Main : Alina, Nathan
Rate: T
Genre: Slice of Life, Metrop
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
π π π
Namaku Alina. Dua puluh delapan tahun dengan gelar sarjana komunikasi dan satu gelar tak resmi dalam kesabaran tingkat dewa. Gelar yang kudapat selama tiga tahun menjadi asisten pribadi Nathan Minoru—bos paling menyebalkan sejagat perkantoran modern yang sayangnya tampan.
Nathan, atau lebih tepatnya Lucifer, adalah CEO di perusahaan kontaktor alat berat di tempatku bekerja. Jangan ditanya bagaimana penampilannya. Sebagai pria usia tiga puluh lima tahun yang ditunjang perpaduan Jepang dan Indonesia, tentu saja dia tampan. Dan, jangan lupakan bentuk tubuh bak dewa Yunani kuno yang dia miliki yang sering membuat para karyawati berfantasi liar. Perpaduan yang gila, kan? Oh, kalau kalian berpikir hanya itu, tentu saja tidak. Dia juga tajir. Bahkan menurut gosip yang beredar, dia adalah cucu pemilik dari perusahaan ini. Mau tahu yang lebih gila lagi. Seolah tak cukup dengan penampilan dia juga punya otak yang cerdas. Sialan!
From: Nathan Minoru
Subject: Urgent
Alina, saya tidak mau lihat kopi saya lebih dari 10 menit setelah saya sampai. Hitam. Satu sendok gula. Jangan lebih apalagi kurang.
PS: Tolong belikan baterai jam meja saya. Kalau bisa, yang awet. Saya benci hal yang cepat habis.
Aku baru saja menyalakan komputer ketika pesan itu menggantung di layar monitor. Padahal ini belum jam delapan pagi. Dan masih satu jam sebelum jam masuk kantor dimulai. aku sudah duduk di balik meja, mencoba menenangkan diri setelah membaca email pagi darinya.
Aku mendengus. “Dikira aku suka gitu sama bos yang kesabarannya cepat habis.” gumamku.
Aku mengambil sticky note dari laci dan menuliskan:
Surat pengunduran diri ke-30. Alasan: Tidak tahan dimarahi hanya karena salah beli merek baterai yang dia suka.
Lalu kutempelkan di sisi monitor, bergabung dengan tumpukan dua puluh sembilan surat pengunduran diri imajiner lainnya yang sudah kubuat sejak hari pertama bekerja dengannya.
π π π
Pertemuan pertama kami mungkin akan seperti di drama percintaan, kalau saja sifatnya tidak menyebalkan dan membuat pertemuan itu seperti mimpi buruk. Aku datang terlambat lima menit karena ban bocor, dan dia—baru pulang dari luar negeri dan anehnya bukan istirahat di rumah dia malah memilih langsung masuk kantor. Mungkin kalau atasan yang lain bisa memberikan toleransi. Sayangnya, dia tidak. Yang ada dia malah memandangku seperti aku sudah menginjak reputasinya.
“Alina, kan?” tanyanya sambil memindai penampilanku dari kepala hingga kaki.
Meski tak nyaman, aku memberikan senyum manis terbaikku. “Ya, Pak.” jawabku dengan sopan.
“Mulai besok, jangan datang kalau tak bisa datang tepat waktu. Saya tidak mau bekerja dengan orang yang jamnya lebih lambat daripada jam di meja saya.”
Senyumnya tipis, pedas, dan… menggoda, kalau saja ucapannya tidak begitu menyebalkan.
Senyumku hilang seketika dan sejak hari itu, dimulailah kehidupan perkantoran bak serial drama dengan genre: komedi gelap.
π π π
Hari-hariku diisi dengan perintah dadakan seperti:
“
Ada noda di sepatu saya. Bersihkan! Dan simpan di walk-in closet saya di rak nomor tiga.”
“
Saya lupa password laptop. Reset tanpa hapus file saya.”
“
Kenapa ada burung merpati di halaman kantor? Singkirkan. Merusak estetika."
"
Cari tahu kenapa cuaca akhir-akhir ini nggak mendukung meeting saya."
“
Alina, kenapa kamu bernapas terlalu keras?”
Yang terakhir membuatku berpikir untuk melemparnya dengan jam kesayangannya yang ada di atas mejanya. Memangnya gara-gara siapa aku terkena flu dan membuat hidungku tersumbat? Sudah tahu sedang hujan tetapi memaksa mengambil file yang dia lupa di cafe tidak jauh dari perusahaan. Lagipula, kenapa dia membawa file penting ke cafe?
Tapi, seperti biasa, aku bertahan. Karena gaji bagus, tunjangan kesehatan premium, dan… entah kenapa, aku penasaran sampai kapan aku bisa bertahan sebelum akhirnya benar-benar meledak.
π π π
Sampai suatu hari, titik kesabaranku akhirnya tercapai. Aku meledak.
Pagi itu, aku datang seperti biasa. Membawa kopi hitam satu sendok gula tepat 5 menit setelah dia duduk di kursinya. Tapi baru saja aku masuk ke ruangannya, aku mendapati Nathan sedang duduk dengan ekspresi kesal sambil menatapku dan jam mejanya yang mati secara bergantian.
“Alina,” katanya datar. “Jam ini masih mati.”
Lalu?
“Sudah saya ganti baterainya, Pak. Tadi sudah bagus kok jamnya. Mungkin jamnya yang rusak.” sahutku dengan nada biasa sembari menahan kedongkolan
“Bukan jamnya. Kamu pasti salah beli baterai.”
