Chapter Sebelumnya
Enjoy 😄
Aku hanya mengedit berdasarkan tanda baca, kelengkapan huruf pada kata-katanya, juga tanda baca, dan bukan pada alur.
Jangan lupa votement ya guys 😁
BAGIAN 3Enjoy 😄
Aku hanya mengedit berdasarkan tanda baca, kelengkapan huruf pada kata-katanya, juga tanda baca, dan bukan pada alur.
Jangan lupa votement ya guys 😁
***
***
Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Sean tanpa mengalihkan tatapannya dari komputer. Kedua tangannya terus menari di atas keybord.
"Aku tidak tahu, aku hanya ingin terus berada di dekatmu. Sepertinya tubuhmu memiliki magnet untuk membuatku tetap melekat pada dirimu." Sahutku tanpa menatapnya. Tubuhku melayang mengelilingi ruangannya sambil melihat-lihat interior yang tertata dalam ruangannya itu.
Ruangan dengan nuansa khas Sean. Terkesan dingin namun terasa lembut. Dinding di belakang tempat duduk kebesaranya terbuat dari kaca yang bisa dia atur untuk berwarna gelap hingga bisa melindunginya dari paparan sinar matahari yang terik atau berwarna bening hingga menampakkan pemandangan kota Jakarta.
Aku bisa membayangkan pemandangan langit senja yang indah dari sini. Sinar hangat ke-orange-annya akan menembus kaca itu dan membuat ruangan ini berwarna emas. Pasti indah sekali. Aku mungkin akan terlihat seperti dewi yang diguyur sinar hangat Senja jika berdiri tepat di depan jendela itu.
Dan pada malam hari pemandangan dari kerlap-kerlip cahaya dari gedung, rumah-rumah, pertokoan, juga mobil-mobil yang berlalu lalang, akan bersinar layaknya bintang-bintang berada di bawahku. Pasti akan sangat indah. Dan─ah, sayang sekali aku tidak bisa melihatnya karena orang ini tidak mau mengubah pengaturan kacanya agar berubah bening.
Sebenarnya, orang ini beruntung sekali bisa duduk di ruangan ini.
Tapi dia juga bodoh karena ingin menyia-nyiakan hidupnya. Untung saja dia tidak jadi melakukannya.
"Betewe, kenapa kau masih bekerja walau sudah malam? Ku pikir jam kantor itu sampai jam lima sore." tanyaku menghampiri dirinya yang masih terpaku pada layar komputer di depannya.
Dia serius sekali.
Kenapa aku jadi merasa seolah komputer itu adalah kekasih yang harus terus dia perhatikan?
Sean sedikit melirikku kemudian kembali lagi pada komputernya. Apa dia tidak bisa lebih lama berpaling dari komputernya?
"Bukan urusanmu."
Ck, lagi-lagi aku mendapat jawaban ketus.
Dasar menyebalkan jika bukan karena dia bisa melihatku, bisa mengajaknya berbicara dan juga perasaan yang selalu ingin bersamanya, aku juga tidak akan mau bersamanya.
Sejenak kuhela nafas, meredakan gejolak dalam dada yang siap di semburkan padanya. Saya emosi pemirsa dengan manusia kaku ini. Masa aku tak dianggap. Kayak judul lagunya band Armando.
"Kau bicara terlalu ketus, Tuan. Itu tidak baik. Lagi pula kau akan cepat tua jika melakukannya terus menerus. Dan lagi tidak ada wanita yang menyukai laki-laki yang bermuka tua bersifat dingin."
"Dan kenapa kau itu cerewet sekali. Kau pikir lelaki juga menyukai gadis cerewet sepertimu?" sahutnya skeptis tanpa menghiraukanku dan tetap melanjutkan kerjaannya.
Aku angkat bahu cuek, "Aku tidak peduli. Lagipula aku ini hanya roh halus yang tidak bisa dilihat apalagi didengar selain dirimu." sahutku, berjalan ke belakangnya dan ingin melihat apa yang sedang dia kerjakan. Sedikit menunduk dan memajukan kepaku hingga bisa melihat pekerjaannya.
Banyak grafik-grafik dengan angka-angka yang membuat mataku sedikit berputar. Walau saat kuliah penelitianku seputar pengolahan data, namun data-data yang dia kerjakan saat ini sangat berbeda dan itu benar-benar sukses membuat mataku sakit.
