Fly with your imajination

Thursday, August 7, 2025

RESTART [2/3]

Sequel SELEEPING BEAUTY
SILAHKAN BACA CERITA SEBELUMNYA RESTART [1/3]

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.


SUMMARY
"Hanya begini saja?" sekali lagi aku bertanya.
"Memang apa lagi?"
"Tidak ada pendekatan?"
"Kau sudah tahu bagaimana aku kan?"
"Tapi aku tidak berdebar-debar seperti novel yang sering kubaca."
"Jantungku yang mau melompat Sakura."
Oh astaga, inikah kata-kata gombalan milik Uchiha Sasuke?
"Kau mau?"
"Kalau tidak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu saja memaksamu."


.
.
.

WARNING
UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR DILARANG MENDEKAT, MEMBACA APALAGI MENCONTEKNYA.
DILARANG KERAS MENGKOPI PASTE DAN MEREPOSNYA DI TERMPAT LAIN.



Bagian 2


Ah, hari yang benar-benar melelahkan.

Baru tiga minggu aku bekerja di hotel ini, namun rasanya masih seminggu. Perlakuan GM padaku masih belum berubah. Bukannya disuruh mengerjakan pekerjaanku, aku malah dikerjai dan menjadi HK pribadinya. Kenapa tidak sekalian aku disuruh jadi babunya?

Arrrggghhhh... Aku benar-benar kesal dengan GM itu. Sasuke- pantat ayam- Uchiha.

Aku masih ingat, bahkan kejadian itu masih tertancap dalam benak hingga rasanya tidak akan bisa dicabut apalagi dibuang. Hari pertama bertemu, ia langsung memelukku, mengatakan sesuatu yang terlalu absurd buat ditelaah otakku. Katanya, ia merindukanku. Hell, yang benar saja? Mana pernah aku mengenalnya, bertemu saja baru kali itu.

Dan selanjutnya, tubuhku refleks melakukan gerakan pertahanan diri, yaitu mendorongnya sampai ia terjatuh─ dengan sangat tidak elit, tentu saja (sampai-sampai aku tak bisa menahan tawa, bahkan sekertarisnya juga yang tidak sengaja masuk untuk menyerahkan laporan tertawa tertahan).

Siapa yang tidak kaget kalau tiba-tiba saja seseorang yang tak kau kenal memelukmu? Tidak ada. Membiarkannya? Apalagi. Biar kata ia tampan, salah satu lelaki idaman, pemilik posisi penting dalam perusahaan tepatku melamar kerja, bahkan pemilik feromon yang memikat para wanita, tetap saja itu adalah tindakan kriminal. Aku tidak salah, kan?

Akan tetapi, sayangnya, istilah hukum alam sangat berlaku dalam perusahaan ini. Atasan selalu benar, tidak ada yang bisa membantahnya. Dan aku sebagai calon karyawan baru tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan.

Malangnya nasib anakmu ini, Mah.

"Mau sampai kapan kau melamun, anak baru?"

Aku menghela nafas, bersyukur bukan teguran dari atasan atau perintah yang kudapatkan, tapi dari Ino, cewek manis ala Barbie sekaligus tetangga kubikelku. Ia berdiri sambil bertumpu tangan pada sekat pembatas antar kubikel kami.

"Aku tidak melamun, Ino. Aku sedang istirahat. Aku capek..." keluhku. Dahiku kubenturkan di atas meja kerja lalu memejamkan mata. "Aku tidak sanggup. Aku mau resign."

"Heh!? Yakin?" dia mengejek, tahu kalau tidak ada kesungguhan dalam ucapanku.

Aku menggeleng. "Tapi ingin."

Ino berdecih, "Tapi tidak sanggup."

Dan aku hanya bisa merutuki diri sendiri karena ucapan Ino yang benar. Aku memang tidak sanggup melakukannya. Sudah cukup, aku merasakan jadi seorang pengangguran selama hampir tiga tahun. Mendengar omelan orang tua tiap hari, diremehkan oleh letting karena tidak bisa menghasilkan apa-apa, juga rasa iri pada mereka yang sudah sukses di usia muda. Tidak lagi.

Cari lowongan kerja di kota sekeras ini benar-benar butuh perjuangan yang luar biasa. Aku sudah merasakan bagaimana terik menggosongkan kulitku, setor berkas ke berbagai perusahaan (yang entah dibuat apa sekarang berkas yang sudah kukumpulkan), dan ketika sudah mendapatkan kerja dengan gaji yang bagus, aku mau keluar begitu saja hanya karena GM yang menyebalkan? Tidak akan.

"Ya. Tidak sanggup..." sahutku lemas, masih dengan kepala yang tertumpu pada meja. "Tapi, aku benar-benar tidak tahan dengan pantat ayam itu. Laki-laki diktator itu selalu saja menyuruhku melakukan apa yang ia mau dan membuatku menelantarkan pekerjaanku. Lalu ketika jam kerjaku akan berakhir, dia baru membiarkanku mengerjakan pekerjaanku. Dia adalah iblis."

"Yah," Ino menggaruk tengkuknya, bingung, "Aku juga heran sih sebenarnya. Kenapa malah kau yang diperlakukan seperti itu oleh GM. Aku dan anak-anak senior lainnya, tenang-tenang saja waktu baru masuk, paling kami dikerjai oleh senior yang duluan masuk. Itu pun tidak semelelahkan sepertimu, Sakura. Malah pak Uchiha juga tidak pernah menghiraukan kicauan karyawan wanita lain." Ino berhenti sejenak lalu memandangku curiga. Matanya memicing dan menatapku intens, seolah aku adalah tertuduh yang tak bisa kabur dari dakwaan, "Apa kau sudah berbuat sesuatu padanya?" Nada curiga tak bisa ia sembunyikan dari kalimatnya.

Aku menghela nafas pelan. Iya mungkin, sahutku dalam hati. Tapi, masa gara-gara itu? Aku tidak yakin. Aku melirik Ino yang masih menatapku curiga. Aku ingin memberitahu kejadian awal kami bertemu, tapi, itu juga tidak mungkin. Mulut Ino seperti selang bocor, bisa-bisa besok muncul gosip yang aneh-aneh. Lagipula aku tidak mau jadi korban bully karyawan penggila Mr. Uchiha-pantat ayam- Sasuke.

"Entahlah."

Suara helaan nafas Ino terdengar di telingaku, "Lalu kenapa malah memperlakukanmu seperti house keeper? Eh, tidak. House keeper saja tidak diperlakukan seperti itu oleh pak Uchiha."

"Tidak tahu." wajahku semakin kubenamkan pada meja. "Menurutmu, apa yang sudah kulakukan padanya?" tanyaku dan berpaling menatapnya.

Tapi, Ino tidak menjawab. Ia terdiam beberapa detik sebelum secara tiba-tiba rautnya berubah, seperti padang tandus yang diguyur hujan, memekarkan bunga-bunga yang ada di sana. Binar bahagia jelas tercetak di wajahnya.

Aku bangkit dan menegakkan tubuh, melihatnya seperti itu, rasa tidak enak langsung menyerangku. "Kau kenapa?"

Ino tersenyum tidak jelas, "Apa jangan-jangan dia menyukaimu, ka─"

"Tidak." potongku cepat.

Yah, Ino dan otaknya, selalu saja menarik kesimpulan sendiri. Dan itu benar-benar membuatku jengkel. Seperti ia seorang psikolog saja bisa membaca seseorang lalu menyimpulkannya. Padahal otaknya juga kadang bergeser.

"Eh?!"

"Dan jangan berpikir macam-macam. Dia tidak menyukaiku, titik."

"Ta─"

"Kau sendiri tahu bagaimana sikapnya padaku, mana ada laki-laki yang menyukai perempuan dan memperlakukannya seperti itu? Tidak ada. Pendekatan macam apa itu?"

