Fly with your imajination

Thursday, September 27, 2018

OUR PROMISE 2

Genre: Romance hurt, drama
NARUTO MASASHI KISHIMOTO 

WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
.
.
.
.
.
.

CHAPTER 2 : Setitik Harapan Di Balik Kesedihan


Bel berbunyi, tanda jika pergantian jam tengah berlangsung. Murid-murid yang tadinya berkeliaran, kini satu per satu memasuki kelasnya masing-masing. Terkecuali Hinata dan Naruto yang masih berada di dalam ruang UKS.

Dengan susah payah Hinata bangkit. Meski kepalanya terasa berdenyut, ia tetap berusaha menggapai kacamata yang diletakkan Naruto di tangannya. Ia berpura-pura meraba sesuatu di atas ranjang UKS demi mendapatkan kacamatanya.

Naruto yang melihat kegiatan Hinata dengan cepat mengerti dan tanggap. “Kau mencari kacamatamu, 'kan?" tanyanya. "Kau jangan khawatir. Ada padaku, kok. Tadi aku melepasnya karena kupikir kau tidak nyaman memakainya... tapi sebentar yah, aku membersihkannya dulu." kata Naruto kemudian mengambil kapas yang sudah dia beri air lalu perlahan membersihkan kotoran di kacamata Hinata. Ia kemudian mengeringkannya dengan tissue baru yang lebih kering. "Nah ini lebih baik. Biar kupasangkan." ucapnya kemudian setelahnya langsung memasangkan kacamata tersebut di wajah Hinata.

Hinata yang diperlakukan seperti itu oleh Naruto hanya bisa menunduk. Senang dan bahagia bercampur membuat sesuatu yang hangat mengaliri dadanya. “Te...terima kasih Naruto-kun.” bisiknya lirih disertai gugup. Hinata menyentuh kacamatanya untuk memberikan alasan karena ingatannya tentang ciuman yang diberikan Naruto tiba-tiba terlintas dalam benak. Wajahnya tiba-tiba merona tanpa bisa dia tahan.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"

Hinata tak sempat menikmati lamunannya ketika suara Naruto masuk ke dalam indra pendengarnya. Hinata mengangkat kepalanya guna melihat raut wajah Naruto yang terlihat enggan bertanya namun juga terlihat penasaran untuk mengungkapkan. "Silahkan..."

"Kau merasa nyaman dengan kaca mata itu? Kau tidak mau menggantinya dengan yang lebih kecil? Maksudku, kan banyak kacamata yang lebih kecil dan lebih bagus, kau tidak ingin menggantinya?"

Naruto tak berniat untuk menyinggung Hinata, ia hanya penasaran. Dan kalau Hinata bersedia, Naruto sangat bersedia untuk membelikannya. Asal ia bisa kembali melihat wajah Hinata yang lebih baik. Dan barangkali saja setelah gadis itu mengganti kacamatanya, ia tak akan lagi kena bully dan malah berganti jadi disanjung karena kecantikan yang dia miliki.

“Aku tidak bisa.”

Satu kening Naruto terangkat. Jawaban Hinata mengindikasikan kalau sebenarnya ia bisa, hanya saja karena alasan tertentu ia tak bisa.

"Kenapa?"

Hinata diam, tak menyahut. Gadis itu hanya menunduk dan tak mau menatap Naruto.

"Begitu yah? Padahal akan lebih baik kalau kau memakai kaca mata yang lebih kecil dan tidak menutupi sebagian dari wajahmu. Kan sayang wajahmu sangat cantik, tapi tertutupi oleh kaca mata itu.” tutur Naruto tak memperdulikan reaksi Hinata yang semakin menunduk dalam. Ia ingin memancing reaksi Hinata terutama pada ekspresi gadis itu.

Tapi sayang, Hinata tetap menunduk hingga Naruto tidak bisa menatap ekspresi gadis itu.

