SEBELUMNYA | CHAPTER LENGKAP | SELANJUTNYA |
...
Suara samar dari luar, sukses membangunkan Yoga dari tidur lelap. Ia menggeliat pelan kemudian perlahan membuka matanya yang masih berat. Kening laki-laki itu mengernyit saat menemukan suasana kamar yang nampak berbeda dari kamar tempatnya menginap.
Sebagai contoh, ia tidak menemukan lampu tidur yang tergantung di empat sudut plafon atau lampu tidur yang berdiri tegak di samping ranjang. Hanya ada satu bohlam yang tergantung di plafon tepat di tegah ruangan itu pun tidak dinyalakan, munfkin karena nereka tidak ingin mengganggu tidurnya. Tidak ada teve LED 32 inch yang tergantung di dinding kamar tepat di bawah kaki Yoga. Pun pintu kamar mandi di sudut ruangan yang tidak ada kecuali pintu keluar. Di ruangan itu hanya satu ranjang berukuran sedang, lemari baju dua pintu, meja nakas, dan kipas angin yang berdiri di sudut ruang.
Yoga menyibak gorden dan menemukan suasana yang juga berbeda dari lingkungan tempatnya tinggal kemarin. Di sana meski rumah padat penduduk dengan dinding-dinding tinggi, tidak membuatnya sesak karena asap dari bahan bakar kendaraan. Yoga hanya membau wangi masakan dari warga-warga yang mulai beraktivitas, terlebih pada bau ikan asin yang lebih mendominasi. Meski agak menyengat di hidung namun juga membuat ia rindu.
Ia memeriksa kantong celana, namun Yoga tak menemukan apa yang ia cari. Benda persegi panjang yang biasa membantunya. Di tambah dengan suasana remang di kamar itu semakin mempersulit dirinya. Yoga kemudian meraba-raba di atas nakas samping meja dan menemukan benda itu tersusun rapi bersama dompet dan kunci-kunci.
Menghela napas panjang, Yoga menyalakan ponselnya dan menemukan waktu sudah jauh berjalan. Pukul lima pagi. Artinya, ia pingsan lebih tiga jam. Yoga benar-benar harus pergi sekarang. Tetapi, kepalanya masih berdenyut dan kemungkinan saat ini Yoga tengah demam dan ia masih membutuhkan istirahat.
Akan tetapi, saat Yoga baru berniat membaringkan kepalanya, suara perdebatan di luar seketika menyurutkan keinginannya itu.
Iya, Yoga salah. Harusnya ia pingsan di penginapannya saja, atau tempat yang lebih layak dan bukannya di gang sempit tempat para pengerat berkeliaran. Sayangnya, Yoga tak bisa menentukan nasibnya-- yang kebetulan sedang sial.
Tetapi, Yoga juga tak pernah meminta bantuan mereka untuk menolongnya. Dan jika keberadaannya sangat mengganggu, tentu saja ia harus pergi dari sana.
Dengan mengurut keningnya, Yoga berjalan tertatih pada pintu keluar. Menghampiri dua orang yang berdebat dengan suara lumayan lantang karena gema yang dihasilkan dari ruangan kecil dapur.
"Kamu gak boleh bawa orang asing sembarangan, Nay. Bagaimana jika dia orang jahat?"
"Tapi, tadi malam dia pingsan, Kak. Udara malam bisa membuatnya mati kedinginan."
"Itu bukan urusan kita. Pokoknya, dia sadar kamu suruh dia keluar!"
"Kak dia demam. Setidaknya sampai demamnya reda."
"Tidak!"
"Kak..."
"Nayla!"
"Maaf..."
Dua perempuan di hadapan Yoga serempak menatapnya ketika ia menginterupsi perdebatan mereka.
"Maaf merepotkan. Saya akan keluar."
...
SEBELUMNYA | CHAPTER LENGKAP | SELANJUTNYA |
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
0 komentar:
Post a Comment