Fly with your imajination

Wednesday, October 10, 2018

BECAUSE OF YOU

From WATTPAD Clinton Clive

TITTLE : BECAUSE OF YOU
BY : MICKEY139 DAN EPRAKOSO

SORT STORY

ENJOY IT





"Selamat pagi, semua."

Cengiran khas laki-laki itu terpatri di wajahnya ketika menyapa seisi kelas. Surai hitam melambai diterpa angin sepoi pagi yang berasal dari luar kelas. Wangi semerbak dari parfum yang dia gunakan menyebar, hingga masuk ke indra pembauku.

Tidak berubah, gumamku di sela-sela kegiatanku membaca novel.

Rasanya waktu berlalu terlalu cepat, secepat kereta api bergerak bahkan saking cepatnya nasibku tidak berubah-ubah. Aku masih mengaguminya namun tak berani menyapa. Sekalinya disapa, aku malah lari terbirit. Ah, nasibnya orang ansosial, terlalu pesimis sama orang lain, pikirannya negatif terus, padahal dia tidak berniat buruk. Laki-laki tukang cari masalah belum tentu jahat, kan?

Dan pertanyaannya, kenapa meski aku sudah tahu dia tukang rusuh, aku malah menyukinya? Padahal anak kecil pun tahu betapa bedanya sifat kami berdua, seperti air laut dan air sungai. Sangat berbeda.

Aneh, bukan?

“Johan?!”

Riki─ si tukang cari masalah nomor dua, sekaligus teman dekat Johan memanggilnya. Laki-laki itu menunjukkan poselnya lalu menyengir lebar, “Ada yang baru. Buruan!” serunya hingga membuat beberapa anak-anak cowok ikut mengerubunginya.

“Wih, Njirr. Lo dapat dari mana ni pideo?” Celutuk Johan yang dianggukan oleh teman-teman cowoknya yang lain.

“Ada dong. Makanya fasilitas sekolah dimanfaatkan. Hahaha..” sahutnya dengan bangga.

“Eh... eh... gila gede banget lagi, gue juga kepengen... gimana caranya tuh?”

"Ngocok aja terus. Lima kali sehari, dijamin dah punyo lo juga bakal gede."

"Seriusan?"

"Gue juga kayak gitu kali, makanya punya gue besar. Mau lihat gak lo?"

"Bego lo."

"Kampret."

"Diam Njir, gue masih mau nikmatin ni, sebelum guru datang."

"Ck, oke."

"Buju buset, toketnya men, gede banget. Gimana rasanya tuh dinenen."

"Kampret, berisik lo. Lo mau kita ketahuan, hah?"

"Refleks, Men. Gue baru lihat yang gede kayak gitu. Cewek gue aja gak segede gitu."

"Gue laporin lo ke Tina."

"Eh... eh jangan dong."

Lalu mereka tertawa dan membuat seisi kelas menatap mereka penasaran namun tak ada yang menghampiri mereka.

Aku tidak tahu video yang mereka maksud itu tentang apa dan aku tidak ingin tahu. Aku lebih tertarik pada novel mistery yang kemarin ku beli dari online shop. Novel ini jauh lebih menarik ketimbang mencari tahu tentang apa yang mereka lakukan, minus Johan tentu saja.

Tidak lama berselang, guru masuk dan membubarkan paksa grup cewek-cowok yang tadi saling membentuk kelompok dan hanya beberapa menit kemudian guru memulai ritualnya.

Mungkin di dunia ini hanya ada tiga dari puluhan murid yang berada di dalam kelas yang mau menyimak pelajaran yang menurut mereka membosankan, mungkin juga hanya ada belasan murid dari puluhan murid di dalam kelas yang tidak akan tidur jika diterangkan pelajaran sejarah layaknya lululabi yang di dendangkan oleh pianis jenius.