"Aku tetap tidak bisa." ungkap Hinata dengan suara yang kecil. Ia berusaha menenangkan degupan jantungnya yang berhasil menggila di dalam sana akibat perkataan Naruto barusan. "Kacamata ini sangat berharga dan aku tidak bisa melepaskannya."

Naruto mengangguk, namun tak menunjukkan ingin menyerah. "Tapi Hinata, mungkin saja mereka tidak akan mem-bully-mu lagi. Aku─"

“Meski begitu, aku tetap tak bisa.” Hinata memotongnya cepat. Ia mendongak hanya untuk memperlihatkan ekspresi kesungguhannya pada Naruto sekaligus ingin membungkam bibir pemuda itu agar tak lagi bersuara atau mengeluarkan pendapatnya yang mungkin saja akan membuatnya tergoda dan mempertimbangkan untuk melakukannya.

Melihat kesungghan Hinata, Naruto tak lagi bertanya. Ia menutup rapat kedua bibirnya untuk tak mengeluarkan sepatah kata yang bisa membuat Hinata tersinggung dan barangkali akan mengusirnya dari sana.

Sumber gambar : Pinterest
.
OoO

Koridor itu sudah sepi, tak ada seorang pun yang berani berlalu lalang di jam pelajaran seperti ini. Peraturan yang dibuat untuk para siswanya sangat ketat. Ada penjaga yang biasanya berkeliling dan jika terlihat satu siswa tanpa alasan sedang berkeliaran di sekitaran sekolah, maka penjaga sekolah tersebut akan memberikan hukuman tegas.

Sumber gambar : Pinterest

Adalah Guy-sensei yang menjadi pengawas. Guru itu tak akan segan-segan menyuruh mereka berlari memutari lapangan sampai seratus putaran tak peduli jika ia adalah perempuan. Hukum adalah muthlak di sekolah itu. Dan hukuman yang paling berat sekaligus yang murid-murid itu takuti adalah datang di saat jam sekolah belum masuk dan membersihkan seluruh sekolah atau memanggil orang tua mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, sepertinya hanya mereka berdua saja yang sangat berani melanggar peraturan tersebut. Naruto dan Hinata berjalan tanpa mau repot-repot peduli dengan guru Guy yang bisa sewaktu-waktu muncul di hadapan mereka. Mereka tidak peduli pada pandangan tiap-tiap murid yang tanpa sengaja melihat mereka dari dalam kelas, atau guru yang sedang mengajar.

Hinata hanya menunduk sementara Naruto malah berjalan dengan percaya diri. Kombinasi buruk, seperti Naruto adalah majikan sementara Hinata ada upik abu yang buruk rupa. Seperti itulah pikiran dari murid-murid yang iri pada Hinata.

Di tengah jalan menuju kelas, Naruto menghentikan langkahnya lalu menatap Hinata dengan alis yang tertaut dalam hingga menghasilkan kerutan di dahinya. Ia mengendus bau mereka. Tubuh bau kotoran yang menusuk. Tidak mungkin mereka mengikuti pelajaran dengan bau seperti itu. Bisa-bisa siswa-siswi kelasnya tidak akan berkonsentrasi. Lalu bukan tidak mungkin jika guru yang mengajar akan mengusir mereka bahkan akan menghukum mereka. Maka dari itu, ia kemudian membawa Hinata ke toilet perempuan di ruang olahraga mereka setelah mengambil pakaian olahraga Hinata di lokernya.

Naruto berdiri bersandar di balik pintu toilet dan menunggui Hinata yang sedang membersihkan tubuhnya. Beberapa menit berlalu, Naruto mendengar suara tapak sepatu dari beberapa orang. Tidak lama, ia melihat beberapa murid perempuan berseragam olahraga berjalan ke arahnya.

Tak ingin ditanya macam-macam, apalagi jika sampai mereka tahu kalau Hinata berada di dalam dan kembali berulah pada Hinata, tanpa berpikir lebih lama, Naruto segera memasuki toilet tempat Hinata membersihkan tubuhnya dan langsung membekap mulut Hinata yang tengah terkesiap bahkan hampir mengeluarkan suara pekikan karena ulahnya.

