Fly with your imajination

Thursday, November 28, 2019

JEJAK#2

SELANJUTNYA SELANJUTNYA


♡♡♡
BAGIAN 2 : JANETA # NAUFAL

Tiga hari Riza tak penah datang sekolah. Gadis itu terus bergelung dalam kamar sambil maratapi kondisinya. Panggilan dari kakak dan orang tuanya pun tak pernah digubris, meski untuk makan bersama. Riza seperti sudah kehilangan semangat hidup.

"Riz, kakak gak bakal maksa kamu lagi untuk bicara. Tapi please peduli pada dirimu sendiri. Kakak benar-benar khawatir. Mama papa juga khawatir." Kakak Riza menghela ketika lagi-lagi tak mendapat respon dari sang adik. Sudah dua hari ia berusaha membujuk Riza berbicara, namun respon yang ia dapatkan selalu sama. Hanya kediaman yang selalu menyahutnya. Semua percobaan Reza selalu berujung pada kegagalan. Laki-laki itu benar-benar tak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan untuk adiknya.

"Kakak harap kamu tidak akan mengabaikan makananmu lagi." Setelah itu Reza berdiri lalu mengusap lembut rambut Riza sebelum ia berjalan keluar dari kamar. Laki-laki itu berhenti sejenak di ambang pintu dan menatap adiknya sekali lagi. "Riz, kamu perlu tahu, apapun yang terjadi sama kamu, yakinlah aku, mama, sama papa, akan terus dukung kamu karena kami semua sayang banget sama kamu."

Riza tahu.

Gadis itu sangat tahu kalau mereka begitu sayang padanya. Tetapi ia benar-benar masih belum mau menerima takdir yang dibebankan pada dirinya. Cobaan itu terlalu berat untuk pundaknya yang kecil.

Aku justru iri loh sama kamu yang punya keluarga yang peduli banget sama kamu. Lihat dengan keluargaku. Percuma tinggal di rumah besar tapi penghuninya tidak pernah tinggal. Kalau boleh menulis ulang jalan hidup, aku mau jadi saudara kamu. Sayangnya, kita cuma bisa jadi sahabat.

Riza menggeleng saat potongan percakapan antara dirinya dengan Janet melintas di kepala. Kalau boleh menulis ulang kisah hidup, Riza lebih memilih hidup sendiri daripada harus menyaksikan kesedihan orang-orang yang ia sayangi karena dirinya.

Tapi, manusia mana ada yang pernah puas? Dikasi hidup kayak gini maunya begitu, padahal belum tentu hidup orang itu bagus. Jadi, Ca... kalau misal kamu punya masalah, jangan pernah membelakangi keluargamu. Karena semakin kamu ingin kabur, kamu hanya akan membuat mereka semakin sedih dan kehilangan.

Riza mengangguk. Air mata tak bisa lagi ia tahan hingga menetes dan membasahi bajunya. Namun, bukan karena sedih yang menyesakkan karena penyakitnya melainkan rasa legah yang bercampur dengan haru dan sedih karena ia membuat keluarganya cemas.

Kenapa ia tak sadar sedari dulu?

Dengan hela napas panjang, Riza menghapus air mata kemudian bangkit menuju kamar mandi. Gadis itu membasuh muka di wastafel lalu melihat penampakan wajahnya yang hampir tiga hari tidak pernah terkena sinar matahari. Wujudnya sekarang benar-benar mirip dengan mayat hidup. Kantong mata yang besar dan hitam karena kurang tidur, rambut berantakan, wajah sembab dan pucat, bibir pecah-pecah karena kekurangan cairan, bahkan di wajahnya tidak nampak adanya cahaya kehidupan. Benar-benar berantakan.

Riza kembali membasuh wajah. Setelah yakin penampakannya lebih baik barulah ia keluar kamar. Gadis itu mengambil ponselnya yang sudah lama ia matikan sejak pemberitahuan tentang penyakitnya. Menghidupkan dan memeriksanya. Rupanya banyak pesan yang masuk, bukan hanya dari pesan biasa, tetapi juga dari what’s up, line, DM instagram, facebook, email dan hampir semua medsos-nya. Dan kesemuanya itu berasal dari teman-temannya yang menayakan kabar.

Janeta yang paling sering menerornya dengan pesan. Semua media sosial yang ia pakai tak luput dari teroran Janeta. Sahabatnya itu benar-benar sangat khawatir terhadap kondisinya.

