**
Hujan turun sejak pagi. Dingin menjalari rumah kecil di pinggir kota yang sudah dua tahun mereka sebut rumah. Alya duduk di depan lemari kayu, membuka laci paling bawah. Tangannya menyentuh sepasang sepatu bayi warna merah muda, masih terbungkus plastik bening. Kecil. Lembut. hasil rajutannya beberapa tahun silam.
Ia menatapnya lama, seperti bisa melihat masa depan yang dulu pernah mereka bayangkan.
“Harusnya hari ini kamu lahir,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tangannya mulai mengeluarkan sepasang sepatu kecil itu dari pembungkusnya. Menatapnya lama seperti yang lalu-lalu. "Malaikat kecilku." setelah mengatakan itu setitik air mata keluar dari matanya, namun tak sampai jatuh.
Kesedihan nampak jelas dari matanya, namun ketika membayangkan apa yang sudah menantinya dalam beberapa jam ke depan, hatinya tak lagi sedih. Alya justru menantikan dengan penuh suka cita.
Revan datang dari belakang, memeluknya perlahan. “Kamu yakin?” Meski ragu masih menyelimuti dirinya, namun melihat raut istrinya, membuat keraguan Revan perlahan memudar. Ia percaya istrinya, asalkan istrinya tak lagi memperlihatkan kesedihan yang bisa mengiris hatinya, ia akan menerimanya.
Alya mengangguk. “Kita sudah menunggu cukup lama.”
Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Hanya duduk bersama, membiarkan kenangan yang dulu pahit mengalir bersama bunyi hujan di luar. Dua tahun lalu, janin pertama mereka gagal bertahan. Sejak itu, rumah ini senyap, tapi penuh doa. Mereka sempat berhenti berharap, sempat saling menyalahkan. Tapi pada akhirnya saling menggenggam dan menguatkan.
Revan bangkit, mengambil koper kecil. Ia mengecek sekali lagi dokumen dalam map biru: akta, surat persetujuan, legalisasi notaris, dan … surat adopsi.
Mereka menatap sepatu kecil itu sekali lagi, lalu memasukkannya ke dalam plastik dan menutup lemari.
**
Sementara itu, di sebuah rumah sakit bersalin, seorang gadis muda mengelus perutnya yang sudah mengecil. Air matanya belum berhenti sejak semalam.
Di samping tempat tidurnya, sebuah nama tertera di amplop putih: Alya & Revan.
Bayi perempuan itu tertidur tenang di boks kaca. Dingin AC tak membuatnya menangis. Ia tenang… seperti sudah tahu, ia akan disayangi oleh orang yang menunggunya dengan penuh cinta.
Gadis muda itu mengelus pipi si kecil dan mengecupnya penuh cinta untuk terakhir kalinya.
“Lindungi dia, ya Tuhan,” bisiknya, lalu berdiri, sekilas melihat dokter yang menatapnya kasihan. "Aku pergi, Dok. Terima kasih untuk semuanya." Dokter itu mengangguk, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa kasihan terhadap gadis muda itu. "Ini sudah tugasku." balasnya. Gadis muda itu kemudian pergi meninggalkan separuh hatinya di ruang bersalin itu.
**
Di malam yang sama, Alya menggendong bayi itu untuk pertama kalinya. Tangisnya pecah, tak tertahan. Revan duduk di samping, memeluk dua orang terpenting dalam hidupnya sekarang.
Alya membungkuk, memakaikan sepatu kecil itu ke kaki mungil bayinya.
Akhirnya, sepatu itu punya pemilik.
Bukan dari rahimnya. Tapi dari takdir yang lain.
Yang tetap menyatukan mereka dengan cinta.
END
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment