga bibirnya sedikit melengkung ke atas. Andai dia memperlihatkan raut itu tiap hari, tidak hanya aku yang akan merasakan keterpesonaan terhadapnya bahkan seluruh karyawan perusahaannya atau pun wanita di luar perusahaan juga akan merasakannya.

Ku alihkan sedikit pandanganku pada wajahnya dan sekarang yang kudapati malah membuat pipiku merona. Ternyata dia tidur dalam keadaan topless dan hanya menggunakan celana selutut dengan selimut yang tidak semua menutupi bagian tubuhnya.

Otot kekar yang dia miliki hasil olahraga gym-nya pasti akan membuat tubuhku menghangat walau tanpa selimut atau malah akan membuatku berkeringat dan tidak bisa tidur sepanjang malam dengan gerakan-gerakan ero─ Ah...sial, apa yang kupikirkan? Bisa-bisanya aku malah berpikir mesum saat ini. Tapi tak bisa di pungkiri jika dia memang memiliki pesona sang Adonis yang akan membuat banyak wanita menyerahkan dirinya dengan sukarela ke dalam pelukan suamiku itu.

Aku menggeleng kemudian menghela nafas, tidak seharusnya aku memikirkan hal-hal mesum saat ini. Aku harus bergegas agar dia tidak terlambat dan aku juga bisa joging pagi ini.

Setelah semuanya beres, aku menepikan gorden agar sinar matahari bisa masuk ke dalam kamar suamiku. Dia sedikit menggeliat ketika sebagian sinar matahari menerpa wajah tampannya.

“Jo, bangunlah!” Aku menggoyangkan bahunya dengan pelan.

Dia menggeliat pelan. Bola mata di balik kelopak matanya bergoyang. Tidak lama, perlahan keduanya membuka dan menampakkan bola mata hitam yang mampu menarikku ke dalam lingkaran hitam yang tak berdasar namun menangkan di saat yang bersamaan.

“Jam berapa sekarang?” Tanyanya dengan suara serak. Suara yang mampu membuatku bergidik dan membangunkan sesuatu dalam diriku. Kurasakan sesuatu meluncur dari pangkal pahaku dan membuat dalamanku jadi lembab. Ya, Tuhan hanya dengan suara bangun tidurnya saja aku bisa begini bagaimana jika mimpiku tempo hari jadi kenyataan?

Ah...sial kenapa aku malah berfikir mesum. Tuhan kumohon kuatkan aku menghadapi godaan dari pesona suamiku.

Aku sedikit tersenyum lalu menanggapi pertanyaannya, “Kurang 15 menit jam 6. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandimu dan pakaianmu di sandaran sofa, juga sarapan pagi. Kalau begitu aku keluar dulu.”

Dia sedikit menyerngit ketika mendengar penuturanku, ada apa dengan rautnya itu?

“Kau mau joging?” Tanyanya.

Aku mengangguk dan memperlihatkan penampilanku. “Aku memang mau jogging, tapi aku sudah menyiapkan keperluanmu.” Walau aku yakin kamu tidak akan memakan sarapan pagi yang sudah kubuatkan. Lanjutku dalam hati.

Dia tidak lagi menanggapi dan turun dari ranjang untuk ke kamar mandi. Dan pemandangan itu benar-benar membuatku harus menahan nafas. Penampilan berantakan khas baru bangun tidurnya bahkan terlihat sangat seksi di mataku, badannya yang kekar dengan otot-otot yang menempel sempurna ditubuhnya, tatanan rambut yang berantakan juga mata sayu dan ditambah dengan gundukan d balik celananya. Astaga aku harus segera keluar dari pemandangan indah ini.

“Ka...kalau begitu aku pergi...” Dengan langkah seribu, aku bergegas keluar dari kamar suamiku. Aku memegang dada ketika sudah berada di luar kamar menenangkan jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya bahkan kalah cepat dari sehabis latihan.

....

Seperti biasa, aku hanya memutari taman yang berada di dekat kompleks rumah kami. Tiga putaran sepertinya sudah cukup, lagipula aku juga harus berangkat kerja. Aku kembali berlari menuju rumah namun ketika berada di jalan menuju kompleks rumah aku bertemu dengan Bagas, pria yang kemarin kutemui. Dia juga suka jogging di sekitar sini.

“Hei.” Sapaku padanya.

Dia tampak terkejut namun dengan pintar dia cepat mengubah rautnya. “Oh, Zahya. Kau sudah selesai?”

Aku mengangguk dan tersenyum mengiyakan pertanyaannya. “Aku harus kerja. Kalau begitu aku duluan─”

“Eh... kita sama-sama saja. Aku juga sudah selesai.”

“Baiklah.”

Kami berjalan bersama, tidak santai juga tidak berlari. Hanya berjalan agak cepat tetapi tidak terkesan terburu-buru, sambil menikmati udara pagi yang segar dan mendinginkan badan akibat kerigat yang mengucur banyak sehabis jogging.