Sean tiba-tiba berbalik menatapku hingga jarak wajah kami sangat dekat. Aku menatapnya dengan heran saat dengan tiba-tiba dia memalingkan wajahnya dengan sedikit guratan merah di pipinya. Apa dia malu denganku? Tapi rasanya itu tidak mungkin. Laki-laki seperti dia, tidak mungkin seperti itu.
Hampir seminggu aku bersamanya, selalu membuntuti kemana pun dia pergi. Layaknya anak ayam yang selalu mengikuti induknya. Dan selama itu, aku tidak pernah melihat ekspresi lain selain wajah datarnya.
Sean adalah pria dingin, arogan dan cuek pada orang yang tidak dia kenal atau sok kenal (arti kasar adalah penjilat). Dia tidak suka banyak bicara dan sekalinya bicara hanya kata-kata singkat berupa gumaman tidak jelas yang bisa dia keluarkan dan yang paling menyebalkan adalah kata-kata pedas menyakitkannya jika dia tidak suka pada sesuatu. Karyawan kantor ini yang sering mendapatkannya.
Kadang aku suka kasihan pada karyawan hotelnya Sean kalau Sean sudah dalam mode menyebalkannya. Tapi aku juga salut dengan kegigihan mereka yang tidak menyerah dan tetap bertahan di sini.
"Aku heran dengan kalian para orang kaya, mungkin juga kagum, tapi sedikit, sih. Kalian suka mengerjakan pekerjaan yang sulit bahkan yang tak masuk akal sekali pun demi uang." kataku setengah menyindir berharap dia mau menggubrisku. Tapi ternyata, dia hanya sibuk dengan kekasihnya.
Hah, rasanya jadi gerah di sini, tidak ada sesuatu yang bisa ku lakukan. Menatapnya hanya membuatku semakin tidak tenang.
"Sean, bisakah kau membuka jendela ini? Aku ingin melihat pemandangan kota. Sudah seminggu aku mengikutimu dan hanya pemandangan kau dan komputermu saja yang biasa ku lihat. Aku bosan..."
Tidak ada sahutan, namun jendela di belakang kursinya berubah bening dan menampilkan pemandangan kota malam.
"Wah!!!" Seruku girang. "Seharusnya dari dulu kau melakukannya." ucapku lantas menatap lalu lalang kendaraan dari balik jendelanya.
Seperti kataku, pemandangan langit malam Jakarta sungguh mengagumkan. Lampu-lampu berkerlap-kerlip seperti bintang di angkasa.
Kalian mungkin menganggapku berlebihan. Tapi kenyataannya orang sesedarhana diriku memang belum pernah melihat pemandangan langit malam Jakarta dari gedung setinggi ini.
Entah berapa lama kami saling sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga aku benar-benar dilanda jenuh. Sean masih tetap sibuk dengan kekasihnya. "Apa kau tidak sakit kepala menatap komputer selama itu bahkan mengerjakan data-data mengerikan itu? Matamu bisa kena rabun, loh?"
Lagi, dia tidak menjawab namun menutup komputernya dengan tiba-tiba. "Kau mau pulang sekarang? Ku pikir kau akan lama betah di sini dengan kekasihmu itu."
Dia tidak menghiraukan kata-kataku dan langsung melongos pergi tanpa menungguku. "Hei, kau tidak sopan sekali. Kau pikir wanita menyukai pria yang mengabaikan mereka?" ucapku kesal namun bergegas menyusulnya.
Tidak bisakah dia menyahuti perkataanku. Aku tahu, aku ini memang menyebalkan, tapi setidaknya dia bisa mengerti perasaanku. Baru kali ini aku menemukan seorang manusia yang bisa melihatku, setidaknya dia bisa menjadi baik.
🐒🐒
Saat dia mengendarai mobilnya, bunyi dering ponselnya berbunyi. Ia mengangkat panggilan itu sebelum memakai headset bluetooth.
Jalanan kota Jakarta masih padat, walaupun jam kantor sudah selesai.
"Ya, Kiara. Ada apa?" Sahutnya. Rautnya berubah jadi sendu berbeda dari yang tadi.
"Besok?.... Sepertinya tidak bisa. Aku masih punya banyak kerjaan.... Ah, kalau itu tentu saja bisa.... Tapi aku tidak bisa menjemputmu...." dia menghela nafas, "Kau bisa memintanya pada Tio, mungkin dia bisa mengantarmu. Kupikir pekerjaannya tidak banyak.... iya.... baiklah, selamat malam...."
Sean menutup telponnya. Rautnya masih muram. Dia memejamkan matanya sebelum menjalankan mobilnya pelan mengikuti pengemudi di depan.
"Tahu, tidak? Kau tidak cocok berwajah seperti itu. Wajahmu sudah suram jadi jangan menambah kesuramannya." ucapku mencoba membuka obrolan. Walau terdengar sangat mengejek sepertinya.
Dia berbalik menatapku, "Apakah seperti itu?"
Ha?! Dia menjawabku? Tidak salah?
Aku mengangguk, "Iya. Dan itu mengerikan. Jadi, jangan lagi menampakkan wajah seperti itu."
Dia menghela nafas berat. Apakah kata-kataku sudah menyinggungnya? Tapi biasanya dia hanya diam dan mendengar ocehanku.
"Baru kali ini ada yang menganggap wajahku mengerikan." sahutnya dramatis sambil geleng-geleng kepala. "Apa matamu jadi hilang fungsinya setelah menjadi roh?"
What?! Sialan orang ini. "Eh, mataku masih normal. Bahkan karena sekarang aku jadi roh mataku berfungsi berkali-kali lipat. Jadi gak mungkin mataku salah menilai."
"Berkali-kali lipat fungsinya? Maksudmu bisa melihat seperti mata infrared?"
"Tentu saja." Tukasku lantang.
"Jadi kau bisa melihat tembus pandang?"
"Tentu saja. Karena mataku lebih baik dari mata manusia seperi kalian."
"Astaga. Jadi selama ini kau melihatku tanpa busana? Mesum juga kau."
"Eh?! Sialan. Tentu saja tidak. Kau mengerjaiku yah?" Sungutku saat tahu tujuannya. "Aku bisa melakukannya, tentu saja. Tapi tidak kalau tidak konsentrasi."
Sialan. Seharusnya tadi aku tidak mengganggunya. Sekarang malah menjadi senjata makan tuan. Dia malah balik mengerjaiku.
"Kalau begitu coba konsentrasi dan lihat ke arahku."
Ha?!
Astaga orang ini.
"Kau gila yah? Mana mungkin aku melakukan itu. Mataku akan rabun betulan jika melakukannya."
"Itu berarti, kau tidak bisa melakukannya kan?"
"Bisa."
"Lalu-"
"Lalu kenapa kau ingin kulihat, hah?"
"Aku hanya ingin memastikannya. Kau benar-benar bisa melihatnya atau tidak."
"Astaga, kau ini masih Sean yang sama beberapa menit yang lalu kan? Kenapa kau berubah jadi mesum? Apa tadi kepalamu terbentur?"
"Memang tadi kau lihat kepalaku terbentur?"
Aku menggeleng, "Tidak."
"Artinya, aku masih Sean yang sama."
Lalu kemana perginya Sean dingin dan keras kepala?
"Tapi kenapa kau berubah secepat ini?" Aku menatapnya lekat-lekat, siapa tahu ada roh lain yang memasuki tubuhnya.
Sean balik menatapku aneh, "Sekarang lihat siapa yang mesum."
"Eh, ti...tidak. Aku hanya sedang memeriksamu, siapa tahu ada roh lain yang merasukimu dan membuatmu berubah." belaku.
Dia memicing namun tidak mengatakan apa-apa. Di detik berikutnya ia terkekeh.
"Ck... Sudahlah."
Aaarrrggg... dasar pria menyebalkan. Aku jadi menyesal sudah membuka obrolan. Kalau tahu begini aku lebih baik diam saja tadi.
Tapi, memang tidak menyenangkan juga sih lihat dia dengan wajah suram. Ah, setidaknya dia tidak lagi seperti tadi.
"Setidaknya wajahmu sudah lebih baik dari yang tadi." Kataku kemudian ikut terkekeh.
Satu hal yang aku dapat dari percakapannya barusan di telepon. Dua nama itulah yang sudah membuatnya berubah muram dan ada kemungkianan juga jika merekalah yang menyebabkan dirinya hampir bunuh diri.
Tbc
....
A/n : di part sebelumnya dan yang ini, aku ganti roh menjadi jiwa di kalimat narasinya. Tapi, kalau dialognya gak.
Mickey139
Dilanjut SABTU depan yah
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment