Fly with your imajination

Thursday, June 5, 2025

SCHOOL OF MAGIC : DUNIA BARU


ORIGINAL FICTION
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
SCHOOL OF MAGIC 
@mickey139
Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

Don't Like Don't Read




🌕🌕🌕

Lorong goa itu begitu gelap membuat mata Aleia tak bisa melihat apapun. Meski dia sudah menggunakan sihir penerangan, sihir itu tidak begitu berguna. Beberapa kali dia tersandung karena lorong goa tidak memantulkan cahaya. Aleia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dia berada di dalam goa. Ingatan terakhirnya adalah ketika dia tidak sengaja menemukan beberapa orang bertudung sedang melakukan ritual, lalu ketika dia membuka mata, keadaan Aleia sudah seperti itu.

Aleia tidak tahu sudah berapa lama dia bergerak yang jelas tubuhnya sudah mulai kelelahan, kakinya juga sudah tidak sanggup bergerak. Hingga ketika tubuhnya hampir jatuh, sebuah cahaya tiba-tiba muncul dan memerangkap dirinya.

Saat Aleia membuka mata, Aleia sudah berada di sebuah bangunan yang sangat dia kenali. Tubuhnya kini menjadi anak kecil berumur tujuh tahun. Badannya berada di lantai dengan baju basah karena keringat. Tubuhnya terasa panas dengan tenggorokan yang kering. Meski Aleia tahu kalau apa yang dia alami saat ini adalah halusinasi, tetapi sensasi panas yang dirasakan tubuhnya terasa nyata. Rasa sakit pada sekujur tubuhnya bukan hanya halusinasi.

Aleia mencoba bergerak. Tubuh ringkihnya perlahan menggerakkan tangannya untuk mengambil air minum, tetapi dia terjatuh. Beberapa kali pun dia berusaha tubuh kecilnya kesulitan. Pada akhirnya Aleia pingsan karena kelelahan. Tubuhnya kembali berbaring di lantai keramik yang dingin.

Dulu, Aleia pikir hidupnya tidak akan lebih buruk ketika orang tuanya meninggal akibat kecelakaan mobil beberapa bulan sebelum dia masuk ke dalam panti asuhan itu. Tetapi, setelah sebulan berlalu, orang-orang yang dia pikir keluarga juga pergi meninggalkan dirinya bersama dengan warisan orang tuanya.

Aleia harus menjalani kerasnya kehidupan diusia belia. Tinggal di panti asuhan tidaklah menyenangkan. Dia dipaksa hidup mandiri, dikucilkan, bahkan tidak jarang dia pun dipukuli kalau tidak sengaja melakukan kesalahan.

Teman-teman panti tidak bisa membantu, karena sebagian dari mereka juga turut membully-nya. Dan, ketika di sekolah penderitaan Aleia tidak hilang.

Aleia sering menjadi samsak, bahkan tak jarang tubuhnya lebam-lebam ketika pulang ke panti. Di sekolah dia tidak punya teman, di panti pun dia dikucilkan. Hidupnya benar-benar menyedihkan.

Aleia tidak tahu berapa lama dia tertidur karena kepalanya masih berdenyut dan badannya masih terasa panas ketika seseorang menyiram tubuhnya dengan air dingin.

"Kau pikir ini sudah jam berapa, ha?"

Dia Maria, salah satu pengurus panti tempat Aleia tinggal setelah kedua orang tua dan saudaranya meninggal karena kecelakaan.

"Maaf, Bu. Tolong biarkan aku istirahat beberapa menit lagi. Badanku sakit sekali."

"Jangan banyak alasan. Cepat bangun!"

Aleia memaksa tubuh kecilnya bergerak. Meski beberapa kali tubuhnya terhuyung Aleia lebih memilih bekerja.

"Minggir!"

Dan sekali lagi tubuh Aleia terhuyung, namun dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Badannya Pada akhirnya, dia terjatuh, lalu semuanya menjadi gelap.

🌕🌕🌕

Ketika Aleia membuka mata, beberapa wajah asing berdiri di depannya. Tampak seperti menyambut dirinya dengan raut bahagia.

Alea merasa mereka sangat familiar. Tetapi, ketika dia ingin bersuara, mulutnya tidak mampu mengeluarkan sepatah kata. Yang dia dengar malah suara bayi yang mengoceh tak jelas.

Aleia kembali berusaha bersuara, namun lagi-lagi tak ada yang jelas dari ucapannya.

Mata Aleia terpaku pada tangannya yang tidak sengaja dia lihat. Tangannya begitu mungil seperti bayi. Dan ketika seseorang menggendongnya barulah Aleia sadar kalau saat itu dirinya kembali menjadi bayi.

"SΦαίνεται ότι η δεσποινίς είναι πεινασμένη, ναι?" kata seseorang yang berbaju hitam seperti pelayan.

Namun, Aleia tidak mengerti bahasa yang dia gunakan dan bahkan tidak pernah mendengar bahasa itu sebelumnya.

"Ανν, τελείωσε το γάλα της δεσποινίδας Αλείας;"

"Ναί."

Seorang pelayan menyodorkan susu ke mulut Aleia, tetapi Aleia berusaha menolaknya. Harga dirinya tidak mengijinkan dia meminum susu itu. Usianya sudah remaja dan tidak ada remaja yang meminum susu dengan dot. Sayangnya, perutnya tidak bisa berkompromi. Jadi, dengan terpaksa dia menerima dot itu.

Beberapa saat ketika Aleia sedang meminum susu, rasa kantuk yang luar biasa mendatanginya. Sekuat tenaga dia berusaha melawan. Tetapi, Aleia tidak sanggup menang. Pada akhirnya, Aleia jatuh dalam tidurnya.

🌕🌕🌕

Alea merasa dia baru saja tertidur, namun ketika dia membuka mata tubunya tengah ditarik oleh seseorang. Mereka mencoba kabur dari sesuatu yang Alea tidak tahu, sampai akhirnya mereka berhenti karena kelelahan.

"Nona, bisakah nona tunggu di sini? Tapi, nona tidak boleh bersuara. Apapun yang nona lihat atau dengar, jangan pernah keluar atau bersuara."

Alea ingat kejadian ini. Meski sudah berlalu selama lebih satu dekade, Alea tak pernah lupa.

Suara-suara di luar begitu memekakkan telinga. Bau anyir darah dan barang terbakar bercampur di udara. Namun, Alea hanya bisa meringkuk sembari menuruti perkataan sosok yang baru saja meninggalkannya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alea menahan napas, berusaha tidak membuat suara. Sosok yang menarik tubuhnya muncul kembali, kali ini dengan ekspresi serius dan penuh tekad.

"Nona, kita harus pergi sekarang," bisik sosok itu dengan suara rendah namun tegas. Sosok itu perlahan mulai tampak jelas. Dia adalah Sarah, pelayan pribadinya yang sudah menjaganya sejak masih balita. Pelayan setia yang selalu melindunginya dan memberikan kasih melebihi orang tuanya. "Jangan membuat suara apapun, Nona."

Alea hanya bisa mengangguk, meskipun dia ingin memberontak, tubuhnya tak bisa dan hanya bergerak persis seperti yang dia ingat dulu. Sarah mulai menariknya dengan lembut namun cepat, membawa Alea keluar dari tempat yang entah di mana itu.

Mereka melewati lorong-lorong sempit yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu-lampu yang menempel di dinding-dinding. Bau lembab mengudara dan membuat pernapasan Alea tak nyaman. Setiap langkah terasa berat bagi Alea, namun begitu dia tetap berusaha mengikuti sosok itu dengan sekuat tenaga.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu besar yang tampak kokoh. Sarah berhenti sejenak, menoleh ke arah Alea, dan memberikan isyarat agar ia tetap diam. Dengan hati-hati, sosok itu membuka pintu tersebut, mengungkapkan cahaya terang yang menyilaukan.

"Kita hampir sampai," bisik sosok itu. "Aku akan menjaga Nona sampai ke tempat yang aman."

Alea hanya bisa mengangguk.

Namun, sesaat setelah pintu gerbang terbuka dan orang-orang berdatangan dan menggerubungi dirinya Sarah kemudian ambruk, meninggalkan Alea dengan tangis tanpa suara. Sarah tergeletak di hadapannya dengan darah mengalir dari punggungnya.

🌕🌕🌕

Kendari, 6 Juni 2024

Mickey139



Share:

Monday, June 2, 2025

ANAK TOKO - Pelanggan Genit

Sangat disarankan memberi kritik dan saran.


Main : Tini, Mila, Mulyadi, Agus, Ridho
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139




SUMMARY :

Kisah para kacung alias anak toko yang ditempatkan di minimarket desa. Desa itu agak sepi, apalagi saat malam. Rata-rata aktivitas di lakukan saat pagi hingga jam delapan malam. Di sana tidak ada hiburan. Jadi, hiburan satu-satu nya anak toko adalah ketika pembeli datang ke toko.

~happy reading~




Siang itu suasana Minimarket agak ramai. Ada sekitar 4 orang pelanggan yang sedang mencari barang dan satu pelanggan sedang dilayani Mila.

Pelanggan itu berbeda dari pelanggan biasa yang dilayani Mila. Tetapi, bukan karena cara pakaiannya yang mirip om-om seperti sinetron tahun 90-an, atau keranjang penuh snack yang tidak sesuai dengan umurnya- yang kalau dilihat sudah hampir mencapai setengah abad. Hanya saja, pelanggan itu betul-betul membuat Mila risih.

Pelanggan itu seolah tak sadar umur atau memang tak peduli. Kalimat-kalimat godaan yang keluar dari mulut pelanggan itu membuat Mila ingin sekali menampol mulutnya dengan botol kecap yang sedang promosi di sampingnya. Untungnya, Mila masih ingat gajinya. Jadi, dia masih bisa bersikap profesional dan meladeni secukupnya pelanggan itu.

"Dek, jangan pasang muka cemberut. Sayang sekali muka cantiknya. Senyum dong." kata pelanggan itu dengan nada menggoda.

Mila mendengus dalam hati Berusaha tetap fokus dan membalasnya dengan profesional. "Terima kasih, Pak. Muka saya memang sudah begini."

"Gak apa-apa. Mukamu tetap cantik, kok."

Tanpa menghiraukan kata-kata pelanggan itu, Mila kemudian bertanya. "Ada lagi, Pak yang bisa saya bantu?"

"Bantu hangatkan ranjangku, boleh dek? Eh, maksudku hangatkan hatiku. Aduh, kadang-kadang mulutku asal bicara. Hehehe... Tapi, kalau adeknya mau, aku sih yes aja ya."

Oh, astaga. Seumur-umur Mila kerja di toko barusan dia dapat pelanggan yang kurang ajar seperti ini. Mila betul-betul ingin menjajali mulut pelanggan itu dengan cabe carolina reaper sekilo, biar lambungnya hancur sekalian.

Mila menarik napas samar, menenangkan dirinya dari rasa marah, kemudian tersenyum ke pelanggan itu dan menjalankan SOP lainnya. "Pulsa sekalian, Pak?" tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Mila, pelanggan itu kembali berbicara. "Punya pacar gak dek? Kalau nggak, bisa dong kita jalan. Hehehe...."

Wajah Mila sudah mulai meredup, tetapi dia tetap berusaha sabar. "Makasih, Pak. Tapi, saya lebih suka jalan dengan laki-laki yang kalem dan gak banyak bicara, Pak. Apalagi sampai menggoda kasir."

Pelanggan itu tertawa kecil tak peduli dengan sindiran Mila.

"Aduh, jangan gitu dong, nanti aku jadi malu. Kalau kamu lagi nggak sibuk, kita nongkrong yuk. Aku jamin, bisa bikin hari kamu lebih seru!"

Mila yang sudah mulai merasa agak terganggu tapi tetap menjaga profesionalisme menjawab dengan santai, "Maaf ya, Pak. Mending nongkrong sama teman-teman bapak aja. Kalau sama saya, bisa-bisa nanti ngobrolnya cuma soal stok barang dan diskon aja."

"Ah, nggak apa-apa kok. Saya bisa menyesuaikan."

Mila tertawa tetapi matanya sudah menunjukkan aura ingin membunuh pelanggan di depannya itu. "Sayanya, Pak yang tidak bisa menyesuaikan. Tahu kan pak, biasanya anak muda dan bapak-bapak punya topik beda." katanya sembari lanjut men-scan barang tanpa melihat wajah pelanggan di depannya itu.

Pelanggan itu tersenyum, tapi seolah tak mau tahu maksud Mila dia melanjutkan godaannya. "Nah, saya suka nih yang pintar-pintar kayak kamu."

Mila betul-betul sudah muak. Dia angkat kepalanya dan menatap pelanggan itu. Tapi, bukan ekspresi ingin membunuh yang dia kasi melainkan senyum sopan yang ramah. "Terima kasih, Pak. Total belanjanya Rp 575.700,- Pak."

"Oh, i... iya. Terima kasih ya cantik. Lain kali aku datang lagi yah."

Mila tidak menyahut dan hanya memberikan senyum sopan. Tetapi dalam hati menyahut, 'jangan kembali lagi, Pak. Takutnya saya nggak kuat dan langsung melempari bapak dengan rak pajangan'.
Mickey139



Share:

Thursday, May 22, 2025

Pelukanku untuk Arwahmu : 2. Abyasa

Main : Calista, Abyasa, Kanaya
Rate: T
Genre: Romance, Mistery
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



👻👻👻

BAB 2. Abyasa


Sejak pertemuan tak terduga di taman kampus, pikiran Calista dipenuhi oleh sosok Abyasa dan arwah perempuan yang selalu mengikutinya. Entah kenapa dirinya dipenuhi rasa penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut tentang mengapa arwah gadis itu tak pernah berbicara, hanya memandang dengan sorot mata yang sendu, seolah menanti sesuatu yang belum tersampaikan.

“Calista!”

Calista tidak mengetahui berapa lama ia melamun hingga ada seseorang yang menarik tasnya seraya memanggilnya dengan suara yang keras.

“Lo mau bunuh diri, apa gimana?”

“Ha?”

Dini, gadis yang sedari tadi berjalan di samping Calista hanya mendengus mendapat respon dari Calista.

“Lihat depan!” kata Dini malas.

“Ah!”

Calista terlonjak sedikit dan buru-buru melangkah mundur dari tepian trotoar, matanya membulat saat melihat sebuah motor melaju cepat hanya beberapa meter dari tempat ia tadi berdiri. Jantungnya masih berdetak kencang saat ia akhirnya bisa kembali fokus pada kenyataan.

“Lo dari tadi jalan kayak mayat hidup,” sentak Dini dengan gemas tapi matanya penuh kekhawatiran. “Gue udah manggil lo tiga kali. Apa sih yang lo pikirin?”

Calista menatap sahabatnya itu dengan wajah yang masih pucat. “Maaf, Din.”

“Ck, sejak kapan lo bisa melamun sampe nyaris ketabrak motor? Jangan bilang ini gara-gara Abyasa?”

Calista menunduk, menggenggam tali tasnya erat-erat. Dirinya masih syok dengan apa yang baru saja terjadi dan membiarkan pertanyaan Dini menggantung di udara. Selang beberapa detik Calista menarik napas lalu menghembuskannya perlahan dan mengangguk pelan. “Iya...” gumamnya lirih. “Dan... Cewek yang selalu ikut di belakangnya.”

Dini mendelik. “Maksud lo? Penguntit?"

Calista menggeleng, "Bukan."

"Setan?”

Calista mengangguk pelan. “Tepannya arwah. Gue nggak bisa berhenti mikirin kenapa arwah itu terus di dekat Abyasa. Tapi yang paling bikin gue bingung... dia nggak pernah ngomong apa-apa. Cuma mandangin Abyasa. Kayak... kayak dia nyimpan sesuatu yang nggak bisa disampaikan.”

Dini mendesah, menatap Calista dengan ekspresi antara prihatin dan lelah. Dia sudah lama tahu tentang kemampuan temannya ini, dan walau sudah terbiasa, tetap saja ia merasa tidak nyaman setiap kali pembicaraan itu muncul.