Dan sepanjang penglihatanku riset konyol dadakan itu memang benar. Tak sedikit murid cowok di kelasku yang tidur lalu dihiraukan oleh guru dan tidak sedikit pula murid cewek yang lebih memilih melanjutkan acara gosip mereka yang tertunda tadi di grup medsosnya. Guru sejarahku tetap saja masa bodoh dengan perilaku rekan-rekan sekelasku.

Rekan?

Yah rekan. Kalian tidak salah baca. Murid-murid kelasku memang kusebut sebagai rekan dan bukan teman. Tentu saja bukan tanpa alasan, mungkin jika kalian menjadi salah satu di antara mereka, kalian juga tidak akan ingin menjadi temanku atau bahkan mengenalku.

Tidak ada satu orang pun yang ingin mempunyai kenalan seorang yang dikutuk.

Tapi tenang saja, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Dijauhi, dicibir, bahkan dianggap seperti kotoran pun tidak akan membuatku sedih.

Semuanya sudah biasa.

Aku memejamkan mata dan menghirup udara kelas yang berubah pengap bercampur keringat juga berbagai jenis bau parfum sambil mencoba menetralkan diriku. Kembali pada realita dan memfokuskan diri pada materi yang dijelaskan oleh Guru.

...

Hari sudah menjelang sore ketika aku tiba di rumah. Hanya ada keheningan dan kegelapan yang menyambutku pulang. Tidak ada siapapun bahkan seekor jangkrik sekalipun.

Aku kemudian menyimpan sepedaku di bagasi kecil di depan rumah lalu mencari tombol untuk bisa membuka pintu. Beberapa detik mencari, akhirnya aku menemukannya. Hanya berselang tiga detik setelah tombol itu kutekan, dinding di depanku bergeser dan menampakkan pintu rumah biasa yang dengan mudah bisa dibuka.

Rumah ini sangat keren, kan?

Tapi kalau orang-orang melihat tempat tinggalku ini dari luar, rumah ini malah seperti gudang penyimpanan barang-barang yang ditangguli bebatuan tanpa pintu masuk dengan tumbuhan yang merambat menutupi hampir semua tanggulan─ dari pada rumah pada umumnya. Bentuk dan isi dalamnya saja berbeda, hanya beberapa saja yang sama, termasuk kamar tidur, dapur, dan ruang tamu, selebihnya berupa ruangan tak terpakai, koridor yang banyak memiliki perangkap dan juga beberapa jalan rahasia. Rumah ini benar-benar seperti benteng pertahanan dan aku sangat yakin, tidak akan ada seorang pun yang ingin masuk untuk kedua kalinya kemari. Keren, kan?

Aku sungguh salut pada arsitek yang sudah merancang rumah ini. Entah apa yang ia makan hingga otaknya bisa membuat rancangan seperti rumahku.

Oh betewe, sebenarnya aku sudah tidak punya orang tua, pun dengan sanak saudara. Jadi aku hanya hidup sendiri di rumah ini bahkan di dunia ini. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sudah meninggal dua tahun yang lalu. Dia adalah kakekku, satu-satunya orang yang sangat kucintai sekaligus orang yang sudah mewariskan rumah ini padaku.

Aku menghembuskan nafas lelah, lalu berjalan masuk dan menyalakan saklar lampu. Duduk di sofa untuk beristirahat sejenak sebelum berbenah diri dan pergi melakukan pekerjaanku.

Hidup sendiri itu harus bisa menghidupi diri sendiri. Mandiri dan tidak tergantung pada orang lain juga tidak suka mengeluh.

Tapi, kalau capek, boleh lah mengeluh. Hahaha...

...

Ah, segar, adem, dan enak.

Tiga kata yang mewakili apa yang kurasa saat ini. Memang benar kata orang, pengalihan terbaik dari rasa lelah adalah dengan mandi air hangat yang sudah diberi wewangian aroma terapi. Selain membuat tubuh ringan, perasaan nyaman, juga otak jadi rileks.