Tidak sampai 20 menit aku sudah sampai di depan pagar. Aku berpamitan dengan Bagas dan memasuki rumah. Bertepatan dengan itu suamiku juga baru akan keluar dari rumah. Wangi parfumnya menguar dan masuk ke dalam indra penciumanku. Berbeda sekali dengan bau tubuhku yang agaknya berbau.

Aku tersenyum sendiri. Ini adalah salah satu dari pemandangan yang paling aku sukai. Melihat suamiku dengan tampilan seperti ini di pagi hari. Aku selalu membayangkan ketika aku dengan dirinya seperti pasangan suami-istri yang lain. Ada sapaan ketika bertemu, tatapan kasih yang selalu dia berikan, dan kecupan sebagai tanda sayangnya. Entah kapan akan terealisasi. Aku akan lebih berusaha.

“Semoga sukses.” Gumamku ketika dia baru mau menaiki mobilnya.

“Hn.”

Langkahku terhenti ketika mendengar sahutannya. Ku kira tadi hanya aku dan udara di sekitarku saja yang mendengar gumamanku, ternyata udara di sekitarku memberitahunya tapi aku senang. Aku sedikit terenyum dan bergegas masuk ke dalam rumah sebelum ketahuan tengah kegirangan karena sahutannya.

“Terima kasih.”

Di balik pintu aku seperti mendengar ucapan Jo. Entah itu hanya kata-kata yang terucap di dalam kepalaku saking inginnya mendapat balasan atau memang itu benar-benar keluar dari mulutnya.

Aku berjingkrat-jingkrat kegirangan seperti orang yang baru saja mendapatkan hadiah lotre yang bernila miliyaran. Oh, astaga. Hanya dengan balasan seperti itu saja sudah membuatku seperti ini bagaimana jika menyahuti hatiku. Hatiku yang selalu menyatakan jika aku mencintainya?

CEKLEK

Aku tersentak ketika pintu rumah terbuka dan menampilkan wajahnya yang tengah keheranan melihatku berjingkrat. Kakiku sedikit sakit karena mendarat tidak sempurna di lantai.

“Ow...maaf, aku...aku─ apa kau ketinggalan sesuatu?” Tanyaku, semoga saja dia tidak curiga dengan apa yang sedang kulakukan barusan.

“Hn.”

“Oh...” Aduh kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini? “Ka...kalau begitu silahkan.” Kataku sambil memiringkan tubuh, mempersilahkan dia untuk lewat.

Dia melenggang meninggalkanku. Kakiku masih berdenyut sakit jadi tidak bisa langsung berjalan.

Ku lihat dia berhenti sebelum naik ke tangga menuju kamarnya. Dia berbalik menatapku, memperhatikan penampilanku lalu turun menuju kakiku yang sedang ku elus. “Apa kau terluka?” Tanyanya tanpa ekspresi.

Sejenak aku tersentak dengan pertanyaannya itu. Pertanyaan yang menandakan bahwa dia sedikit khawatir dengan keadaanku. Mungkinkah?

“Ah... hanya terkilir sedikit. Kau tidak usah khawatir?”

“Hn.” Gumamnya lalu kembali melanjutkan tujuannya. Namun sekilas tadi sepertinya aku melihat raut khawatir yang dia tunjukkan untukku. Tapi benarkah? Rasanya tidak mungkin dia seperti itu. Dia adalah manusia es berhati beku walau kadang sedikit hangat tetapi dinginlah yang lebih mendominasi.

...

Well, seperti biasa kantor adalah tempat tersibuk dalam keseharianku terlebih dengan rekan-rekan kerja yang memiliki sifat kekanakan. Bos bahkan melakukan intimidasi padaku dengan kerjaan-kerjaan yang terus dilimpahkan padaku.

Aku heran dengan sistem penerimaan kerja di kantor ini. Bagaimana bisa rekan satu divisiku bisa diterima di kantor ini dengan kinerja seperti ini terlebih dengan bosku sendiri. Bagaimana kerja otaknya itu? Dasar sial.

Dan satu hal lagi, apakah Jo tidak pernah memeriksa laporan bulanan yang diberikan padanya. Oh aku lupa jika hampir tiap bulan akulah yang sering mengerjakan laporan itu. Maksudku apakah Jo tidak pernah memperhatikan bagaimana para bawahannya bekerja?
Loh, kenapa malah aku menyalahkan Jo?

Tidak. Ini bukanlah salahnya. Kesalahan ini dikarenakan oleh para bawahan Jo yang tidak becus menjalankan tugasnya hingga akulah yang mendapatkan kesialan ini.

“Zahya, keruanganku segera.”

“Baik pak.” Desahku. Kapan aku bisa santai jika berada di kantor?

“Kau masih punya salinan untuk laporan bulan kemarinkan?” Aku mengangguk, malas menjawab pertanyaannya. “Kalau begitu, kau bawakan pada pak Jonathan.” Lanjutnya. Ku pikir dia sadar jika aku masih marah dengan perlakuannya yang seenak jidatnya.

Aku masih memandangnya dengan pandangan datar, tidak menyahuti ataupun bertanya bahkan tidak juga mengiyakan pertanyaannya.