Bukan karena alasan tidak percaya, hanya saja dia tidak pernah melihat apa yang dilihat Calista, keterikatan yang sering arwah berikan ke Calista atau cerita apa yang sering arwah itu bagi lewat perasaan mereka. Jadi, dia tidak terlalu paham permasalahan cewek itu. Dan, itu yang membuatnya tak nyaman.

“Lo udah coba tanya Abyasa?” tanya Dini sekali lagi.

Calista menghela napas. “Belum.”

“Kenapa?”

“Gak berani.”

“Kok gitu?” Dini benar-benar merasa gemas terhadap temannya itu. Padahal tinggal ditanya, tetapi cewek itu malah menundanya.

Calista yang mendengar pertanyaan itu mendengus kemudian menjawab, “Ya kali. Coba bayangin, tiba-tiba ada orang yang lo gak kenal sebelumnya terus datang dan tanya, kamu gak ngerasa ada yang ikutin kamu? Atau punggung kamu berat, gak? Aku bisa lihat arwah, loh. Kan, aneh, Din.”

“Yah, emang aneh sih. Terus lo mau ngapain?”

Calista mengangkat bahu, “Gue juga gak tahu.”

“Atau, lo mau gak gue bantu. Maksud gue buat ngomong ke dia.”

Calista menggeleng, tentu saja dia tidak. Lagipula, dia dan Abyasa tidak saling kenal, dia juga bukan tipe KEPO akut yang mau tahu segalanya. Dirinya hanya penasaran karena baru kali ini dia menemukan sosok yang berbeda dari biasanya.

“Nggak usah.”

“Yakin?”

Calista mengangguk mantap. “Yakin.”

“Oke. Tapi, kalau ada yang lo rasa aneh, kasi tahu gue.”

“Oke.”

Setelah percakapan singkat itu mereka kembali melanjutkan langkah, kembali pulang ke kos. Meski siang itu terik, pohon-pohon di sekitar jalan kampus membuat udara di sekitar mereka terasa sejuk. Tidak ada sampah berserakan karena para tukang bersih selalu rajin datang pagi-pagi untuk membersihkan area kampus. Jadi, tidak ada pemandangan yang membuat mata gatal dan betah untuk berjalan kaki.

Namun, entah semesta yang tak mengijinkan Calista untuk beristirahat dengan tenang hari itu atau karena memang hari itu bukan hari keberuntungannya, Calista malah dipertemukan dengan orang yang ingin dia hindari, meski mereka tak kenal.

Calista mengambil ancang-ancang. Bersiap untuk mengambil langkah seribu. Sayangnya, mulut Dini bergerak lebih cepat. Cewek manis dan tomboy itu malah memanggil Abyasa. “Yasa!” dengan panggilan akrab yang bahkan tidak pernah Calista dengar sebelumnya.

Dan, sebelum Calista bergerak, Abyasa sudah mendekat dengan senyum hangat ciri kasnya. Calista jadi merasa tak enak menghilang ketika cowok itu sudah berada di depan mereka.

“Kok lo manggil?” sergah Calista setengah jengkel. Terlebih ketika ia melihat arwah cewek yang mengikuti Abyasa masih setia mengikuti cowok itu. Ada sesuatu yang selalu menarik dirinya untuk ingin membantu permasalahan arwah cewek itu, padahal dia benar-benar tak ingin berhubungan dengan Abyasa dan Arwah itu.

“Ah, reflek.” jawab Dini sambil menyengir. “Kebiasaan sih.”

“Kebiasaan?” sahut Calista sambil mendengus. “Atau sengaja?”

Dini menyengir. “Beneran. Kebiasaan sejak kecil. Abyasa kan sepupu gue.”
Calista berdecak. Betul-betul merasa tak nyaman sekarang. Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menghela. Dan lagi kenapa dia baru tahu kalau Dini dan Abyasa itu sepupu? Padahal mereka sudah 2 tahun berteman.

“Tenang aja. Dia gak makan orang kok."

Calista memilih diam, tak ingin menanggapi candaan Dini. "Mau gue bicara sama dia?”

“Din!” geram Calista dengan suara rendah.

“Ck, kenapa lo suka sekali bikin ribet diri lo sendiri, sih?”

“Nggak ribet kok.”