Aku menghela napas. Rasanya sesuatu yang panas pelan-pelan memenuhi kepalaku dan sebentar lagi akan meledak. “Ini baterai AA, persis seperti yang Bapak minta.” jelasku. Masih dengan nada penuh pengertian.
Dia berdiri. Mengambil baterainya, lalu membaca bungkusnya. “Ini AA. Benar. Tapi mereknya bukan yang biasa saya pakai.”
Dan saat itulah, aku meledak.
"Bapak tahu tidak?” kataku sambil menahan gemetar. “Saya ini sudah bertahan tiga tahun mendampingi Bapak. Membelikan kopi, menyiapkan bahan
meeting, membersihkan sepatu, bahkan tega mengusir merpati di halaman padahal mereka tidak salah apa-apa. Dan saya tetap bertahan. Tapi saya bukan paranormal! Saya tidak bisa tahu merek baterai yang Bapak suka kalau Bapak tidak bilang! Saya manusia, bukan mesin pengingat Bapak!”
Aku menghempaskan dokumen di meja. “Saya capek, Pak. Saya benar-benar capek. Jadi kalau hari ini Bapak mau marah hanya karena merek baterai, silakan. Tapi setelah ini, saya keluar. Ini surat pengunduran diri saya.” Aku mengeluarkan amplop putih yang selama ini hanya jadi ancaman, dan meletakkannya di mejanya.
Ruangan hening.
Lalu, Nathan menatapku lama. Untuk pertama kalinya, ekspresinya tidak menyebalkan. Tidak angkuh. Tidak sinis.
Lalu dia tertawa. Pelan. Rendah. Tulus?
Ha? Mataku pasti salah lihat. Si Lucifer yang hanya tahu bagaimana caranya membuat orang jengkel tak mungkin tahu caranya tersenyum tulus. Ini pasti halusinasi karena terlalu emosi.
“Akhirnya kamu lepas juga,” katanya.
Aku tertegun. “Maksud Bapak?”
“Setiap hari saya lihat sticky note kamu. Surat pengunduran diri ke-1 sampai 29. Kamu pikir saya nggak lihat?”
Pipiku memanas. “Itu… cuma lelucon.”
Dia mengangguk. “Tapi kamu tetap bertahan. Dan saya pikir, orang sekuat kamu pasti punya alasan untuk tetap di sini. Ternyata, memang akhirnya kamu nyerah juga.”
Aku menggigit bibir. “Saya bukan nyerah. Saya… realistis.”
Dia menarik napas panjang. “Kamu tahu, Alina, kenapa saya begitu keras ke kamu?”
Aku menatapnya curiga. Tidak mungkin dia menaruh hati padaku, kan?
“Karena Bapak penyuka drama?” jawabku ragu.
Dia tertawa lagi. “Karena kamu pintar. Dan saya takut kamu terlalu nyaman. Saya butuh asisten yang tajam, cepat, dan berani. Dan kamu punya semua itu. Tapi saya juga lupa satu hal.”
“Apa?”
“Saya lupa kalau kamu manusia juga.”
Untuk pertama kalinya, aku melihat Nathan sebagai manusia. Bukan hanya bos menyebalkan dengan segudang ekspektasi mustahil.
Dia menatap surat pengunduran diriku. Lalu menggesernya kembali ke arahku.
“Ambil lagi surat ini.”
“Apa?” Aku memicingkan mata. Curiga.
“Berikan saya kesempatan untuk jadi bos yang lebih baik.”
Aku nyaris tak percaya. “Bapak belum puas mengerjai saya?”
“Sebenarnya ya. Tapi, bukan karena itu." Aku memandangnya tak percaya. "Kamu asisten terbaik yang pernah saya punya. Dan saya tidak ingin kehilangan kamu hanya karena… merek baterai.”
Aku ingin tertawa. Ingin marah. Tapi juga… merasa lega. Ada bagian dari diriku yang senang mendengar pengakuan itu.
“Apa jaminannya Bapak tidak akan menyuruh saya mengusir merpati lagi minggu depan?”
Dia tersenyum. “Saya akan menyewa petugas keamanan khusus anti-merpati.”
Memangnya ada? Aku memikirkannya dalam hati, tapi tak ingin dikira tak update aku menahan mulutku dan mencari jaminan lain yang membuatku tak akan kerepotan nanti.
"Saya juga tidak mau menjadi peramal dadakan yang bisa tahu kapan cuaca tidak bagus yang tidak mendukung meeting Bapak."
Sekali lagi dia tersenyum. Senyum yang bisa melelehkan gunung es di kutub. Senyum menawan yang hampir membuatku terpesona kalau tak ingat sifatnya yang mirip Lucifer. "Saya punya kenalan untuk itu."
Aku mendesah. Tidak tahu apakah ini karena pengaruh senyum yang dia tampilkan atau membayangkan tak ada lagi transferan masuk ke rekeningku kalau resign, aku menyerah. “Baiklah. Saya pertimbangkan.”
“Deal,” katanya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. “Kita mulai dari awal?”
Aku menjabat tangannya. “Mulai dari awal. Tapi kali ini, saya akan taruh sticky note nomor tiga puluh satu kalau Bapak nyebelin lagi.”
Dia tertawa. “Saya tunggu sticky note nomor seratus.”
Dan entah kenapa, aku juga tertawa.