Riza menepuk wajahnya untuk menarik sisa kesadarannya yang sebentar lagi akan hilang karena rasa terpuruknya. Lantas membalas pesan dari Janeta dan semua pesan dari teman-temannya yang lain.

Beberapa detik kemudian, bunyi dering ponsel Riza terdengar. Panggilan dari Janeta yang langsung di angkat oleh Riza.

“Hm...” suara Riza masih sedikit serak ketika menyahut panggilan itu. Ia berdehem agar suaranya kembali normal. “Ya, Ta...”

“Kamu kemana saja sih? Kok gak bisa dihubungi? Tiga hari gak masuk kelas. Kamu sakit? Kenapa gak ada kabar?”

Riza menghela nafas ketika sambutan pertama yang ia dapatkan dari sahabatnya adalah serbuan pertanyaan yang memiliki satu jawaban yang sama. Tapi, berkat itu pula senyum simpul bisa terbit di wajahnya.

Yah, harusnya ia sadar banyak orang yang peduli terhadap dirinya. Jadi, tidak mungkin ia membalas mereka dengan membuat dirinya terus bergelung dalam kesedihan.

“Ah elah. Aku sakit. Mama juga sudah kirim surat sakitku, kan ke guru? Kamu kok gak tahu sih?” sahut Riza dengan suara pelan yang serak. Ia kemudian mengambil air minum yang ada di atas meja lantas meminumnya.

“Gak tahulah, orang kamu gak kasi tahu. Terus kenapa gak pernah aktifin nomor kamu?”

“Karena aku yakin, kamu pasti bakal ganggu aku.” Lalu Riza membuka tirai kamarnya agar sinar matahari masuk ke dalam kamar dan mengusir kelembaban yang mengudara di sana.

Mata Riza terasa silau ketika cahaya terang tiba-tiba tertangkap di netranya. Udara yang hangat dari luar karena hari sudah terang membuat tubuhnya terasa lebih nyaman. Ia pun berlama-lama di sana sambil menikmati suasana dari beranda dan menyahuti Janeta yang masih mengoceh dari sambungan telepon.

“Selalu, Tata Janeta. Ya ampun, mesti yah aku detailin lagi waktu aku sakit gimana kegiatan kamu ke aku?”

“Ih, kamu kok gitu sih. Itu namanya perhatian seorang sahabat.”

“Perhatian itu kalau hasilnya baik. Sementara dulu, bukannya cepat sembuh, aku malah harus lebih istirahat di rumah.”

“Iya deh, iya. Aku yang salah dan Riza selalu benar.”

Riza mendengkus. “Sudah yah Ta, aku pengen istirahat. Besok aku bakal ke sekolah kok. Jadi, jangan ganggu aku dulu sampai besok, oke.”

“Ih, Riza kok jahat banget sih. Tapi, iya deh. Cepat sembuh, Bebz.”

“Hm...” lalu Riza mematikan sambungan. Tapi, tak lantas membawa tubuhnya masuk ke dalam. Ia masih di beranda kamarnya dan menikmati udara luar yang terasa hangat dan menenangkan.

♡♡♡

Keesokan harinya sesuai dugaan Riza, sebelum Riza duduk manis di bangkunya, Janeta datang dengan banyak pertanyaannya, yang kemudian dijawab Riza dengan tenang. Namun, satu hal yang tidak bisa Riza katakan adalah penyakit yang saat ini dia derita. Tidak boleh ada yang tahu.

Saat  jam istirahat menghampiri, Riza pergi ke ruang klubnya ditemani oleh Janeta. Ia sudah bertekad untuk berhenti dari klub renang yang ia sukai. Semua impiannya menjadi seorang atlet renang harus ia pupuskan jika tidak ingin ketahuan dan menjalani masa sekolahnya hingga selesai.

Riza tidak mengetahui kapan ajal akan menjemputnya, jadi ia bertekad untuk menikmati sisa hidupnya meski tanpa mewujudkan impiannya. Lagipula, ada impian lain yang ingin ia wujudkan juga. Menjadi komikus yang bisa menghasilkan komik inspirasi. Yah, meski itu masih jauh.

“Kamu yakin mau berhenti?” tanya Naufal ketua klub renang ketika ia menyampaikan maksudnya. Ruang klub yang sunyi membuat suara mereka bergema begitu jelas.

Riza mengangguk tegas, meski dalam netranya terpancar jelas jika ia sangat berat untuk melepaskan. “Iya. Aku mau fokus pada komikku. Tahukan kalau di webtoon itu harus menerbitkan komik  seminggu sekali, apalagi komik aku sudah dikontrak jadi webtoon resmi.”