"Sssssttt... tenanglah, Hinata-chan. Aku tidak akan berbuat aneh-aneh. Di luar ada beberapa siswa yang sering mengganggumu. Jadi, kau harus tenang dan jangan bersuara, yah?!" bisiknya di sisi telinga kiri Hinata.

Hinata mengangguk paham. Tapi, pemahaman itu hanya berasal dari kepalanya saja, karena nyatanya bagian tubuhnya yang lain tidak sepaham sama sekali, terutama pada jantungnya. Sejak Naruto masuk hingga mendekapnya sampai sekarang, tidak sedetik pun jantungnya berdetak dengan normal. Apalagi, ketika deru nafas Naruto berhembus hingga sisi telinga kirinya. Posisi ini benar-benar sangat bahaya untuk kesehatan jantung Hinata.

Kreeek...

Naruto dan Hinata tersentak, jantung keduanya semakin berdebar kencang. Entah pengaruh dari suara gagang pintu yang ingin dibuka oleh siswi yang dimaksud Naruto, atau karena posisi mereka berdua yang terbilang sangat rawan.

"Tidak bisa dibuka." ujar siswi tersebut dari balik pintu.

"Mungkin pintunya rusak." salah satunya menyahut.

"Ck, seharusnya ada keterangannya, kan." dan yang lain tidak terima

"Ingat hanya lima belas menit, kalau tidak sensei akan menghukum kita." kata yang lain lagi.

"Ya sudah, lebih baik toilet yang lain saja. Tunggu mereka sampai keluar." kata suara yang pertama kali Hinata dan Naruto dengar.

"Lagian, tumben-tumbennya pintu toilet ini rusak dan tidak ada yang langsung perbaiki."

"Hello, ingat waktu kita yang sedikit? Kalian tidak mau dihukum, bukan? Jadi, tidak usah mengomel karena pintu ini, oke."

Hinata menghela nafas karena tidak ada lagi yang berusaha membuka pintu. Tetapi kemudian berubah panik beberapa detik setelahnya saat merasakan milik Naruto yang mengeras.

Naruto memberi kode lewat gerakan bibirnya, agar Hinata tetap tenang dan mengabaikan apa yang terjadi di bawah sana. Setelah ia tidak merasakan keberadaan para siswi itu di toilet, Naruto kemudian mundur selangkah dan berbalik lalu memberikan handuk pada Hinata.

“Terima kasih, Naruto-kun.” ujar Hinata dengan suara yang sangat kecil.

Naruto mengangguk singkat, meski ia sangat sulit berkonsentrasi pada keadaannya sekarang, ia tetap memfokuskan indra pendengarnya pada suara tapak kaki siswi-siswi itu.

Setelah dirasa sudah aman, perlahan Naruto membuka pintu toilet dan mengintip di celah-celah pintu untuk melihat suasana di luar toilet.

“Sudah aman Hinata, mereka sudah pergi. Aku akan menunggumu di luar. Cepatlah memakai baju agar kita bisa segera keluar dari sini!” titah naruto. Laki-laki itu tak ingin berlama-lama di dalam sana apalagi dengan kondisi Hinata yang terlalu menggoda. Bisa-bisa mereka akan absen lama dalam mata pelajaran, bahkan tak akan masuk sampai pergantian jam nanti. Waktu di UKS saja dia mencium Hinata yang sedang tertidur, apalagi sekarang yang keadaannya terlalu sayang untuk dilewatkan.

Sumber gambar : Pinterest

OoO

Mereka berdua sekarang tengah berjalan menuju ke kelas bersama. Setelah berada di depan pintu, baik Hinata maupun Naruto merasa ragu untuk masuk pasalnya mereka sudah terlambat lebih dari setengah waktu mata pelajaran itu.

Naruto kemudian memberanikan diri untuk masuk terlebih dahulu.

Naruto mengetuk pintu sebelum masuk. Murid-murid di dalam kelas melihat mereka termasuk dengan guru yang sedang menjelaskan materi.