"Lalu kenapa? Memang kau pernah berbuat salah padanya?"

"Mana kutahu, Ino. Aku sudah bilang padamu kan tadi. Pantat ayam itu, memang hanya ingin menyiksaku."

"Tapi pasti ada alasannya. Kau pasti sudah melakukan kesalahan. Mengakulah."

Aku menatapnya tidak suka. "Kalau aku salah, ia seharusnya memberiku SP atau tidak menerimaku sekalian, tapi kenapa malah menyiksaku seperti ini?"

Ino angkat bahu, "Entahlah. Hanya kau, dia dan Tuhan yang tahu."

"Ralat. Hanya dia dan Tuhan yang tahu."

Ino mendesah, "Hanya orang jahat yang seperti itu."

"Ya, dia salah satunya."

Ino memandangku, "Kau sungguh membencinya karena ini, Sakura?" aku mengangguk. "Ya."

"Sungguh?"

"Iya."

"Kau yakin?"

"Astaga Ino. Kau membuatku tambah pusing, kau tahu. Memang, apalagi yang harus kurasakan padanya selain kesal dan jengkel juga benci? Suka? Itu tidak mungkin. Sudahlah."

"Yah, baiklah. Itu urusanmu sajalah. Lagipula benci dan cinta itu hanya dipisahkan oleh sekat yang tipis, asal rusak sedikit yah pasti jadi cinta."

Aku menggeram tertahan. Jengkel dan dongkolku semakin bertambah karena mulut Ino. Aku jadi berpikir, kenapa aku bisa punya teman seperti dia? Apa dia menyantetku? Atau aku yang khilaf?

"Ya... Ya... aku tidak akan mengganggumu lagi. Lanjutkan kerjamu. Sebentar lagi jam kantor usai, kau tidak ingin lembur, kan?"

Aku menghela nafas lemas, "Biar tidak mau lembur, tetap saja aku akan lembur."

"Yah... hm... ah, aku bingung. Sudahlah. Aku tidak tahu kata-kata motivasi yang bisa membuatmu semangat, cepat selesaikan pekerjaanmu, kalau ti─"

Aku memandang Ino nanar, air mataku serasa ingin keluar.

Ino mendengus kasar, "Jangan memandangku seperti itu, Sakura. Aku juga tidak bisa membantumu. Aku juga capek."

"Jahat. Padahal kita ini kan sahabat sejak kecil."

"Yah, itu kalau di luar kantor. Maaf-maaf saja Sakura, aku juga takut pada GM─ walaupun aku mengagumi tubuh dan ketampanannya, tapi kalau marah─ uh... lebih baik aku mundur. Aku tidak berani"

Ino sialan. Apa salahnya dia membantuku, toh dia tidak akan diapa-apakan oleh Sasuke.

"Kau berubah."

"Ini realistis, Say. Kalau keadaannya seperti ini, aku juga lebih baik menyelamatkan diri."

"Egois."

Ino angkat bahu, "Setidaknya aku tidak suka mengurusi urusan orang lain, bukan."

"Tapi kepo."

"Itu manusiawi."

Kenapa Ino selalu punya kata-kata untuk melawanku sih. Aku jadi tambah dongkol.

Ini semua karena Sasuke sialan.

Dasar, psikopat, sialan, sialan, sialan. Aku terus memakinya dalam hati.

Tapi tampan.

Sialan. Setan mana yang menginterupsi kekesalanku.

Kuhempaskan tubuh untuk bersandar di kursi. Kembali meneliti angka-angka yang ada di layar komputer.

Ah, berapa lama lagi aku harus di sini? Aku jadi rindu pada ranjang dan bantalku. Novel yang kemarin baru kubeli juga. Mereka pasti sangat merindukanku sekarang.

"Aku sudah selesai."

Eh?! Cepat sekali.

"Ino─"

"Aku duluan, yah Sakura. Pacarku sudah menungguku di bawah. Bye..." Ino tiba-tiba memotong ucapanku sebelum benar-benar selesai kulontarkan, aku bertambah lemas.

Aku mengangguk lesu sebagai jawaban. "Hah..."

Dan sekarang sisa aku yang berada di ruang ini, dengan laporan yang masih tersisa dua pertiganya.

Arrrgghhhh, ini semua gara-gara Uchiha Sasuke menyebalkan itu. Seharian ini, bukannya ia membiarkanku menginput laporan, ia malah menyuruhku melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh house keeper atau sekertarisnya.

Untung saja aku pengagum pria tampan, kalau tidak sudah kulempar wajahnya itu dengan sendalku dari dulu.

Hah, sampai kapan penderitaanku ini berakhir, Tuhan?

Pengangguran atau perintah rese GM, benar-benar tidak ada yang menyenangkan.

Hampir tiga jam aku selesai menginput laporan, dan sekarang langit sudah gelap bahkan gemuruh dari amarah langit sudah keluar. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, sampai awan menjatuhkan titik-titik airnya.

"Selamat malam, bu Sakura?"

Salah seorang house keeper menyapaku. Dia adalah pak Asuma, karyawan senior di sini. Sudah hampir lima tahun bekerja hingga akhirnya diangkat jadi captaint haouse keeper. Lama, kan? Itupun juga dilihat dari kinerja kerjanya yang baik. Ini juga yang sebenarnya menjadi alasanku tidak mau keluar dari perusahaan ini. Banyak orang yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, naik pangkat dengan cepat, atau gaji yang memuaskan, tapi mereka tetap berusaha supaya tidak menjadi pengangguran. Jadi, kalau aku keluar, belum tentu aku akan mendapat pekerjaan baik seperti ini. Dan lagi, tidak memungkinkan predikat pengangguran abadi akan kudapatkan kembali.

Aku balas tersenyum, "Malam juga, pak Asuma." Meski pangkatku lebih tinggi dibanding dia, tapi tetap saja aku masih junior di perusahaan ini. Lagipula ia juga lebih tua dariku, "Oh ya, Pak. Bagaimana keadaan Mirai, sekarang? Kudengar kemarin ia demam?" tanyaku basa basi.

"Sudah lebih baik. Terima kasih, bu Sakura." sahutnya tak kalah sopan.

Aku mengangguk pelan. "Syukurlah. Maaf ya Pak, kemarin saya tidak sempat pergi, kerjaan benar-benar menumpuk." dan permintaan GM yang memuakkan, lanjutku dalam hati.

"Iya, tidak apa. Saya mengerti, kok. Ibu juga masih baru di sini, pastinya belum terbiasa dengan pekerjaannya."

Aku tersenyum, "Iya, Pak." Apalagi dengan kerjaan tak bermutu dari GM, cibirku dalam hati. Lagi. "Ah, kalau begitu saya permisi ya Pak. Sudah malam, takut busnya pergi duluan. Lagipula cuacanya sedang mendung."

"Ah, iya... iya... hati-hati di jalan yah bu Sakura." balasnya.

Satu lagi yang membuatku urung memberikan surat resign pada HRD, meski GM-nya kelewat menyebalkan, tetapi kebanyakan karyawan di sini ramah hingga membuatku betah. Sangat sulit mendapatkan tempat kerja dengan karyawan ramah seperti mereka.

Tiba di halaman depan hotel, kesialanku bertambah. Rupanya langit tidak mau berkompromi dengan keadaanku dan menurunkan titik-titik air dengan deras.

Aku mulai bimbang, tidak mungkin menunggu hujannya reda. Bus tidak akan mau menunggu. Tapi, kalau diterobos, kemungkinan aku akan sakit besok. Aishh, ini semua gara-gara pantat ayam itu.

"Kau sendiri?"

Aku berpaling manatap pemilik suara yang tiba-tiba menerobos gendang telingaku. Panjang sekali umurnya, diumpat dalam hati, langsung muncul.

"Iya, Pak. Saya sendiri." dan ini semua gara-gara kau brengsek.

"Kau mau kuantar?"

Eh? Serius? Tumben baik, biasanya cuma menyusahkan.

Tapi,

Tetap saja harga diri itu lebih penting. Laki-laki ini sudah membuatku kesusahan, masa iya diberi tumpangan langsung ikut? Murahan sekali aku kalau begitu.

"Terima kasih, Pak. Tapi, tidak usah. Saya tunggu hujan ini sampai reda saja."

Laki-laki itu menatap ke depan dan langit yang ditutupi awan hitam tanpa bintang.

"Kau yakin?" tanyanya ragu.

Dan aku juga mengangguk. Meski ragu, sebenarnya, "Yakin, Pak."

"Ya, sudah kalau begitu, aku duluan."

What? Hanya begitu saja? Tanpa ada tawaran kedua kali? Laki-laki ini memang batu alias tanpa perasaan.

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan."

Dan ia pun pergi. Hilang di balik pintu kemudi mobilnya yang baru saja diantarkan oleh petugas valet hotel.

Sementara aku, masih berdiri di depan hotel dan berpikir. Kapan hujannya reda? Kapan aku bisa pulang? Kapan aku bertemu kamarku? Dan kapan aku bisa menikmati ramyon bungkus yang kemarin kubeli sambil membaca novel baruku? Pasti lama.

Akhirnya, setelah berpikir beberapa detik dengan terpaksa aku memilih menerobos. Dari pada tidak pulang lebih baik aku sakit, setidaknya aku mempunyai alasan untuk tidak masuk kerja besok dan mungkin saja GM itu bisa intropeksi diri dan berubah. Tidak lagi berbuat semena-mena pada karyawan lemah lembut sepertiku.

Rasa dingin perlahan mulai menjalari tubuh ketika tetes air hujan satu per satu membasahi tubuhku. Tas yang kugunakan sebagai pelindung, sama sekali tidak membantu. Angin yang berhembus kencang, juga derasnya air hujan yang turun, sedikit memburamkan penglihatan dan membuatku sulit berlari. Dan gara-gara itu pulalah, kesialanku bertambah. Aku tersandung batu, lalu terjatuh di aspal. Sungguh memalukan sekaligus menyedihkan.

Aku benar-benar ingin mengutuk GM pantat ayam itu menjadi pantat ayam sungguhan. Gara-gara dia, keadaanku jadi menyedihkan begini. Bisa kalian bayangkan sendiri, bagaimana keadaanku. Di tengah hujan deras, aku terjerembab pada kubangan air hujan yang kotor, seluruh pakaianku basah, kaki terkilir dengan rasa perih yang menyengat plus mendapat predikat sebagai manusia paling menyedihkan dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.

Oh Tuhan, kenapa nasibku malang seperti ini? Kenapa bisa aku bertemu dengan manusia kejam seperti dirinya? Dan kenapa dia diciptakan dengan wajah malaikat yang membuatku tidak bisa menendang wajahnya?

Aku benar-benar tidak tahan dengan ini semua.

Tin.

Eh?

Suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. Tapi, aku tidak bisa bergerak pun bangkit untuk menghindar. Tubuhku terlalu lelah, kakiku juga sudah kebas ditambah dengan rasa menyengat yang perih pada pergelangan kakiku karena terjatuh.

Tuhan, bukan ini maksudku? Aku hanya tidak tahan pada sikap laki-laki itu dan bukan pada nasibku. Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti ini dan pada waktu ini. Aku tidak ingin masuk koran dengan judul, wanita paling menyedihkan ditabrak lari.

Akan tetapi, sepertinya doaku tidak akan dikabulkan kali ini. Aku benar-benar tidak bertenaga untuk bergerak, dan lagi pandanganku mulai memburam. Dan tahu-tahu, tiba-tiba semuanya jadi gelap. Tubuhku luruh di aspal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya.


...
Mickey139


Share:

Sunday, July 27, 2025

THE MERMAID - ENAM

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP



THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)


🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Gelap.

Mac merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung, tubuhnya terasa ringan, hampir seperti mengapung tanpa berat. Suara ombak yang biasanya terdengar begitu jelas, kini hanya berdesir samar di telinga, seperti datang dari kejauhan.

Tapi kemudian, ada sesuatu yang menariknya ke permukaan. Sesuatu yang hangat. Perlahan, ia merasakan sentuhan air di wajahnya. Suara-suara kembali memudar dan akhirnya menggantikan kekosongan dengan bisikan lembut.

"Mac…"

Suara itu. Adrea. Suara yang selalu terdengar begitu tajam, kini terdengar begitu dekat, hampir seperti sebuah pelukan di tengah gelap.

Mac merasakan tubuhnya diguncang pelan. Ia membuka mata dengan susah payah. Sekelilingnya samar, namun ia bisa melihat bayangan Adrea yang menggantung di atasnya, wajahnya tegang dan penuh rasa cemas.

"Adrea?" suara Mac serak, hampir seperti berbisik, tapi ia tahu Adrea mendengarnya.

"Mac…" Adrea menarik napas panjang. "Kau hampir mati, idiot. Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau memaksakan diri?"

Mac hanya tersenyum tipis, matanya masih setengah terpejam. "Aku tidak mau kehilangan satu-satunya kesempatanku untuk kembali."

Adrea menggelengkan kepala. "Kalau kau mati, kau tidak akan kembali."

Mac menahan tawa, meskipun tubuhnya terasa seperti hancur. "Aku tahu. Tapi, aku masih hidup."

Adrea mengangkatnya perlahan, meletakkan tubuh Mac di atas sebuah batu karang besar yang muncul dari permukaan laut. Cahaya samar mulai meresap dari atas, menunjukkan bahwa mereka sudah berada di zona yang lebih dangkal.

"Ya, kalau begitu, jangan harap aku akan menyelamatkanmu lagi," jawab Adrea dengan nada menggoda, meski Mac bisa melihat kegelisahan di matanya.

Mac memejamkan mata, mencoba mengatur pernapasannya. Tubuhnya nyaris kosong dari mana—ia tahu bahwa sihir yang ia gunakan tadi sangat membebani tubuhnya. Bahkan sekarang, energi sihir yang tersisa terasa seperti sebuah nyala api kecil yang hampir padam.

"Apa… bagaimana dengan Seleris?" tanya Mac dengan suara yang hampir tak terdengar.

Adrea mengangguk. "Aku sudah pastikan, makhluk itu takkan bangun lagi dalam waktu dekat." Ia mengeluarkan benda kecil berkilau dari kantungnya. Sebuah sisik besar yang berwarna perak kemerahan. "Ini, hadiah untuk kerja sama kita."

Mac menatapnya lemah, lalu tersenyum dengan penuh rasa syukur. "Aku… senang… kita berhasil."

Adrea mendekatkan dirinya, menatap Mac dengan serius. "Kau tak akan bisa lagi bertarung dalam keadaan seperti ini. Kita harus beristirahat di sini sampai keadaanmu pulih."

Mac hanya mengangguk lemah. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sebuah perasaan yang berbeda. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar keberhasilan dalam misi mereka. Meskipun ia hampir mati, dan meskipun tubuhnya hancur, perasaan yang paling kuat yang ia rasakan adalah…

Kepercayaan.

Kepercayaan bahwa, dalam dunia yang kejam ini, mereka masih punya satu sama lain.

"Adrea…" bisik Mac, matanya mulai terpejam lagi. "Terima kasih…"

Adrea menatapnya, lalu menepuk lembut kepala Mac. "Kita masih punya banyak perjalanan, Mac. Istirahatlah."

"Baiklah," jawab Mac dengan pelan, "aku ... akan tidur sebentar."

Adrea tertawa kecil, namun suara tawa itu terdengar begitu nyata dan hangat di telinga Mac.

Mereka berada di desa Ko'tren sekarang, dan meskipun badai sebelumnya telah berlalu, mereka tahu perjalanan mereka masih panjang. Tapi untuk saat ini, di kedalaman lautan yang luas dan misterius, mereka bisa beristirahat sejenak, bersandar satu sama lain dalam keheningan yang nyaman.

🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Air asin masih melekat di kulit Mac saat ia perlahan terbangun di dalam sebuah ruangan yang asing. Atap dari kulit kerang besar dan dinding-dinding batu karang berkilau samar oleh cahaya bioluminesen. Udara lembap dan dingin, tapi terasa aman. Aroma laut begitu kental, namun tak sepekat bau darah dan debu sihir yang menempel dalam ingatannya.

“Dia bangun.”

Suara berat itu datang dari sudut ruangan. Seorang pria bertubuh besar dengan kulit bersisik kemerahan, mengenakan mantel dari sisik-sisik ikan langka, melangkah mendekat. Matanya, sepasang mutiara hitam pekat, menatap Mac dengan rasa ingin tahu.

“Mac, ini Kepala Suku Ko’tren. Kau aman sekarang,” kata Adrea, berdiri di sisi tempat tidur dari anyaman rumput laut kering. Rambutnya masih basah, dan ada bekas luka memanjang di pipinya. Tapi matanya tampak lebih tenang daripada sebelumnya.

Mac mencoba duduk, tapi rasa nyeri menghantam tulangnya seperti palu. Ia meringis.

“Jangan paksakan dirimu,” tegur Adrea cepat. “Tubuhmu belum pulih. Dua hari kau tak sadarkan diri.”

“Dua… hari?” Mac mencoba mengingat kembali, tapi semuanya terasa kabur. Hanya kilatan cahaya, suara raungan Seleris, dan wajah Adrea yang bersimbah air laut dan darah yang tersisa.

Ko’tren menatap mereka bergantian. “Kau menggunakan Mana Dalam. Itu bukan sihir yang bisa digunakan sembarangan. Kami telah menenangkan energi itu dalam tubuhmu, tapi efeknya tidak bisa dihapus begitu saja.”

“Mana Dalam…” Mac memutar kepalanya perlahan, menatap tangan kanannya. Ada urat gelap samar seperti luka bakar yang belum sembuh, membelit pergelangan hingga ke siku.

“Kalau kau menggunakannya lagi… bisa-bisa tubuhmu retak dari dalam,” lanjut Ko’tren. “Bahkan tanpa ada musuh yang menyentuhmu.”

Adrea diam. Ia sudah tahu itu. Ia menyaksikan tubuh Mac kejang, darah keluar dari hidung dan telinganya, saat sihir itu meluap. Ia menyesal tidak menghentikan Mac lebih awal. Tapi di saat itu, hanya Mac yang bisa menahan Seleris cukup lama untuk menyelamatkan mereka semua.

Mac menarik napas dalam-dalam. “Aku tak menyesalinya.”

Adrea memalingkan wajah, menahan sesuatu yang tidak ingin ditunjukkan di depan kepala suku.

“Karena kalau aku tak lakukan itu,” lanjut Mac, “kau yang akan terluka. Dan aku… tak bisa menerima itu.”

Sunyi sejenak.

Ko’tren mengangguk perlahan. “Kau bodoh. Tapi keberanian seperti itu… langka di zaman ini.”

Ia berdiri dan berjalan keluar, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan lembut. Adrea duduk di samping Mac, menatapnya lama.

“Kalau aku tahu, aku mungkin akan menghentikanmu.”

“Dan membiarkan kau dirobek Seleris? Tidak.” Mac tersenyum samar. “Kau adalah kesempatanku. Satu-satunya harapanku agaraku bisa kembali ke lautan.”

Adrea tak menjawab. Ia hanya menatap Mac. Tahu bahwa laki-laki itu tengah diburu waktu. Ia tahu dari kepala suku bahwa Mac sebenarnya adalah seekor mermain dan sudah melakukan hal terlarang. Mengubah ekornya menjadi kaki. Dan, sekarang laki-laki itu itu tengah diburu waktu sebelum lautan memanggilnya kembali dan berubah menjadi buih.

Adrea tidak merasa penasaran dengan kisah laki-laki itu, atau pun tertarik dengan alasananya, hanya saja Mac sudah menolongnya dan sebagai kesatria yang tahu diri, ia perlu membalas Mac. Mereka punya tempat tujuan yang sama, jadi Adrea akan memastikan mereka akan tiba di sana dengan aman.

Mereka duduk lama dalam diam, hanya ditemani suara riak kecil dari luar gua karang.

"Kita akan bergerak ketika tubuhmu sudah pulih sepenuhnya."

Mac mengangguk patuh. Tubuhnya sangat lemah sekarang dan ia tidak bisa membantah perkataan Adrea. Ia memang tengah diburu waktu, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan kondisinya dan membuat dirinya menjadi beban.

Adrea berdiri tidak lama kemudian dan pamit bersama kepala suku Ko'tren “Aku akan kembali lagi. Dan kau harus menghabiskan obat itu baru kemudian istirahat.” kata Adrea sambil menunjuk kerang di samping tempat tidur Mac.

Mac kembali mengangguk. "Baiklah."

Adrea mengangguk pelan kemudian pergi meninggalkan Mac sendiri di ruangannya.

Setelah mereka pergi Mac memaksakan tubuhnya untuk duduk. Meski tubuhnya bergetar ia memaksa mengangkat kerang dan meminum ramuan yang ada di dalamnya. “Istirahat, katanya, harusnya ia membantuku dulu minum obat sebelum pergi."


🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️
Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP

Share:

Wednesday, July 2, 2025

MANHWA - The Last Adventurer


Judul : The Last Adventurer
Penulis : Dedart
Ilustrasi : Blue Lobster dan Salty Dog
Tahun terbit : 2024
Genre : Aksi, Fantasi, Petualangan

Deskripsi

Di Era Petualangan yang dimulai dengan kemunculan Gates, yang ditandai dengan keputusasaan, kesengsaraan, dan keputusasaan yang mutlak, semua orang telah menyerah dan kehilangan keberanian untuk terus berjuang—kecuali satu petualang yang menolak untuk menyerah hingga napas terakhirnya.

"Hanya kau yang tersisa, Petualang Terakhir Elpam."

Saat sejarah petualang terpaksa berakhir, Petualang Terakhir kembali ke tempat cerita ini dimulai.

...

Yuhu, ada manhwa baru. Cerita tentang Elpam, petualang terakhir yang kembali ke masa lalu alias seorang regresor. Setelah kembali kemasa lalu, dia memulai dari seorang budak, yang punya tujuan untuk mengubah takdirnya.

Cerita dimulai ketika Elpam beserta timnya bersiap menghadapi Horntail, Raja Naga berkepala tiga. Elpan dan timnya adalah sisa petualang yang bertahan setelah pahlawan dan kelompok petualang lain dimusnahkan.

Meskipun mereka tahu kalau mereka tidak akan mungkin menang, Elpam dan teman-temannya tetap meneruskan pertempuran. Pada akhirnya, semua anggota tim dibantai dan menyisakan Elpam seorang diri. Dia memang berhasil memenggal salah satu kepala Horntail. Akan tetapi, bagian itu tumbuh kembali.

Elpam pun mengeluarkan sihir terakhirnya sebagai usaha terakhir. Sayangnya, luka yang dia derita sudah cukup parah. Akhirnya Elpam hanya bisa memandang semburan api Horntail yang menyerang dirinya.

Kemudian Elpam bangun di masa lalu, ketika masih menjadi seorang budak. Dia dibeli oleh sekelompok petualang untuk dijadikan umpan monster di dalam dungeon. Namun, kelompok petualang itu tewas dibantai di dalam dungeon. Sementara Elpam berhasil selamat dan mengalahkan monster di dalam dungeon itu.