Naufal mengangguk. Meski berat melepaskan Riza, tetapi ia juga tidak bisa memaksa gadis itu untuk tetap berada di klub renang. “Bisa gak kamu keluarnya setelah pertandingan nanti? Kamu kan sudah terpilih menjadi salah satu atlet.”

Sekali lagi Riza menggeleng. “Maaf Kak. Aku tetap gak bisa.” Riza menunduk muram.

Janeta di samping Riza hanya bisa melihat interaksi mereka berdua tanpa ikut menimpali. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Sejujurnya, ia juga baru tahu kalau Riza ingin keluar dari klub itu. Padahal setahunya, Riza sangat girang ketika gadis itu dipilih menjadi salah satu atlet renang, karena impian gadis itu memang adalah menjadi atlet renang.

Naufal menghela nafas berat, “Okelah. Aku juga gak mungkin maksa kamu.” Lalu padangannya beralih pada Janeta di samping Riza. Ia tersenyum dan menampilkan lesum pipit di sebelah pipi kirinya hingga membuatnya tampak manis. Bahkan Janeta sampai bergeming di tempatnya dan belum membalas senyum itu.

“Kamu mau ikut klub renang?”

Janeta belum menyahut masih diam mematung di tempatnya, sampai Riza menginjak kakinya barulah Janeta tersadar dan menyengir sebagai balasan untuk seniornya itu. “Ya, kak?”

“Tadi kak Naufal tanya, kamu mau makan bareng dia istirahat ini?”

“Eh serius?”

Bukannya menjawab, Riza malah terkekeh geli di tempatnya dan membuat Naufal geleng kepala.

“Teman kamu hanya menggoda. Aku tadi tanya, kamu mau ikut klub renang?”

Janeta berpaling pada Riza lalu memberinya delikan tajam lalu secepat kilat merubah ekspresinya ketika kembali berpaling pada Naufal. Dia menggeleng, “Tidak Kak. Aku hanya antar Riza ke sini.”

Naufal mengangguk, lalu mereka diam. Tidak ada lagi suara yang berasal dari mulut mereka. Janeta di tempatnya yang ingin melontarkan pertanyaan pada Naufal tidak cukup berani lantaran laki-laki itu malah menatap Riza yang tampak mematung di tempatnya.

“Okelah. Riz, nomor kamu yang dulu masih aktif, kan?”

Riza mengangguk, “Iya. Eh, kalau gitu aku pamit, Kak.”

“Oke. Nanti aku hubungi. Ada yang ingin aku tanyain.”

Meski dengan kening mengkerut, Riza tetap menyahutnya, “Iya, silahkan.”

♡♡♡

“Bisa kali mukanya dikondsikan.” Riza menggeleng melihat bagaimana kelakuan sahabatnya itu ketika berhadapan langsung dengan orang yang ia sukai. Bahkan ketika mereka sudah tidak lagi berada di dalam ruang klub.

Sudah setahun lebih sahabatnya itu memendam rasa terhadap Naufal, ketua klubnya di renang. Tetapi, tak sekali pun juga cewek itu mau mencoba mendekat. Ia hanya mengagumi Naufal dari jauh dan mungkin juga sambil membayangkan bagaimana rasanya jika mereka bersama.

Riza sudah beberapa kali menyuruh Janeta untuk memulai, namun Janeta selalu mengelak. Cewek itu selalu berdalih kalau perempuan yang harusnya diperjuangkan, bukan yang berjuang. Dan Riza hanya mendengkus. Bagaimana bisa diperjuangkan jika rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan? Bodoh.

“Muka aku emang kayak apa?"

“Pake nanya. Ambil cermin tuh, terus ngaca. Muka mupeng gitu mana mau kak Naufal?”

“Iiihh....”

"Kamu tahu Mimi Peri?"

Janeta mengangguk. "Nah muka kamu itu persis kayak Mimi Peri yang salting di dekat gebetannya." lalu Riza tertawa terbahak. Seolah ia tidak memiliki beban. Bahwa saat ini, di dalam tubuhnya terdapat penyakit mematikan yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.

Mungkin ini adalah hal biasa yang sering dialmi oleh orang lain jika bersama dengan orang yang mereka sayangi, mereka akan melupakan beban yang menjerat tubuh mereka dan lebih menikmati sisa hidup yang berharga.

"Iiih, Riza. Nyebelin banget ih." Dan seperti kebiasaan mereka, ketika Janeta sedang jengkel, maka ia akan pergi meninggalkan Riza di belakangnya yang masih terbahak.

Riza berhenti tertawa ketika melihat Janeta yang mulai kesal pada kelakuannya lalu mengejar Janeta. "Ta!"

Tapi, seperti Riza hanyalah bayangan yang tidak memiliki suara, Janeta tetap berjalan ke depan dan semakin menjauhi Riza.

"Oiii Janeta...."

Tetap tidak ada sahutan. Janeta benar-benar jengkel dengan tingkah Riza yang menggodanya.

"Eh, Naufal. Ada apa lagi?"

Dan langkah Janeta berhasil berhenti ketika ia mendengar Riza memanggil Naufal. Ia berbalik dengan hati berdebar dan rasa girang yang tiba-tiba membuncah dari dalam perut. Wajahnya kembali berseri.

"Hai, kita ketemu la-" Janeta menghentikan ucapannya ketika sadar jika dirinya kembali digoda oleh Riza. "Caca!"

Sementara yang ditegur, alih-alih merasa bersalah, Riza malah kembali tertawa saat melihat wajah Janeta yang memberenggut merah.

"Udah dong, jangan ngambek. Muka kamu sudah jelek. Dijelek-jelekin lagi emang mau jadi sejelek apa?"

"Ck, kamu nyebelin Ca."

"Tapi ngangenin juga kan?"

"Nggak tuh."

"Terus yang kemarin neror aku lewat pesan pas aku gak masuk sekolah tiga hari siapa? Masa setan sih?"

"Bukan. Itu Jin yang berubah jadi orang."

"Hehehe, kamu kok lucu sih kalau ngambek. Gak usah berhenti ngambek kalau gitu, gemesin soalnya."

"Udahan ih, Ca. Kita makan aja. Aku kemarin buat puding brownies.”

Tepat seperti yang Riza pikirkan, jika temannya itu tidak akan bisa lama-lama ngambek padanya.

♡♡♡

Kalau cuaca terik seperti siang hari, kebanyakan murid menghabiskan waktu istirahat di taman belakang sekolah. Tepat di bawah pohon beringin yang besar. Karena selain teduh, mereka juga akan merasa segar sebab udara sudah disaring oleh pohon beringin.

Baru seminggu Riza berhenti dari klub renang, gadis itu seperti kehilangan sebagian fungsi tubuhnya. Bukan karena penyakit yang ia derita, melainkan hobi yang tubuhnya sudah biasa lakukan. Tangan dan kaki serta otot-ototnya yang terbiasa bergerak lebih, kini hanya ia gunakan untuk kegiatan seadanya. Menggambar komik, jalan kaki dan lari pagi saja itu pun hanya sekali seminggu.

Rasanya Riza ingin kembali ke klub renang. Ia ingin kembali menggerakkan seluruh otot-ototnya, tetapi jika ia memaksakan dirinya, ia hanya akan menjadi beban. Bukan cuma itu, ia juga tidak ingin ada orang lain yang mengetahui penyakitnya jika tiba-tiba terjadi sesuatu padanya.

“Ca, kira-kira Naufal udah punya cewek gak sih?”

Riza belum mau menanggapi pertanyaan Janeta. Ia masih asik memakan kue sus yang Janeta buat. Rasa lembut dan manis yang pas di lidahnya membuat mulutnya tak berhenti mengunyah.

“Ca, ya ampun.” Janeta mendengus lalu mengambil paksa kue sus yang masih dinikmati Riza dari pangkuan cewek itu. Menatapnya jengkel dan menutup kue itu agar Riza tak bisa lagi menikmai kue buatannya tanpa repot-repot memedulikan protesan yang dilayangkan oleh Riza. “Makanya kalau diajak ngobrol, respek dong. Jangan kayak guci kepala sekolah. Hanya pajangan. Biar diisi sampah gak dipeduliin. Kucing saja diajak bicara masih mengeong.”

“Ampun, Ta. Kue kamu enak soalnya, jadi aku lupa sama sekitar.” Riza menyahut sambil menyengir. Tapi, itu benar. Kue buatan Janeta selalu bikin nagih.Berapapun banyak kue yang dibuat oleh Janeta, Riza bisa menghabiskannya.

“Tapi gak gitu juga kali. Aku dari tadi ngomong capek-capek. Eh, malah diabaikan.”