Dan hal berikutnya yang bisa membuat lelah kita berkurang adalah dengan mengisi bahan bakar perut alias makan makanan enak dan mengenyangkan.

Eh, tapi kalau kupikir kembali, bukankah bahan makanan di kulkas sudah habis? Ish, sial. Harus keluar belanja deh.

Malas sekali keluar ke minimarket, meski dekat tapi di sana berdekatan dengan tempat nongkrong anak-anak berandal. Aku tidak mau mereka mengejekku.

Tapi, kalau tidak pergi, aku akan kelaparan sampai besok dan semua kerjaanku bakalan berantakan. Aku tidak akan dapat bayaran. Dan kalau aku tidak dapat bayaran, uang sekolah, uang makan, dan uang untuk kebutuhan sehari-hariku tidak akan ada.

Aaaah, sial. Inilah yang tidak kusukai dari hidup sendiri, apa-apa harus mandiri, tidak bisa meminta tolong pada orang lain. Meski tidak bisa, harus dibisakan.

Dengan helaan nafas kecil, aku keluar untuk membeli bahan makanan. Terpaksa.

...

Aku menggeleng kepala ketika melihat belanjaan di kasir. Tanpa sadar, ternyata hampir semua barang beranjaanku adalah makanan kemasan yang mungkin tidak baik untuk kesehatan jika dijadikan kebutuhan perhari, seperti indomie, bakso, sosis, dan daging kemasan. Enak sih, tapi hanya sesaat, selanjutnya jadi bahan penyakit.

Ah, tapi mau bagaimana lagi? Memang makanan seperti apa yang lebih baik, kalau aku saja tidak memiliki banyak waktu untuk meracik masakan? Pesan delivery? Bahkan makanan yang aku pesan dua tahun lalu, tidak kunjung sampai.

“Empat ratus lima puluh sembilan ribu, Mbak.” Kata mbak kasir menyentak lamunanku.

Aku menghela nafas, kembali melihat barang belanjaanku. Padahal semuanya hanya makanan kemasan, tapi harganya setara dengan harga RAM delapan GIGA, astogeh. Sepertinya pemilik minimarket ini ingin segera naik haji, makanya harga barang-barangnya mahal.

Tanpa menunggu ditegur, aku segera mengeluarkan nominal uang untuk membayar kasirnya. Untung saja sebelumnya aku punya firasat tidak enak jadi aku membawa uang lebih, meskipun lebihnya hanya seribu.

...

"Masih berani lo lawan gue?" samar-samar aku mendengar suara bentakan tidak jauh dari jalanan tempatku mengayuh sepeda . Abaikan saja, batinku memerintah. Yah benar, sebaiknya aku mengabaikan mereka, dari pada aku terlibat masalah. Lagipula aku kan bukan tokoh cewek kuat dan jago beladiri seperti dalam novel action, aku hanya seorang hacker yang kerja di dalam ruangan kecil.

"Apa lagi mau lo? Hah! Impas dengan apa yang Rey lakuin ke Dongok!"

DEG.

Tapi suara itu sangat mirip dengan suara Johan. Atau jangan-jangan itu memang suaranya. Apa dia sedang ada masalah? Apa dia dikeroyok oleh anak-anak berandalan?

Sialan. Aku tidak mungkin hanya berdiam diri di sini.

Tanpa membuang waktu, aku mengayuh sepedaku untuk lebih dekat dan memarkirnya agak jauh dari tempat mereka. Berjalan mengendap hingga sampai pada posisi pas untuk mengamati.

"Kagak ada yang impas. Lo yang cari masalah dulu sama Rey. Lo bunuh adeknya. Sekarang lo bunuh juga Rey. Gue nggak terima dengan sikap bajingan lo!"

Apa maksud dari ucapannya?

Tidak mungkin Johan membunuh. Meskipun dia berandalan dan tukang cari masalah, dia tidak akan sampai membunuh orang. Orang itu pasti salah dan hanya menuduh-nuduh. Seorang berandalan akan selalu mencari masalah, bukan?