“Kalau begitu kau boleh keluar sekarang.”

Aku bangkit berdiri dan memandangnya tidak suka. “Baik. Saya permisi.” Ucapku sebagai formalitas dan bukan sebagai bentuk penghormatan padanya.

Setibanya di depan ruang suamiku, tidak ku temukan asistennya yang biasa menyembut tamu. Aku pun mngambil inisiatif sendiri untuk memasuki ruangan itu, tetapi gerakan tanganku terhenti saat pintu tersebut sudah terbuka. Mataku seperti ingin mengeluarkan air matanya. Sakit, sakit sekali ketika melihat pemandangan itu.

Dia bersama seorang wanita
.
.
.
TBC
sampai di sini dulu. kuharap kalian suka ^,^
Mickey 02.08.16


Next : BAGIAN 9
Share:

Tuesday, July 26, 2016

My Secret Feeling 7

BACA : BAGIAN 6
MY SECRET WEDDING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
WARNING: typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?


.
.
.
.

.
.
.

BAGIAN 7

Aku semakin gelisah menunggu kedatangan istriku. Aku tidak bisa tenang jika dia tidak segera ku lihat, tapi jika aku menyusulnya, kami tidak mungkin akan berpapasan dan lagi jika kami bertemu, alasan apa yang harus aku berikan padanya. Lagipula kenapa dia tidak sekali pun mengabariku jika dia akan terlambat pulang.

Hingga berselang satu jam terdengar suara mobil di depan pagar rumah. Sebuah taksi berhenti dan membuka menampilkan istriku yang sedari ku tunggu dengan cemas.

Dia masuk ke rumah, berjalan dengan langkah pelan sambil pandangannya menyusuri keadaan rumah karena gelap. Namun lama kuperhatikan, langkahnya malah seperti seorang pencuri yang ingin mencuri. Dia berjalan mengendap-endap berusaha tak menimbulkan bunyi pada tiap langkahnya.

Lampu dengan tiba-tiba kunyalakan dan tentu saja membuatnya terkejut dan hampir saja memekik namun cepat-cepat dia tahan.

"Dari mana saja kau, jam segini baru pulang?" tanyaku. Tatapanku dingin menatapnya. Jujur aku tidak ingin melakukan ini padanya, namun rasa khawatir yang kurasakan tidak bisa mengkompromi hal itu.

"Maaf, aku ketiduran di tempat latihan." Ucapnya sambil menunduk.

Aku menyerngit. Mungkinkah aku salah dengar dengan ucapannya barusan? Lagipula apa yang membuat dia sampai ketiduran di sana hingga jam segini? Segitu banyakkah pekerjaannya di kantor?

Namun tak ada suara yang bisa kuucapkan. Aku terlalu marah padanya.

Merasa tak ada lagi yang akan ku ucapkan, dia kembali melanjutkan langkah kakinya namun bukan kamar yang dia tuju melainkan dapur. Setelahnya dia kembali ke kamar namun dia keluar lagi. Aku hanya meliriknya dari tempat ku nonton dan sampai beberapa menit dia tak juga kembali.

Aku juga menyusulnya ke dapur dan berpura-pura untuk mengambil air mineral. "Kau sudah makan, Jo?" tanyanya saat dia melihatku menatap mie instan yang dia bawa.

Mungkin inilah kesempatanku untuk bisa berada dekat dengannya. Aku tidak menjawab dan mendudukkan bokongku pada kursi.

"Apa kau mau makan mie instan, Jo?"

Aku tidak menjawab. Pikiranku masih sibuk mencari cara untuk bisa semakin dekat dengannya, topik apa yang bisa kugunakan untuk menarik minatnya agar kami terlibat dalam suatu obrolan dan mungkin juga bisa saling terbuka.

Namun, bahkan setelah mie instan itu selesai dan sudah terhidang di hadapanku, tak ada satu pun ide yang terlintas dalam benak, otak encerku sangat sulit mencari solusi. Topik yang bahkan seharusnya dengan mudah ku dapatkan pergi meninggalkanku hingga menciptakan kesunyian.

Kami makan dalam diam. Aku tidak tahu kata apa yang baik untuk memulai obrolan dengannya. Semua kata yang berada di kepalaku entah sembunyi di mana dan membuatku seperti orang bisu yang hanya bisa menikmati mie instant itu.

Sangat miris, bukan?

Aku jadi ingin menjadi Bill konyol, yang tidak segan-segan menyalurkan apa yang ada di kepalanya dan membuat suasana jadi hangat, atau Rei si pemalas namun kadang kala bijak dan bisa membuka topik yang bisa membawa lawan bicaranya dalam obrolan santai. Atau juga Max. Dia juga tak akan segan-segan menyalurkan apa yang ada dikepalanya, walau terkadang tidak terkontrol dan malah menyebabkan lawan bicaranya biasa salah sangka dengannya. Tapi sepertinya menjadi Max bukan pilihan yang baik.