“Iya, aku yang salah deh. Terus kamu tadi nanya apa?”

Janeta menghela nafas. Meski jengkel, namun tak membuatnya urung untuk bertanya lagi, “Aku tanya, Naufal udah punya pacar apa belum?"

Riza menyeringai lalu memicingkan matanya. “Kenapa kamu gak nanya ke orangnya sendiri?”

Janeta kembali memberenggut. Ia benar-benar jengkel pada sahabatnya itu. Padahal ia bertanya sungguh-sunggu dan malah dibalas malas-malasan.

“Ya udah kalau gak mau jawab. Aku juga gak bakal lagi bawa kue ke sekolah.”

“Ih ngambek.” Lalu Riza tertawa seolah sikap cemberut sahabatnya itu adalah candaan dari seorang pelawak yang sedang menghiburnya. Entah kenapa ia selalu senang ketika wajah temannya tertekuk seperti sekarang. “Tahu gak, Si Nana itu gak suka sama cewek yang suka ngambek. Cowok kalem kayak dia bagusnya itu kalau dipasangin sama cewek lembut dan penurut. Gak cerewet apalagi yang banyak maunya."

"Nana?"

"Naufal."

"Kenapa kamu panggil dia kayak cewek." Janeta jelas tidak menyukai panggilan Riza pada Naufal. Entah kenapa ia cemburu. Bahkan ia sendiri tak punya panggilan sayang pada cowok itu. "Dia kan punya nama. Bagus pula."

"Kebiasaan sih. Habis sifatnya dia kayak cewek. Terlalu lembut. Terus mukanya juga manis. Tahu gak, waktu dia pakai jilbabnya Vivi, teman klubku di renang, dia beneran kayak cewek. Andi saja sampe tertipu. Kalau waktu itu Naufal gak bicara, pasti susah dibedain."

"Serius?" Dan bukannya kembali tersinggung orang yang dia sukai disinggung, Janeta justru merasa tertarik. Ia malah bersemangat ingin mengetahui sisi lain yang tidak dia ketahui tentang Naufal.

Riza mengangguk, sambil mencari waktu yang pas agar dia bisa merebut kembali kue sus yang bikin lidahnya ketagihan itu dari Janeta. Matanya sesekali melirik pada kue itu.

"Beneran kok. Kalau gak percaya, coba tanya sama anak renang yang lain."

"Aku percaya kok. Terus apa lagi hal konyol yang pernah Naufal buat?"

"Dia pernah teriak 'kya' kayak di film anime gara-gara Andi iseng lempar tali ke dia. Pernah juga ikut cosplay jadi Hinata. Ya ampun, kalau ingat hari itu, aku gak bisa berhenti kagum. Bayangin aja Ta, selama aku hidup, selama menjadi penggila anime, belum pernah satu kali pun aku lihat orang cosplay secantik Hinata secara langsung, dan ajaibnya kamu gak akan bisa membedakan apakah Naufal  adalah cewek atau cowok saking cocoknya dia cosplay Hinata."

"Aku pengen lihat."

"Tapi kayaknya itu gak bakal terjadi deh."

"Kenapa?"

"Karena dia gak mau lagi cosplay. Katanya gara-gara kepergok kakaknya, baju-baju cosplay-nya dibakar sama ayahnya."

"Begitu yah."

Riza mengangguk dan begitu melihat kesempatan, ia mengambil kue sus yang ada di pangkuan Janeta. Mengamankannya dengan kuat agar Janeta tidak bisa mengambilnya kembali.

Meski kesal dengan tingkah sahabatnya itu, Janeta tidak juga berusha untuk mengamankan kembali kuenya dari Riza. Justru sebenarnya ia sangat senang ketika melihat hasil buatannya disukai oleh orang lain. Yah, Janeta memiliki impian untuk memiliki kafe dengan kue hasil buatannya sendiri.

Larut dalam obrolan yang anehnya nyambung kemana-mana tapi terasa menyenangkan, Riza dan Janeta tak menyadari jika jam istirahat sudah usai. Mereka baru berhenti ketika tak mendapati murid-murid lain yang nangkring di sekitaran mereka. Riza kemudian mengambil ponselnya untuk melihat jam.

"Balik yuk." Riza bangkit dan membersihkan roknya dari debu dan daun-daun yang melengket.

Janeta mengangguk kemudian ikut bangkit setelah membereskan bekas makan mereka.

♡♡♡

SELANJUTNYA SELANJUTNYA

Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com