"Bukan salah gue!" Bantah Johan membuatku kembali fokus pada mereka. Suara Johan sudah mulai parau. Astaga, sepertinya luka-luka akibat pukulan mereka yang menyebabkan itu.

Kakiku mulai gatal untuk menghampiri mereka. Aku ingin secepatnya menolong Johan, tapi aku juga tidak mungkin gegabah dan menyetor nyawa suka rela. Aku harus punya rencana atau minimal sesuatu yang bisa menolongku.

Drrrtt.

Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk tapi tidak kupedulikan. Paling-paling dari client yang ingin menanyakan pekerjaanku atau mungkin client baru yang ingin menggunakan jasaku.

Sesaat pandanganku beralih pada ponselku yang terus bergetar mengganggu. Orang ini benar-benar tidak  tahu situasi. Buru-buru aku mematikannya dan mengirim pesan, jika aku sedang sibuk dan tidak ingin diganggu. Dan saat pendanganku kembali, kulihat salah seorang dari mereka maju. Tongkat bisbol yang ada di tangannya mulai melayang.

Oh Tuhan, tidak. Aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tetap menonton mereka dari sini.

Tanpa sadar kakiku sudah melangkah mendekati mereka. Beberapa dari mereka sudah sadar akan kehadiranku dan sudah menyiapkan ancang-ancang menyerang jika aku melakukan tindakan bodoh.

Tapi, kau sudah melakukan tindakan bodoh, Rere.  batinku mengejek.

"Kamu cuma berani lawan orang lemah?"

Oh Tuhan Rere, apa yang kau lakukan? Dasar bodoh, tolol, goblok. Kau benar-benar ingin mati yah?

Tapi, setidaknya aku berhasil menghentikan serangannya pada Johan, aku membela diri.

Laki-laki yang tadi ingin memukul Johan berhenti dan menatapku. Aku benar-benar takut di tatap seperti itu oleh mereka. Berdiri di depan mereka saja sudah membuat kakiku gemetaran apalagi jika mereka maju dan melayangkan alat-alat yang ada di tangan mereka.

"Re... Re..." kulihat Johan, tubuhnya benar-benar sudah babak belur. Banyak luka yang  tercetak, termasuk luka pada wajahnya yang masih mengeluarkan darah.

Mereka benar-benar keterlaluan.

Tidak berapa lama, tubuh Johan benar-benar ambruk. Tubuhku semakin gemetar, panik juga takut. Aku sangat khawatir pada keadaan Johan, tapi aku juga tidak bisa menolongnya tanpa memedulikan mereka. Lagipula aku keluar tanpa persiapan. Melirik sana sini pun percuma, karena tidak ada yang bisa dijadikan sebagai penolong. Tidak ada orang yang berlalu lalang, tidak ada batu atau kayu yang bisa kulemparkan pada mereka.

Tuhan, kumohon tolong kami. Aku benar-benar tidak ingin berakhir tragis di sini, apalagi di tangan mereka.

Setelah merapalkan doa itu, tiba-tiba sebuah pertolongan datang. Bukan dari manusia atau malaikat, bukan juga dari setan dan sejenisnya. Tapi dari ponsel yang sedari tadi kugenggam. Getarannya membuatku mendapatkan satu ide.

Aku menatap laki-laki itu sengit, mencoba terlihat berani di depannya. "Aku pegang video kalian yang lagi berantem. Kalau besok kesebar gimana?” kataku sambil menatap wajah mereka satu-satu. Bisa kulihat jika keraguan dan ketakutan mulai menyelimuti mereka.“SMA Taruna Bangsa yang katanya sekolah unggul. Berbudi pekerti luhur.Dan katanya juga murid-muridnya penuh prestasi. Meyimpan bibit pembunuh kayak kamu? Wow, berita besar ya, 'kan? Dan kemungkinan besar bakalan jadi viral." lanjutku.

"Jangan coba-coba atau lo mati!" ancamnya penuh tekanan. Dan aku tidak mungkin menampakkan rasa takutku pada mereka. Jangan harap kami bisa kabur jika aku melakukan itu.

"Dan kalian akan berakhir lebih tragis." jawabku sengaja menekan tiap kata. Mantap.

Tapi dia tidak gentar. Malah aku melihat seringai jahat yang ia terbitkan. Dan saat sadar, aku sudah terlambat. Seseorang sudah siap menyerangku. Yah, aku yakin jika aku juga akan berakhir jika Johan tidak cepat merengkuhku dan menjadi tameng dari serangan mereka.

"Urusan lo sama gue Gam! Jangan sangkutin Rere!" ucap Johan di sela-sela kesadarannya. Aku yakin jika ia sebenarnya sudah tidak kuat dengan luka-luka yang ia dapat namun ia tetap menolongku.

"Wow, lo pacaran sama Johan? Selamat membusuk di neraka sayang, serang lagi!"

DEG.

Tidak. Aku tidak mau. Kami tidak akan berakhir, brengsek, teriakku dalam hati ketika melihat tongkat bisbol yang terabaikan. Secepat kilat aku mengambilnya dan langsung memukul mereka secara membabi buta dan tidak terarah.

Melihat kesempatan kami bisa kabur, aku benar-benar memanfaatkannya. Secepat kilat aku menarik Johan untuk berlari dari sana, mencari tempat keramaian supaya kami bisa ditolong oleh orang-orang.

***

Seminggu setelah kejadian itu, sikap Johan berubah. Ia jadi lebih perhatian, selalu berusaha mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Bahkan tak jarang ia mengabaikan teman-temannya hanya untuk bersamaku. Walau biasa kutolak, tapi ia tetap keras kepala. Alasannya pun bermacam-macan, mulai dari alasan yang bisa diterima hingga alasan-alasan konyol yang dibuat-buat.

Aku senang. Tentu saja. Semua orang juga akan merasakan rasa senang ketika cowok yang ia taksir berubah perhatian padanya. Tapi kalau mendadak seperti ini, jujur saja aku belum siap. Terlalu banyak pertimbangan yang mesti kupikirkan termasuk pandangan aneh orang-orang yang melihat sikap tidak biasa Johan. Bukan hanya namaku saja yang bertambah buruk, namanya juga ikut-ikutan memburuk. Ia sudah punya label sebagai siswa berandalan dan tukang onar di sekolah entah apa lagi yang akan ia terima jika dekat-dekat denganku.

Aku tahu ia tidak akan ambil pusing dengan pandangan orang-orang padanya. Lelaki cuek sepertinya tentu saja akan lebih mementingkan apa yang ia sukai dari pada memusingkan pendapat orang terhadapnya. Tapi aku tidak bisa.


“Eh, lo pada sadar gak, kalo akhir-akhir ini Johan jadi aneh?”


“Iya Ta. Lo benar. Dia berubah. Dia gak pernah lagi ngegombalin kita. Kemarin aja nih, masa kita sudah sengaja tungguin dia di depan kelas, sudah pasang muka-muka cantik nan imut, malah diabaikan. Padahal biasanya dia berhenti, terus ngegombalin. Eh, parahnya lagi dia malah ngejar si Rere. Riki aja sampe bengong liatnya.”

“Ntu si Rere pake pelet apaan yak? Kok bisa-bisanya Johan jadi klepek-klepek sama dia sampe segitunya.”

“Ra kalau pelet mah kaga sampe segitunya kali. Kayaknya itu kutukannya deh. Dia kan terkenal banget sebagai anak terkutuk. Ih, gue jadi merinding.” 

“Eh, udahan yuk ceritanya. Kali aja si Rere dengar terus mengutuk kita─”


Seperti kataku tadi, kenapa aku tidak suka jika Johan dekat-dekat denganku di sekitar sekolah adalah ini. Gosip. Gosip gampang menyebar seperti spora yang diterbangkan oleh angin, sangat cepat. Untung saja tadi aku berhasil lolos dari Johan sehingga kami tidak akan terlihat bersama saat ini. Aku tidak yakin gosip apalagi yang akan kami dapatkan jika hal itu terjadi.

Aku tahu, jika Johan saat ini tengah menungguku di depan sekolah karena sudah tahu dengan kebiasaanku dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa bebas darinya hari ini.

Yah, selagi dia menungguku di depan sekolah aku menyelinap keluar lewat lubang pagar belakang sekolah.

Katakanlah aku bodoh atau tidak memiliki otak karena menolak rejeki yang sudah disuguhkan di depan hidungku, tapi lebih baik begitu dari pada terus ditempeli Johan dan membuatku tidak nyaman sekaligus merasa bersalah karena terus membohonginya. Laki-laki itu benar-benar memiliki rasa penasaran yang terlalu berlebihan. 

Tapi, omong-omong sedari tadi kenapa perasaanku mendadak jadi tidak tenang. Sepanjang jalan aku merasa seperti seseorang tengah membuntutiku. Namun tiap menengok ke belakang, tidak ada seorang pun yang mencurigakan. Walau jalan yang kulewati lebih sepi tetap saja perasaan itu masih ada.

Apa dia penjahat yang ingin merampokku? Atau jangan-jangan orang itu adalah orang yang sudah kucuri data-datanya hingga dibuat bangkrut oleh saingannya dan ingin membalas dendam padaku.

Mati aku. Aku tidak ingin berakhir tragis seperti seorang tokoh wanita dalam film thriller yang dibunuh oleh seorang psikopat gila.

Aku mempercepat langkah kakiku hingga tersisa beberapa meter sebelum sampai rumah. Aku sudah tidak peduli jika ada orang yang tahu keberadaan rumah ini, toh mereka juga tidak bisa masuk sesuka hati karena banyaknya jebakan yang ada di dalam rumah. Sampai di dalam rumah, aku benar-benar menari kegirangan karena rasa legah luar biasa.

Sial. Tadi itu benar-benar mengerikan.

...

Habis mandi, aku merilekskan diriku dengan minum green tea dan cemilan sambil melihat bintang di rooftop. Tapi belum ada semenit, bunyi ponselku berbunyi. Menyebalkan. Tidak adakah waktu istirahatku, barang sehari?

‘Barangmu sudah selesai.’

Satu pesan dari tukang servis, mengharuskanku untuk segera menghampirinya. Alat yang dia perbaiki adalah alat yang benar-benar kuperlukan sekarang.

Setelah bersiap yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih dari sepuluh menit, aku bergeges pergi. Namun,

"Kamu... Kenapa di sini?"

Mendadak langkah kakiku behenti setelah melihat Johan di depan rumahku. Jadi inilah yang membuat perasaanku sepanjang jalan tadi tidak enak? Johan dengan rasa penasarannya membuntutiku seperti seorang psikopat gila. Membuatku parno sendiri dengan spekulasi-spekulasi mengerikan yang bermunculan di kepalaku.

"Kamu tinggal di sini?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, "Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Ini bukan di pengadilan. Dan kamu bukan pengacara!" hardikku.

"Maaf, aku penasaran denganmu. Aku ingin tau tentangmu. Kenapa kamu menyembunyikan kehidupanmu? Kenapa...."

"Bukan urusan kamu Johan! Kehidupanku bukan untuk kamu ketahui. Urusi dirimu sendiri Johan!" aku tidak bisa menerima apa yang dilakukan Johan ini. dia sudah melangkah terlalu jauh hanya karena rasa penasarannya.