Sampai ketika makananku habis dan Zahya sudah membereskan piring-piring kotor, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku benar-benar merasa kesal pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku bisa semakin dengan istriku jika berada di dekatnya saja buat diriku tidak bisa berfikir dan tidak ada yang bisa ku lakukan untuk mengubah suasana itu.

END Jo POV

TBC

sorry kependekan

See U
Mickey 26.07.16
NEXT: BAGIAN 8
Share:

Sunday, July 24, 2016

My Secret Feeling 6

BACA : BAGIAN 5

Jika kau ingin dekat dengannya, kau juga harus terbuka. Jujur dan menerima itulah yang harus kau lakukan.

MY SECRET FEELING © mickey miki
Rate: M
Genre: Romance & drama
Story by
Mickey_Miki
.
.
.
.
SUMMARY

Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
Apakah dalam sebuah perjodohan akan menghasilkan sebuah cinta?
Walau awalnya tak saling mengenal dan memulainya bukan dengan tak saling mencintai?
Bisakah?
.
.
.
.

.
.
.


BAGIAN 6

“Jika kau ingin dekat dengannya, kau juga harus terbuka. Jujur dan menerima itulah yang harus kau lakukan.”

Kata-kata Lena terngiang di kepalaku. Aku memang harus jujur jika ingin lebih dekat dengan istriku, tetapi haruskah secepat ini membongkar rahasia kami? Padahal aku sendiri yang melarangnya untuk tidak memberitahukan kepada siapapun.

“Aku tidak bisa, Bill.” Sahutku. Mereka menatapku heran.

“Kenapa kau pelit sekali? Lagipula dia hanyalah karyawanmu. Apa susahnya, sih?

“Tentu saja aku tidak bisa, Bill karena dia....”

“Dia? Dia kenapa?” Sahut Max dengan satu alis yang terangkat.
Aku menghela nafas. Ini memang harus kulakukan untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi di kemudian hari. “Karena...karena dia... Istriku Bill.”

Dan penjelasanku itu sukses membuat mereka terbelalak tak percaya. Meski dengan susah payah, alhasil kalimat itu akhirnya terlontar juga. Aku bernafas lega. Akhirnya dua kata yang selama ini selalu ku tekan karena egoismeku, kini meluncur tanpa beban. Aku tidak akan lagi peduli dengan tanggapan mereka, yang terpenting mereka sudah mengetahui bahwa Zahya, perempuan yang membuat mereka tertarik itu adalah istriku.

“Kau bercandakan Jo? Kau mana mungkin sudah menikah. Bukankah kau bilang akan menikah saat usiamu sudah menginjak kepala tiga? Memang sekarang usiamu berapa? Tiga puluhan?” Pertanyaan yang diselingi dengan nada bercanda itu tak ku hiraukan. Memang dulu aku pernah berkata seperti itu, tetapi waktu membawa sebuah perubahan pada seseorang, aku berubah pikiran setelah bertemu dengan dia. Bagiku dia adalah perempuan unik yang sangat langka bahkan hanya ada satu di dunia ini. Aku tidak mungkin membuang kesempatan untuk memilikinya.

“Aku tidak bercanda, Max. Aku serius. Kami menikah delapan bulan lalu dan hanya mengundang tamu dari keluarga besar saja.” Jelasku dan sukses membuat mereka kembali terbelalak.

“Wow... Apa ini sebuah kejutan?” Tanya Bill tidak percaya namun terselip nada candaan di dalamnya.

“Bill, aku benar-benar serius. Apa aku pernah berbohong pada kalian?”

“Tidak ku sangka. Dan kenapa tak ada undangan yang kami dapatkan?”

“Maaf. Bahkan diperusahaanku sendiri tak ada yang tahu siapa istriku atau mungkin mereka tidak tahu jika aku sudah memiliki seorang istri.”

“Dan kenapa tak ada satupun karyawanmu yang tahu?” Billi semakin bersikeras bertanya. Aku sendiri yang menyuruh istriku untuk tak memberitahu siapapun jika kami sudah menikah dan alasannya pun hanya untuk melindunginya dari saingan bisnisku yang perusahaannya sudah ku singkirkan dan kebanyakan memang jatuh bangkrut. Tapi entahlah, ada hal lain yang aku sendiri tak tahu mengapa aku lakukan itu.

“Untuk melindunginya.” Sahutku tak yakin dan kurasa mereka menyadari nada bicaraku itu.

Bill menghela nafas lalu menatapku. Aku tahu dia kurang yakin dengan penuturanku itu, “Kau─”

“Kau bahkan tidak yakin dengan alasanmu itu.” Max memotong ucapan Bill dan perkataannya itu sangatlah benar.

“Entahlah. Aku juga tidak tahu pasti.” Sahutku.

“Kau pasti mencintainya? Melihat sikapmu ini, aku yakin kau sangat mencintainya. Tapi dengan sikapmu yang seperti ini, aku yakin dia tidak tahu dengan perasaanmu itu, menilik dengan sifatmu selama ini─ well, kurasa tidak jauh berubah dari yang dulu─ dan kau tahu, tidak hanya kami saja yang berniat ingin mendekatinya, banyak juga laki-laki lain, pasti banyak yang berlomba untuk mendapatkan dia. Bahkan aku yakin jika dia menemukan seseorang yang cocok dengannya, dia pasti akan membuka diri pada mereka dan kemungkinan akan meninggalkanmu.” Timpal Bill.

Kata-kata itu seperti palu godam yang mengenai kepalaku dan menyadarkanku tentang semua sikap salah yang selama ini kulakukan terhadap istriku. Mereka benar, jika sikapku seperti ini terus, istriku pasti akan menyerah dan membuka diri pada pria lain lalu aku pasti akan dia tinggalkan.

Tidak. Aku tidak mau. Aku sangat mencintainya, walau istriku itu tidak mengetahuinya. Aku tidak ingin dia pergi dariku, aku tidak ingin melepaskannya dan berbahagia dengan laki-laki lain selain aku.
Sudah cukup penantianku selama beberapa tahun untuk mendapatkannya, sampai-sampai aku merendahkan harga diriku pada ayah untuk menjodohkanku dengan istriku itu. Aku tidak mau sampai itu terjadi. Aku pasti akan gila jika tanpanya.

Bill, menepuk pundakku, “Kau pasti bisa.” Katanya lalu melirik Max yang tengah memperhatikan kami. “Kami yakin kau pasti bisa. Dan─ well, waktu kami sudah habis. Kami harus segera kembali, beberapa client tengah menunggu kami. Kau tahu, kami sangat sibuk.” Lanjutnya sambil memberiku semangat lewat senyumnya.

“Thanks.” Sahutku tulus.

....

Ponsel di saku celanaku begetar. Pekerjaan yang sedari tadi kukerjakan dengan terpaksa ku akhiri untuk menjawab panggilan ini. Bill. Ternyata dialah yang sedang menghubungiku. Oh, sudah bisa ditebak apa yang ingin dia katakan. Pasti ajakan party sama seperti ketika di Harvard dulu.

Dengan malas aku mengangkatnya. Aku tidak mau ponselku bergetar terus dan terus menggangguku. Bill adalah orang yang pantang menyerah dan akan melakukan apapun untuk membuatku menuruti apa yang dia inginkan.

“Hn. Apa yang kau inginkan Bill?” sahutku sebelum dia mengatakan maksudnya.

“Hehehe... Party pelepasan status bujang. Kami tunggu di Stocholm. Ada Rei juga.”

“Aku ta─”

Ah sial. Kebiasaannya tidak berubah. Padahal aku ingin cepat pulang untuk melihat istriku dan juga agar aku tidak melihatnya berpura-pura menonton tv karena menungguku. Well, walau bagaimana pun dia berbohong aku pasti tahu.

Dia terlalu mudah untuk ditebak. Terlalu polos untuk berbohong seperti anak-anak yang baru belajar bebohong. Tapi aku juga sangat menyukai ekpresinya ketika berbohong, bibirnya terlihat seksi ketika tanpa sengaja dia gigit karena berbohong seolah mengundangku untuk mencicipinya. Dan juga wajah yang seperti anak anjing yang ingin dibelai oleh majikannya. Aku benar-benar rindu padanya.

Kira-kira apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sedang memikirkanku? Oh, ku harap begitu. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi menggemaskannya ketika membayangkanku, bibirnya yang melengkung ke atas dan membuat matanya menyipit sambil membayangkan diriku─ Ah...andai itu memang terjadi.

Tapi sayang, sepertinya hanya aku saja yang selalu memikirkan hal itu. Memikirkan dia dalam tiap kegiatanku, istirahat ataupun bekerja karena dengan memikirkannya membuatku lebih bersemangat untuk menyelesaikan semuanya.

Mencintai tak berarti memiliki. Bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia namun bukan karena diri kita tetapi dengan orang lain. Kata-kata yang benar-benar menggelikan sampai membuatku bergidik. Aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku adalah orang yang egois, apapun akan kulakukan untuk mendapatkan apa yang kumau termasuk hati dan cinta dari wanita yang kuinginkan.

Tapi gara-gara Bill, aku tidak bisa melihat raut bahagia istriku ketika melihatku pulang.

Dalam perjalanan menuju klub tak henti-hentinya aku memikirkan istriku. Seperti ketika istirahat makan siang. Entah karena apa dia langsung meninggalkan kafe ketika melihatku yang baru datang di sana padahal ku tahu waktu istirahat makan siangnya pun masih tersisa banyak. Apakah dia memang tidak menyukaiku dan tidak ingin melihatku yang masuk ke dalam sana dan menjadi pusat perhatian hingga membuatnya terganggu untuk melanjutkan makannya atau dia cemburu pada Lena. Oh andai pilihan kedua memang benar. Aku pasti sangat bahagia, karena jika begitu berarti perasaanku bukanlah cinta sebelah pihak saja.

Mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah klub malam ternama di kotaku. Klub malam yang hanya bisa dimasuki oleh kaum yang memiliki tingkat keuangan di atas rata-rata. Tentu saja karena klub malam ini tidak hanya memiliki desain interior mengagumkan, minuman-minuman yang berkelas juga pelayanan seperti tamu VVIP. Well, itu adalah penjelasan dari Bill dan memang terkesan sangat berlebihan. Ini adalah kali pertama aku memasuki klub malam setelah beberapa tahun lulus dari Harvard. Jadi jika ditanya soal klub-klub malam yang terdapat di kotaku maka jawabanku adalah tidak tahu apa-apa.

Dua petugas keamanan sudah bersiap di depan pintu masuk klub. Tubuh mereka lebih kekar dari tubuhku, otot-ototnya tercetak jelas di balik kaos hitam yang mereka gunakan bahkan wajah mereka pun tak menunjukkan adanya keramahan.

“Maaf, tolong kartu pengenal Anda!” Ucap salah satu petugas itu sambil menahan langkahku yang ingin memasuki klub malam ini.

Tak ingin membuat masalah, aku segera menyerahkan kartu nama pada petugas itu. Aku tahu ini adalah prosedur karena klub ini sangat terkenal jadi cara masuknya juga ketat─walau aku tidak suka.

Tidak lama kemudian petugas itu membiarkanku lewat. Suara dentuman alat musik elektro memasuki indra pendengaranku dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Bukan tidak nyaman pada musiknya tetapi pada tatapan liar dari wanita-wanita di dalam klub yang akan ku dapatkan.

Aku semakin mengedarkan pandanganku ketika tak menemukan ciri-ciri dari ketiga temanku itu. Entah dimana keberadaan mereka di antara kerumunan orang-orang liar di sini. Ponselku bergetar, Bill yang tengah menghubungiku saat ini.

“Aku berada di depan meja bar untuk menemui temanku. Kalau mereka berdua ada di lantai dua, ruang khusus tamu VIP. Tanya saja pada penjaga di sana ruang tempatku berada. Mereka akan mengerti.” Katanya sebelum mematikan hubungan.

Laki-laki itu memang tak berubah. Tetap saja bodoh, jika aku tidak memasang kupingku baik-baik di tengah dentuman musik klub ini aku mungkin tak akan mendengar apa yang dia katakan.

Tapi tetap saja aku yang lebih bodoh karena mau menuruti apa yang dia inginkan.

Setelah melalui beberapa rintangan yang dibuat oleh wanita-wanita liar yang ada di dalam klub ini, aku berhasil menemukan ruang yang dimaksud Bill. Sesuai dengan namanya, ruangan ini memang diperuntukan oleh mereka yang ber-uang banyak. Ruangan ini sangat berbeda dengan ruang VIP ataupun VVIP yang berada di klub-klub yang pernah kukunjungi. Tidak hanya dekorasi ataupun interior yang dipadukan dengan seni-seni design lain, tetapi kenyamanan yang disuguhkan dalam ruangan ini memang sangat baik. Oh, jangan lupakan jika lantai ruangan ini terhubung dengan lantai 1 dance floor, hingga orang-orang di bawah sana bisa terlihat namun tidak dengan mereka. Lantai 2 ini memang nampak seperti riben namun dengan desain yang lebih elegan, berkelas namun liar.

Dasar, sialan si Bill itu, bisa-bisanya dia menemukan tempat sebagus ini.
Rei dan Max masih tetap seperti dulu. Mereka bahkan sangat tidak terlihat seperti seorang eksekutive muda. Mereka malah lebih nampak seperti bad boy kurang kerjaan dan pemalas.

“Lama sekali kau. Kami sudah hampir satu jam menunggumu─” Rei dengan gaya malas-malasannya sambil menyesap minuman perpaduan warna kuning dan hijau yang tampak bening, “Padahal ini adalah pesta pelepasan bujangmu.”

“Hn. Sudah terlambat. Aku menikah sudah hampir setahun.”

“Terserahlah.” Max menyahuti perkataanku. Ekspresinya masih tetap sama. Datar walau dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

Pesta perpisahan bujang yang mereka sebutkan, tidak lama kuikuti. Pesta yang kupukir akan berakhir dengan mabuk-mabukan dan ditemani oleh wanita asing diranjang hotel untuk semalam, sama seperti ketika masih bersekolah dulu. Well, tidak. Terima kasih. Aku sudah memiliki seorang istri yang amat sangat kucintai dan walau tak pernah ku sentuh sedikit pun.

Jam pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka sembilan lebih, rekor pertama untukku karena bisa pulang tak lebih dari satu jam dari sana dan tanpa banyak alkohol yang mengisi lambungku.

Aku sedikit tersenyum ketika mengingat kelakuan dari sahabat pirangku itu sebelum beranjak dari sana. Tak pernah berubah dengan kekonyolan yang dia lakukan. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan seorang lelaki dengan penampilan seperti wanita dengan tubuh seksi yang dia bawa ke hadapan kami. Entah dia sadar atau tidak. Dia semakin bersemangat memamerkannya, menyuruhnya menari strips di depan kami dengan gaya yang begitu menggoda bahkan pada payudara sintesisnya yang nampak nyata.

Aku yakin baik Rei maupun Max menyadari itu, namun tidak dengan Bill, yang terlihat semakin tergoda dengan gaya lelaki itu. Bahkan dia hampir menciumnya kalau saja Max tidak memberitahu tentang kelamin asli dari laki-laki itu. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan ekpresi terkejut juga menjijikkan yang dia tampakkan. Pekikannya bak seorang wanita yang mengetahui bahwa dirinya tengah diintip ketika mandi. Itu benar-benar sangat lucu dan untung saja Max sempat merekamnya.

Namun ada hal yang benar-benar menyadarkanku. Membawaku pada suatu kenyataan yang membuatku mungkin akan sangat menyesalinya jika kuteruskan. Percakapan kami sebelum Bill datang. Max dan Rei, seolah mereka juga telah mengalami sesuatu yang sama seperti yang terjadi padaku saat ini. Pergolakan batin karena terlamapu mencintai seseorang hingga membuatku melakukan perbuatan bodoh dan mungkin juga membuatnya semakin tidak nyaman terhadapku.
“Well, entahlah. Aku sendiri tak yakin. Aku memiliki masalah.” Akuku hingga membuat mereka mengentikan kegiatan yang mereka lakukan. Mereka menyerngit. Heran atau pun tidak percaya. Selama ini, kalaupun aku memiliki masalah, aku bisa dengan mudah menyelesaikannya. Namun tidak dengan masalah ini. Aku bahkan tak memiliki solusinya, semua perhitungan ataupun rencana yang sudah kebuat tak satupun bisa berhasil menyelesaikan masalahku.

“Masalah? Apa?” Max bertanya masih dengan keadaan heran. Minuman yang tadi ingin disesapnya ditaruh di atas meja dan beralih menatapku.

“Aku tidak yakin, apa aku boleh menceritakan ini dengan kalian. Well, kalian mungkin tidak pernah mengalami seperti yang kualami sekarang. Tapi... Aku benar-benar sudah tidak sanggup memendamnya.” Jelasku belum memberitahu masalahku.

Rei tampak tak suka dengan pernyataanku hingga memberikan delikan tajam padaku. “Kami tidak akan tahu masalahmu, dude kalau kau tidak memberitahukan. Well, kau pikir selama beberapa tahun ini apa yang kami lakukan? Kami tidaklah sama seperti beberapa tahun yang lalu saat masih berada di sekolah.” Jelasnya.

“Aku.. Aku tidak bisa melakukan kontak fisik dengannya. Maksudku bahkan hanya sekedar mengobrol pun aku tak sanggup. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku hingga seperti ini. Jelas-jelas aku ingin lebih dekat dengannya, bahkan aku sudah beberapa kali memiliki keseempatan itu. Tapi pada suatu tertentu aku jadi merasa ragu. Seakan-akan dia memiliki tembok penghalang di sekelilingnya. Sulit sekali bagiku untuk bisa mendekatinya. Dan...dan yang bisa kuucapkan hanya anggukan atau gumaman bahkan terkadang kata-kata yang sangat kasar ku berikan.”

Aku tidak tahu apakah ini sudah benar membeberkan masalahku pada mereka. Tapi aku benar-benar tak tahu lagi dengan apa yang harus kulakukan. Aku mempunyai masalah namun tak memiliki satu solusi untuk menyelesaikannya. Aku selalu mendapatkan jalan buntu jika menyangkut tentang istriku. Bahkan selalu membuat pikiranku selalu tak fokus.

“Hm... kupikir pernikahanmu ini hanyalah sebuah alasan yang dilakukan oleh orang tua kalian. Hubungan timbal-balik yang berkedok pernikahan. Tapi sepertinya pikiranku ini salah...” Rei menyahut. Dia menatapku dalam-dalam, seolah menyampaikan maksudnya lewat matanya dengan menatap matanya aku bisa mengerti dengan masalah yang tengah kuhadapi. Namun, nyatanya tak ada satu pun yang bisa kutangkap dari arti matanya itu. Akhirnya aku hanya diam, menunggu kata-kata yang akan dia jelaskan selanjutnya. “Sepertinya perasaanmu terhadapnya... lebih dalam daripada yang kupikirkan.”

“Well, kau benar. Aku sangat mencintainya. Bahkan sangat... sangat mencintainya. Sejujurnya akulah yang menyuruh ayahku untuk menjodohkan kami.” Akuku. Mereka menatapku terkejut karena pengakuanku.

“Tunggu... Jangan bilang kau tidak pernah menyentuh satu wanita pun karena gadis itu?” Aku hanya menatap Max tanpa mengatakan apapun, “Oh ya ampun. Jadi begitu. Ah... Dan kupikir kau adalah laki-laki bodoh yang bisa-bisanya tak mengakui dia sebagai istrimu padahal kau begitu mencintainya. Ingat apa yang kau katakan di kantormu waktu itu? Kurasa kau bukannya ingin melindunginya tetapi untuk alasan egois yang lain... Kau hanya ingin melindungi dirimu sendiri. Ah.. kau benar-benar bodoh. Kemana perginya otak encer yang biasa kau banggakan bahkan mendapat gelar cumlaude?” Dan perkataan Max itu membuatku meringis, seolah ada sesuatu yang ditancapkan ke relung hatiku hingga membuatku tak bisa berkata-kata.

Max benar, aku hanya ingin melindungi diriku. Tetapi dari apa? Aku sendiri tak yakin soal itu.

Kulihat Rei yang sedang menghela nafas, “Kupikir alasan yang tepat adalah karena kau takut. Kau takut orang yang kau sayangi akan meninggalkanmu lagi.” Aku hanya diam, mendengar kata-katanya, “Kau merasa dia lebih berharga dari pada siapapun juga. Itulah kenapa kau sangat susah untuk mendekati dia. Kau pernah diabaikan oleh seseorang yang sangat berharga bagimu dan sekarang hadir lagi orang lain yang seperti itu untukmu...”

“Anabel─”

“Yah, kau benar Max. Anabel adalah orang yang sangat disayangi oleh Jo. Kakak, sahabat, juga orang yang sangat memperhatikan Jo. Dia adalah wanita yang disayangi Jo dan sangat dia percayai, dan dia juga yang menjadi penyebab Jo seperti ini─”

“Apa maksudmu, Rei?” Max menatap Jo yang masih menatapku iba. Aku menunduk, tak ingin kenangan lama itu kembali hadir. Dan membuatku kembali terpuruk. “Ya Rei. Jo merasa ada kemungkinan dia akan ditinggalkan dan terluka lagi.”

“Egomu yang terluka, mencoba untuk mencegah secara insting. Semakin dalam perasaanmu padanya, ketakutanmu pun akan meningkat di waktu yang sama, Jo. Jadi semuanya terserah padamu. Apakah kau bisa mengatasi rasa takut itu dan bisa lebih dekat dengannya atau malah semakin membuat kalian jauh. Hanya ini saranku. Cobalah lebih fokus pada betapa besar rasa cintamu padanya, lebih dari rasa khawatirmu bahwa dia akan meninggalkanmu.” Lanjutnya. Setelah itu kembali menyesap minumannya yang sedari tadi dia abaikan.

“Rei, kau....”

“Kau akan semakin dekat dengan dia dan mungkin juga perasaanmu terbalaskan atau kau akan semakin jauh darinya dan dia malah membencimu. Pilihan ada padamu, Jo.”

Aku benar-benar tak menyangka, di balik penampilan urakan─tidak terlihat bahwa mereka adalah eksekutiv muda, pemilik perusahaan yang sangat berpengaruh di kota itu─ mereka bisa bersikap lebih dewasa, jauh lebih dari dirinya.

Well, mereka memang benar. Aku hanya orang egois, berusaha melindungi diriku sendiri dari sesuatu aku sendirilah yang buat. Egoku secara insting membangun tembok di antara aku dengan istriku, sehingga kami berdua secara perlahan semakin menjauh.

Mulai saat ini aku akan berusaha mengubah sikapku padanya─ ah, tidak. Tetapi aku harus berubah demi kami berdua.

Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai dikediaman kami berdua, rumah masih nampak gelap berbeda dari biasanya. Apa istriku sudah tidur dan tidak menungguku karena kelelahan?”

Tetapi pemikiran itu hilang manakala pintu yang seharusnya tidak terkunci malah terkunci. Aku mencari-carinya ke seluruh penjuru rumah karena tak menemukan sosoknya di ruang tengah tempat biasanya dia menonton sambil menungguku. Dapur, perpustakaan, kamar, bahkan kamar mandinya kosong, tak ada sosoknya di tempat-tempat itu. Dia tidak berada di rumah yang artinya dia belum pulang. Lalu bagaimana bisa? Jam kantor sudah selesai beberapa jam yang lalu. Apa dia pergi? Meninggalkanku karena tidak tahan dengan sikapku?

Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa jika dia meninggalkanku. Aku baru saja ingin berubah. Aku baru saja berbaikan dengan egoku dan ingin semakin dekat dengannya. Aku baru saja ingin menghancurkan tembok penghalang antara aku dan dia. Bagaimana bisa dia meninggalkanaku?
Apa dia sedang latihan? Tapi ini sudah larut malam. Kemana dia?

“Halo... Juan cari tahu dimana Zahya sekarang!!” Aku menghubungi asistenku untuk membantuku mencari istriku. Asisten yang memang sudah mengetahui apa yang terjadi padaku dan Zahya istriku.
Tidak sampai 15 menit panggilan dari Juan terdengar. Istriku ternyata masih berada di Dojo, tetapi dari info yang Juan berikan, di sana sudah tidak ada lagi yang latihan setelah larut seperti ini. Jadi apa yang terjadi padanya? Juan tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh Zahya karena Dojo itu memiliki petugas keamanan yang tidak memperbolehkan seseorang yang bukan anggota Dojo untuk masuk jika tak memiliki keperluan. Apa dia ketiduran?
.
.
.
.
.
.
TBC
See U
Mickey 24.07.16


Next : BAGIAN 7
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com