Dini memutar bola matanya sambil menjawab, “Cuma bikin pusing sendiri.”

Obrolan mereka terpotong ketika Abyasa sudah berada di depan mereka. Masih dengan senyum hangat yang membingkai wajah laki-laki itu, dia menyapa Dini, “Lo mau pulang ke kos.”

Dini mengangguk. “Yaps." Kemudian menyerngit ketika melihat penampilan laki-laki itu yang agak berantakan. Keringat yang memenuhi wajahnya, bajunya yang agak basah, dan wajah kuyu yang membuat tangan Dini gatal untuk membasuh wajah sepupunya itu. "Muka lo kenapa kusut amat?"

"Motor gue bannya kempes."

Dini mengangguk, "Oh. Btw, kenalin ini teman kelas gue. Calista.”

Abyasa tersenyum melihat Calista kemudian mengulur tangannya yang disambut ragu-ragu oleh Calista.

“Abyasa.”

“Ca … Calista.”

Abyasa mengangguk. Lesu yang tadi mereka lihat sudah tak ada lagi dan berganti senyum. Sayangnya, Calista tak memedulikan itu. Dia justru lebih memedulikan pada sosok di belakang Abyasa.

Sesekali Calista melirik arwah itu yang tetap tak mengindahkan dirinya dan terus memandang Abyasa dengan tatapan sendu. Dan itu membuatnya tak nyaman. Lebih dari ketika bertemu arwah cerewet yang meminta bantuannya.

“Kita kemarin ketemu, kan?” tanya Abyasa tiba-tiba.

Tatapan Calista kembali fokus pada Abyasa dan mengangguk. “I... iya." Padahal mereka selalu ketemu namun tak pernah bersapa. Calista ingin sekali mengatakan itu, tetapi ia lebih memilih mengatakan yang lain. "Maaf kalau itu bikin kamu nggak nyaman.”

Abyasa menggeleng cepat, “Tidak kok. Tapi, aku cuma aneh saja.”

Calista mengangguk, “Aku juga kalau ada yang datang tiba-tiba kayak kemarin, pasti ngerasa aneh.”

“Bukan, bukan aneh kayak gitu.” Abyasa buru-buru membantah perkataan Calista. “Gue cuma penasaran. Kenapa lo tiba-tiba hampiri gue?”

Calista diam sejenak, dia melirik Dini di sampingnya yang memberikan kode untuk bicara dan mengalihkan pembicaraan. Tetapi gadis itu hanya diam. Calista tak bicara apa-apa. Dia benar-benar tak ingin mengatakan kebenaran tentang kemampuannya. Dia tidak ingin dianggap aneh seperti ketika sekolah dulu.

"Itu, m, aku kira kamu temanku dulu."

"Bohong!" Sentak Dini membuat Abyasa menatap Dini dengan kening berkerut heran sekaligus penasaran. Kemudian tatapannya beralih pada Calista untuk meminta jawaban namun bukan tuntutan yang wajib Calista jawab, karena dia tahu Dini seperti apa. Cewek itu tentu saja suka menggoda temannya, terlebih ketika berdekatan dengan dirinya.

"Din, apaan sih."

"Calista, mending lo jujur deh. Yasa juga gak bakal nge-judge lo kok."

Calista benar-benar kesal pada Dini. Dia menatap Dini seolah ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

"Kalian bicara apa?" tanya Abyasa yang tampangnya benar-benar kebingungan namun juga penasaran.

"Calista Indogo." Sentak Dini, membuat Calista sebentar lagi meledak. "Dan, dia juga lihat ada yang ngikutin lo."

"DIN! Apa-apaan sih lo?"

"Oh?"

"Ah, pantas saja." kata Abyasa tiba-tiba. "Kemarin kayaknya lo ragu-ragu mau bilang apa. Itu gue heran, tapi pas gue mau nanya, elo sudah hilang. Emang lo lihat siapa? Khodam gue." kelakar Abyasa.

Lain halnya dengan Calista, cewek itu tak memedulikan candaan Abyasa. Dia menatap laki-laki itu agak ragu kemudian menyahut, "Itu yang ngikutin kamu cewek. Cantik."

Abyasa menyerngit, "Lo bisa kasi gambarannya?"

Calista mengangguk. "Cewek, putih, rambut hitam panjang sepunggung. Ada tahi lalat di bawah mata kirinya."

Abyasa tiba-tiba terdiam. Pikiran laki-laki itu seolah melayang dan membuat Calista dan Dini heran.

"Yasa?"

"Ah, astaga gue lupa Tio minta flashdisk-nya dikembalikan. Ntar kita lanjut ya Din. Gue duluan."

Calista dan Dini saling berpandangan, pikiran mereka tiba-tiba sama. Sama-sama berpikir kalau cowok itu punya masalah dengan arwah cewek yang dilihat Calista.

TBC
Share:

Monday, May 19, 2025

NOT PERFECT#21

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Main : Yoga, Nayla
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



💝💝💝

Yoga tidak mengerti kenapa perasaannya seperti roller coster sekarang. Tadi dia merasa senang dan sekarang perasaannya justru tak nyaman melihat kehadiran laki-laki lain yang tampak begitu nyaman berbicara dengan Nayla.

Setidaknya sudah ada lima belas menit laki-laki itu berbicara dengan Nayla dan seolah melupakan kehadiran Yoga di samping mereka.

Teman Nayla itu kentara sekali kalau menyukai Nayla. Dan, entah Nayla sadar atau tidak, gadis itu seolah membuat dinding yang tidak boleh dilewati. Yoga tahu, karena selama ini ia melakukan hal yang sama terhadap keluarga atau rekan kerjanya yang ingin mendekat atau sekedar ingin memanfaatkan dirinya.

Yoga melihat jam tangannya dan secara sengaja mengalihkan pandangan dua orang di depannya itu. "Nay..." sapanya hingga membuat Nayla teralihkan padanya.

"Astaga, Mas. Maaf, aku lupa kalau mas sibuk. Mau pergi sekarang?"

Lalu teman Nayla melihat Yoga dan memberikannya senyum. Yoga tahu, di balik senyum itu ada rasa tak suka sekaligus iri, tetapi Yoga tidak peduli. Dan, entah kenapa ada sisi lain dari dirinya yang senang melihat reaksi teman Nayla.
"Dia siapa, Nay?" Pria itu melirik Yoga penasaran. "Lo sama siapa?"

Nayla berpaling pada temannya lalu tersenyum, "Pacar." Dan kembali menatap Yoga dan memberikan kode kalau dia butuh bantuan itu. "Dia pacar gue."

Senyum laki-laki itu hilang berubah sendu. Ia menatap Yoga penuh penilaian, kemudian berpaling pada Nayla.

"Jadi itu beneran?"

Nayla menggeleng penuh penyesalan, "Maaf. Tapi gue harap kita masih temenan."

Sementara Yoga yang menjadi penonton hanya mengamati saja. Awalnya, ia sebenarnya kaget karena tidak ada bayangan kalau Nayla akan menyebutnya sebagai pacar, tetapi kemudian dia sadar, Nayla hanya memainkan peran.

Yoga tahu, menolak cinta dari orang yang kekeh itu lebih sulit daripada menyatakan cinta pada idola. Karena butuh keberanian dan hati keras untuk menolaknya.

"Gue Andika, mantan calon pacar Nayla."

Jika Yoga tak ingat sedang membantu Nayla, ia pasti akan terbahak dengan jawaban konyol tapi berani itu.

"Saya Yoga." Dan sebenarnya bukan pacar Nayla. Setidaknya untuk saat ini belum, Yoga menambahkan dalam hati.

"Lo gak marah, gue bilang Nayla calon pacar gue?"

Bagaimana bisa Yoga marah, sementara ia belum mempunyai hak?

"Tidak. Karena Nayla sudah memilihku. Artinya Nayla sudah memberikan hatinya hanya untuk saya."

Jawaban penuh percaya diri Yoga membuat Andika berdecih, tetapi hanya sesaat sebelum ia tersenyum lalu menepuk bahu Yoga. "Kalau gitu, gue titip Nayla." Selanjutnya ia bergerak menjauh.

"Kok aku merasa kayak baru dilepas mama?"

Yoga terkekeh mendengar keluhan itu. "Setidaknya dia sudah ikhlaskan kamu."

"Iya sih. Betewe, maaf mas. Aku bilang pacar tanpa bilang dulu."

"Tidak masalah. Serius juga aku senang."

"Bercandanya."

"Beneran loh. Mau jadi pacar beneran gak?"

Dan wajah Nayla langsung berubah merah padam. Gadis itu menunduk lalu mendahului Yoga untuk duduk.

Sepertinya Yoga sudah melewati percobaan pertama.

💝💝💝
Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

Thursday, May 15, 2025

Pelukanku untuk Arwahmu : 1. Tatapan Pertama

Main : Calista, Abyasa, Kanaya
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139



👻👻👻

BAB 1. Tatapan Pertama

Langit sore itu diselimuti awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan Calista yang tengah diliputi kegelisahan. Mahasiswi semester empat jurusan Teknik Kimia ini berjalan menyusuri koridor kampus dengan langkah cepat, berharap bisa segera sampai di perpustakaan untuk menenangkan pikirannya.

Sejak kecil, Calista memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain: ia bisa melihat arwah. Kemampuan ini sering kali membuatnya merasa terasing dan kesepian.

Saat melewati taman kampus, pandangan Calista tertumbuk pada seorang pria yang duduk sendirian di bangku taman. Pria itu adalah Abyasa, mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur yang populer di fakultas mereka. Tidak hanya itu ia juga dikenal karena ketampanan, kecerdasan, dan sikapnya yang ramah. Namun, yang membuat Calista terkejut bukanlah kehadiran Abyasa, melainkan sosok perempuan pucat yang berdiri di belakangnya.

Sosok perempuan itu mengenakan gaun putih selutut yang sudah menguning juga tak mengenakan alas kaki. Gadis itu menatap Abyasa dengan ekspresi sedih dan Calista sadar bahwa perempuan itu adalah arwah.

Penasaran, Calista mendekati Abyasa dan mulai menyapa, "Maaf.”

Abyasa menoleh dengan ekspresi bingung. "Ya? Gue?”

Calista mengangguk kemudian melirik sejenak pada gadis itu, namun gadis itu hanya diam dan terus menatap Abyasa. “Kamu … “ Calista ragu sejenak sebelum sadar apa yang sudah dia lakukan, "Ah, tidak apa. Mungkin aku salah. Maaf." Setelah mengatakan itu Calista buru-buru pergi dari sana.

Gadis itu seperti lupa sejenak bahwa laki-laki itu adalah laki-laki popular di fakultasnya. Laki-laki yang tidak seharusnya dia dekati karena gossip gampang beredar di sekitar laki-laki itu. Dan dia tak ingin kehidupan damainya terancam. Sudah cukup dirinya dipusingkan oleh hantu-hantu yang terus saja berusaha meminta perhatiannya.

Namun rasanya ada yang aneh. Berbeda dengan arwah lain yang sering Calista temui, arwah gadis tadi tak berusaha menarik perhatiannya. Dia justru mengabaikannya. Seolah Abyasa adalah magnet yang membuatnya tak bisa berpindah.

Calista benar-benar penasaran dengan arwah tadi. Apa yang membuatnya tak bisa pergi dan masih menetap di dunia ini. Lalu yang lebih membuatnya penasaran adalah apa yang sudah Abyasa lakukan hingga gadis itu mengikutinya.

Calista menggeleng saat pikiran negative tentang laki-laki itu terlintas sejenak di pikirannya. Jadi, dia memutuskan untuk cepat tiba di perpustakaan untuk menyelesaikan tugasnya.

Di sisi lain, berbeda dengan Calista, Abyasa justru merasa aneh sekaligus penasaran dengan Calista. Laki-laki itu tak merasa jika gadis yang baru saja menghampirinya itu mencoba mendekatinya seperti gadis lain. Gadis itu seolah hanya ingin memastikan sesuatu dan tahu sesuatu yang tidak dia ketahui.

Namun, ketika dia ingin menghampiri gadis itu, gadis itu telah hilang dari pandangannya. Alhasil, dia tidak bisa melakukan itu dan menunggu sampai mereka bertemu kembali.

TBC
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com