"Re, kamu bisa bersikap hangat denganku. Bisa menunjukkan sisi yang lain dirimu. Tapi kenapa kamu menutupinya di sekolah. Bahkan kamu kembali lagi seperti ini sesaat setelah kamu menjungkir balikkan hatiku. Memporak-porandakan duniaku. Aku punya hati Re meskipun sikapku lebih bisa di bilang bajingan. Tolong, jangan jauhi aku. Aku membutuhkanmu!" sahutnya balik. Jujur saja, kata-katanya barusan membuat sesuatu berdesir di dalam diriku. Rasanya hangat dan menyenangkan.

Selama ini, aku hanya tahu kalimat memanfaatkan setelah kakek meninggal dan mendengarnya membutuhkanku, membangkitkan perasaan yang sudah lama mengendap bahkan sudah kulupakan.

Tapi,

"Tidak. Kehidupanku sulit kalian pahami. Kehidupanku tidak untuk kalian. Duniaku kejam Johan. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam urusanku. Meskipun aku... Aku... Aku juga menyukaimu. Tolong pahami itu!" ucapku memohon. Aku memang menyukainya, namun aku tidak bisa. Terlalu banyak perbedaan di antara kita.

"Re....."

"Stop, sudah kubilang jangan paksa aku. Aku pergi dulu. Ku harap, mulutmu bisa di percaya untuk tidak membocorkan apapun atas kejadian malam ini. Aku permisi Johan," potongku cepat dan secepat kilat pergi dari hadapan Johan.

****

"Rere..."

Aku menghela nafas ketika sapaan itu masuk ke indra pendengarku. Johan kenapa keras kepala sih?

"Apa?" tanyaku.

Ada rasa bersalah saat melihat wajahnya yang kuyu. Matanya yang dihiasi mata panda juga penampakannya yang tidak seperti biasanya.

"Bisa aku bicara?" tanyanya hati-hati.

"Kapan?"

"Sekarang, sebelum anak-anak datang, mungkin. Tapi... Itu... Hmm... Maksudku..."

"Apa yang ingin kamu ketahui dariku Johan?" potongku cepat, aku benar-benar tidak ingin kami dilihat berdua oleh murid-murid sekolah ini.

"Maaf jika aku terlalu memaksamu. Tapi, aku.. Aku masih penasaran denganmu. Sikapmu bertolak belakang. Dan ingat, aku punya hati. Setelah kamu memporak-porandakannya. Tak lantas aku akan melepasmu dengan mudah," sahutnya.

Aku memejamkan mata, berusaha menekan perasaan salahku karena sikap dinginku. "Sudah kuduga akan seperti ini. Bisa kita berbicara di tempat yang lebih privat? Aku merasa terganggu apabila ada satu dua murid yang lewat. Apalagi melihat mu sedang berbicara denganku. Bukan pilihan baik,"

"Ke loteng sekolah mau?" tawarnya.

Aku tidak menyahut melainkan langsung melenggang terlebih dahulu ke arah loteng sekolah. Aku ingin ini segera berakhir. Secepatnya.

Tiba di atas loteng aku tidak membuang waktu dan langsung menyakan keinginannya. "Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Tapi jangan paksa aku untuk menjawab semuanya. Aku akan memilah mana yang sekiranya ingin kujawab. Dan mana yang tidak,"

Dia menatapku lama sambil berpikir dan tidak berapa lama dia pun menyahut, "Siapa kamu sebenarnya?”

Pertanyaan yang tidak kuinginkan. Walau begitu aku tetap menjawabnya.

"Aku? Aku Rere. Gadis yang punya dua kehidupan. Kehidupanku ada di planet realita dan ada di balik layar. Ketika aku ada di planet realita. Seperti inilah tampilanku. Menyebalkan dan membosankan. Tapi ketika aku di balik layar. Semua terasa beda. Dan aku yakin, tanpa ku jelaskan lebih lanjut. Kamu tau apa maksudku..."

Sejenak aku menatapnya, melihat bagaimana reaksinya. Tapi ia tetap diam dan aku pun melanjutkan penjelasanku.

"Ya, seperti yang ada dalam benakmu Johan. Aku bukan gadis polos seperti apa yang kamu bayangkan. Aku Rere, seorang hacker kelas kakap. Aku bekerja untuk diriku sendiri Johan. Aku hidup sebatang kara. Dan kehidupanku sangat miris. Rumah yang ku tempati adalah hasil jerih payahku sendiri. Ayah ibuku meninggal dua tahun lalu karena pekerjaannya yang sama denganku. Dan ketika aku membuka rahasia ini kepadamu. Aku pun bersiap mati. Bernasib sama seperti mereka. Tapi aku percaya padamu Johan. Ku harap, aku tidak salah menilai seseorang."

"Re... Aku..."

"Sudah ku bilang. Kehidupan kita berbanding terbalik Johan. Cukup kamu tau bahwa aku menyukaimu. Salah, aku mencintaimu. Tapi jangan usik kehidupanku yang kejam. Satu lagi, lupakan rasa cintamu padaku. Karena harapan untuk bersatu adalah pikiran konyol. Aku tidak ingin kamu terlibat di dalamnya. Aku..."

Aku tersentak dengan mata terbelalak kaget saat tiba-tiba Johan memelukku. Ini yang pertama dan rasa nyaman ini adalah perasaan yang sudah lama hilang dari diriku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin Johan ikut terperosok masuk ke dalam dunia gelapku. Dia masih memiliki orang-orang yang membutuhkannya. Tidak seperti diriku. Seorang gadis terkutuk yang hanya berteman dengan gelap dan kesendirian. Tidak akan ada yang perduli padaku.

"Re, jangan anggap remeh aku. Aku sanggup menemani kamu selama aku bisa bernafas. Aku sanggup menemani kamu selama kamu mau dan mengijinkan. Re... Tolong beri aku kesempatan," pintanya lirih.

Tidak. Aku tidak bisa. "Tidak. Jangan memaksakan diri. Kehidupanku terlalu kejam Johan. Biarkan saja kita saling tau. Selebihnya biarkan Tuhan yang mengatur. Untuk sekarang ini, kumohon jangan paksa aku. Biarkan aku bebas dengan kehidupan kejamku," jawabku sambil melepaskan diri dari pelukannya.

Aku menatapnya nanar lalu mundur bebepa langkah, "Johan, aku mencintaimu. Itu urusanku. Jangan terbujuk untuk hanyut bersamaku. Masih banyak wanita lain yang kehidupannya normal. Pilih mereka. Hanya satu yang perlu kamu tau. Sekali aku mencintai seseorang. Selamanya akan begitu," lanjutku sebelum benar-benar meninggalkannya sendiri.

"Re... Pegang janjiku. Kita akan bersatu. Entah sekarang atau nanti. Entah besok atau lusa. Dan jangan ragukan aku. Rahasiamu aman padaku Rere. Terima Kasih sudah mencintaiku. Yang notabene-nya hanya seorang troble maker sekolah,"

Aku terus melangkah, tidak peduli pada ucapannya yang sudah menggelitik batinku, karena sekali berbalik, keputusanku untuk menjauh darinya akan goyah.

Dan sekarang tinggal satu hal yang harus kulakukan.

Maafkan aku Johan. Aku harus melakukan ini.

Selamat tinggal dan terima kasih atas perasaanmu.

Aku mencintaimu.

...

END.

..

Iya End, gak salah. Ini bukan kisah yang berlanjut, meski terkesan menggantung 😂. Ini tugas kami untuk LenteraLiterasia 3500 word, melebihi persyaran 😂

Btw, thanks buat @eprokoso99 yang sudah mau berdiskusi denganku dalam membuat karya ini dan sabar dengan tingkah leletku yang menyebalkan dan sorry edokey aku pake kata mu 😂

Oke, sekian cuap cuapnya.
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com