“Ano... Sensei maaf kami terlambat! Apa boleh kami masuk?” tanya Naruto. Mereka berdua sekarang menjadi objek perhatian di kelas itu.

Sumber gambar : Pinterest

Hinata yang dipandangi oleh teman-teman kelasnya merasa risih. Berbeda dengan Naruto yang tampak tak peduli. Pandangan mereka seakan-akan ingin mengulitinya hidup-hidup. Hinata mengerti kenapa mereka memandanginya seperti itu. Ia yang notabenenya hanya seorang gadis berpenampilan jelek masuk ke kelas bersama dengan salah seorang pangeran mereka.

“Dari mana saja kalian? Kalian tahu, kan dari tadi sudah jam pelajaran berlangsung, kenapa kalian baru muncul? Dan lagi, ada apa dengan pakaianmu Hinata? Di mana seragammu? Kenapa kau memakai pakaian olah raga? Kau juga Naruto?” Tanya sensei mereka yang otomatis membuyarkan pikiran Hinata.

“Gomenasai sensei, tadi saya tidak sengaja menumpahkan minuman saya ke Hinata dan membuat baju Hinata kotor dan berbau, jadi saya menemani Hinata untuk mengganti seragamnya. Sedangkan seragam saya kotor karena tidak sengaja terkena air pel, ketika saya jatuh.” Kilah Naruto. Ia tahu jika ia jujur, maka Hinata akan mendapat masalah dari murid-murid lain yang suka membullynya dan lagi pasti sahabatnya akan mendapatkan masalah.

“Ya sudah, apa boleh buat. Kalian boleh masuk. Tapi ingat! Jangan pernah mengulangnya lagi.” guru itu memperingati dengan nada tegas.

Baik Naruto dan Hinata merasa legah karena sudah diberi kesempatan. Mereka berdua tersenyum dan menyahur bersama, “Haik” setelahnya mereka membungkuk dan kembali ke bangku mereka masing-masing.

Selanjutnya, proses belajar kembali dilakukan dalam keadaan hening. Para murid yang berada di dalam kelas tak satu pun bersuara kecuali guru. Namun, jika diperhatikan secara seksama, sepertinya hanya sebagian saja yang mendengar penjelasan tersebut. Entah mereka masih memikirkan kejadian barusan ataukah karena hal yang lain. Yang jelas, di dalam benak Hinata hanya satu kesimpulan yang bisa ia dapatkan, mereka akan semakin membenci dirinya. Apalagi karena istirahat tadi Naruto menggendongnya seperti putri dalam kisah dongeng. Bagaimana bisa mereka tidak akan membenci Hinata?

OoO

Dalam kesibukan belajar di sekolah, hanya dua hal yang bisa membuat wajah murid-murid menjadi berseri-seri. Yang pertama adalah jam istirarat dan yang kedua adalah saat bel pulang sekolah berbunyi. Hampir semua penghuni sekolah itu bersiap-siap melangkahkan kaki mereka untuk segera meninggalkan sekolah. Termasuk dengan Hinata. Gadis itu dengan senang hati melangkahkan kakinya untuk segera pulang. Rasa penat, lelah, dan sakit di hatinya ingin segera ia hilangkan agar tidak menjadi beban dan membuatnya terkena penyakit hati. Yah, meski tidak dipungkiri, jika ia juga merasa sakit hati dan ingin membalas. Tapi, ia sadar siapa dirinya dan hanya sabar saja yang bisa ia lakukan. Toh, nanti jika mereka sudah lelah memperlakukannya buruk, mereka akan berhenti.

Sayangnya, belum ia melangkahkan kakinya keluar, tangannya sudah ditarik paksa oleh salah satu murid yang menunggunya. Mereka membawanya ke belakang gudang yang tak pernah lagi digunakan. Dan dengan sangat keras mereka membantingnya hingga ia terjerembab dan menghantam tanah yang ia pijaki.

Hinata meringis nyeri saat melihat lutut dan dengkulnya terluka dan mengeluarkan darah. Ia berusaha duduk dan mendongak menatap beberapa pasang mata yang menatapnya sinis, juga benci. Hinata ingin sekali melawan, sayangnya rasa takutnya lebih mendominasi dan yang bisa ia lakukan hanya menunduk dan menunggu sampai mereka puas menyiksanya dan membiarkan dirinya untuk pulang.

Hinata benar-benar tidak mengerti, mengapa ia harus mendapatkan siksa seperti ini. Dan ia tak tahu sampai kapan ia harus diperlakukan layaknya sampah. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak tahu apa yang sudah ia perbuat. Tidak seorang pun yang memberitahunya alasan itu. Yang ia tahu hanyalah pada bulan ketiga di semester awal kelas dua, mereka mulai menyiksanya dan pelakunya sendiri adalah Sasuke, teman sekelasnya sendiri, teman masa kecilnya, dan sahabat dari orang yang ia sukai.

Hinata tak pernah bertanya, kenapa. Ia juga tidak mau mencari tahunya, karena ia tahu bagaimana sifat laki-laki itu. Ia pasti akan lebih menyiksa Hinata jika laki-laki itu merasa Hinata akan melawan.

"Hei Bitch, angkat kepala busukmu itu!"

Hinata tersentak saat salah seorang dari mereka meyentak rambutnya hingga kepalanya mendongak menatap seorang perempuan yang ia tahu bernama Shion.

"Dengar! Jangan karena Naruto-kun sudah berbaik hati padamu, lalu kau merasa dia menyukaimu."

Hinata menggeleng. Ia sadar diri dengan keadaannya. Tidak mungkin Naruto bisa menyukainya, sementara ia tahu kalau di dalam hati laki-laki itu sudah tertancap kuat nama perempuan lain.

"Seharusnya kau tahu di mana tempatmu. Sampah, selamanya tempatnya adalah di tempat sampah. Dan jangan bermimpi sampah sepertimu akan di lirik oleh seorang pangeran. Sadarilah posisimu!"

"Ti...tidak. A...aku tidak merasa seperti itu. Na-Naruto-kun- ah!"

"Jangan menyebut namanya sok akrab begitu Bitch!"

Hinata semakin meringis ketika perempuan itu semakin menjambak rambutnya. Ia berusaha melepas tangan perempuan itu dari rambutnya. “Go-gomenasai, tolong lepaskan rambutku, i...itu sakit…”

“Ck, ini adalah pelajaran untukmu karena berusaha mendekati Naruto-kun.” Ucapnya sambil mendongakkan wajah Hinata agar melihatnya.

“Ti...tidak. Kau salah paham. A...aku tidak pernah mendekati, Naru-"

Plak

Hinata menyentuh ujung bibirnya yang sobek karena tamparan yang ia terima. Lalu kembali meringis saat wanita itu dengan paksa membuat Hinata mendongak dan menatapnya.

"Sudah kubilang, kan jangan sebut namanya dengan mulut kotormu itu!"

“Ku..mohon, lepaskan. Ini...sakit” suara Hinata semakin lirih. Rasa sakit yang ia rasa sudah terlalu berlebihan untuk ditanggung oleh tubuhnya yang kecil dan lemah. Namun, mereka sepertinya belum puas, dan Hinata tidak tahu sampai kapan kesadarannya bisa menahan sakit itu.

"Ck, baru segitu." lalu Shion melepaskan tangannya dari rambut Hinata dengan keras dan lagi-lagi membuat Hinata tersentak ke depan hingga membuat keseimbangan Hinata hilang, lalu kembali terjerembab di tanah.

"Oke guys, sepertinya hime kita ini tidak ingin berlama-lama dengan kita." kata perempuan itu sambil menyeringai. "Lagipula, aku juga sudah muak melihat muka busuknya itu.” serunya dan tidak lama kemudian beberapa murid yang lain datang dan membawa ember yang diduganya berisi air kotor.