Elpam pun memanfaatkan situasi itu untuk membebaskan dirinya sebagai budak dan memulai perjalanannya kembali sebagai seorang petualang.

....

Elpam adalah karakter regresor yang perkembangan karakternya dimulai dari seorang budak lalu menjadi seorang petualang. Ceritanya agak klise bahkan sama seperti beberapa manhwa yang mungkin sudah kalian baca, dimana Elpam juga tak langsung menjadi kuat. Meski begitu, dia juga memiliki plot armor sebagai seorang MC. Dia menjadi kuat dalam waktu dekat. Peningkatan rank-nya bahkan tidak butuh waktu yang lama.

Jujur saja, saya agak ragu dengan karakter yang terlalu cepat kuat, takutnya ceritanya bakal berjalan dengan membosankan. Tetapi, blik lagi, manhwa ini masih berjalan. Dan sampai chapter 70-an yang saya baca, manhwa ini tergolong aman bahkan seru.

Di samping kekurangan atau mungkin kelebihan MC, saya juga suka penggambaran karakter Elpam. Dia baik namun bisa menjadi lebih kejam saat dibutuhkan. Dia bukan tipe karakter idealis tetapi punya tujuan yang jelas. Untuk saya Elpam adalah salah satu karakter protagonis yang menarik.

Beberapa arakter-karakter pendukung digambarkan dengan sangat unik dan memiliki ciri kas tersendiri, hingga memberi warna lain pada manhwa ini dan bisa dikatakan manhwa ini tidak membosankan.

Ikatan antara Dibo dan Elpam, menurutku adalah salah satu yang membuat cerita ini menyentuh dan lebih manusiawi. Mereka adalah rival di timeline pertama, tetapi dalam kehidupan ini, mereka berjuang bersama dan menjadi rekan. Mereka bersama-sama berkembang, bertambah kuat, dan itu menambah kedalaman emosional pada cerita, membuat perjalanan mereka semakin berharga.

Untuk ceritanya, The Last Adventure memang cukup klise dan familiar, tapi dibuat dengan cara lain jadi terasa segar dan menarik.

World buildingnya pun cukup mengesankan, ditambah dengan elemen-elemen kreatif seperti monster unik. Ada juga sistem peringkat berdasarkan nilai. Juga sistem dungeon yang berbeda. Di mana, dungeon dalam cerita ini tidak bisa dimasuki oleh petualang jika tidak memenuhi syarat tertentu. Jadi, meskipun alur ceritanya mungkin tampak familiar, eksekusinya membuatnya menonjol.

Gambar monster, latar belakang, puing-puing, ekspresi dan bahasa tubuh karakternya digambar secara detail dan presisi sehingga ketika ada adegan pertarungan, adrenalin pembaca ikut terpacu dan gampang memahami kondisi mental karakternya.

Satu-satnya yang membuat cerita ini sangat berbeda tetapi juga unik secara bersamaan adalah, karakter utama dibuat harus berusaha lebih keras untuk menjadi kuat. Tidak ada waktu untuk dirinya beristirahat. Butterfly efect dari percobaannya mengubah takdir membuatnya betul-betul harus mengerahkan semua daya dan upayanya untuk berhasil. Jadi, meskipun dia punya plot armor, dia juga dibuat tidak mudah menyelesaikan tantangannya.

Secara keseluruhan Manhwa ini adalah petualangan fantasi tinggi yang dibuat dengan sangat baik. Karakter utama yang cerdas dan tahu cara menavigasi tantangan. Alur cerita yang bisa membuatmu terpikat dengan plot tak terduga, dan momen emosional antar karakter yang menyentuh hati. Meskipun ceritanya tampak familiar, namun eksekusinya benar-benar menarik dan membuatnya layak dibaca.

Kesimpulannya, kalau kamu adalah penikmat cerita tentang MC zero to hero, membangun ikatan yang kuat, menjelajahi dunia yang berbahaya, dan minim romansa, manhwa yang satu ini jelas merupakan pilihan yang bagus.

Mickey139



Share:

Thursday, June 26, 2025

RESTART [1/3]

Sequel SELEEPING BEAUTY

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.


SUMMARY
"Hanya begini saja?" sekali lagi aku bertanya.
"Memang apa lagi?"
"Tidak ada pendekatan?"
"Kau sudah tahu bagaimana aku kan?"
"Tapi aku tidak berdebar-debar seperti novel yang sering kubaca."
"Jantungku yang mau melompat Sakura."
Oh astaga, inikah kata-kata gombalan milik Uchiha Sasuke?
"Kau mau?"
"Kalau tidak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?"
"Tentu saja memaksamu."


.
.
.

WARNING
UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR DILARANG MENDEKAT, MEMBACA APALAGI MENCONTEKNYA.
DILARANG KERAS MENGKOPI PASTE DAN MEREPOSNYA DI TERMPAT LAIN.



Bagian 1


"Ambilkan laporan penjualan pada bagian kearsipan."

Ini bercandakan? Aku disuruh naik lantai lima belas dari lantai lima hanya untuk turun ke lantai lima lagi?

Terus, apa gunanya sekertaris yang ada di depan ruangannya itu? Apa gunanya telepon yang ada di mejanya? Dia kan bisa meminta bagian kearsipan untuk membawakannya. Kenapa harus aku?

Karena dia hanya ingin melihatmu menderita.

"Maaf, Pak, bukannya Bapak bisa menyuruh bagian kearsipan untuk membawakannya, yah?" kuberanikan diriku bertanya. "Atau ada Bu Karin yang bisa mengkonfirmasikan pada bagian kearsipan."

Sasuke menghentikan ketikannya hanya untuk menatapku tajam. "Karin sudah menginformasikan ke mereka, tapi mereka sibuk dan belum bisa membawanya naik ke sini sementara aku sudah sangat membutuhkannya. Sedangkan Karin harus menyelesaikan laporan bulanan untuk meeting besok, jadi tidak bisa ke mana-mana." jelasnya.

Dan kenapa harus aku? Banyak karyawan lain kan yang bisa. Aku juga punya pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini.

"House keeper kan juga bisa, Pak." Lagi-lagi aku protes.

"Tidak bisa. Mereka tidak boleh membawa laporan sepenting itu."

Apa masalahnya? Mereka juga tidak mungkin membawa kabur setumpuk kertas tidak berguna yang tidak bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat, bukan?

"Tapi─"

"Tidak usah banyak protes. Ambilkan saja, dari pada kau membuang waktu tidak berguna di sini."

Astaga. Tidak berguna, katanya. TIDAK BERGUNA? Andai memotong kepala orang tidak berdosa, aku dengan senang hati akan melakukannya pada orang ini.

Untung tampan.

"Baiklah. Apa ada yang lain, Pak?" tanyaku lagi, tidak mau disuruh untuk yang kesekian kalinya.

"Untuk sementara tidak ada."

Yah 'untuk sementara', artinya akan ada lagi sebentar.

Shiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!

Kukeraskan rahangku hanya untuk tidak memakinya saat ini juga. Heran, kok punya GM begini amat yah sama bawahannya. Di mana hati dan prikemanusiaannya?

"Kalau begitu saya permisi."

"Hn."

Aku menghembuskan nafas lelah, lalu undur diri dari hadapan laki-laki diktator itu.

💢💢💢

"Ini laporan yang Bapak minta." kataku sambil menyerahkan laporan penjualan bulan kemarin yang dibungkus dengan map hitam kepada Sasuke.

Sasuke menerima lalu memeriksanya. Belum ada kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya. Ia hanya diam sambil mengamati.

"Hn."

Yesssssss!

Akhirnya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku.

"Buatkan kopi hitam. Jangan yang kemasan, ada biji kopi yang sudah di siapkan."

What?

Mataku melotot. Apa-apaan dia?

"Ada house keeper kan, Pak?" lagi aku menanyakan ke mana house keeper milik perusahaan.

"Lama. Lagipula kau ada di depanku sekarang dan lebih menghemat waktu dari pada memanggil mereka."

Triple shiiiiiit!

Seharusnya ia bilang dari tadi supaya aku bisa menyuruh HK untuk membuatkannya.

"Tapi, saya juga punya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak. Hari ini." kataku kesal.

"Hanya menginput laporan, kan. Itu tidak membutuhkan waktu yang lama." sahut Sasuke tidak mau mengalah.

Hell, dia kira laporan harian itu tidak banyak? Aku juga masih baru kan, jadi, jari-jemariku masih belum terlalu fasih.

"Tapi─"

"Lebih menghemat waktu jika kau membuatkanku sekarang. Lagipula itu tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya lima belas menit kurang, kopiku selesai." katanya dengan nada final.

Aku menunduk, keluar ruangannya sambil menyeret langkahku.

"Tidak usah berpura-pura. Aku tahu kau pasti senang kan di panggil terus oleh Tuan Uchiha?"

Aku mendelik pada Karin sekertarisnya Sasuke.

Dasar bodoh.

Apa matanya sudah buta hingga tidak melihat bagaimana wajahku sekarang? Bagaimana kondisiku sekarang? Bagian mana dari diriku yang senang dengan kelakuan Sasuke?

"Kau mau gantian?"

Karin mengangguk antusias. "Tentu saja."

"Kalau begitu buatkan dia kopi hitam sekarang." kataku.

Raut wajah Karin berubah masam. "Tidak bisa. Kali ini kau saja yang buatkan. Dia menyuruhku menyelesaikan laporan dan tidak membiarkanku istirahat sebelum menyelesaikannya."

Kali ini rautku yang berubah masam. Dan tanpa konfirmasi pada Karin aku langsung pergi ke pantry dan membuatkan pesanan laki-laki arogan itu.

💢💢💢

"Kau boleh kembali ke ruanganmu."

Akhirnya Tuhan.

"Bapak tidak memerlukan sesuatu lagi, kan?" tanyaku hati-hati. Biasanya ini hanya sementara sebelum dia menyuruhku lagi.

"Tidak. Kau boleh kembali ke ruanganmu."

Wow.

Apa kopi buatanku bisa merubah mood orang jadi baik?

"Kalau begitu saya permisi." ucapku girang.

Dia menatapku heran namun tidak kupedulikan, aku meneruskan langkahku.

Akhirnya.

Semoga hari ini aku pulang lebih cepat.

source : pinterest



Sly Vs Tsundere © Mickey_Miki
Pair: Sasuke dan Sakura
Rate: M
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING: AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey)



"Sakura, ke ruangan GM sekarang. Laporan yang kemarin kau input katanya salah."

Keningku mengerut ketika Kuren mengatakan itu. Bukankah, yang seharusnya memeriksa laporan itu adalah kepala devisiku lalu mengatakan salah padaku sendiri dan menyuruhku mengubahnya sebelum diserahkan pada GM? Dan kenapa GM bisa mengetahui yang mana hasil kerjaku?

Uh, aku yakin ini hanya akal-akalannya lagi untuk mengerjaiku. Padahal lima belas menit yang lalu dan sebelum-sebelumnya juga ia sudah memanggilku, tetapi tidak memberitahuku apa-apa. Ternyata benar, ini tidak akan selesai sabelum jam empat, sama seperti yang lalu-lalu.

"Iya baiklah." sahutku malas. Capek sebenarnya. Naik-turun dari lantai lima belas dan lima itu bukan seperti jalan lima meter langsung sampai. Meski naik lift, tetapi liftnya terletak lumayan jauh, ditambah aku menggunakan high heels makin membuatku capek dan pegal.

Ah, padahal pekerjaanku belum selesai. Baru juga sepuluh menit yang lalu disuruh kembali, sekarang dipanggil lagi.

"Lagi?"

Aku melirik Ino dan mengangkat bahu, "Kau bisa melihatnya sendiri." sahutku.
"Sepertinya dia tidak bisa tidak melihatmu barang lima menit." kekehnya sambil menopang dagu melihatku.

Aku bersungut-sungut dan menatap Ino jengkel. "Dia psikopat." lalu tanpa menunggu balasan darinya aku kembali meneruskan langkah.

Tiba di ruangannya, aku menemukan dirinya bersama dengan seorang klien wanita. Cantik dan seksi, tipekal pria-pria zaman sekarang yang menamai diri mereka sebagai pencinta wanita.

"Permisi, Pak."

Mereka mengalihkan perhatian mereka padaku.

"Ada─"

"Satu mokachino dan kopi hitam, lima belas menit dari sekrang." katanya tanpa basa-basi.

"Apa?"

"Sekarang."

Arrrrgghhhh... Sasuke brengsek. Sialan. Pantat ayam. Menyebalkan. Apa gunanya house keeper kalau staf admin yang disuruh.

Lagipula, dia bilang lima belas menit. Memang dasar, dia hanya ingin menyiksaku. Mana bisa dalam waktu segitu selesai? Belum perjalanan, proses pembuatan, dan antrian. Semua itu memakan waktu setidaknya dua puluh menit bahkan sampai setengah jam. Dasar tidak berperikemanusiaan.

Dengan langkah gontai dan makian buat Sasuke aku menuju kafe dekat hotel dan membelikan pesanan mereka. Untung saja aku sudah menyimpan kontak salah satu pelayannya, jadi bisa menghemat waktu.

"Ini pesananmu Sakura. Satu mokachino dan kopi hitam."

"Terima kasih, Yukimaru."

"Sama-sama."

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Rupanya sudah dua belas menit berlalu, dan sekarang waktuku hanya tersisa tiga menit. Bisa gawat jika aku terlambat. Taring dan tanduknya akan muncul.

Segera kubawa kakiku secepat yang kubisa menuju kantor GM. Meski sulit, karena selain memakai heels setinggi tujuh senti meter juga harus melewati padatnya karyawan karena istirahat.

Sampai di kantornya, aku dibuat tercengang, rupanya wanita tadi sudah tidak ada. Jadi, apa gunanya aku bersusah payah membelikan mereka minuman ini? Apa bayaran dari usahaku?

Tatapan tajam milik Sasuke Uchiha.

Dia menatapku setajam tatapan singa yang menatap tikus malang yang terpojok. Padahal hanya telat lima menit, masa iya langsung dihadiahi tatapan seperti itu? Dia kira aku wonder women yang bisa bergerak cepat ya?

"Lima menit."

Aku mendesah, menyesal sekaligus kesal. "Maaf, Pak. Banyak antrian tadi." jelasku berharap ia masih punya hati nurani untuk memaklumiku kali ini.

"Lima menit itu bisa membuat kerugian besar perusahaan."

Tidak ada hubungannya kan.

"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya."

"Usaha?" Aku mengangguk mantap. "Tapi aku tidak bisa melihat usahamu. Ini adalah kali keempat kau terlambat dan membuat clientku duduk dengan tenggorokan kering."

Lalu itu apa? batinku saat tanpa sengaja mataku melirik bekas minuman di atas mejanya yang belum sempat dibereskan oleh house keeper.

"Ya sudah. Taruh itu dan kerjakan kembali laporan itu."

Tatapanku kualihkan pada map kuning di atas meja. "Baik, Pak." kemudian aku mengambilnya. "Kalau begitu saya permisi." sahutku sebelum melangkah meninggalkan ruangan yang bikin sesak ini.

"Siapa bilang kau mengerjakannya di ruanganmu?"

Ha?! Lalu di mana? Di toilet? Semakin lama, GM ini semakin mengesalkan.

"Kerjakan di sini."

Loh! Maksudnya?

Dia bercanda kan?


"Kenapa?" dia bertanya. Tatapannya terlihat tegas, sarat tak boleh diprotes. Tapi mana bisa? Yang ada aku tidak bisa bergerak karena aura intimidasinya terlalu besar untukku.

"Aku harus kerjakan di sini?" sekali lagi aku memastikan.

"Hn."

Aku yakin itu artinya ya.

"Tapi komputerku kan tidak bisa dipindahkan, Pak."

"Pakai flash dan kerjakan di lapotopku."

"Tapi, programnya kan tidak bisa di copy."

"Semua program yang ada di perusahaan sudah ada di laptopku."

Mengesalkan.

"Tapi─"

Aku menghentikan ucapanku ketika melihat tatapannya yang berubah semakin tajam.

"Baiklah." sahutku lemas.

Hah, untung tampan.

💢💢💢

Kurang lebih dua jam aku mengerjakan pekerjaanku di kantornya dan selama itu pula, perasaanku tidak enak. Benar-benar tidak enak. Bagaimana bisa rileks bekerja kalau selama kukerjakan laporanku tatapannya itu tak pernah lepas dari gerak gerikku? Bagaimana bisa aku bergerak leluasa kalau diperhatikan seperti itu?

Ada satu waktu, ketika aku menggaruk kepala karena gatal, dia berdehem dan menatapku tidak suka, katanya dia tidak suka ada ketombe dan rambut rontok di sofanya. Ada lagi, gerakan tanpa sadar yang kulakuan dan ia lagi-lagi protes. Katanya dia tidak suka bekerja dalam satu ruangan dengan perempuan yang jorok. Padahal aku hanya menaruh bolpoin di antara hidung dan bibirku yang kumanyunkan. Di mana letak kejorokannya? Memang dasar hanya ingin menegurku saja dia.

Dan untungnya semua kesabaranku terbayar. Pekerjaanku selesai dan ia menyuruhku kembali ke keruanganku. Itu pun ketika waktu sudah menunjukkan angka empat, satu jam sebelum jam kantor selesai. Seperti yang lalu-lalu. Bukankah ia seperti iblis? Padahal pekerjaanku yang besok harus kukumpulkan harus selesai hari ini.

"Aku permisi." pamitku.

"Hn."

Yah 'hn', apalagi?

Terima kasih?

Jangan bercanda.


💢💢💢

Mickey139



Share:

Tuesday, June 24, 2025

Bukan Gulali


Judul Cerita : Bukan Gulali
Bahasa Asli: Indonesia
Status: Ongoing
Genre: Romance




♥♥♥

Ringkasan:


Sean terbangun tanpa ingatan, hanya satu hal yang ia yakini—Hana adalah wanita yang ia cintai. Tapi dunia nyatanya tak sesederhana itu. Hana adalah kekasih Regan, kakak laki-lakinya sendiri.

Demi menjaga Sean yang rapuh, Regan dan Hana memilih menyembunyikan kebenaran. Namun ketika semuanya terungkap, luka, kemarahan, dan pengkhianatan menyelimuti hubungan saudara itu.

Di tengah keluarga yang selalu bertengkar, cinta yang terluka, dan rahasia yang terbongkar, Regan dan Hana memilih menikah diam-diam, membangun hidup dari awal. Tapi bisakah cinta bertahan saat masa lalu terus menghantui?

Ini bukan kisah cinta yang manis. Ini kisah tentang memilih, mengalah, dan bertahan—meski pahit.

DAFTAR CHAPTER
Share:

THE MERMAID - LIMA

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA



THE MERMAID
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
@mickey139

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita

DLDR

enjoy :)


🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Adrea terus berenang sembari membawa Mac bersamanya. Arus laut yang kuat beberapa kali menghempas mereka, beberapa kali juga mereka terbawa arus hingga jarak mereka dengan jalur ke Zerzura semakin jauh. Dan akhirnya, perjuangan mereka tidak menjadi sia-sia ketika mereka tiba di jalur Zerzura yang pernah Adrea tutup.

Sayangnya, pintu masuk menuju jalur Zerzura telah hancur. Adrea tidak tahu kenapa terumbu karang di sekitarnya hancur berkeping-keping bahkan sulur-sulur rumput laut telah lenyap dan menyisakan bebatuan tanpa kehidupan.

Adrea mencoba menghubungi Dolphin melalui telepati namun ia tidak menerima respon. Bahkan ketika ia berkonsentrasi penuh untuk mendengarkan hewan-hewan di sekitarnya, ia juga tidak mendengar apapun.

"Apa yang terjadi?" Adrea bergumam pelan sambil tetap berkonsentrasi.

Mac yang melihat tidak ada respon melihat Adrea panasaran. Bibirnya terbuka, namun tak ada suara apapun yang keluar. Ia menahan rasa penasaran itu untuk tidak mengganggu konsentrasi Adrea.

Dan ketika Adrea membuka mata, Mac tak lagi bisa menahan suaranya.

"Ada apa?"

"Pintu menuju Zersura lenyap. Koneksiku dengan temanku juga terputus. Bahkan aku tidak mendengar satu pun suara hewan laut di sekitar sini."

Jantung Mac berdegub lebih cepat. Tubuhnya terasa gemetar oleh perasaan putus asa. Ia benar-benar sangat berharap bisa kembali ke lautan, ke rumahnya, ke istananya. Ia sudah tidak memiliki waktu. Masa hidupnya sebagai manusia sebentar lagi selesai dan kemudian ia akan berubah menjadi buih lalu menghilang.

Mac menatap Adrea penuh harap. Berharap Adrea memiliki solusi sebab ia tak bisa kembali lagi ke permukaan.

"Masih ada jalur lain, tapi jalur ini tidak cocok untuk manusia dan mermaid."
Mac hanya fokus pada kesempatan lain yang diucapkan oleh Adrea. Untuk saat ini satu-satunya keinginan Mac adalah kembali. Hanya itu. Lagipula, ia yakin mereka pasti bisa melewati bahaya yang akan mereka hadapi nanti. Adrea kuat begitu pula dirinya. Meski saat ini Mac masih dalam wujud manusia.

"Kita tidak punya pilihan lain, bukan? Hanya itu kesempatan kita." Mac menatap Adrea dengan tatapan penuh keyakinan. Ia tahu kalau duyung itu tak yakin dengan kemampuannya. Terlebih ketika mereka melewati penghalang pusaran air tadi dan hampir membuatnya terhempas.

"Aku bisa menjaga diri, kalau itu yang membuatmu ragu." Sekali lagi Mac berusaha meyakinkan Adrea. "Dan aku tidak akan menjadi beban." tandasnya.

Adrea tidak bisa menutupi keraguan di matanya. Selain karena ia masih meragukan identitas Mac, ia juga tak mau laki-laki itu menjadi beban untuk dirinya atau bahkan mungkin menjebaknya. Tetapi, Adrea juga tak bisa mengabaikan tatapan penuh keyakinan dari laki-laki itu. Entah kenapa ada secuil perasaan yang mengatakan kalau ia bisa sedikit mempercayai laki-laki itu.

"Baiklah."

Pada akhirnya ia pun setuju untuk membawa Mac bersamanya.

🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️

Mac tidak tahu sudah berapa lama mereka berenang sampai kelelahan sudah mulai dirasakan tubuhnya. Gerakan tubuhnya mulai melambat akibat dari mana-nya yang sudah hampir habis karena terus menggunakan sihir untuk melindungi tubuhnya. Tetapi, ia tak bisa mengatakannya pada Adrea. Kata-kata yang sudah ia ucapkan sebelumnya tidak bisa ia tarik kembali.

"Aku masih belum bisa mendeteksi ikan di sekitar sini. Kita belum boleh beristirahat. Terlalu beresiko."

Mac tidak menjawab, ia hanya fokus mengikuti Adrea. Energinya sudah hampir mencapai batas dan ia tak mau Adrea menganggapnya sebagai beban.

