Fly with your imajination

Thursday, April 24, 2025

Senyum yang Mengingatkan


.
.
.
.

Langit sore mulai beranjak gelap. Di sebuah taman kota yang sederhana, pria paruh baya itu duduk diam di bangku tua, mengenakan kemeja lusuh dan topi anyaman yang warnanya sudah pudar. Pandangannya terpaku pada sekelompok anak-anak yang berlarian, tertawa riang, tanpa beban dunia.

Tawa mereka bergema di antara pepohonan dan menyelinap masuk ke dalam hatinya—mengaduk-aduk kenangan yang selama ini coba ia kubur dalam diam.

Ia menutup mata sejenak. Hembusan angin membawa bayangan masa kecilnya kembali. Dulu, ia juga pernah berlari seperti itu. Di desa kecil yang sunyi, bersama kakaknya yang dua tahun lebih tua. Mereka bermain petak umpet, menangis karena rebutan permen, lalu tertawa lagi seolah tak pernah bertengkar.

Tapi semuanya berubah saat usianya delapan tahun. Ayah mereka meninggal mendadak. Ibunya yang tak sanggup menanggung beban hidup menitipkan mereka di panti asuhan.

Ia masih ingat perpisahan itu—ibunya berlutut di hadapannya, memeluk mereka erat, dan berbisik, “Maafkan Ibu. Kalau sudah waktunya, Ibu akan jemput kalian.”

Namun, waktu berjalan tanpa kabar. Satu per satu anak di panti diadopsi, kecuali dia. Kecuali adiknya. Sampai akhirnya mereka terpisah juga.

Pria itu membuka mata. Seorang bocah perempuan tertawa lepas sambil berlari ke arahnya. Di belakangnya, seorang ibu muda ikut berlari kecil, menggenggam sebotol air dan topi kecil.

"Raya! Jangan lari terus, nanti jatuh," seru ibu muda itu sambil tertawa.

Bocah itu berhenti tepat di depan pria tersebut. "Om sendirian, ya?"

Ia tersenyum, "Iya, Om cuma lihat-lihat. Kalian seru sekali mainnya."

Ibu muda itu mendekat, tersenyum sopan. “Maaf ya Pak, anak saya kadang terlalu ramah.”

"Tak apa," jawab pria itu cepat. Matanya masih menatap si kecil yang sekarang memamerkan tempelan stiker di tangannya.

Saat itu, mata pria itu menangkap sesuatu. Kalung di leher si ibu—liontin berbentuk bulan sabit kecil, dengan goresan huruf "R&D".

Dunia seolah berhenti.

“Itu... kalung itu...” katanya gugup, suaranya serak.

Ibu muda itu tampak kaget. “Oh... ini peninggalan ibu saya. Dulu katanya ini punya dia dan adiknya yang terpisah waktu kecil.”

Mata pria itu berkaca-kaca.

"Namamu siapa?" tanyanya nyaris berbisik.

“Ratih,” jawab si ibu. “Ratih Dewanti.”

Dunia benar-benar berhenti. Ia merasakan jantungnya berdetak seperti dulu—saat ia memeluk ibunya terakhir kali.

Dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku... aku Damar. Damar, adikmu."

Ratih terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Perlahan, air mata jatuh di pipinya. Bocah kecil di sampingnya hanya menatap bingung, tak paham kenapa orang dewasa bisa menangis hanya karena sebuah kalung.

Di tengah taman yang ramai oleh tawa anak-anak, dua saudara yang lama terpisah akhirnya dipertemukan. Bukan oleh surat. Bukan oleh takdir besar. Tapi oleh senyum kecil seorang anak yang datang tanpa rencana—mengantar masa lalu pulang ke pangkuan.
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com