Beberapa detik setelahnya, Hinata kembali merasakan air kotor. Air itu sangat bau. Bahkan jauh lebih parah dari yang tadi pagi. Dan Hinata yakin kalau air itu pasti berasal dari selokan sekolahnya.

“Rasakan sampah… menjijikan, tak tahu diri! Sampah memang seharusnya diperlakukan layaknya sampah. Dibuang, diinjak, dan dimusnahkan.” Mereka kembali memakinya bahkan meludahi puncak kepala Hinata. Gadis itu hanya bisa menelan ludah sakit sambil menahan tangis yang sebentar lagi akan berderai dari mata almetish-nya. Hinata Ingin sekali melawan mereka, tapi apa daya ia hanya gadis biasa yang lemah. Alhasil, yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata dan berusaha menahan rasa sakit di tubuhnya, sambil menunggu sampai mereka bosan dan membiarkannya seperti yang lalu-lalu.

“Kau itu hanya sampah bagi sekolah ini. Tidak pantas untuk mendekati pangeran kami.” lagi. Mereka kembali menghinanya.

"Aku heran, kenapa pihak sekolah masih mempertahankan sampah sepertimu di sekolah? Apa mereka tidak takut nanti banyak murid yang tertular penyakit?"

"Ck, aku rasa ibunya yang pelacur itu sudah memberikan servis kepada pihak sekolah."

"Hahaha, kau benar."

Sakit.

Hinata memeras baju bagian dadanya ketika mereka kembali memberinya sebuah hinaan. Hinaan yang lebih menyakitkan dari sekedar kekerasan fisik yang ia terima.

"Jangan menyebut ibuku pelacur!!!"

Plak.

"Ibumu memang seorang pelacur, Jalang. Apa namanya kalau kalian hidup dari makanan yang kalian dapatkan di tempat prostitusi, ha?"

Tidak.

Mereka salah. Hinata dan ibunya tidak pernah melakukan hal menjijikkan seperti itu. Meski ia bekerja part time di klub dekat kontrakan mereka, ia tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa menurunkan derajat mereka.

"Tidak."

"Diam pelacur."

"Karin lebih baik kita kurung ia di dalam sekarang."

Deg

Jantung Hinata semakin berdebar ketika salah satu di antara mereka memberikan saran itu. Lebih baik mereka menyiksanya secara fisik dari pada ia harus di kurung di tempat yang gelap. Hinata benar-benar takut. Dan ia punya trauma yang sampai sekarang tidak bisa hilang di tempat yang gelap.

"Ku...kumohon jangan lakukan itu."

Hinata memohon, tapi tak seorang pun di antara mereka ada yang mau mendengarkan. Mereka justru menyeretnya masuk ke dalam gudang tua dan menguncinya dari luar.

"Tolong, buka pintunya!!!"

Dan meski ia meronta dengan derai air mata, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin menolongnya. Mereka justru tertawa dan menikmati penderitaan yang mereka perbuat pada Hinata.

"Itu akibatnya jika kau berani mendekati salah satu pangeran kami.” sahut salah satu di antara mereka sebelum meninggalkan Hinata di dalam sana. Sendirian.

Sementara Hinata di dalam gudang terus meronta, mendobrak, dan berteriak, berharap ada seseorang yang memiliki hati mendengarnya dan menolongnya untuk ke luar dari sana. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Di sana tidak ada lampu yang bisa menerangi ruangan itu, tidak juga celah atau kisi-kisi dari dinding agar cahaya bisa menerobos masuk. Hanya ada kegelapan yang pekat dan samar-samar suara desau angin dari luar.

“Tolong!”

Sekali lagi ia berteriak. Dengan frustasi dan harapan yang besar pada tiap suara yang ia keluarkan.

"Siapapun, kumohon tolong aku."

Dan kembali hanya kesunyian dan gelapnya ruangan itu yang menyahutnya.

“Naruto-kun tolong aku!” Lirihnya sebelum jatuh pingsan.

Hinata
Sumber gambar : Pinterest
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com