Tiba-tiba Adrea berhenti. Ia tampak fokus ketika melihat di sekeliling mereka.

"Aku merasakan kehadiran ikan di sekitar sini. Agak samar." Ia melihat Mac yang sudah terlihat sangat kelelahan. Tetapi, Adrea tidak memedulikannya. Lagipula ia yakin Mac tidak suka dikasihani dan di tempat itu pun masih sangat rawan. Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal lain selain bertahan hidup. Lalu ia bergerak mengikuti kehadiran samar yang ia rasakan.

Mac memaksakan dirinya menyelam lebih dalam, mengikuti bayangan Adrea yang melesat ke depan. Pandangannya mulai buram karena tekanan air dan kelelahan, tapi ia tetap harus bertahan. Mac semakin fokus, meski sulit, ia berusaha merasakan mana di air dan menyerapnya perlahan.

Beberapa menit kemudian, Adrea memperlambat laju renangnya dan memberi isyarat dengan tangan untuk berhenti. Ia menunjuk ke arah bebatuan karang besar yang menghalangi sebagian pandangan mereka. Dari celahnya, tampak siluet makhluk bersisik yang besar, perlahan-lahan bergerak. Sisiknya berkilau keperakan seperti cermin retak di bawah cahaya laut.

"Sial! Itu Leviathan!" bisik Adrea lewat sihir komunikasi air. Suaranya terdengar langsung di kepala Mac.

Mac mengerjap, mencoba fokus. "Itu bukan cuma satu..." katanya pelan. "Ada dua...."

Adrea mengangguk, matanya tajam. "Iya. Untungnya mereka hanyalah anakan Leviathan yang tercipta dari mana Leviathan."

Meski anakan, Leviathan itu tak bisa dianggap lemah. Sisiknya sekeras baja, sangat sulit ditembus kecuali menggunakan senjata yang dirancang khusus atau senjata sihir. Aumannya bisa menggetarkan air dan memberi tekanan kuat hingga menghasilkan gelombang kejut yang bisa menghancurkan kumpulan karang. Dan yang lebih mengerikan, beberapa anakan Leviatan bisa menghasilkan racun mematikan yang bisa melelehkan apa saja.

"Lalu apakah mereka yang kau maksud?"

Adrea menggeleng, matanya masih fokus memperhatikan para Leviathan itu. "Bukan mereka. Tetapi kehadiaran mereka sudah sangat jelas. Aku yakin, mereka ada di sekitar sini."

Adrea meraih pisau sihir di pinggangnya, ujungnya berpendar hijau. Indah, namun mematikan karena terdapat racun di bilah pisaunya yang terbuat dari darah Silabus yang beracun. Ia menoleh pada Mac.

“Aku mungkin bisa mengalahkan mereka seandainya tombakku masih bersamaku, namun sekarang hanya senjata ini yang kupunya. Kau bisa bantu dengan mengalihkan perhatian mereka?”

Mac menelan ludah. Sisa mana-nya hampir tidak cukup, tapi ia tahu ini kesempatan satu-satunya. Ia mengangguk.

“Aku bisa. Tapi kau harus cepat.”

Adrea mengangguk, lalu menyelam ke samping, mencari sudut serang yang lebih tersembunyi. Sementara Mac memejamkan mata, menggumamkan mantra hingga sebuah cahaya kecil muncul dari telapak tangannya kemudian ia lemparkan di sisi lain dari tempat Adrea bergerak. Cahaya itu bergerak perlahan dan membentuk gerakan seperti makhluk lain.

Makhluk-makhluk bersisik itu bereaksi. Namun, tidak bergerak menuju cahaya itu. Salah satu Leviathan menyemburkan gelombang air menuju cahaya yang dibuat Mac dan langsung melenyapkan cahaya itu.

Mac tidak berhenti, ia membuat cahaya lain. Meski dadanya semakin sakit, ia berhasil membuat tiga cahaya yang bergerak dan membuat salah satu Leviathan sibuk mengejar cahaya itu.

Adrea mengambil kesempatan, ia meluncur secepat panah, pisau di tangan siap menusuk ke titik lemah di bawah kepala sang monster. Tapi saat ia mendekat— tiba-tiba, laut di sekitar mereka bergetar.

Salah satu Leviathan yang tadi hanya diam kini membuka mulutnya, mengeluarkan gelombang yang mengguncang tulang. Tekanan luar biasa yang membuat tubuh membeku tak bisa bergerak.

Mac terlempar ke belakang, kehilangan kendali. Gelembung pelindungnya hampir pecah, namun untungnya ia bisa kembali mengontrol sihirnya lalu bersembunyi di balik karang. Tubuhnya terasa seperti dicabik-cabik.

Adrea, yang berada paling dekat, terpaku sesaat. Ia menggertakkan gigi dan melesat maju menembus gelombang mana yang membuat air di sekelilingnya terasa seperti lendir kental yang menggenggam setiap gerakan. Pisau sihirnya berpendar makin terang, dan dalam satu gerakan tajam, ia mengarahkannya ke bagian bawah kepala Leviathan.

Tapi sebelum bilah itu menyentuh kulit makhluk itu, sesuatu menghantamnya dari samping.

Leviathan yang tadi sibuk dengan cahaya Mac kembali dan menyambar Adrea hingga menabraknya ke dinding karang. Karang itu retak dan mengeluarkan gemuruh bawah laut yang membuat pecahan karang nyarismenghantam Mac.

Darah mengambang perlahan di air.

Mac melihatnya. Meski pandangannya sudah berbayang hitam dan sekujur tubuhnya nyaris lumpuh karena kehabisan mana, naluri untuk bertindak menendang dirinya dari dalam. Ia tak bisa membiarkan Adrea mati. Tidak sekarang. Tidak setelah sejauh ini.

Dia memaksakan dirinya, mencoba kembali fokus dan merapalkan satu mantra terakhir—mantra yang biasanya tak berani ia gunakan karena terlalu berat untuk tubuhnya: "Cebral", mantra pengikat jiwa-air, sihir kuno yang bisa mengubah tubuh pengguna menjadi saluran mana murni.

Tubuh Mac berpendar biru keperakan. Rambutnya melayang seperti asap di dalam air. Retakan cahaya menjalar dari tangannya ke seluruh permukaan kulitnya, dan seketika air di sekitarnya mulai bergerak mengikuti kehendaknya.

Dengan teriakan dalam hati, ia mengirimkan pusaran tajam ke arah Leviatha yang menyerang Adrea. Makhluk itu terlempar jauh, dan Adrea, yang tubuhnya sudah dipenuhi luka, mulai tenggelam perlahan, tak sadarkan diri.

Leviathan lain menggeram dan menoleh ke arah Mac, matanya yang seperti cermin mulai berkilat merah.

Mac tahu tubuhnya hanya akan bertahan beberapa detik lagi.

Ia mengepalkan tangan, lalu memusatkan semua energi ke telapak tangannya. Ia menembakkan satu tembakan murni mana, tepat ke tengah dahi makhluk itu—tempat di mana kelemahan Leviathan.

Kilatan cahaya meledak dalam senyap.

Makhluk itu menggeliat liar, lalu mulai melambat… dan akhirnya diam.

Mac tak tahu apakah tembakannya berhasil menembus, atau hanya membuat makhluk itu pingsan. Tapi ia tak sempat memastikan. Dunia mulai memudar di sekitarnya.

Sebelum kesadarannya benar-benar lepas, ia merasakan tangan hangat menyentuh pundaknya. Lalu bayangan wajah Adrea yang bergerak di atasnya.

"Mac… Bertahanlah."

Lalu semuanya gelap.

🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️🧜🏻‍♀️
Mickey139

SEBELUMNYA CH LENGKAP SELANJUTNYA

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com