Fly with your imajination

Thursday, September 27, 2018

SLEEPING BEAUTY ORI - Laki-Laki Aneh

Silahkan di baca chapter lengkapnya di SLEEPING BEAUTY
Baca Chapter Sebelumnya

Edited 13.07.17
Enjoy 😄


...

BAGIAN 2

Hari ini sudah seminggu aku berada di rumah sakit setelah teman-temanku membawa tubuhku ke mari dan itu berarti sudah satu minggu pula aku menjadi salah satu makhluk gentayangan yang sering diteriaki oleh orang-orang kalau tidak sengaja bertemu (tapi bukan berarti aku pernah diteriaki. Nyatanya, aku bahkan tidak bisa dilihat oleh orang hidup)

Satu hal yang aneh tentang diriku adalah aku belum mati (seperti hantu-hantu penasaran lainnya yang masih getayangan karena rohnya belum bisa mencapai nirwana sebab masih memiliki urusan yang belum terselesaikan di dunia) tetapi aku juga tidak bisa dikatakan hidup karena saat ini aku seperti hantu gentayangan.

Kata dokter, aku mengalami koma. Kondisi dimana tubuhku mengalami ketidak-sinkronan antara diffuse projecting fiber, korteks serebri dan batang otak yang bertugas mengontrol tubuh dan pikiran (entahlah, aku tidak mengerti dunia medis) intinya ada gangguan yang terjadi dikepalaku hingga membuat diriku tidak sadar dan seperti tengah tertidur.

Kalian bisa bayangkan sendiri kan bagaimana keadaanku saat ini?

Layaknya seorang putri tidur dalam kisah dongeng, bedanya tak ada penyihir yang membuatku seperti ini.

Lalu anehnya adalah kenapa jiwaku tak bisa kembali ke dalam tubuhku dan malah berakhir menjadi hantu gentayangan?

Ini bukanlah sebuah drama yang biasa kutonton, karena aku bukanlah seorang aktris. Bukan pula sebuah mimpi aneh yang kebetulan ku alami. Ini benar-benar terjadi. Ril. Sebuah kisah aneh bin nyata yang entah kenapa akulah yang jadi pemeran utamanya.

Aku sedih, tentu saja. Marah, apalagi. Namun, tak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa menjalaninya. Hidup namun tidak hidup. Hanya mengikuti arus. Sama seperti air yang mengalir dari gunung menuju muara. Dan entah sampai kapan air itu mengalir. Tidak ada yang akan memberitahuku.



Selama seminggu aku hanya mengelilingi rumah sakit ini karena tak bisa kemana-mana pun dengan tujuannya. Tubuhku seperti sudah terprogram untuk selalu berada di sini, bahkan pulang ke rumah pun untuk melihat keadaan rumah rasanya malas. Dan rasa malas itu lebih kuat mengikat tubuhku.

Awalnya memang terasa menyedihkan juga kesepian, namun itu tidak lama setelah mengenal makhluk yang sama sepertiku. Padahal jika mengingat kembali diriku yang dulu, aku pasti akan lari terbirit-birit atau bahkan akan pipis di celana jika melihat mereka. Dan sekarang malah sebagian menjadi kenalanku.

Berbagai macam karakter ku temui dan sebagian dari mereka sangat mengagumkan. Ada nenek Chiyo yang sudah hampir tiga bulan meninggal namun jiwanya tetap berada di dalam bilik kamar inapnya yang dulu, katanya dia sedang menunggu cucunya. Aku senang dengan kehadirannya, walau penampilannya menyeramkan. Dia banyak memberiku nasehat, juga motivasi hidup yang membuat diriku tidak mudah patah semangat dan menyerah. Ada juga pak Rian, seorang pemadam kebakaran yang mati saat menjalankan tugasnya. Banyak kisah yang dia ceritakan padaku terutama pada misi-misi penyelamatannya yang sangat hebat. Lalu pak Dan. Dia adalah favoritku, tampan dengan semua nasihat bijaknya yang membuat aku tidak terpuruk dengan keadaanku saat ini. Dan berkat mereka semua kesepian akan apa yang ku alami sukses berkurang.

Aku menggerakkan kembali tubuhku, melayang seperti selembar kapas yang berterbangan. Mengikuti kemana arah hati untuk pergi.

Dan di sinilah aku, duduk di atas pagar pembatas di atap gedung rumah sakit. Tak ada rasa takut jatuh yang biasa ku rasakan saat berada pada ketinggian, tentu saja karena ini hanya jiwaku. Tak akan bisa jatuh ke atas tanah, karena aku sendiri tak bisa menapaki tanah.

Walau tak bisa lagi merasakan udara yang berhembus, setidaknya aku bisa lebih tenang berada di sini. Langit yang berwarna biru cerah juga alunan suara burung kecil yang melantunkan bait-bait penuh damai seolah menghipnotisku agar tetap tenang dan menikmati tiap hari dalam kesedihanku.

Angin berhembus kencang seolah menembus sanubariku, membuat aku merasakan satu perasaan tidak nyaman. Layaknya merasakan sebuah jantung, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kutolehkan kepalaku ke samping. Seseorang tengah berdiri di atas pagar pembatas, seolah menunggu waktu yang tepat buat dia terjun ke bawah. Angin membelai wajahnya, melambaikan surai-surai hitam miliknya. Pandangannya kosong menatap ke depan seolah tengah membayangkan sesuatu. Iris kelamnya menampakkan raut kesedihan yang amat kentara.



Dia maju namun tidak cukup satu kaki. "Kenapa kalian melakukan ini padaku?" Ucapnya lirih sambil memegang dada. Rasanya aku bisa merasakan apa yang ia rasakan. Perih dengan kekecewaan yang bercampur. Sakit.

"Aku mempercayai kalian, tetapi kenapa?" Sekali lagi dia berucap. Langkahnya semakin menepi. Aku sampai ngeri melihatnya. Membayangkan jika dia melompat dan tubuhnya hancur dengan kepala bocor yang mengeluarkan ceceran otak, kaki yang terpelintir 360° dengan tak beraturan, tangan patah hingga menembus kulit, bahkan organ dalam perutnya juga ikut tercecer, membuatku sedikit mual.

Aku mendekatinya perlahan, ingin tahu. Rasa penasaran ternyata masih bertahan pada diriku. "Kenapa kau ingin bunuh diri?" tanyaku saat sudah sampai dan duduk tepat di sampingnya. Menatapi pemandangan kota.

Mungkin aku bodoh karena bertanya pada seseorang yang aku yakin tidak akan bisa melihatku pun mendengar suaraku. Aku sendiri juga heran kenapa tidak bisa menahan mulutku untuk bicara.

Yah, bukankah kecepatan mulut lebih tinggi dari pada kecepatan berpikir?

Hening. Hanya ada suara hembusan angin yang menggiring kicauan burung. Tidak ada lagi suara yang kudengar dari mulut pria itu. Sepertinya dia tengah menguatkan dirinya untuk melompat.

Aku menghela nafas. Entah kenapa aku merasa manusia sekarang sungguh bodoh. Putus asa sedikit langsung ingin mati dan setelah mati memang mereka pikir, mereka akan tenang? Dasar bodoh. Bahkan jiwanya pun tidak akan diterima oleh nirwana. Di dunia pun jiwanya juga akan ditolak.

Aku masih menatapi pemandangan di depan ketika merasa dia sama sekali tidak lagi berucap. Aku bahkan merasa jika dia tengah menatapku.

Sesuatu yang mustahil.

Tidak ada yang pernah bisa melihatku, kecuali anak kecil. Anak yang masih sangat kecil. Atau orang yang tidak memiliki kewarasan (istilah lain adalah orang gila).

Karena penasaran aku kemudian tengadahkan kepala untuk melihatnya. Dan benar saja dia seperti tengah... melihatku?

Hahaha... tidak mungkin.

Sekali lagi, aku kembali bersuara, mencari pembenaran dari dugaanku. "Kenapa kau memilih jalan ini?" kukembalikan pandanganku pada pemandangan perkotaan. Siang ini walau cerah namun matahari tidak memancarkan sinar yang terik. "Padahal banyak orang yang masih ingin hidup─"

"Kau siapa?"

"Hm?" telingaku mungkin salah dengar hingga mendengar suaranya yang seolah sedang bertanya padaku, tetapi aku juga tidak merasakan kehadiran siapa-siapa selain kami berdua di sini. Sudah seminggu aku berada di sini dan rata-rata orang dewasa tak ada yang bisa melihatku.

Lalu?

"Kau siapa dan bagaimana caramu bisa berada di sampingku?"

Tunggu. Dia benar-benar bicara padaku?

Masa?

Aku mendongak lagi menatapnya. Dan ternyata memang benar, dia menatapku.

Dia menatapku?

Astaga, akhirnya ada orang yang bisa melihatku.

"Kau bisa melihatku?" tanyaku girang sambil menunjuk diri sendiri.

"Apa aku terlihat buta hingga tak bisa melihatmu?" tanyanya mencemooh sambil melipat dada, menatapku tak suka. Ia seperti tak mengingat kakinya sedang menapak di mana.

Aku menatapnya tak percaya lantas berdiri dengan tiba-tiba hingga membuatnya terlonjat kaget dan tersentak ke belakang. Aku meringis ketika dia terjatuh dengan tidak elit. Kakinya berada di pagar sedang kepalnya berada di bawah. Dia mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya yang tadi terbentur.

"Pffft... ha... ha... ha.... kau lucu sekali. Maaf, aku tidak sengaja." ucapku menyesal di sela-sela tawaku. Sungguh, dia terlihat lucu, mengingat sikap dinginnya tadi.

Aku melompat turun dari pagar pembatas, berniat menolongnya namun saat sadar kalau aku tak bisa menyentuh tubuhnya, aku hanya bisa menatapnya kasihan.

"Apa begitu sikap orang yang menyesal, hah?" sergahnya dengan emosi yang bercampur rasa malu. Dia berdiri lantas melayangkan tatapan tajam padaku.

"Maaf. Sungguh. Aku minta maaf. Aku terlalu senang bertemu dengan seseorang yang bisa melihatku." sahutku dengan tatapan permohonan sekaligus bahagia.

"Tidak ada orang yang meminta maaf dengan nada riang seperti itu. Lagi pula apa maksud perkataanmu itu. Apa kau sudah mati? Dasar gila." katanya sambil bangkit lalu merapikan pakaiannya dan membersihkan sedikit debu yang menempel.

Aku menggeleng, "Aku belum mati kok─"

"Tentu saja, kau belum mati. Dasar aneh. Kalau kau mati, kau tidak mungkin berada di depanku sekarang."

"Namun rohku bergentayangan." Dia menyerngit bingung dengan kata-kataku. Mungkin merasa aneh atau bahkan menganggapku gila.

"Heh, aku benar-benar gila sekarang. Sudahlah, aku pergi."

"Eh, tunggu. Aku benar-benar berkata yang sebenarnya. Aku yang kau lihat sekarang hanya jiwa tanpa tubuh. Tubuhku tengah tertidur di ruang rawat."

"Kalau begitu, aku tidak peduli." sahutnya tak acuh.

"Eh, tunggu..." kataku mencoba menahannya dan secepat kilat sudah berada di hadapannya.
"Kau lihat sendiri, kan? Aku benar-benar tidak bohong." jelasku sambil mundur selangkah dan memperlihatkan diriku. Transparan dan melayang.

Ada perubahan kecil di raut wajahnya yang dengan mudah kubaca. Dia sedikit takut dengan kenyataan yang ia alami saat ini. Melihat sosok melayang dihadapannya pasti siapa pun akan terkejut. Tapi, aku juga salut padanya yang tidak lari ketakutan apalagi kencing di celana seperti kebanyakan orang. "Kau percaya kan sekarang?" dia diam namun tetap memperhatikanku sambil menerawang.

"Lalu apa yang membuatku bisa melihatmu, heh? Aku tidak punya kemampuan seperti itu. Sudahlah, jangan menggangguku."

"Tidak."

"Kubilang jangan menggangguku, Brengsek. Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang." tukasnya. Suaranya cukup keras untuk di dengar oleh orang lain yang berada tidak jauh dari tangga di lantai lima rumah sakit.

Aku menggeleng. Maaf saja, aku sudah lama menunggu untuk hari ini dan tidak mungkin melepaskannya. Tidak peduli orang itu tidak menyukainya. "Aku tidak bisa. Hanya kau satu-satunya harapanku agar aku bisa kembali ke keadaanku semula."

"Terserah. Lakukan sesukamu, yang jelas aku tidak akan menolongmu. Dan jangan mengikutiku." sahutnya ketus, rupanya dia benar-benar bad mood hari ini. Dia kemudian berjalan ke arah pintu keluar atap gedung ini dan tanpa melihatku.

"Tidak akan dan tidak bisa adalah dua hal yang berbeda. Artinya kau bisa menolongku, kan?" dia tidak menyahuti kata-kataku dan terus berjalan.

Aku mengikutinya, melayang mengikuti langkah kakinya yang panjang. "Omong-omong, Kenapa kau mau bunuh diri?" tanyaku penasaran.

Dia melirikku sinis, "Bukan urusanmu."

Tapi kurasa dia hanya malu mengakuinya.

"Jadi kau tidak jadi bunuh diri?" tanyaku lagi.

"Itu juga bukan urusanmu." sahutnya lagi.

"Wah, tidak kusangka aku sudah jadi seorang penyelamat?"

Tak ada sahutan darinya. Dia tetap melangkah pergi seolah dia tak mendengar apapun yang keluar dari mulutku tapi aku tetap tersenyum malah merasa bahagia. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang bisa melihatku dan mendengar kata-kataku. Dan aku juga merasa bangga karena sudah menghentikan percobaan bunuh dirinya. Walau tanpa kata-kata bijak, hanya membuatnya terlihat konyol dan merasa malu dia lantas pergi seolah tak terjadi apa-apa. Atau karena dari awal memang dia tidak berniat bunuh diri dan hanya ingin menenangkan perasaan?

Hahaha... Orang ini sungguh lucu.



Tbc.

Silahkan di buka untuk chpater Chapter Selanjutnya

Mickey139


Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com