SEBELUMNYA | CH LENGKAP | SELANJUTNYA |
From Wattpad
TITTLE : PINK LETTER
BY
MICKEY139
SHORT STORY
PLEASE ENJOY
**************
.
.
.
BAGIAN 4 : NENEK SIHIR
Hari-hari berlalu, berkat surat yang kusampaikan melalui cewek itu Rian bisa dekat dengan Vii, tapi berkat itu pula aku melalui hari-hari yang merepotkan. Rian bukannya berterima kasih, ia malah membuatku menjadi penjaga cewek itu.
Sepanjang hari, aku harus menjadi satpam pribadi dan menemani Vii kemana-mana. Mulai dari menjadi obat nyamuk mereka di mobil Rian, mengawalnya ke sekolah ketika Rian sudah menurunkan kami di sekolah, lalu menjaganya pula di sekolah.
Hal seperti itu sebenarnya biasa atau mungkin juga luar biasa untuk sebagian penghuni cowok di sekolahku. Menemani cewek cantik ke mana-mana seperti Vii, itu adalah keberuntungan, karena menurut teori abal dari sebagian cowok yang menginginkan kepopuleran, kepopuleran seorang cowok itu dilihat dari bagaimana dirinya bisa menggaet cewek cantik dan populer (seperti Vii). Tapi, sayangnya aku bukan orang yang mencari populer. Yah, meski sebenarnya aku juga cukup populer.
Lagipula, sebenarnya yang menjadi masalahku adalah sifat asli cewek itu yang benar-benar berbeda, jauh dari ekspektasi, jauh dari kata manis, lembut, dan menyenangkan seperti kata Rian. Cewek jusrtu lebih menyerupai nenek lampir ketimbang cewek imut yang biasa diperlihatkan. Vii itu aslinya menyebalkan, cerewet, rewel, tukang perintah, dan banyak maunya. Dan mirisnya, ketika aku menceritakan sifat buruk cewek itu, Rian malah mengejekku. Katanya, "Ah elah, gitu aja. Cewek memang gitu. Makanya cari pacar supaya lo mengerti dan biar lo ada yang temani, dan gak kayak banci taman Lawang, yang sebulan gak dikelonin." kurang bangsat apa lagi coba dia?
Aku benar-benar merasa kalau Rian adalah benalu dalam hidupku. Memanfaatkan ketulusan dan rasa kesetiakawanku untuk kepentingannya sendiri.
"Radit!"
Nah, baru dibicarakan suaranya sudah terdengar. Persis kayak nenek lampir, kan yang biasa datangnya tiba-tiba?
"Radiiiiiiit!"
Aku terus berjalan. Menambah kecepatan pada langkah kaki dan pura-pura tidak mendengar panggilan itu. Tidak perlu berbalik apalagi berhenti. Jantungku yang akan kena imbasnya kalau sampai aku berhenti.
Entah kenapa, Rian bisa menyukai cewek gila itu. Mereka benar-benar patut untuk dilabeli sebagai pasangan penghancur.
"Ish, Radit!"
Langkah kakiku semakin kupercepat guna menghindari nenek lampir itu. Aku benar-benar tidak mau lagi kena ketiban sial karena ulahnya. Sudah cukup untuk gosip tidak bermutu yang tidak pernah dia konfirmasikan kebenarannya, aku tidak mau mendapatkan lagi gelar aneh-aneh yang bisa dinobatkan pada kami.
Tak.
Sial.
"Woi ... telinga lo sekarang sudah budeg, hah? Masa dari tadi dipanggil gak menyahut, malah gue makin ditinggal, sih." cerocosnya dengan lengking suara yang hampir meledakkan gendang telinga.
"Hanya orang bego yang mau berhenti pas dipanggil sama nenek lampir." balasku skeptis sambil mengusap kupingku yang terasa panas akibat suaranya.
Plak
Double sial.
Kupandangi dia dengan sinis karena memukul kepalaku dengan bukunya.
"Lo kayaknya butuh kacamata deh. Mata lo sudah gak normal kan fungsinya. Minus berapa? Nanti gue beliin, mau?" tanyanya mencemooh.
"Ck, gak butuh." balasku dengan dongkol, "Ada urusan apa?"
"Ni," Vii menyodorkan sebuah buku tulis padaku.
Satu alisku terangkat, heran sekaligus bingung. Kenapa buku tugas matematikaku ada padanya? Aku bahkan tidak pernah menunjukkan bagaimana bentuknya pada Vii.
"Kok bisa?" Kupicingkan mata, menatapnya dengan curiga. "Jangan-jangan lo—"
"Enak aja. Tampang cantik macam gue mana ada yang jadi maling? Buku butut pula, bau lagi." sergahnya dan aku hampir kena taboknya untuk yang ketiga kalau saja aku tidak refleks menghindar.
"Terus?"
Vii angkat bahu, "Lo tahu kok jawabannya." sahutnya ringan meski tadi aku menghindari serangannya.
Ck, pasti kerjaannya Rian. Siapa lagi yang bisa mengambil bukuku dan menyerahkannya pada Vii selain dia? Leo? Tidak mungkin.
"Udah yah, gue balik dulu. Thank's and bye."
"Yah, pergi sono, kalau perlu kaga usah muncul di hadapan gue lagi." balasku sarkas seraya memeriksa buku tugasku.
Sejenak Vii hentikan langkahnya dan berpaling menatapku, "Lo ..." Vii terlihat menimang perkataannya. Ia menatapku intens seolah memeriksa diriku.
"Berhenti natap gue cabul kayak gitu—"
"Sialan lo. Tampang macam gini dibilang cabul. Wah, mata lo kayaknya perlu gue cuci pake cuka nih ...."
Dia maju beberapa langkah dan belum sempat aku mengelak, ia sudah meraihku. Mengunci leherku dengan lengannya lalu menjitak kepalaku. Berulang kali.
"Woi, berhenti. Anjrit ini sakit bego ..." Aku meringis sambil menahan lengannya yang masih mengunci leherku. Kekuatan cewek ini benar-benar tidak bisa diremehkan. Ia ternyata sama kuatnya dengan kakakku yang notabenanya adalah seorang atlet taekwondo.
"Bodo amat. Rasain nih ...."
Lagi ia menjitak kepalaku tanpa ampun.
Astaga, benar-benar ini cewek tenaganya kayak gorila.
"Lo ini cewek bukan, sih?" ringisku. "Tolooooong ... Ada kekerasan ..." lalu aku berteriak untuk mencari perhatian. Barangkali ada murid lain yang bisa mendengarku dan melihat sifat asli cewek ini.
"Ciah, beraninya berteriak. Dasar banci lo." sahutnya lalu melepaskan lengannya dari leherku.
"Lo-nya aja yang kayak gorila. Mana ada cewek yang tenaganya kayak monster. Lo, apa mungkin cewek jadi-jadian?"
"Mau rasa ini, ha?" ia kembali mengancamku dengan tinjunya.
"Cih..."
Untung cewek.
Kubalikkan tubuhku, berniat meninggalkan cewek lampir itu, sebelum dia bersuara dan membuatku berhenti bergerak.
"Apa lagi?" aku membentaknya dengan suara keras. Masih jengkel karena kelakuannya yang membuat leherku dan epalaku terasa sakit.
Tak menghiraukan balasanku yang terbilang kasar, Vii memandangku enteng dan melanjutkan kata-katanya. "Emang bener yah, lo lagi suka sama cewek? Kalau tidak salah temen sekelas gue, 'kan? Icha, 'kan?"
Tenang ....
Rileks ....
Jangan terpengaruh dengan pertanyaan nenek lampir itu.
"Percuma lo tutupin, toh gue juga sudah tahu. Mau gue bantuin, gak?"
Aku menarik nafas dalam dan berusahan menahan emosi yang bisa dibaca oleh Vii. Dasar cewek, bisa-bisanya ia tahu. Dari mana pula sumber itu? Kayak dia punya mata dan telinga aja di tembok sekolah. Ck, aku lupa, dia kan memang memiliki semua itu.
"Maksud lo apa? Dari mana lo simpulin kalau gue suka dengan itu cewek? Siapa namanya tadi? Cha ... Icha, 'kan?"
Vii berdehem mengiyakan. "Lo kira cewek seperti gue, bego untuk lihat cara lo merhatiin dia? Anak SD kelas lima saja tahu."
Sialan.
Bagaimana caranya si Rian bisa suka cewek seperti Vii? Sudah mulutnya seperti comberan, sok tahu pula. Tapi, memang benar sih kalau aku suka teman sekelasnya. Hanya saja aku masih penasaran bagaimana ia bisa tahu. Dia bukan detektifkan?
"Udah deh, lo ngelak pun gue juga tahu." ujarnya lagi, "Satu saran dari gue, mending lo cepat-cepat nembak dia sebelum dia jadi milik orang lain. Lo tahu gak, Tomi dari kelas IPS 3, dia juga lagi berusaha pedekatein Icha. Jadi, kalo lo gak cepat-cepat, gue jamin, lo bakal kena demam patah hati."
Aku diam. Bergeming pada tempatku sambil menatap Vii dengan tatapan tak percaya karena ucapannya barusan berhasil menyentakku.
Satu hal tidak pernah kupikirkan adalah jika ada laki-laki lain yang akan menyukai Icha dan berusaha untuk mendapatkan perhatian cewek itu. Aku terlalu sibuk menata perasaan yang baru pertama kali kurasa terhadap perempuan.
"Ya udah deh, kalau lo gak mau gue bantuin. Selamat berusaha sendiri." ucapnya sebelum berbalik, "Gue cabut dulu." lalu pergi meninggalkanku yang masih tak beranjak dari tempatku.
Sial.
TBC.
SEBELUMNYA | CH LENGKAP | SELANJUTNYA |
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment